Aditia Purnomo



“Tak  ada yang lebih bermartabat dari pemuda kecuali dua hal, berani bekerja melawan penindasan dan berlatih untuk melawan kemapanan.” 
Sudah sejak lama para golongan terpelajar menjadi poros perjuangan bangsa ini. Perjuangan demi memajukan bangsa yang pada awalnya diliputi banyak ketertinggalan. Perjuangan yang seluruh kegiatannya tulus dilakukan demi  memajukan bangsa. Dan golongan terpelajar bangsa inilah yang bergerak sebagai mortir guna memacu semangat untuk memajukan bangsa ini. Namun sayang, dewasa kini, golongan terpelajar telah kelunturan budaya yang menjatuhkan dirinya sendiri.

Bila melihat sejarah yang ada dibuku-buku sekolah, tertulis bahwa perjuangan pergerakan nasional, kemerdekaan, revolusi kemerdekaan, semuanya dipimpin oleh golongan terpelajar bumiputera. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, dan kawan-kawan mampu menjadi tokoh-tokoh yang menggerakkan momen-momen diatas.

Melangkah sedikit ke tahun 65an, soe hok gie dan kawan-kawan dari kami mampu menumbangkan rezim yang dianggap gagal dalam membangun bangsa terlebih lagi terjadinya kudeta G30S. Begitu  pula pada Reformasi 98, golongan terpelajar mampu menjaga keidealisannya dan terus memperjuangkan apa yang menjadi hak bangsa dan rakyat Indonesia.

Namun kini, justru disaat rezim-rezim yang dianggap otoriter telah tumbang, disaat terbukanya keran-keran demokrasi dan informasi, mahasiswa sebagai golongan terpelajar gagal mempertahankan kultur idealisme yang hampir selama 100 tahun dapat dijaga.

Kini mahasiswa terjebak dalam perpolitikan dan intelektual yang praktis. Semua serba praktis. Dengan segala teknologi dan kebebasan berpendapat, mahasiswa yang memang selama ini menjadi motor dalam mengkirtik kebijakan yang tidak berpihak pada kerakyatan, namun kini hanya menjadi penghibur ditengah jutaan kritik dari media dan politisi partai.

Selain itu, kemunduran kedaulatan mahasiswa juga didukung oleh kemapanan yang diberikan pada dan dinikmati oleh mahasiswa. Mahasiswa dimapankan oleh keadaan yang semakin canggih, cepat, dan serba praktis. Sekarang mahasiswa hanya disibukkan oleh SKS-SKS yang harus dikejar guna mencapai target kelulusan yang dipatokkan oleh pemerintah. Mahasiswa telah kehilangan identitasnya sebagai MAHAsiswa.

Ketika golongan terpelajar menjadi pegawai negeri ataupun birokrat, mereka telah kehilangan statusnya sebagai kaum terpelajar. Mereka telah merubah statusnya menjadi budak dari politik dan budak dari birokrat yang berafiliasi pada uang dan keuntungan. Oleh karena uang pula, para mahasiswa mengejar target lulus cepat dan bekerja pada instansi kapitalis birokrat, dan karena itulah mahasiswa mengalami masa yang sulit dalam perjuangan kebangsaan.

Melihat kondisi kemunduran mahasiswa, maka pantaslah bila kondisi Negara ini juga semakin mundur. Kondisi pembodohan terhadap mahasiswa adalah pembodohan terhadap Negara. Kemapanan dalam kehidupan mahasiswa adalah penumpulan daya kritis dan skeptis mahasiswa. Penumpulan daya pikir mahasiswalah yang membuat Negara ini semakin masuk kedalam jurang kehancuran.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa sebagai pemuda, sebagai penerus tongkat estafet dari masa ke masa golongan terpelajar, kita harus berani melawan kemapanan. Kita harus berani berteriak dan berkata tidak pada pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Memang bila kita kembali memikirkan arti martabat pemuda, tak salah jika kita menilik arti martabat pemuda versi Che Guevarra. “Tak  ada yang lebih bermartabat dari pemuda kecuali dua hal, berani bekerja melawan penindasan dan berlatih untuk melawan kemapanan.”


