Aditia Purnomo



Akhirnya Undang-undang Pengadaan Lahan telah disahkan. UU yang dibuat untuk mempermudah proses pembangunan nasional ini berdampak sistemik bagi masyarat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat harus menerima penggusuran apabila pemerintah membutuhkan tanah untuk pembangunan.

Pembuatan UU ini memang diperuntukan untuk sebuah masterplan pembangunan Indonesia yang kerap terkendala malasalah ketersediaan lahan. Namun, bagi masyarakat, UU tersebut sama saja sebuah peraturan yang dapat membunuh mata pencaharian juga kenangan yang dimiliki masyarakat terhadap keberadaan tempat tinggalnya.


Bagi masyarakat, permasalahan yang kerap terjadi dalam pembebasan lahan adalah urusan harga. Pemerintah maupun swasta yang ingin melakukan pembebasan lahan terkadang tidak berpikir secara rasional dalam menentukan harga tanah yang menjadi milik masyarakat. Belum lagi, terkadang lahan yang dibebaskan berada di tempat strategi yang tentunya memiliki harga yang lebih mahal dibanding tanah di tempat terpencil.

Masalah tersebut kerap memaksa masyarakat tidak mau melepas tanahnya. Selain karena harga tak cocok, pengembang yang ingin membebaskan lahan juga kerap melakukan cara-cara licik guna membuat sang pemilik melepas tanahnya. Hal tersebut jelas membuat sebagian masyarakat resah, karena tekanan yang dilakukan terhadap mereka juga kerap berdampak dalam urusan ekonomi mereka.

Hal tersebut juga dialami Bambang Hartadi, warga kota Depok. Menurutnya, pihak pengembang yang ingin membebaskan lahan yang dimilikinya kerap melakukan tekanan yang membuat penghuni kamar Kos yang ia sewakan tidak betah dan memilih untuk pindah. Jelas saja itu merupakan sebuah tindakan yang amat merugikannya secara ekonomi.

Belum lagi keuntungan yang diraih pengembang lewat UU tersebut. Kini, mereka dilegalkan untuk melakukan pembebasan lahan dengan senjata UU tersebut agar dapat membungkam masyarakat yang ingin melawan. Akhirnya rakyat kembali dirugikan akibat senjata baru bagi para pengembang.

Keuntungan tersebut akhirnya dilarikan dalam kegiatan bisnis besar ketimbang memihak rakyat kecil. Bisnis dengan alibi masterplan pembangunan nasional yang akhirnya membuat gedung-gedung mewah dengan fasilitas eksklusif yang hanya dapat dinikmati segolongan pihak saja. Pembangunan nasional hanya menjadi alat untuk pembangunan bisnis kapitalisasi ekonomi yang membuat beberapa pihak meraup keuntungan dari kesengsaraan masyarakat yang kehilangan tanahnya.

Pada akhirnya, pemerintah tetap saja melegalkan hukum yang memihak pihak kapital saja. Masyarakat dengan segala keterbatasannya tentu saja tidak akan mampu melawan pemeritah yang memiliki aparatur lengkap. Dan akhirnya, pembangunan modal kapital berkedok pembangunan nasional akan terus menghabisi sendi-sendi perumahan rakyat hingga pelosok desa.


Beberapa waktu lalu, terjadi peristiwa yang cukup mencengangkan rakyat Indonesia. Tepat di depan Istana Presiden, terjadi sebuah aksi bakar diri yang dilakukan oleh seseorang yang kemudia dikenali sebagai Sondang Hutagalung. Mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) ini kemudian meninggal akibat luka bakar yang mencapai angka 90% akibat aksi nekatnya ini.

Menurut beberapa kawan aktifis, ia nekad melakukan aksi tersebut karena frustasi dengan segala perlakuan pemerintah yang semakin hari kian menindas rakyat. Setidaknya hal itulah yang disebutkan kordinator KontraS saat memberikan penjelasan perihal aksi “nekat” Sondang tersebut.

Ratusan kawan-kawan mahasiswa, baik dari UBK maupun dari universitas lainnya, mengantar kepergian Sondang menuju pembaringan terakhirnya. Layaknya pahlawan, di dalam acara pemakaman tersebut, pihak kampus memberi Sondang gelar Sarjana Kehormatan atas keberanian dan ketulusannya mengorbankan nyawa demi memperlihatkan kepada pemerintah akan penindasan yang mereka lakukan terhadap rakyat. Aksi solidaritas pun digelar guna mengnang keberanian Sondang.

Meskipun begitu, hingga saat ini masih kurang jelas apa alasan Sondang melakukan aksi tersebut. Meski banyak yang mengatakan itu adalah bentuk dari rasa kecewa Sondang terhadap pemerintah, tak sedikit pula yang menganggap ini adalah bentuk lain dari pengalihan isu.

Begitu juga banyaknya opini masyarakat yang menganggap kejadian ini adalah sebuah bentuk dari bunuh diri yang sia-sia belaka. Mereka menganggap tragedi Sondang ini bukanlah sesuatu yang bermanfaat. Meski tak sedikit juga kalangan yang mengapresiasikan pengorbanan Sondang.

Oleh karena itu, peristiwa ini harus dijadikan momentum. Pengorbanan Sondang takkan sia-sia, apabila perjuangan yang telah ia lakukan diteruskan oleh seluruh lapisan yang memiliki harapan yang sama dengannya, yakni menjatuhkan rezim tirani demi terciptanya Indonesia sejahtera.

Pengorbanan Sondang memang benar akan sia-sia, apabila kita, sebagai penonton dan penikmat aksi beraninya, hanya duduk diam terpaku meratapi kezaliman rezim dan hanya mengomentari dan mempolitisir aksi Sondang Hutagalung.

Maka dari itu, pemuda, buruh, tani, dan seluruh elemen mayarakat harus berani turun ke jalan, meneriakan dengan lantang bahwa masyarakat sudah muak dengan prilaku tirani. Mari kita berjuang bersama-sama agar segala yang telah dilakukan oleh para pejuang kemanusiaan, tidak hanya Sondang, tapi Munir dan juga yang lainnya tidak menjadi sesuatu yang sia-sia.
17 Desember 1942 menjadi sebuah hari yang sebenarnya biasa saja bagi bangsa ini. Namun, pada tanggal ini, lahirlah seorang bayi yang kelak menggemparkan Indonesia lewat keberaniannya menentang tirani kekuasaan. Pemuda yang menjadi otak dari serangkaian aksi di tahun 60an. Soe Hok Gie, pemuda tersebut kini telah menjadi salah satu legenda dari gerakan mahasiswa.

Tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya, Gie mendapat karunia yang selama ini ia impikan, yakni
mati muda. Ya, ia meninggal di usia 26 saat tengah mendaki di Gunung Semeru. Ia meninggal akibat menghirup gas belerang di kawah gunung tersebut.

Gie adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga merupakan anggota Mapalanya. Ia adalah salah satu aktivis mahasiswa yang memberikan ide-idenya melalui tulisan-tulisan di beberapa Koran nasional. Ia juga menjadi salah satu aktor yang membuat mobilisasi mahasiswa begitu dahsyat pada tahun 66.

Dengan segala kegelisahannya, ia turun ke jalan, melakukan mobilisasi dengan kawan-kawannya sesama mahasiswa, menulis artikel berisi kritik di media nasional, demi satu tujuan, jatuhnya rezim tirani dan terciptanya kesejahteraan sosial.

Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Kata-kata tersebut merupakan salah satu tulisan dari buku hariannya yang kemudian diterbitkan dalan sebuah buku, Catatan Seorang Demonstran (CSD). Kalimat tersebut juga menggambarkan keeguhan seorang Gie yang tetap berdiri tegak melawan penindasan rezim baru, dikala kawan-kawan rekan seperjuangannya justru telah nikmat dengan kemapanan mereka sebagai anggota dewan.

Kematian Gie merupakan salah satu bentuk dari kehilangan nasional. Dikisahkan dari pengantar CSD, Arif Budiman, kakak Gie menceritakan seorang penjual peti mati pun berduka mendengar kepergian Gie. “Dia orang yang berani. Sayang Ia meninggal,” ungkap penjual peti tersebut sambil menangis.

Kepergian Gie memang meninggalkan banyak kenangan. Baik bagi yang pernah mengnalnya secara langsung, atau melalui karya-karyanya. Keberaniannya menjadi sebuah mortar bagi gerakan mahasiswa. Kecerdasannya mampu menjadikannya sebagai otak dibalik mobilisasi massa. Dan keteguhannya menjadikannya diasingkan.

Itulah Gie, sosok mahasiswa idealis yang jarang terlihat di jaman setelahnya. Meski tak jarang mahasiswa yang memiliki keberanian yang sama, namun tak ada yang mampu menandingi keteguhannya dalam berjuang. Karena, tak jarang para aktivis yang lantang menentang rezim justru terlibat dalam pembentukan rezim baru yang memberi mereka kemapanan.

Mungkin, hanya seorang Gie yang berani diasingkan dari lingkaran aktivis yang kian hari kian pragmatis.semoga saja, lahir kembali aktivis yang memiliki keberanian, kecerdasan, dan keteguhan seperti yang dimiliki Gie. Seorang Intelektual, pejuang muda, yang berani diasingkan demi kebenaran.




Kedaulatan berada ditangan rakyat, itulah inti dari asas demokrasi. Kekuatan demokrasi berasal dari keterlibatan rakyat dalam segala aspek pemerintahan. Rakyat diwakili oleh para anggota dewan yang dipilih melalui sebuah pemilihan langsung. Begitu pula dengan presiden selaku kekuatan eksekutif dalam trias politika ala demokrasi Montesqieu.        

Kehadiran rakyat juga menjadi salah satu landasan berdirinya Negara. Rakyat selalu menjadi sebuah nama dimana cita-cita, tujuan, landasan, dan segala kepentingan Negara diarahkan kepadanya. Rakyat juga menjadi sumber kekuatan utama bagi negaranya.          

Namun, kini rakyat seperti kehilangan jati dirinya. Rakyat kini lebih dijadikan alat bagi politisi untuk mengejar kekuasaan. Bahkan dengan kekuatan yang begitu besar, rakyat masih menerima iming-iming puluhan ribu sebagai tumbal pembelian hak suara. Rakyat pun semakin frustasi dengan kondisi Negara yang membuat mereka cenderung apolitis. 

Padahal, rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Negara ini harus menggunakan kekuatannya demi terwujudnya kesejahteraan sosial. Kekuatan politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus digalakkan. Bukan karena pemerintah yang semakin tidak dapat dipercaya, justru rakyat diam. 

Saat ini, rakyat harus kembali turun dalam pengambilan kebijakan. Bukan hanya duduk gelisah melihat para wakilnya yang jelas-jelas telah mengkhianati amanat rakyat. Rakyat harus berani meneriakan kegelisahannya akan kondisi Negara yang terpuruk karena keblingernya pimpinan Negara. 

Bila dilihat sejarah perjalanan bangsa, mobilisasi rakyat memang menjadi salah satu kekuatan utama rakyat untuk merebut demokrasi. Rakyat, buruh, tani, tak perlu lagi takut melakukan boycott guna menentang kebijakan yang selama ini jelas-jelas tak berpihak pada rakyat. 

Rakyat harus melakukan ini semata-mata demi satu tujuan, terciptanya kemerdekaan 100% bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat harus mempelihatkan kekuataanya terhadap pemerintah yang selama ini cenderung menjadi kacung bagi asing untuk menjajah Negara ini. Semua harus dilakukan agar pemerintah tahu siapa yang seharusnya dihadapi. 

Tapi, jika dalam keadaan seperti ini rakyat memilih diam dan apolitis, maka kedaulatan rakyat tinggallah sebuah semboyan. Karena, keabsahan kedaulatan rakyat tak bisa terwujud jika rayat diam. Ingat, kedaulatan memang berada ditangan rakyat, tapi kedaulatan bukan berada ditangan rakyat yang apolitis. Rakyat harus berani kembali berpolitik.

Carut-marut dunia politik Indonesia semakin brengsek saja. Bagaimana tidak, dalam pemilihan calon pimpinan KPK saja, lobi politik lebih diutamakan ketimbang memilih siapa yang terbaik. Hal tersebut pada akhirnya membuat masyarakat berpendapat bahwa pimpinan KPK dipilih untuk membentengi para politisi korup.

Ada beberapa hal yang menarik dalam pemilihan tersebut. Namun, yang paling menarik (bagi saya) tentu saja argumentasi dari fraksi PKS DPR RI yang mengatakan bahwa salah satu capim, yakni Abdullah Hehamahuwa terlalu bersih dan lebih cocok sebagai penasihat KPK.

Mungkin, masih banyak hal lain dalam pemilihan itu yang mendapat perhatian lebih. Namun, pernyataan Fraksi PKS tersebut layak untuk dicermati pula.

Hal pertama dan yang paling utama yang akan dicermati adalah pernyataan bahwa seorang Abdullah terlalu bersih untuk menjadi seorang pimpinan KPK. Kata “terlalu bersih” ini menjadi begitu sakral apabila dikaitkan kepada lembaga penegak hukum, apalagi yang konsen dimasalah pemberantasan korupsi ini.

