Aditia Purnomo





Mahasiswa adalah seorang intelektual muda yang masih harus mengasah keintelekualannya. Karena itu, dalam proses untuk mengasah intelektualnya, mahasiswa melakukan kegiatan-kegiatan yang amat beragam. Mulai dari kajian-kajian dan diskusi-diskusi yang mampu mengasah wacana mahasiswa. Hingga kegiatan yang erkaitan dengan minat dan bakat seperti olahraga dan pecinta alam.

Dalam hal ini, mahasiswa didukung oleh pihak universitas. Hal itu terbuktikan dengan keberadaan gedung pusat kegiatan mahasiswa (PKM) yang diharapkan mampu menjadi tempat dimana mahasiswa menumpahkan berebagai ide segar dan keratifitasnya. Namun sepertinya mahasiswa salah mentafsirkan kegunaan gedung PKM.

Faktanya gedung PKM hanya dijadikan tempat berkumpul saat mahasiswa menunaikan ibadah solat ataupun main futsal. Meski paling tidak ada acara-acara yang diadakan di aula, tapi itu kebanyakan bersifat insidental dan lebih berhaluan kepada proyek kegiatan. Kalaupun masih diisi kegiatan mahasiswa, tentunya itu adalah bagian dari aktifitas unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang memang menjadi penghuni tetap gedung tersebut.

Padahal, jika dipahami secara esensial, gedung PKM adalah tempat dimana mahasiswa harusnya mewadahi berbagai kegiatan ekstra –akademik. Namun pada kenyataannya, kebanyakan mahasiswa hanya mengetahui bahwa gedung PKM adalah tempat untuk acara seminar, menunaikan solat, tempat main futsal, bahkan yang leih tragis, sekedar tempat parkir. 

Mungkin ada beberapa landasan mengapa mereka berpendapat sebagaimana telah disebutkan tadi. Entah karena mereka hanya mengetahui bahwa gedung PKM adalah tempat bernaung UKM, lalu mereka beranggapan bahwa gedung tersebut adalah tempat yang terlebih eksklusif yntuk UKM.

Atau mungkin, memang mahasiswa tidak memahami esensi dari gedung PKM. Bila kita mau lebih sadis lagi,, bisa saja kegiatan mahasiswa yang memang semakin menuju kematian. Jikalau yang terakhir adalah alasan yang paling sesuai dengan kondisi kampus sekarang, maka kita tinggal menunggu waktu saja jika akhirnya mahasiswa kehilangan intelektualnya.

Berawal dari tragedi keracunan massal tempe bongkrek, Desa Dukuh Paruk kehilangan gairahnya akibat kematian sang ronggeng, Surti (Happy Salma). Srintil (Prisia Nasution), merasa bertanggung jawab karena perbuatan orang tuanya yang menyebabkan tragedi tersebut. Ia yang sejak kecil gemar menari juga diyakini memiliki roh indang, sebutan warga desa untuk menyebut roh ronggeng.

Hal tersebut membuat Srintil bertekad untuk menjadi ronggeng guna menghidupkan kembali kebudayaan Dukuh Paruk dan mengembalikan nama baik orang tuanya. Selain itu, menjadi ronggeng adalah wujud darma baktinya untuk Dukuh Paruk yang dilindungi oleh arwah Ki Secamenggala.

Meski begitu, Rasus (Nyoman Oka Antara) teman sepermainan Srintil yang sudah lama mencintainya, tak ingin Srintil menjadi Ronggeng. Karena dengan menjadi ronggeng, ia tak hanya dituntut menari, tapi juga harus melayani lelaki desa.

Selain itu, kepercayaan warga Dukuh Paruk juga mempersulit impiannya. Warga desa memiliki kepercayaan yang kuat bahwa seorang penari ronggeng sejati bukanlah hasil dari pengajaran, melainkan juga mendapat wangsit yang berasal dari Ki Secamenggala. Meskipun akhirnya takdir lebih berkuasa menjadikan Srintil sebagai ronggeng.

Pada waktu yang telah ditentukan, digelarlah upacara penobatan Srintil sebagai ronggeng. Selain harus menari, dalam upacara itu dia juga harus melewati ritual “bukak klambu”.  Dalam ritual ini keperawanan Srintil dilelang dan akan diserahkan kepada penawar tertinggi. Rasus yang tidak kuat menahan rasa cemburu akibat hal tersebut akhirnya memilih pegi dari desa dan menjadi tentara.

Menampilkan kisah cinta antara Rasus dan Srintil sebagai sentral cerita, sutradara Ifa Isfansyah berhasil menginterpretasikan filmnya dengan baik. Tidak terjerumus menjadi adegan-adegan seks yang murahan seperti yang pernah diinterpretasikan film Darah dan Mahkota Ronggeng karya Yazman Yazid pada tahun 1983 yang juga diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Ifa juga berhasil menampilkan suasana politik tahun 1965 dengan baik. Ia menampilkan kehadiran PKI di Dukuh Paruk lewat sosok Bakar (Lukman Sardi), seorang anggota PKI, dan warna merah pada beberapa properti (caping, selendang, ikat kepala, spanduk). Namun, tidak sekali pun kata “PKI” terucap, bahkan oleh para tentara yang melakukan “pembersihan” di Dukuh Paruk itu.

Begitu juga dengan propaganda yang dilakukan sesuai dengan pola yang biasa dilakukan partai “merah” tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan lewat adegan dimana warga Dukuh Paruk yang tidak memahami alasan mereka ditahan sebagaimana dampak dari tragedi pada tahun 1965.

Selain itu sinematografi, properti, naskah dan chemistry antar pemain membuat film ini layak untuk diapresiasi. Secara keseluruhan, film produksi Salto Film Company ini mampu memberikan suguhan yang berbeda lewat nilai-nilai kebudayaan yang begitu melekat dan membawa suasana baru di perfilman Indonesia yang mulai terbiasa dengan film berbau seks belaka.

Sutradara: Ifa Isfansyah
Skenario: Salman Aristo, Ifa Isfansyah, Shanty Harmayn
Pemain: Oka Antara, Prisia Nasution, Landung Simatupang, Slamet
Rahardjo, dll.

Produksi: Salto Films