Reformasi tanpa Revolusi hanya seonggok tumpukan ilusi. 
Tiga belas tahun pasca Reformasi Indonesia masih menjadi Negara yang carut marut. Bagaimana tidak begitu, hingga rezim pemerintahan yang baru ini masyarakat masih saja merasakan bentuk lain dari penjajahan. Berpaku pada Harian Kompas tanggal 23 Mei 2011, 50% lebih perekonomian Indonesia dikuasai oleh pihak asing. Hal ini tentu saja berpengaruh pada masyarakat kecil yang gagal bersaing dengan para kapitalis asing dengan setumpuk dolar untuk membeli hati pemerintah.

Bila kita lihat, perekonomian yang sekarang ini carut marut adalah akibat dari kebijakan ekonomi yang diambil oleh rezim otoriter yang pernah berkuasa sebelum direformasikan oleh mahasiswa. Rezim pengguna kebijakan yang jauh berbeda dari pemerintahan Founding Father bangsa ini. Jika pemerintahan pertama di Indonesia tidak berpaku pada asing dalam menjalankan ekonomi dan kehidupannya, maka rezim pemberi hutang terbesar mengandalkan asing dalam pembangunan di Indonesia.

Akibat dari hutang yang membengkak berlipat gulipat itu, Indonesia kini harus menanggung beban APBN yang cukup besar guna pembayaran bunga dari hutang tersebut, itu pun belum termasuk hutangnya. Bahkan dalam jangka yang cukup panjang pun hutang masih harus dilakukan yang katanya guna menyejahterakan masyarakat.

Namun cukup banyak pula pemasukan, baik dari APBN maupun hutang luar negeri, yang justru masuk ke kantong pribadi maupun golongan. Kini banyak partai yang menggunakan kadernya yang berkuasa demi mendapatkan modal untuk pemilu selanjutnya dan terus begitu berulang-ulang. Akhirnya, ketika kita bicara perbaikan ekonomi, yang diperbaiki hanya angka-angka yang dihasilkan dari survei yang juga penuh kebohongan.

Pantas, banyak orang yang muak dengan kata perubahan. Kata-kata yang digembar-gemborkan di saat kampanye menjelang pemilu, dan berakhir setelah ada yang menang. Tak ada lagi penindak-lanjutan dari kata perubahan itu, hanya jadi isapan jempol belaka. Manusia telah berubah, demi politik praktisnya, rela membohongi manusia lainnya juga dirinya sendiri.

Melihat kondisi Negara sekarang, lengkap dengan pemerintah juga alat kelengkapannya, sulit bicara perubahan. Bicara perubahan yang dibawa aktivis 98 pun bisa dibilang memuakkan, karena hanya mampu menjatuhkan kekuasaan jendral tua pemimpin orba, bukan merontokkan kebiasaan buruk dan bodoh pemerintah. Sepertinya Reformasi memang telah gagal. Memang Roformasi butuh Revolusi. Dan Reformasi  tanpa Revolusi hanya seonggok tumpukan ilusi.


Berawal dari dibacakannya teks Proklamasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta, bangsa Indonesia menyuarakan kepada dunia akan kemerdekaannya. Kemerdekaan yang diraih setelah para pejuang pergerakan nasional, baik yang bersikap kooperatif maupun nonkooperatif, dengan berani menghadapi para penjajah demi keberhasilan merebut kedaulatan Indonesia. Namun kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pejuang pergerakan nasional belum dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Pada masa awal kemerdekaan, rakyat belum dapat menikmati euforia kemerdekaan karena kedatangan kembali belanda ke Nusantara untuk menjajah kembali bangsa ini. Pemerintah orde lama pimpinan Bung Karno juga memfokuskan diri dalam mempertahankan kedaulatan Negara yang terus digempur belanda. Fokus  dalam revolusi kemerdekaan dengan mengangkat senjata dan menjalin perjanjian-perjanjian demi mengusir belanda yang ingin kembali mengakuisi bangsa ini yang juga membuat ekonomi Negara dan rakyat kempat-kempot.