Bagaimana lembaga pemberantas korupsi bisa memberantas hal-hal yang direpresentasikan kotor selayaknya korupsi, apabila manusia yang terlibat di dalamnya tidak bersih. Apakah para wakil rakyat yang tergabung di komisi 3 DPR ini lebih memilih orang yang tidak bersih guna memanfaatkan ketidakbersihannya kemudian?

Kedua, seharusnya para pemilik suara dalam pemilihan pimpinan KPK tersebut mampu memahami kebutuhan rakyat akan seorang pimpinan KPK yang mampu menjadi satria piningit dalam pemberantasan koruptor di Indonesia. Namun, perkumpulan seperti setgab parpol koalisi lebih terlihat sebagai perkumpulan calo untuk memenangkan suatu hal yang menguntungkan perkumpulan tersebut.

Padahal para wakil rakyat semestinya mampu menjadi representasi dari 230 juta rakyat. Namun segala intrik yang digunakan dalam kegiatan politik Indonesia, pada akhirnya gagal menjadikan politik, sebagai sebuah alat untuk memerdekakan 230 juta rakyat Indonesia sebagaimana dicita-citakan Tan Malaka.
Belum lama ini sebuah klub sepak bola asal Amerika Serikat, LA GALAXI datang untuk bertanding melawan Timnas Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Hal tersebut tentu saja merupaan sebuah angin segar bagi persepakbolaan nasional yang telah lama tak dikunjungi oleh tim berskala internasional. Dan hal tersebut juga menjadi sebuah sinyal yang menunjukan keamanan di Indonesia.
  
Publik kita tentu masih ingat ketika klub sekelas Manchester United gagal bermain di Indonesia karena keamanan yang dipermasalahkan setelah terjadinya peledakan bom di Jakarta. Ketika itu masyarakat pecinta bola dikecewakan kasus yang membuat keamanan Indonesia kembali dipersalahkan.

Rizki Fauzi, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta adalah satu masyarakat yang kecewa akan hal tersebut. Menurutnya, Indonesia belum dapat dikatakan aman, terlebih dengan kasus-kasus terorisme yang masih menghantui masyarakat. Apalagi akhir-akhir ini konflik antar masyarakat kerap terjadi dan menambah ketidaknyamanan publik.

Fauzi juga menambahkan, ketidakamanan yang dirasakan masyarakat itu diperparah dengan ketidaksanggupan aparat keamanan dalam menanggulangi konflik dan kasus-kasus tersebut. Baginya, aparat keamanan hanya melakukan tindakan represif untuk menyelesaikan konflik, bukan untuk menanggulangi dan mengurangi jumlah kasus tersebut.

Senada dengan Fauzi, M. Yordan, aktivis UKM Kopma UIN mengatakan bahwa aparat dan pemerintah kurang tegas dalam bertindak. Menurutnya, hukuman seharusnya memberi efek jera bagi pelaku kejahatan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, hukum bukan hanya tak mampu member efek jera, tetapi juga dapat diperjualbelikan kepada pihak yang memiliki kekuatan, seperti kasus Gayus Tambunan yang bisa pergi ke Bali. 




Mahasiswa adalah seorang intelektual muda yang masih harus mengasah keintelekualannya. Karena itu, dalam proses untuk mengasah intelektualnya, mahasiswa melakukan kegiatan-kegiatan yang amat beragam. Mulai dari kajian-kajian dan diskusi-diskusi yang mampu mengasah wacana mahasiswa. Hingga kegiatan yang erkaitan dengan minat dan bakat seperti olahraga dan pecinta alam.

Dalam hal ini, mahasiswa didukung oleh pihak universitas. Hal itu terbuktikan dengan keberadaan gedung pusat kegiatan mahasiswa (PKM) yang diharapkan mampu menjadi tempat dimana mahasiswa menumpahkan berebagai ide segar dan keratifitasnya. Namun sepertinya mahasiswa salah mentafsirkan kegunaan gedung PKM.

Faktanya gedung PKM hanya dijadikan tempat berkumpul saat mahasiswa menunaikan ibadah solat ataupun main futsal. Meski paling tidak ada acara-acara yang diadakan di aula, tapi itu kebanyakan bersifat insidental dan lebih berhaluan kepada proyek kegiatan. Kalaupun masih diisi kegiatan mahasiswa, tentunya itu adalah bagian dari aktifitas unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang memang menjadi penghuni tetap gedung tersebut.

Padahal, jika dipahami secara esensial, gedung PKM adalah tempat dimana mahasiswa harusnya mewadahi berbagai kegiatan ekstra –akademik. Namun pada kenyataannya, kebanyakan mahasiswa hanya mengetahui bahwa gedung PKM adalah tempat untuk acara seminar, menunaikan solat, tempat main futsal, bahkan yang leih tragis, sekedar tempat parkir. 

Mungkin ada beberapa landasan mengapa mereka berpendapat sebagaimana telah disebutkan tadi. Entah karena mereka hanya mengetahui bahwa gedung PKM adalah tempat bernaung UKM, lalu mereka beranggapan bahwa gedung tersebut adalah tempat yang terlebih eksklusif yntuk UKM.

Atau mungkin, memang mahasiswa tidak memahami esensi dari gedung PKM. Bila kita mau lebih sadis lagi,, bisa saja kegiatan mahasiswa yang memang semakin menuju kematian. Jikalau yang terakhir adalah alasan yang paling sesuai dengan kondisi kampus sekarang, maka kita tinggal menunggu waktu saja jika akhirnya mahasiswa kehilangan intelektualnya.

Berawal dari tragedi keracunan massal tempe bongkrek, Desa Dukuh Paruk kehilangan gairahnya akibat kematian sang ronggeng, Surti (Happy Salma). Srintil (Prisia Nasution), merasa bertanggung jawab karena perbuatan orang tuanya yang menyebabkan tragedi tersebut. Ia yang sejak kecil gemar menari juga diyakini memiliki roh indang, sebutan warga desa untuk menyebut roh ronggeng.

Hal tersebut membuat Srintil bertekad untuk menjadi ronggeng guna menghidupkan kembali kebudayaan Dukuh Paruk dan mengembalikan nama baik orang tuanya. Selain itu, menjadi ronggeng adalah wujud darma baktinya untuk Dukuh Paruk yang dilindungi oleh arwah Ki Secamenggala.

Meski begitu, Rasus (Nyoman Oka Antara) teman sepermainan Srintil yang sudah lama mencintainya, tak ingin Srintil menjadi Ronggeng. Karena dengan menjadi ronggeng, ia tak hanya dituntut menari, tapi juga harus melayani lelaki desa.

