Aditia Purnomo


Maraknya isu NII belakangan ini terlalu dilebih-lebihkan. Isu brain wash dan penculikan tehadap mahasiswa yang dilakukan terlalu ditanggapi wah dan terkesan memperlihatkan kepanikan pemerintah sendiri. Padahal bila kita lihat akar permunculannya, isu NII sudahlah terlalu lampau untuk kita bicarakan.

Konteks yang kini dibicarakan seharusnya sudah selesai pada dekade silam. Dekade pemerintahan lalu, yang telah menghabisi Kartosuwiryo dan membuat kesepakatan dengan pengikutnya. Kini, konteks yang mestinya dibicarakan adalah pembenahan birokrasi di Indonesia agar terciptanya kesejahteraan masyarakat yang merupakan cita-cita Negara.

Program pengalihan isu yang kini menjadi trend di Indonesia juga menjadi salah satu acuan membesarnya isu tersebut. Hal itu pula yang menyebabkan begitu banyaknya kasus besar terbengkalai dan terkesan harus dihapuskan dari pikiran masyarakat. Hal tersebut dapat membuat kita terjebak pada hal-hal baru tanpa mengindahkan kasus sebelumnya.

Meskipun begitu, isu NII bukannya harus kita pandang sebelah mata. Kita harus mewaspadai gerakan yang telah merubah haluannya ini. Seperti apa pun bentuknya, gerakan yang mengancam kedaulatan NKRI harus dimusnahkan. Kekecewaan pada pemerintah bukanlah alasan untuk membentuk gerakan separatis yang  ingin membentuk kemerdekaan baru. Seharusnya, kita bersama semua elemen negeri ini bahu membahu untuk menciptakan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Diterbitkan di Kompas Kampus edisi Selasa, 7 Juni, 2011


Perjalanan Negara ini tak pernah lepas dari perjaanan para kuli tinta yang setia menemani perjuangan para pejuang bangsa yang dengan gagah berani di medan pertempuran fisik dan mental demi kemerdekaan Indonesia. Disamping itu, tidak sedikit pegiat jurnalistik yang juga menjadi pejuang bangsa, salah satunya adalah Raden Mas Tirto Adi Suryo.

R.M Tirto Adi Suryo sebagai seorang jurnalis adalah orang yang kritis terhadap perjuangan bangsa demi menuju kemerdekaannya. Ia juga mampu menjadi pendorong bagi para pemuda Indonesia untuk bangkit melawan bangsa asing yang terus aja menggerus kekayaan alam Nusantara. Lewat pena ia mampu menusuk para penjilat asing dengan begitu tajamnya.

Namun karena kesadaran akan penjajahan, keberanian dan kenekatannya yang melebihi orang-orang sebangsanya, ia mampu menjadi orang yang masuk dalam daftar hitam bagi pemerintah Hindia Belanda. Ia juga menjadi saah satu awak jurnalistik yang mendapatkan pengekangan dalam kegiatan jurnalistiknya.

Pada tahun 1908, N.V Medan Prijaji, harian yang dikelolanya,menuliskan berita tentang konspirasi aspiran kontrolir Pirworejo, A. Simon yang menyalahgunakan wewenangnya dalam pemilihan lurah desa Bapangan. Tirto yang dalam tulisannya menyebut A. Simon sebagai “snoy aap” (monyet ingusan) dituduh meakukan pencemaran nama baik oleh yang bersangkutan.

Meskipun dalam proses persidangannya, Tirto tidak mengalami penyiksaan sebagaimana yang biasa terjadi pada pribumi biasa, ia tetap mendapatkan hukuman pengasingan. Hukuman ini diberikan setelah penundaan yang cukup lama akbibat campur tangan Gubernur Jendral Van Heustz. Namun setelah ia digantikan oleh Gubernur Jendral Idenburg, proses hukum tersebut dilanjutkan kembali.

Hukuman pengasingan ke daerah Teluk Betung sendiri bukan hanya mempengaruhi kehidupan Tirto, namun juga N.V Medan Prijaji yang dikelolanya. Kematian yang dialami Medan Prijaji juga merupakam hasil dari permainan pemerintah Hindia belanda yang memang sejak awal sudah menandai Tirto sebagai ancaman.

Tirto yang menjadi salah satu perintis pers pribumi mampu menjadi ancaman bagi pemerinah colonial Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya yang mampu mengajak masyarakat bangkit melawan pemerintah Hindia Belanda. Dan hal tersebut dianggap sebagai sebuah kesalahan seorang Tirto terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Meskipun pada masa tersebut belum ada hokum apalagi perundang-undangan yang jelas tentang pers, namun kehadiran pers sebagai sarana pencerdas bangsa telah membuat masyarakat bersimpati kepada kasus tersebut.

Masyarakat pribumi yang pada saat itu mulai menyenangi kehadiran beberapa terbitan pers banyak menaruh hormat kepada Tirto, walaupun ia memang terbukti membuat pernyataan yang berisi ejekan terhadap A. Simon.

Penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan pribumi, dr. D.A Rinkes adalah seorang yang paling berpengaruh dalam pemberian hukuman terhadap Tirto. Ia yang memiliki wewenang dalam penanganan kasus pribumi menganggap Tirto melakukan propaganda politik yang menentang pemerintah yang pada saat itu berkuasa.