Berlanjut pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah lagi-lagi tidak focus pada bidang-bidang kerakyatan, seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Naiknya harga BBM dan Sembako juga dirasa sangat membebani rakyat.  Pemerintahan B.K saat itu juga terlihat lebih memperhatikan bidang politik dengan begitu maraknya pembubaran parpol dan panasnya suhu politik hingga meletusnya G30S pada tahun 1965.

Masih di kisaran tahun yang sama, “pembantaian” masal orang-orang komunis dan yang diduga komunis oleh militer dan beberapa ormas islam juga menguatkan bahwa kepemimpinan Founding Father memang belum mampu membawa kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.

Melanjutkan kehidupan Negara di zaman orde baru, kepemimpinan Soeharto mendapat dukungan bagi berbagai macam lapisan masyarakat. Kekuasaan Soeharto yang mengusung progam pembangunan berjangka yang menggerakan geliat pertanian dan industri di bumi Indonesia agar lebih bergairah.

Namun pada akhirnya, pembangunan hanya dijadikan kata sakti mandra guna untuk mengadem-ayemkan rakyat agar tetap tenang dan menuruti kemauan dan jalan yang ditunjukkan rezim. Proses korupsi dan kawan-kawannya telah menggerogoti lumbung kekayaan Negara, hingga akhirnya Negara meminjam dana talangan untuk menyelamatkan program pembangunan. Hasil daripada itu sendiri, berdampak langsung pada rakyat. Inflasi yang signifikan mampu membuat rakyat megap-megap untuk meneruskan hidupnya. Jargon “Yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah miskin” menjadi trendsetter kehidupan bermasyarakat.

Keadaan yang semakin darurat membuat Negara, melalui Soeharto terus menerus melakukan peminjaman yang puncaknya, saat terjadi krisis moneter di Asia Tenggara yang membuat masyarakat masih tidak dapat menikmati kemerdekaan negaranya. Penjarahan dan penyerangan kepada golongan tionghoa merajalela hingga membuat mahasiswa kembali turun ke jalan-jalan untuk menggulingkan Soeharto dari singgasana kursi presiden yang dipegangnya selama 32 tahun.

 Dan kini pada masa reformasi yang diwarnai 4 kali pergantian presiden, rakyat masih belum mendapatkan kemerdekaan yang sebagai mana diamanatkan oleh konstitusi. Pada rezim yang kini dipimpin oleh seorang purnawirawan militer (pula), rakyat hanya diberikan penjelasan tentang angka kemiskinan dan utang luar negeri yang semakin berkurang. Pemerintah juga mensosialisasikan bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan dengan cukup pesat. Namun bagi rakyat, semua itu belumlah cukup.

Kini, rakyat membutuhkan pendidikan, pengajaran dan ilmu pengetahuan. Rakyat tidak boleh terus dibodohi oleh ahli yang kerjanya hanya menjabarkan dan menderetkan angka-angka. Rakyat butuh lapangan pekerjaan yang dapat mendukung eksistensi kehidupannya, bukan hanya mendapatkan kontrak agar mati kemudian. Kini rakyat membutuhkan jaminan kesehatan, kehidupan, dan segala hal yang menuntut kemerdekaan yang 100%.

Janganlah kita anggap Negara ini sudah merdeka, bila rakyat masih saja terjajah dan tersisihkan dirumah sendiri. Bukan masalah siapa yang lebih kejam dalam menjajah. Bukan masalah belanda, inggris, ataupun jepang. Tapi siapapun dan apapun jenisnya, penjajah tetaplah penjajah. Termasuk pula golongan pribumi penjilat pantat pemerintah dan para koruptor, mereka juga dikategorikan sebagai penjajah spesies baru. Oleh karena itu, bila kita menginginkan kemerdekaan yang 100% layaknya yang dikonsepkan Tan Malaka, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah memerdekakan diri sendiri dari kebodohan-kebodohan milik penjajah.