Selain itu, kepercayaan warga Dukuh Paruk juga mempersulit impiannya. Warga desa memiliki kepercayaan yang kuat bahwa seorang penari ronggeng sejati bukanlah hasil dari pengajaran, melainkan juga mendapat wangsit yang berasal dari Ki Secamenggala. Meskipun akhirnya takdir lebih berkuasa menjadikan Srintil sebagai ronggeng.

Pada waktu yang telah ditentukan, digelarlah upacara penobatan Srintil sebagai ronggeng. Selain harus menari, dalam upacara itu dia juga harus melewati ritual “bukak klambu”.  Dalam ritual ini keperawanan Srintil dilelang dan akan diserahkan kepada penawar tertinggi. Rasus yang tidak kuat menahan rasa cemburu akibat hal tersebut akhirnya memilih pegi dari desa dan menjadi tentara.

Menampilkan kisah cinta antara Rasus dan Srintil sebagai sentral cerita, sutradara Ifa Isfansyah berhasil menginterpretasikan filmnya dengan baik. Tidak terjerumus menjadi adegan-adegan seks yang murahan seperti yang pernah diinterpretasikan film Darah dan Mahkota Ronggeng karya Yazman Yazid pada tahun 1983 yang juga diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Ifa juga berhasil menampilkan suasana politik tahun 1965 dengan baik. Ia menampilkan kehadiran PKI di Dukuh Paruk lewat sosok Bakar (Lukman Sardi), seorang anggota PKI, dan warna merah pada beberapa properti (caping, selendang, ikat kepala, spanduk). Namun, tidak sekali pun kata “PKI” terucap, bahkan oleh para tentara yang melakukan “pembersihan” di Dukuh Paruk itu.

Begitu juga dengan propaganda yang dilakukan sesuai dengan pola yang biasa dilakukan partai “merah” tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan lewat adegan dimana warga Dukuh Paruk yang tidak memahami alasan mereka ditahan sebagaimana dampak dari tragedi pada tahun 1965.

Selain itu sinematografi, properti, naskah dan chemistry antar pemain membuat film ini layak untuk diapresiasi. Secara keseluruhan, film produksi Salto Film Company ini mampu memberikan suguhan yang berbeda lewat nilai-nilai kebudayaan yang begitu melekat dan membawa suasana baru di perfilman Indonesia yang mulai terbiasa dengan film berbau seks belaka.

Sutradara: Ifa Isfansyah
Skenario: Salman Aristo, Ifa Isfansyah, Shanty Harmayn
Pemain: Oka Antara, Prisia Nasution, Landung Simatupang, Slamet
Rahardjo, dll.

Produksi: Salto Films



Pemerintah harus mampu membuat lingkungan kerja yang tidak pragmatis sehingga berkecenderungan kapitalis.
Rancangan anggaran belanja negara belanja negara untuk tahun 2012 kembali disedot untuk pegawai negeri sipil (PNS). Namun, alokasi besar untuk belanja PNS tak mampu diimbangi dengan pelayanan masyarakat yang baik. Sedangkan yang terlihat justru  kualitas PNS yang memiliki mental malas bekerja dan kerap kali melakukan pelanggaran. Hal tersebut mempertegas bahwa buncitnya jumlah pegawai negeri tak mampu merubah sistem kerja yang telah masuk ke dalam lingkaran kerja yang pragmatis. 

Pemerintah sendiri tak mampu mengontrol ledakan PNS karena setiap tahunnya memang selalu diadakan tes untuk menjadi PNS. Padahal, jumlah PNS telah membengkak dan kualitas mental calon PNS sendiri jarang yang masuk kategori good employer karena kebanyakan mereka bekerja karena tergiur imbalan (gaji) besar dari pemerintah.  

Andai saja pemerintah mau melihat pola birokrasi yang ada dalam Keraton Yogyakarta, mungkin mereka dapat belajar sangat banyak dari para abdi dalam. Para abdi dalam yang hidup dan bekerja di lingkungan Keraton Yogyakarta yang memiliki komitmen dan kesetiaan dalam bekrja. Mereka juga mampu bekerja dengan upah yang minim karena mereka bekerja dengan hati, tidak karena uang. Mereka juga bekerja dengan rasa bangga karena mampu melayani dan membuat lingkungan kerja Keraton berjalan. 

Seharusnya pemerintah mampu meniru tata kepegawaian di Keraton Yogyakarta yang mampu menjalankan tugasnya. Seleksi calon PNS yang dilakukan pemerintah harus dapat memunculkan para abdi dalam yang bersedia bekerja demi terciptanya pelayanan yang baik terhadap masyarakat.

Pemerintah harus mampu membuat lingkungan kerja yang tidak pragmatis sehingga berkecenderungan kapitalis. Pemerintah harus mampu menampilkan PNS yang memiliki komitmen dan kesetiaannya dalam bekerja untuk bangsa dan negara. Pemerintah harus mampu mencari PNS yang selain tidak menguras anggaran dana yang berasal dari rakyat tapi juga menjadikan PNS segai pionir perbaikan birokrasi dan kehidupan negara.


Kisruh yang terjadi dalam pilkada Riau belakangan ini kembali menegaskan ketidakdewasaan para elit politik dalam memperbutkan kekuasaan. Parahnya kecurangan-kecurangan yang kerap dilakukan semakin memperkeruh suasana dengan banyaknya temuan di lapangan. Kondisi tersebut semakin menasbihkan ketidakmampuan dan kekacauan politik demokrasi di Indonesia.

Kekuatan uang memang kerap kali diandalkan dalam memobilisasi massa demi pemenangan di pemilihan langsung (Pemilu). Kemampuan berpikir mereka sepenuhnya diarahkan demi kemenangan, bukan demi kemajuan pembangunan. Belum lagi penggunaan kekuasaan yang dimiliki dijadikan salah satu senjata utama dalam pemilihan.

Selain itu pembangunan kekuatan politik yang sistematis di daerah tertentu menempatkan pola kekerabatan yang menguasai pemerintahan setempat. Ditambah dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi dari calon-calon yang merasa dirinya paling layak untuk memimpin hingga membuat pengedepanan egoisme tingkat tinggi mereka dibandingkan mendahulukan kepentingan masyarakat.

Karena egoisme itulah mungkin mereka lupa bahwa Pemilu bukanlah kompetisi. Pemilu memang sebuah ajang, namun bukan ajang untuk unjuk kekuatan demi kekuasaan. Pemilu ialah ajang untuk mempersatukan suara rakyat demi terpilihnya pemimpin yang cakap dan mampu membawa perubahan. Pemilu adalah sebuah momen untuk melakukan perubahan yang selalu diinginkan masyarakat.