Namun bagi kita sebagai pribumi, tindakan yang dilakukan oleh Tirto beserta murid setianya, Mas Marco Kartodikromo yang juga aktif di Sarekat Islam adalah sebuah perjuangan yang juga menentukan nasib bangsa. Mereka memperjuangkan kebebasan dalam berorganisasi dan berpropaganda bagi pribumi.

Kini perjuangan mereka telah mencapai tujuannya. Meskipun masih seringkali dikekang dan ditunggangi, pers Indonesia telah memiliki landasan hukum yang jelas, baik dalam UUD 1945 maupun UU no 40 tahun 1999. Kini masyarakat pun mampu menyaksikan keberadaan media sebagai pengontrol jalannya pemeritahan di Indonesia.

Namun kebebasan yang d\mampu kita rasakan kini harus terus kita jaga. Jangan sampai oknum-oknum pemerintah, bangsa asing, dan masyarakat yang tak bertanggung jawab merebut kembali kebebasan yang telaj diraih pers kita. Jangan sampai orang-orang bodoh yang tidak paham tentang kebebaan pers membahayakan kebebasan pers dan media nasional.

Perkembangan budaya populer yang begitu merebak dewasa kini makin tak terbendung. Mulai dari masalah gaya hidup, fashion, sampai kehadiran sepeda mahal jenis fixie makin menasbihkan kehadiran budaya populer. Kemajuan teknologi yang tidak sedang menunjukan tanda-tanda kemacetan juga menjadi faktor penting dalam perkembangan budaya populer. Bagaimana tidak, melalui internet, tv, radio, dan banyak media lainnya, budaya populer menyebar bak laba-laba melebarkan jaringnya.

Selain itu, kemajuan teknologi juga menyajikan segala bentuk kepraktisan yang disukai masyarakat sehingga menjadi “klop” dengan budaya populer. Hal tersebut menyebabkan begitu banyak dampak terhadap budaya lokal. Kini budaya lokal yang terkesan tradisional  dan “ribet” semakin kurang digemari para pelajar karena kehadiran “budaya” yang lebih praktis.

Namun salah satu unsur bangsa yang paling terpengaruhi adalah bahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan resmi di Indonesia semakin terkucilkan dengan kehadiran beberapa bahasa baru yang hadir dan setia menemani masyarakat. Bahasa alay dan gaul adalah contohnya.  Seiring perjalanan karirnya, kedua bahasa itu perlahan tapi pasti mulai menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan masyarakat.

Selain itu, pengharusan penguasaan bahasa-bahasa asing oleh pendidikan sedikit banyak ikut berpengaruh. Memang penguasaan terhadap bahasa-bahasa asing penting dalam menghadapi persaingan di dunia internasional. Namun, kecenderungan “pilih kasih” terhadap bahasa asing yang terkesan lebih diutamakan semakin membuat bahasa Indonesia tertatih dalam percaturannya.

Tragis, jika kita mengingat perjuangan para pemuda yang mendeklarasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan namun pemuda sekarang seakan mengesampingkannya. Juga tragis melihat hasil ujian nasional bahasa Indonesia yang masih dibawah hasil dari bahasa inggris yang sejatinya bukan bahasa ibu kita.


Sumpah pemuda mempunyai makna historis yang mendalam sebagai semangat nasionalisme yang berkobar bagaikan api. Semangat yang tidak terbatas milik para pemuda tetapi milik semua masyarakat Indonesia. Delapan puluh tiga tahun silam, api semangat yang membara itu telah memekikkan kemerdekaan dan kesatuan keseluruh penjuru Nusantara. Walau berada dalam tekanan para penjajah, para pemuda tetap berjuang memersatukan diri pada 28 Oktober 1928,dan sejarah mencatatnya sebagai hari lahirnya Sumpah Pemuda.



Sumpah itu dipelopori pemuda karena memang naluri muda yang selayaknya menjadi pelopor. Pelopor ke arah perubahan dan pelopor ke arah perbaikan. Hal ini dimungkinkan karena idealisme yang dimiliki pemuda. Idealisme yang dilandasi kesediaan berjuang tanpa pamrih, bahkan bilamana perlu berkorban untuk idealismenya.

Semangat untuk menjadi satu “Indonesia” tentu dilandasi kesadaran bahwa pemuda lebih mengedepankan semangat kebangsaan dan persatuan mengalahkan semangat kesukuan (primordial). Persatuan saat itu lebih penting dari pada sikap-sikap primordialis. Faham ke-Indonesia-an itulah yang telah menjadikan kita semua bersatu sebagai bangsa yang plural. Semangat dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan inilah yang kiranya harus selalu kita pupuk agar pluralism yang dimiliki bangsa ini tidak terpecah belah.

Namun sayang, sungguh ironis, yang terjadi sekarang ini sumpah pemuda tinggal sejarah manis yang selalu diperingati dengan ceremony-ceremony sebagai rutinitas tanpa bekas. Sementara substansi yang terkandung dalam sumpah pemuda sendiri terlupakan. 28 Oktober hanya dijadikan romantisme sejarah yang dikenang belaka. Padahal dibalik itu terdapat makna mendalam, yaitu komitmen bagi semua generasi muda untuk siap berbakti dan berbuat yang terbaik bagi bangsa.