Kemampuan seorang jendral tua bernama Soeharto memang tak perlu disangsikan lagi. Kemampuannya saat mengambil alih kekuasaan dalam perpolitikan Indonesia pasca insiden G30S mampu memukau banyak kalangan termasuk kaum intelegensia. Kemampuannya melakukan pembangunan secara berkala dibidang Industri dan pertanian membuat banyak rakyat yang jatuh cinta padanya. Dalam 32 tahun pemerintahannya, ia mampu mengisi perut rakyat agar tidak selalu kosong, dan memang karena hal itulah ia sangat dicintai.

Namun, kemampuannya yang terbaik adalah mampu membodohi dan membohongi rakyat selama 32 tahun rezimnya berkuasa. Kemampuan dalam menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi data dan memberikan informasi yang secara langsung membuat citra orba menjadi baik dimata masyarakat. Selain itu ia juga pandai dalam mengideologisasi rakyat dalam membuat sebuah kesepahaman umum bahwa pemerintahannya selalu benar.


Meskipun begitu, tidak semua rakyat mampu dibodohi sang jendral tua yang kini sudah mati itu. dalam proporsi kejatuhannya, jelas sekali perlawanan kaum intelegensia yang dulu membantunya untuk mendapatkan kekuasaan dalam penjatuhan dirinya dari singgasana kerajaan orba. Dengan semangatnya, para aktifis angkatan 98, menggembar-gemborkan semangat reformasi yang diakhiri pengunduran diri secara terbuka  oleh Soeharto. Dan memang penggerak perjuangan melawan orba dipimpin oleh mahasiswa dan sedikitpihak dari golongan yang berebut kekuasaan.

Dan kini, 13 tahun pasca reformasi, sebuah survey yang dilakukan oleh indobarometer, masih saja membuktikan pemikiran konvensional dari rakyat Indonesia dan juga menasbihkan kekuatan politik pembodohan orba yang sangat berhasil yang masih bertahan hingga sekarang. Survey itu sendiri memberikan laporan hasil penelitian yang menempatkan Soeharto sebagai presiden yang paling disukai masyarakat. 

Menanggapi hasil survey tersebut, cukup banyak pihak yang meragukan kredibilitas hasil survey tersebut dan menyatakan bahwa survey itu dilakukan atas dasar politis. Meski begitu, tidak sedikit pihak yang mendukung hasil survey tersebut. Dan sepertinya, bila kita melihat pemikiran masyarakat Indonesia kebanyakan, memang pantas kita berikan jempol kepada Soeharto yang mampu mempengaruhi pandangan lewat pembohongan publik yang sebegitu rupanya dan masih memiliki efeknya hingga sekarang.
20 Mei 1908, beberapa mahasiswa STOVIA yang dimotori oleh Raden Soetomo, membentuk sebuah perkumpulan yang hari jadinya digunakan sebagai penanda kebangkitan nasional bangsanya. Boedi Oetomo, perkumpulan yang dimotori oleh R. Soetomo ini dianggap sebagai organisasi modern pertama pribumi hindia dan mampu bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Meskipun dalam anggaran dasarnya, B.O lebih mengedepankan kemajuan bangsa jawa-madura.

Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menguatkan beberapa pandangan bahwa hari jadi B.O tidak pantas untuk dijadikan sebagai hari kebangkitan nasional. Selain itu, cukup banyak pihak yang beranggapan bahwa Sarekat Islam lebih dahulu keberadaanya dan lebih layak dinobatkan sebagai pelopor kebangkitan nasional.

Memang banyak situs sejarah yang mengungkapkan bahwa S.I berdiri pada tahun 1905 dibawah kendali Haji Samanhoedi yang pada awalnya dinamakan Sarekat Dagang Islam. Namun juga patut diketahui, bahwa oleh beberapa ahli, yang juga turut memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, seperti M. Hatta menuliskan sebuah artikel yang isinya menyatakan bahwa S.I didirikan oleh seorang Raden Mas asal blora, yaitu R.M. Tirto Adhi Soerjo.