Oleh karena itu, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan harus memiliki sikap. Janganlah masyarakat ikut terjebak dalam arus politik menyesatkan yang tengah marak di Negeri ini. Namun sikap acuh bukanlah jalan keluar terbaik dalam hal ini. Kita harus turut aktif dalam pembenahan dengan menunjukan kesadaran masyarakat yang anti pembodohan dengan tidak menjual suara kita. Mari lakukan pengawasan terhadap pesta demokrasi rakyat yang menjadi momentum untuk memperbaiki taraf kehidupan.

Maraknya isu NII belakangan ini terlalu dilebih-lebihkan. Isu brain wash dan penculikan tehadap mahasiswa yang dilakukan terlalu ditanggapi wah dan terkesan memperlihatkan kepanikan pemerintah sendiri. Padahal bila kita lihat akar permunculannya, isu NII sudahlah terlalu lampau untuk kita bicarakan.

Konteks yang kini dibicarakan seharusnya sudah selesai pada dekade silam. Dekade pemerintahan lalu, yang telah menghabisi Kartosuwiryo dan membuat kesepakatan dengan pengikutnya. Kini, konteks yang mestinya dibicarakan adalah pembenahan birokrasi di Indonesia agar terciptanya kesejahteraan masyarakat yang merupakan cita-cita Negara.

Program pengalihan isu yang kini menjadi trend di Indonesia juga menjadi salah satu acuan membesarnya isu tersebut. Hal itu pula yang menyebabkan begitu banyaknya kasus besar terbengkalai dan terkesan harus dihapuskan dari pikiran masyarakat. Hal tersebut dapat membuat kita terjebak pada hal-hal baru tanpa mengindahkan kasus sebelumnya.

Meskipun begitu, isu NII bukannya harus kita pandang sebelah mata. Kita harus mewaspadai gerakan yang telah merubah haluannya ini. Seperti apa pun bentuknya, gerakan yang mengancam kedaulatan NKRI harus dimusnahkan. Kekecewaan pada pemerintah bukanlah alasan untuk membentuk gerakan separatis yang  ingin membentuk kemerdekaan baru. Seharusnya, kita bersama semua elemen negeri ini bahu membahu untuk menciptakan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Diterbitkan di Kompas Kampus edisi Selasa, 7 Juni, 2011


Perjalanan Negara ini tak pernah lepas dari perjaanan para kuli tinta yang setia menemani perjuangan para pejuang bangsa yang dengan gagah berani di medan pertempuran fisik dan mental demi kemerdekaan Indonesia. Disamping itu, tidak sedikit pegiat jurnalistik yang juga menjadi pejuang bangsa, salah satunya adalah Raden Mas Tirto Adi Suryo.

R.M Tirto Adi Suryo sebagai seorang jurnalis adalah orang yang kritis terhadap perjuangan bangsa demi menuju kemerdekaannya. Ia juga mampu menjadi pendorong bagi para pemuda Indonesia untuk bangkit melawan bangsa asing yang terus aja menggerus kekayaan alam Nusantara. Lewat pena ia mampu menusuk para penjilat asing dengan begitu tajamnya.

Namun karena kesadaran akan penjajahan, keberanian dan kenekatannya yang melebihi orang-orang sebangsanya, ia mampu menjadi orang yang masuk dalam daftar hitam bagi pemerintah Hindia Belanda. Ia juga menjadi saah satu awak jurnalistik yang mendapatkan pengekangan dalam kegiatan jurnalistiknya.

Pada tahun 1908, N.V Medan Prijaji, harian yang dikelolanya,menuliskan berita tentang konspirasi aspiran kontrolir Pirworejo, A. Simon yang menyalahgunakan wewenangnya dalam pemilihan lurah desa Bapangan. Tirto yang dalam tulisannya menyebut A. Simon sebagai “snoy aap” (monyet ingusan) dituduh meakukan pencemaran nama baik oleh yang bersangkutan.

Meskipun dalam proses persidangannya, Tirto tidak mengalami penyiksaan sebagaimana yang biasa terjadi pada pribumi biasa, ia tetap mendapatkan hukuman pengasingan. Hukuman ini diberikan setelah penundaan yang cukup lama akbibat campur tangan Gubernur Jendral Van Heustz. Namun setelah ia digantikan oleh Gubernur Jendral Idenburg, proses hukum tersebut dilanjutkan kembali.

Hukuman pengasingan ke daerah Teluk Betung sendiri bukan hanya mempengaruhi kehidupan Tirto, namun juga N.V Medan Prijaji yang dikelolanya. Kematian yang dialami Medan Prijaji juga merupakam hasil dari permainan pemerintah Hindia belanda yang memang sejak awal sudah menandai Tirto sebagai ancaman.

Tirto yang menjadi salah satu perintis pers pribumi mampu menjadi ancaman bagi pemerinah colonial Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya yang mampu mengajak masyarakat bangkit melawan pemerintah Hindia Belanda. Dan hal tersebut dianggap sebagai sebuah kesalahan seorang Tirto terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Meskipun pada masa tersebut belum ada hokum apalagi perundang-undangan yang jelas tentang pers, namun kehadiran pers sebagai sarana pencerdas bangsa telah membuat masyarakat bersimpati kepada kasus tersebut.

Masyarakat pribumi yang pada saat itu mulai menyenangi kehadiran beberapa terbitan pers banyak menaruh hormat kepada Tirto, walaupun ia memang terbukti membuat pernyataan yang berisi ejekan terhadap A. Simon.

Penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan pribumi, dr. D.A Rinkes adalah seorang yang paling berpengaruh dalam pemberian hukuman terhadap Tirto. Ia yang memiliki wewenang dalam penanganan kasus pribumi menganggap Tirto melakukan propaganda politik yang menentang pemerintah yang pada saat itu berkuasa.

Namun bagi kita sebagai pribumi, tindakan yang dilakukan oleh Tirto beserta murid setianya, Mas Marco Kartodikromo yang juga aktif di Sarekat Islam adalah sebuah perjuangan yang juga menentukan nasib bangsa. Mereka memperjuangkan kebebasan dalam berorganisasi dan berpropaganda bagi pribumi.

Kini perjuangan mereka telah mencapai tujuannya. Meskipun masih seringkali dikekang dan ditunggangi, pers Indonesia telah memiliki landasan hukum yang jelas, baik dalam UUD 1945 maupun UU no 40 tahun 1999. Kini masyarakat pun mampu menyaksikan keberadaan media sebagai pengontrol jalannya pemeritahan di Indonesia.