Selain Hatta, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo juga menerangkan bahwa R.M. Tirto Adhi Soerjo adalah pendiri S.D.I dan pendiriannya kurang kebih sama dengan Revolusi Cina. Juga Mas Marco Kartodikromo yang menegaskan saat H. Samanhoedi membuat perhimpunan di solo, ia meminta bantuan R.M. Tirto Adhi Soerjo untuk mengurus perhimpunan itu.

Namun, keberadaan seorang Dr. D.A. Rinkes, yang juga merupakan Penasihat Urusan Pribumi Hindia Belanda, mampu menenggelamkan nama seorang Tirto Adhi Soerjo dikancah pergerakan nasional di Hindia. Selain mampu mematikan pergerakannya dengan cara membuang Tirto Adhi Soerjo ke Maluku, Rinkes juga mampu memanipulasi data-data yang membuat nama Tirto Adhi Soerjo hilang dari peta pergerakan nasional Indonesia.

Sungguh hal yang tragis, mengingat banyaknya jasa-jasa yang telah dilakukan oleh Tirto Adhi Soerjo seperti menjadi pribumi pertama yang memimpin pers di Indonesia, juga merupakan pribumi pertama yang memiliki dan memimipin harian di Indonesia dengan dana dari pribumi. Medan Priyayi, karya jurnalistik yang berupa harian miliknya juga dengan lantang menyuarakan bantuan bagi pribumi yang tertindas. Selain itu, ia juga merupakan orang yang berani dalam menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Ia juga memiliki peranan dalam perjalanan panjang B.O.

Mungkin terlalu banyak hal yang masih harus dijabarkan bila kita berbicara tentang Tirto Adhi Soerjo dan kebangkitan nasional di Indonesia. Namun bila kini kita berbicara peringatan hari kebangkitan nasional, jangan jadikan hal tersebut hanya sekedar peringatan rutin yang kehilangan maknanya. Jadikan hari kebangkitan nasional ini ajang untuk kembali membangkitkan bangsa yang tengah tertidur dalam perjalanannya, sama seperti perjuangan Tirto Adhi Soerjo dan tokoh-tokoh lainnya.

Kekeringan yang melanda kampung transmigran telah mencapai puncaknya. Puncak dimana orang-orang akhirnya memutuskan pergi dari kampung itu dan diawali oleh seorang kacamata. Kacamata pergi dan diikuti hampir semua orang yang diakhiri oleh kepergian si gendut yang meninggalkan tokoh kita sendiri di kampung itu.

Tokoh kita, seorang mahasiswa berotak cemerlang, yang juga seorang bekas seorang pejuang yang kemudian jadi bekas pemimpin gerombolan, memilih bertahan di kampung tersebut. Dengan sisa kekuatan, perbekalan, dan juga keyakinannya, ia mulai menggali sumur yang ada dengan harapan keluar mata airnya.

Seiring waktu berjalan, habisnya air dan makanan yang ada, juga dengan habisnya tenaganya, dia terkapar di kampung itu. Beruntung ada petugas transmigrasi yang kebetulan menolong dan membawanya membawanya ke rumah sakit.

Merasa ia tak sakit, tokoh kita tak mau lagi dirawat disana. Denagn tekadnya, ia meneruskan perjalanan yang tak tentu arahnya. Di sebuah perkampungan aneh, ia bertemu dengan si janggut yang juga sama bekas pemimpin gerombolan. Akhirnya kedua orang aneh itu bersahabat.

Setelah mata air yang ada di perkampungan itu tak lagi berair, mereka memutuskan untuk pergi ke tempat kawan lama tokoh kita di kota, si gendut. Gendut telah kaya raya dengan profesi barunya sebagai penyelundup.

Namun rupanya, si gendut telah mati di tembak Interpol di laut. Dan semua hartanya diberikan pada tokoh kita. Dengan harta yang ada, ia membangun perkampungan aneh untuk menjadi tempat yang bias ditinggali lagi. Namun rupanya, hujan yang mulai membasahi bumi, menggantikan kemarau yang telah lama dan mulai di sahabati tokoh kita justru membawa bencana. Hujan yang turun membuat longsor dan hancurnya kembali pemukiman yang tengah dibangunnya.

Novel yang dibumbui dengan berbagai pertarungan batin, khas penulis membuat buku ini semakin menarik dibaca. Dengan berbagai konflik, termasuk percintaan mampu membawa kita kepada dunia dalam tulisan itu sendiri.

Pengarang: Iwan Simatuoang
Penerbit: Gunung Agung

Tahun: 1972




-dia hampir mati! kau tak lihat dia, mukanya sangat pucat! bentak laki-laki berkumis tipis itu.

-maaf pak, tapi ini sudah prosedur, saya hanya menjalankan tugas, sekali lagi maaf.

-apa kau bilang?! prosedur! orang sakit mana yang butuh prosedur? dia butuh perawatan!

-tapi saya…

brak….!
ucapannya terputus karena gebrakan tangan sang laki-laki menghancurkan meja resepsionis rumah sakit. dengan tatapan tajam laki-laki menatap suster cantik yang dirasanya tak punya otak itu.

-bangsat! dia sekarat! teriakannya menggelegar memenuhi seluruh ruangan.

****

hari cerah, jalanan samping istana begitu ramai. masyarakat ibukota berbiasa sibuk dengan segala hakekatnya. Pedagang buah dengan timbangan rusaknya, buruh bergerombol sambil santap siang di warung nasi, roda besi berlalu lalang dengan meyemprotkan asap hitam kelangit biru, dan tokoh kita diseberang istana berdiri termangu menonton awan yang sedang berkejaran.

telah dua jam ia berdiri tanpa bergeser semili pun. tanpa menghiraukan besi bergerak juga lalu lalang tulang yang dibungkus kulit. sementara ia menyibukkan dirinya, di istana tengah berlangsung sidang paripurna.. sidang berbahas tentang konspirasi menjatuhkan kerajaan, dimana indikatornya banyak kaum inteligensia yang turun ke jalan untuk melancarkan aksi demi menjatuhkan raja.

mendengar penjelasan menteri-menterinya tentang konspirasi, raja murka. ia menitahkan algojonya untuk memberi serangan pada para penentangnya dan semua setuju, sidang dilanjutkan. raja bertanya pada perdana menteri.

-hei perdam, bagaimana keadaan rakyatku sekarang?
menteri tambun yang sedari tadi berkantuk diri langsung berdiri.

-yang mulia raja. kini rakyat tengah merasakan hasil dari pembangunan kita. barang-barang yang kita impor dari negeri adidaya telah memberi efek yang luar biasa bagi kerajaan kita. pendapatan negeri bertambah, negara adidaya pun semakin berani berivestasi di kerajaan ini yang mulia.

mendengar penyataan perdam-nya, raja pun tersenyum.

-baiklah karena tidak adalagi yang mesti dibahas, mari kita bersantap siang dahulu sebelum kita bubar.



Sebelum revolusi, ia calon rahib. Selama calon revolusi, ia komandan kompi. Di akhir revolusi, ia algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Setelah revolusi, ia masuk rumah sakit jiwa. Inilah kalimat pertama yang menggambarkan masa lalu tokoh utama yang kemudian disebut tokoh kita. Seorang gelandangan dengan segala pengalaman hidupnya.

Cerita bermula saat tokoh kita bertemu dengan seorang gadis, wanita kecil bernama fifi. Seorang calon gelandangan di tepat tokoh kita biasa bermalam. Fifi punya masa lalu yang buruk. Desanya diserang oleh kawanan rampok. Keluarganya mati. Ia diperkosa. Hidupnya yang masih belumlah lama itu telah dipenuhi beban yang membuatnya menjadi gelandangan dibawah asuhan Maria.

Maria sendiri, seorang gelandangan yang dituakan oleh gelandangan lainnya. Ia mempunyai sejarah yang tak kalah buruknya dari fifi. Ia yang ingin menjadi juru rawat ini, harus merelakan cita-citanya karena ia tak mampu melihat darah. Akhirnya ia bekerja menjadi seorang pembantu bagi seorang pastor katolik. Namun naas, ia diperkosa seseorang dari belakang, tak tahu siapa pelakunya. Tak berapa lama kemudian, sang pastor mati gantung diri. Tak kuat melihatnya, ia pergi melarikan diri hingga akhirnya ia menjadi gelandangan yang berprofesi sebagai pelacur.