Namun kebebasan yang d\mampu kita rasakan kini harus terus kita jaga. Jangan sampai oknum-oknum pemerintah, bangsa asing, dan masyarakat yang tak bertanggung jawab merebut kembali kebebasan yang telaj diraih pers kita. Jangan sampai orang-orang bodoh yang tidak paham tentang kebebaan pers membahayakan kebebasan pers dan media nasional.

Perkembangan budaya populer yang begitu merebak dewasa kini makin tak terbendung. Mulai dari masalah gaya hidup, fashion, sampai kehadiran sepeda mahal jenis fixie makin menasbihkan kehadiran budaya populer. Kemajuan teknologi yang tidak sedang menunjukan tanda-tanda kemacetan juga menjadi faktor penting dalam perkembangan budaya populer. Bagaimana tidak, melalui internet, tv, radio, dan banyak media lainnya, budaya populer menyebar bak laba-laba melebarkan jaringnya.

Selain itu, kemajuan teknologi juga menyajikan segala bentuk kepraktisan yang disukai masyarakat sehingga menjadi “klop” dengan budaya populer. Hal tersebut menyebabkan begitu banyak dampak terhadap budaya lokal. Kini budaya lokal yang terkesan tradisional  dan “ribet” semakin kurang digemari para pelajar karena kehadiran “budaya” yang lebih praktis.

Namun salah satu unsur bangsa yang paling terpengaruhi adalah bahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan resmi di Indonesia semakin terkucilkan dengan kehadiran beberapa bahasa baru yang hadir dan setia menemani masyarakat. Bahasa alay dan gaul adalah contohnya.  Seiring perjalanan karirnya, kedua bahasa itu perlahan tapi pasti mulai menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan masyarakat.

Selain itu, pengharusan penguasaan bahasa-bahasa asing oleh pendidikan sedikit banyak ikut berpengaruh. Memang penguasaan terhadap bahasa-bahasa asing penting dalam menghadapi persaingan di dunia internasional. Namun, kecenderungan “pilih kasih” terhadap bahasa asing yang terkesan lebih diutamakan semakin membuat bahasa Indonesia tertatih dalam percaturannya.

Tragis, jika kita mengingat perjuangan para pemuda yang mendeklarasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan namun pemuda sekarang seakan mengesampingkannya. Juga tragis melihat hasil ujian nasional bahasa Indonesia yang masih dibawah hasil dari bahasa inggris yang sejatinya bukan bahasa ibu kita.


Sumpah pemuda mempunyai makna historis yang mendalam sebagai semangat nasionalisme yang berkobar bagaikan api. Semangat yang tidak terbatas milik para pemuda tetapi milik semua masyarakat Indonesia. Delapan puluh tiga tahun silam, api semangat yang membara itu telah memekikkan kemerdekaan dan kesatuan keseluruh penjuru Nusantara. Walau berada dalam tekanan para penjajah, para pemuda tetap berjuang memersatukan diri pada 28 Oktober 1928,dan sejarah mencatatnya sebagai hari lahirnya Sumpah Pemuda.



Sumpah itu dipelopori pemuda karena memang naluri muda yang selayaknya menjadi pelopor. Pelopor ke arah perubahan dan pelopor ke arah perbaikan. Hal ini dimungkinkan karena idealisme yang dimiliki pemuda. Idealisme yang dilandasi kesediaan berjuang tanpa pamrih, bahkan bilamana perlu berkorban untuk idealismenya.

Semangat untuk menjadi satu “Indonesia” tentu dilandasi kesadaran bahwa pemuda lebih mengedepankan semangat kebangsaan dan persatuan mengalahkan semangat kesukuan (primordial). Persatuan saat itu lebih penting dari pada sikap-sikap primordialis. Faham ke-Indonesia-an itulah yang telah menjadikan kita semua bersatu sebagai bangsa yang plural. Semangat dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan inilah yang kiranya harus selalu kita pupuk agar pluralism yang dimiliki bangsa ini tidak terpecah belah.

Namun sayang, sungguh ironis, yang terjadi sekarang ini sumpah pemuda tinggal sejarah manis yang selalu diperingati dengan ceremony-ceremony sebagai rutinitas tanpa bekas. Sementara substansi yang terkandung dalam sumpah pemuda sendiri terlupakan. 28 Oktober hanya dijadikan romantisme sejarah yang dikenang belaka. Padahal dibalik itu terdapat makna mendalam, yaitu komitmen bagi semua generasi muda untuk siap berbakti dan berbuat yang terbaik bagi bangsa.
"Mahasiswa selalu menjunjung semangat berjuang yang tak pernah luntur"
Berjuang demi kemapanan. Mungkin kalimat itulah yang cocok untuk menggambarkan konteks mahasiswa kekinian. Kalimat yang begitu kontradiktif bila disandingkan pada konteks kemahasiswaan. Apa mungkin karena zaman semakin modern dan iptek berkembang pesat maka mahasiswa harus pula berkembang mengikuti zaman? Mungkin ya, mungkin juga tidak.

Bila kita mengingat perjuangan mahasiswa saat menjatuhkan rezim otoritarian di Indonesia, mungkin kita akan mengingat betapa heroiknya aksi para aktivis yang dengan berani menghadapi moncong senapan yang diarahkan kepadanya. Kita juga akan mengingat semangat perjuangan untuk membebaskan negeri ini dari penindasan dan kesewenang-wenangan pihak pemerintah. Mungkin yang akan paling diingat ialah euforia, suka cita, dan harapan pada era baru yang juga diharapkan akan jauh lebih baik.


Namun harapan tinggal harapan. Euforia yang begitu dahsyatnya melanda kini sirna ditelan waktu. Semangat yang begitu menggebu demi perubahan menjadi alasan bagi orang berpolitik. Namun sekali lagi politik tetaplah politik. Politik tetap menjadi alat untuk berkuasa dan yang berkuasa kembali lagi melupakan perubahan karena kemapanan.

Kini, kemapanan mampu menjadi sebuah senjata untuk melawan idealisme. Kemapanan mampu menjadikan suara nyaring para aktivis begitu pelan terdengar. Kemapanan mampu menumpulkan otak kritis yang biasa tajam mengkritik pemerintah. Kemapanan menjadi momok menakutkan bagi perjuangan yang digalang guna merubah keadaan Negara ini.
Kenyamanan yang ditimbulkan oleh kemapanan membuat mahasiswa lemah. Ketika perut mereka terisi penuh, kantuk menjamah dirinya, membuatnya terlelap menghiraukan keadaan sekitar. Ketika infotaintment menjadi top rating bersama sinetron perusak moral, mahasiswa menjadi penonton setianya. Ketika ribuan mal menjamah negeri ini, mahasiswa berbondong menjadi pengunjung tetapnya.