Karena permintaan tokoh kita, maria, meski sebelumnya enggan, pada akhirnya bersedia menampung fifi di tempatnya. Fifi sendiri, yang secara sadar ataupun tidak, telah jatuh hati pada tokoh kita. Sedang maria sendiri, yang telah lama mengenal tokoh kita pun jatuh hati padanya. Dari sinilah konflik, cinta segitiga dimulai.

Dengan cara yang mengejutkan, tiba-tiba fifi hilang. Lenyap tak berbekas. Tokoh kita yang khawatir, dibantu maria dan gelandangan lainnya kelimpungan mencarinya. Bahkan pak centeng, jagoan daari pemukiman gelandangan, yang terkenal dalam hal ini pun gagal.

Pusing dan dalam tekanan batin, tokoh kita, yang juga secara sadar atau pun tidak, mulai menyadari bahwa ia juga jatuh hati pada fifi. Dan tak berapa lama kemudian ia menghilang, sama seperti fifi, lenyap tanpa jejak.

Maria yang juga khawatir, terus mencari dan meminta pak centeng untuk mencari mereka berdua. Keadaan yang juga mengharuskan pihak kepolisian dan militer dimana tokoh kita bernaung dulu, ikut membantu proses pencarian mereka berdua. Tapi tetap saja, hasilnya nihil. Dalam keadaan yang tak pasti, maria ikut menghilang.

Novel yang mengajak kita untuk berfilsafat ini menyajikan konflik yang sederhana namun dalam. Novel ini sendiri telah diapresiasi oleh banyak penghargaan, dan novel ini begitu layak untuk dibaca.

penulis: Iwan Simatupang
penerbit: CV Haji Masagung 
tahun: 1968


Pertempuran batin menjadi topik utama yang tersaji dalam novel ini. Dengan mengunakan alur maju-mundur, penulis mampu menampilkan sajian hangat dan menarik dalam novel ini. Dalam beberapa bagian dalam novel ini, penulis berusaha mengajak pembaca untuk berfilsafat dengan persoalan yang dimunculkan oleh tokoh-tokohnya.

Cerita dimulai dengan permunculan seorang bekas pelukis dengan keanehan tingkahnya. Tekanan yang muncul ketika istrinya mati membuat sang bekas pelukis  kehilangan arah. Istri yang dikawininya secara tak sengaja setelah ditibannya dari langit. Kematian sang istri membuatnya dianggap gila oleh penduduk

Cerita berlanjut dengan kehadiran seorang opseter pekuburan tempat istrinya dimakamkan. Sang opseter bermaksud untuk meminta sang bekas pelukis untuk mengapuri tembok pekuburan. Dengan berbagai macam pikiran terselubung, kedua manusia itu, sang opseter dan bekas pelukis menyetujui perjanjian untuk pengapuran.

Dengan menggunakan alur maju mundur, penulis membawa kita kepada ingatan masa lalu sang opseter, dimana ia adalah seorang bekas mahasiswa filsafat yang dan pewaris tunggal sebuah perusahaan besar. Di bagian ini juga penulis menceritakan pilihan sang bekas mahasiswa filsafat memilih untuk menjadi opseter pekuburan.

Dibagian lain penulis mencoba mengajak kita kembali pada masa lalu sang bekas pelukis yang menjadi terkenal dan disegani banyak pecinta seni. Sampai pada kunjungan yang dilakukan penikmat seni mancanegara yang membuat para pamong praja kewalahan.

Dengan kegilaan penulis dalam membuat konflik, baik umum maupun batin, juga dengan segala kekacauan yang dibuat sang bekas pelukis dan sang opseter, novel bergenre komedi ini sangat menarik untuk dibaca.

penulis: Iwan SImatupang
penerbit: pustaka Antara 1979
tebal: 128 muka surat


2 Mei 1889, di Yogyakarta lahirlah seorang anak yang dimasa depannya tampil sebagai salah satu pejuang garda depan dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya. Dia adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Seorang tokoh yang berusaha membangun peradaban bangsa melalui pendidikan dengan Tamansiswa-nya. Berkat jasa-jasanya memajukan pendidikan bangsa, oleh pemerintah orde lama, ia diangkat sebagai bapak pendidikan nasional dan tanggal lahirnya diperingati sebagai hari pendidikan nasional.

Kini, 2 Mei 2011, seratus dua puluh dua tahun setelah kelahiraannya, bangsa ini telah mencapai kemerdekaan. pendidikan pun berkembang seiring dengan perkembangan iptek. Internet, buku-buku, perpustakaan, juga sekolah bertebaran dimana-mana. Akses terhadap pendidikan pun semakin mudah didapatkan. Mungkin itulah memang yang diharapkan olehnya.

Namun akses yang mudah itu hanya mampu didapatkan oleh orang berpunya. Sekolah yang berkualitas hanyalah sekolah-sekolah swasta yang bertarif luar biasa mahalnya. Sedang sekolah-sekolah milik pemerintah hanya mampu terengah-engah ketika harus mengejar ketertinggalannya. Hal tersebut dirasa tragis dimana, justru anak bangsa kitalah yang tertinggal di rumah kita sendiri.

Jangankan fasilitas, bobot kurikulum sekolah pemerintah hanya mampu mengandalkan “Ujian Nasilonal” sebagai patokan standar bobot kurikulum Indonesia. Sekali lagi, tragis, karena patokan standar pendidikan kita hanyalah sebuah borok yang ditutupi jas-jas luar negeri agar terlihat indah. Bagaimana tidak, standar pendidikan kita yang terlalu dibangga-banggakan karena selalu naiknya angka kelulusan tidak lain hanyalah sebuah kepalsuan. UN yang digembar-gemborkan itu telah kehilangan tajinya dengan selalu terjadinya kebocoran soal dari tahun ke tahun. Sungguh ironi dibalik ironi.

Jika kita menelisik dalam-dalam, apa arti sesungguhnya pendidikan bagi Indonesia?


Kita lihat sejarah perjuangan bangsa ini. Pendidikan adalah salah satu perjuangan di garda terdepan dalam membangun bangsa ini. Sejarah yang digoreskan oleh kaum terpelajar bumiputera telah mampu memerdekakan negeri ini. Masa revolusi kemerdekaan, para kaum inteligensia juga turut ambil bagian dalam mempertahankan kemerdekaan. Kaum inteligensia pun mampu menumbangkan rezim-rezim diktatorial Indonesia. Dan mereka melakukan semuanya semata-mata hanya untuk membangun Negara ini.

Bandingkan dengan kaum inteligensia masa kini. Mereka memang mendapatkan pengajaran dan pengetahuan yang jauh lebih baik. Tetapi mereka dididik hanya untuk menjadi alat dari industri yang mengedepankan laba bagi perusahaan yang dibelanya. Kini kaum inteligensia dididik untuk melahap saudaranya sendiri guna mempertahankan pragmatisme mereka. Kini kaum inteligensia dididik guna menghancurkan Indonesia.

Seandainya jutaan anak bangsa yang harus mencari nafkah guna mempertahankan eksistensi kehidupannya mampu dilindungi oleh pemerintah, mereka pasti dapat bersekolah. Seandainya biaya pendidikan tidak terus-terusan melambung tinggi, pasti dapat bersekolah. Seandainya pendidikan terhadap anak bangsa mampu terlaksana, niscaya negeri ini pun dapat mempertahankan eksistensinya bukan hanya dari hutang yang terus dipupuki pemerintah.

Oleh karena itu, mari kita jadikan hari pendidikan nasional ini sebagai momentum guna memperbaiki kualitas pendidikan kita. Kita jadikan momentum guna melawan kesewenang-wenangan pemerintah yang terus menambah angka biaya pendidikan anak bangsa. Kita jadikan momentum guna membenahi bangsa yang tengah terpuruk ini.