Kini mahasiswa bukan lagi menjadi penggerak. Mereka hanya menjadi pionir bagi birokrat dan kapitalis yang akhirnya menggunakan mereka sebagai buruh penghasil uang. Kini mahasiswa berjuang demi mendapat jatah di Senayan, atau paling tidak jadi birokrat Negara. Mereka menggunakan status sarjana ataupun doktor mereka untuk memikat khalayak banyak. Menggunakan nama intelektualitas untuk mendapatkan jabatan dan mencemarkan nama intelektualitas.

Mahasiswa bukanlah penjilat. Mahasiswa mencatatkan nama mereka dalam sejarah sebagai pejuang perubahan. Mahasiswa selalu menjunjung semangat berjuang yang tak pernah luntur. Bila ada yang mencemarkan harkat mahasiswa, mereka bukanlah mahasiswa. Mahasiswa adalah pejuang yang berani berbicara lantang kepada kesewenang-wenangan. Mahasiswa adalah pejuang yang berani berkata tidak pada ketidakadilan.

Mahasiswa adalah intelektual yang berani berjuang di garda terdepan untuk perubahan. Intelektual bekerja demi masyarakat bukan demi uang. Kaum intelek yang membuang harkat dan martabatnya demi mengejar jabatan bukanlah lagi kaum intelek, mereka telah menjadi priyayi yang mengejar kemapanan untuk hidupnya.


“Tak  ada yang lebih bermartabat dari pemuda kecuali dua hal, berani bekerja melawan penindasan dan berlatih untuk melawan kemapanan.” 
Sudah sejak lama para golongan terpelajar menjadi poros perjuangan bangsa ini. Perjuangan demi memajukan bangsa yang pada awalnya diliputi banyak ketertinggalan. Perjuangan yang seluruh kegiatannya tulus dilakukan demi  memajukan bangsa. Dan golongan terpelajar bangsa inilah yang bergerak sebagai mortir guna memacu semangat untuk memajukan bangsa ini. Namun sayang, dewasa kini, golongan terpelajar telah kelunturan budaya yang menjatuhkan dirinya sendiri.

Bila melihat sejarah yang ada dibuku-buku sekolah, tertulis bahwa perjuangan pergerakan nasional, kemerdekaan, revolusi kemerdekaan, semuanya dipimpin oleh golongan terpelajar bumiputera. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, dan kawan-kawan mampu menjadi tokoh-tokoh yang menggerakkan momen-momen diatas.

Melangkah sedikit ke tahun 65an, soe hok gie dan kawan-kawan dari kami mampu menumbangkan rezim yang dianggap gagal dalam membangun bangsa terlebih lagi terjadinya kudeta G30S. Begitu  pula pada Reformasi 98, golongan terpelajar mampu menjaga keidealisannya dan terus memperjuangkan apa yang menjadi hak bangsa dan rakyat Indonesia.

Namun kini, justru disaat rezim-rezim yang dianggap otoriter telah tumbang, disaat terbukanya keran-keran demokrasi dan informasi, mahasiswa sebagai golongan terpelajar gagal mempertahankan kultur idealisme yang hampir selama 100 tahun dapat dijaga.

Kini mahasiswa terjebak dalam perpolitikan dan intelektual yang praktis. Semua serba praktis. Dengan segala teknologi dan kebebasan berpendapat, mahasiswa yang memang selama ini menjadi motor dalam mengkirtik kebijakan yang tidak berpihak pada kerakyatan, namun kini hanya menjadi penghibur ditengah jutaan kritik dari media dan politisi partai.

Selain itu, kemunduran kedaulatan mahasiswa juga didukung oleh kemapanan yang diberikan pada dan dinikmati oleh mahasiswa. Mahasiswa dimapankan oleh keadaan yang semakin canggih, cepat, dan serba praktis. Sekarang mahasiswa hanya disibukkan oleh SKS-SKS yang harus dikejar guna mencapai target kelulusan yang dipatokkan oleh pemerintah. Mahasiswa telah kehilangan identitasnya sebagai MAHAsiswa.

Ketika golongan terpelajar menjadi pegawai negeri ataupun birokrat, mereka telah kehilangan statusnya sebagai kaum terpelajar. Mereka telah merubah statusnya menjadi budak dari politik dan budak dari birokrat yang berafiliasi pada uang dan keuntungan. Oleh karena uang pula, para mahasiswa mengejar target lulus cepat dan bekerja pada instansi kapitalis birokrat, dan karena itulah mahasiswa mengalami masa yang sulit dalam perjuangan kebangsaan.

Melihat kondisi kemunduran mahasiswa, maka pantaslah bila kondisi Negara ini juga semakin mundur. Kondisi pembodohan terhadap mahasiswa adalah pembodohan terhadap Negara. Kemapanan dalam kehidupan mahasiswa adalah penumpulan daya kritis dan skeptis mahasiswa. Penumpulan daya pikir mahasiswalah yang membuat Negara ini semakin masuk kedalam jurang kehancuran.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa sebagai pemuda, sebagai penerus tongkat estafet dari masa ke masa golongan terpelajar, kita harus berani melawan kemapanan. Kita harus berani berteriak dan berkata tidak pada pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Memang bila kita kembali memikirkan arti martabat pemuda, tak salah jika kita menilik arti martabat pemuda versi Che Guevarra. “Tak  ada yang lebih bermartabat dari pemuda kecuali dua hal, berani bekerja melawan penindasan dan berlatih untuk melawan kemapanan.”


Reformasi tanpa Revolusi hanya seonggok tumpukan ilusi. 
Tiga belas tahun pasca Reformasi Indonesia masih menjadi Negara yang carut marut. Bagaimana tidak begitu, hingga rezim pemerintahan yang baru ini masyarakat masih saja merasakan bentuk lain dari penjajahan. Berpaku pada Harian Kompas tanggal 23 Mei 2011, 50% lebih perekonomian Indonesia dikuasai oleh pihak asing. Hal ini tentu saja berpengaruh pada masyarakat kecil yang gagal bersaing dengan para kapitalis asing dengan setumpuk dolar untuk membeli hati pemerintah.

Bila kita lihat, perekonomian yang sekarang ini carut marut adalah akibat dari kebijakan ekonomi yang diambil oleh rezim otoriter yang pernah berkuasa sebelum direformasikan oleh mahasiswa. Rezim pengguna kebijakan yang jauh berbeda dari pemerintahan Founding Father bangsa ini. Jika pemerintahan pertama di Indonesia tidak berpaku pada asing dalam menjalankan ekonomi dan kehidupannya, maka rezim pemberi hutang terbesar mengandalkan asing dalam pembangunan di Indonesia.

Akibat dari hutang yang membengkak berlipat gulipat itu, Indonesia kini harus menanggung beban APBN yang cukup besar guna pembayaran bunga dari hutang tersebut, itu pun belum termasuk hutangnya. Bahkan dalam jangka yang cukup panjang pun hutang masih harus dilakukan yang katanya guna menyejahterakan masyarakat.

Namun cukup banyak pula pemasukan, baik dari APBN maupun hutang luar negeri, yang justru masuk ke kantong pribadi maupun golongan. Kini banyak partai yang menggunakan kadernya yang berkuasa demi mendapatkan modal untuk pemilu selanjutnya dan terus begitu berulang-ulang. Akhirnya, ketika kita bicara perbaikan ekonomi, yang diperbaiki hanya angka-angka yang dihasilkan dari survei yang juga penuh kebohongan.

Pantas, banyak orang yang muak dengan kata perubahan. Kata-kata yang digembar-gemborkan di saat kampanye menjelang pemilu, dan berakhir setelah ada yang menang. Tak ada lagi penindak-lanjutan dari kata perubahan itu, hanya jadi isapan jempol belaka. Manusia telah berubah, demi politik praktisnya, rela membohongi manusia lainnya juga dirinya sendiri.

Melihat kondisi Negara sekarang, lengkap dengan pemerintah juga alat kelengkapannya, sulit bicara perubahan. Bicara perubahan yang dibawa aktivis 98 pun bisa dibilang memuakkan, karena hanya mampu menjatuhkan kekuasaan jendral tua pemimpin orba, bukan merontokkan kebiasaan buruk dan bodoh pemerintah. Sepertinya Reformasi memang telah gagal. Memang Roformasi butuh Revolusi. Dan Reformasi  tanpa Revolusi hanya seonggok tumpukan ilusi.


Berawal dari dibacakannya teks Proklamasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta, bangsa Indonesia menyuarakan kepada dunia akan kemerdekaannya. Kemerdekaan yang diraih setelah para pejuang pergerakan nasional, baik yang bersikap kooperatif maupun nonkooperatif, dengan berani menghadapi para penjajah demi keberhasilan merebut kedaulatan Indonesia. Namun kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pejuang pergerakan nasional belum dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Pada masa awal kemerdekaan, rakyat belum dapat menikmati euforia kemerdekaan karena kedatangan kembali belanda ke Nusantara untuk menjajah kembali bangsa ini. Pemerintah orde lama pimpinan Bung Karno juga memfokuskan diri dalam mempertahankan kedaulatan Negara yang terus digempur belanda. Fokus  dalam revolusi kemerdekaan dengan mengangkat senjata dan menjalin perjanjian-perjanjian demi mengusir belanda yang ingin kembali mengakuisi bangsa ini yang juga membuat ekonomi Negara dan rakyat kempat-kempot.

Berlanjut pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah lagi-lagi tidak focus pada bidang-bidang kerakyatan, seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Naiknya harga BBM dan Sembako juga dirasa sangat membebani rakyat.  Pemerintahan B.K saat itu juga terlihat lebih memperhatikan bidang politik dengan begitu maraknya pembubaran parpol dan panasnya suhu politik hingga meletusnya G30S pada tahun 1965.

Masih di kisaran tahun yang sama, “pembantaian” masal orang-orang komunis dan yang diduga komunis oleh militer dan beberapa ormas islam juga menguatkan bahwa kepemimpinan Founding Father memang belum mampu membawa kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.

Melanjutkan kehidupan Negara di zaman orde baru, kepemimpinan Soeharto mendapat dukungan bagi berbagai macam lapisan masyarakat. Kekuasaan Soeharto yang mengusung progam pembangunan berjangka yang menggerakan geliat pertanian dan industri di bumi Indonesia agar lebih bergairah.

Namun pada akhirnya, pembangunan hanya dijadikan kata sakti mandra guna untuk mengadem-ayemkan rakyat agar tetap tenang dan menuruti kemauan dan jalan yang ditunjukkan rezim. Proses korupsi dan kawan-kawannya telah menggerogoti lumbung kekayaan Negara, hingga akhirnya Negara meminjam dana talangan untuk menyelamatkan program pembangunan. Hasil daripada itu sendiri, berdampak langsung pada rakyat. Inflasi yang signifikan mampu membuat rakyat megap-megap untuk meneruskan hidupnya. Jargon “Yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah miskin” menjadi trendsetter kehidupan bermasyarakat.

Keadaan yang semakin darurat membuat Negara, melalui Soeharto terus menerus melakukan peminjaman yang puncaknya, saat terjadi krisis moneter di Asia Tenggara yang membuat masyarakat masih tidak dapat menikmati kemerdekaan negaranya. Penjarahan dan penyerangan kepada golongan tionghoa merajalela hingga membuat mahasiswa kembali turun ke jalan-jalan untuk menggulingkan Soeharto dari singgasana kursi presiden yang dipegangnya selama 32 tahun.

 Dan kini pada masa reformasi yang diwarnai 4 kali pergantian presiden, rakyat masih belum mendapatkan kemerdekaan yang sebagai mana diamanatkan oleh konstitusi. Pada rezim yang kini dipimpin oleh seorang purnawirawan militer (pula), rakyat hanya diberikan penjelasan tentang angka kemiskinan dan utang luar negeri yang semakin berkurang. Pemerintah juga mensosialisasikan bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan dengan cukup pesat. Namun bagi rakyat, semua itu belumlah cukup.

Kini, rakyat membutuhkan pendidikan, pengajaran dan ilmu pengetahuan. Rakyat tidak boleh terus dibodohi oleh ahli yang kerjanya hanya menjabarkan dan menderetkan angka-angka. Rakyat butuh lapangan pekerjaan yang dapat mendukung eksistensi kehidupannya, bukan hanya mendapatkan kontrak agar mati kemudian. Kini rakyat membutuhkan jaminan kesehatan, kehidupan, dan segala hal yang menuntut kemerdekaan yang 100%.

Janganlah kita anggap Negara ini sudah merdeka, bila rakyat masih saja terjajah dan tersisihkan dirumah sendiri. Bukan masalah siapa yang lebih kejam dalam menjajah. Bukan masalah belanda, inggris, ataupun jepang. Tapi siapapun dan apapun jenisnya, penjajah tetaplah penjajah. Termasuk pula golongan pribumi penjilat pantat pemerintah dan para koruptor, mereka juga dikategorikan sebagai penjajah spesies baru. Oleh karena itu, bila kita menginginkan kemerdekaan yang 100% layaknya yang dikonsepkan Tan Malaka, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah memerdekakan diri sendiri dari kebodohan-kebodohan milik penjajah.