Aditia Purnomo



Akhirnya Undang-undang Pengadaan Lahan telah disahkan. UU yang dibuat untuk mempermudah proses pembangunan nasional ini berdampak sistemik bagi masyarat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat harus menerima penggusuran apabila pemerintah membutuhkan tanah untuk pembangunan.

Pembuatan UU ini memang diperuntukan untuk sebuah masterplan pembangunan Indonesia yang kerap terkendala malasalah ketersediaan lahan. Namun, bagi masyarakat, UU tersebut sama saja sebuah peraturan yang dapat membunuh mata pencaharian juga kenangan yang dimiliki masyarakat terhadap keberadaan tempat tinggalnya.


Bagi masyarakat, permasalahan yang kerap terjadi dalam pembebasan lahan adalah urusan harga. Pemerintah maupun swasta yang ingin melakukan pembebasan lahan terkadang tidak berpikir secara rasional dalam menentukan harga tanah yang menjadi milik masyarakat. Belum lagi, terkadang lahan yang dibebaskan berada di tempat strategi yang tentunya memiliki harga yang lebih mahal dibanding tanah di tempat terpencil.

Masalah tersebut kerap memaksa masyarakat tidak mau melepas tanahnya. Selain karena harga tak cocok, pengembang yang ingin membebaskan lahan juga kerap melakukan cara-cara licik guna membuat sang pemilik melepas tanahnya. Hal tersebut jelas membuat sebagian masyarakat resah, karena tekanan yang dilakukan terhadap mereka juga kerap berdampak dalam urusan ekonomi mereka.

Hal tersebut juga dialami Bambang Hartadi, warga kota Depok. Menurutnya, pihak pengembang yang ingin membebaskan lahan yang dimilikinya kerap melakukan tekanan yang membuat penghuni kamar Kos yang ia sewakan tidak betah dan memilih untuk pindah. Jelas saja itu merupakan sebuah tindakan yang amat merugikannya secara ekonomi.

Belum lagi keuntungan yang diraih pengembang lewat UU tersebut. Kini, mereka dilegalkan untuk melakukan pembebasan lahan dengan senjata UU tersebut agar dapat membungkam masyarakat yang ingin melawan. Akhirnya rakyat kembali dirugikan akibat senjata baru bagi para pengembang.

Keuntungan tersebut akhirnya dilarikan dalam kegiatan bisnis besar ketimbang memihak rakyat kecil. Bisnis dengan alibi masterplan pembangunan nasional yang akhirnya membuat gedung-gedung mewah dengan fasilitas eksklusif yang hanya dapat dinikmati segolongan pihak saja. Pembangunan nasional hanya menjadi alat untuk pembangunan bisnis kapitalisasi ekonomi yang membuat beberapa pihak meraup keuntungan dari kesengsaraan masyarakat yang kehilangan tanahnya.

Pada akhirnya, pemerintah tetap saja melegalkan hukum yang memihak pihak kapital saja. Masyarakat dengan segala keterbatasannya tentu saja tidak akan mampu melawan pemeritah yang memiliki aparatur lengkap. Dan akhirnya, pembangunan modal kapital berkedok pembangunan nasional akan terus menghabisi sendi-sendi perumahan rakyat hingga pelosok desa.


Beberapa waktu lalu, terjadi peristiwa yang cukup mencengangkan rakyat Indonesia. Tepat di depan Istana Presiden, terjadi sebuah aksi bakar diri yang dilakukan oleh seseorang yang kemudia dikenali sebagai Sondang Hutagalung. Mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) ini kemudian meninggal akibat luka bakar yang mencapai angka 90% akibat aksi nekatnya ini.

Menurut beberapa kawan aktifis, ia nekad melakukan aksi tersebut karena frustasi dengan segala perlakuan pemerintah yang semakin hari kian menindas rakyat. Setidaknya hal itulah yang disebutkan kordinator KontraS saat memberikan penjelasan perihal aksi “nekat” Sondang tersebut.

Ratusan kawan-kawan mahasiswa, baik dari UBK maupun dari universitas lainnya, mengantar kepergian Sondang menuju pembaringan terakhirnya. Layaknya pahlawan, di dalam acara pemakaman tersebut, pihak kampus memberi Sondang gelar Sarjana Kehormatan atas keberanian dan ketulusannya mengorbankan nyawa demi memperlihatkan kepada pemerintah akan penindasan yang mereka lakukan terhadap rakyat. Aksi solidaritas pun digelar guna mengnang keberanian Sondang.

Meskipun begitu, hingga saat ini masih kurang jelas apa alasan Sondang melakukan aksi tersebut. Meski banyak yang mengatakan itu adalah bentuk dari rasa kecewa Sondang terhadap pemerintah, tak sedikit pula yang menganggap ini adalah bentuk lain dari pengalihan isu.

Begitu juga banyaknya opini masyarakat yang menganggap kejadian ini adalah sebuah bentuk dari bunuh diri yang sia-sia belaka. Mereka menganggap tragedi Sondang ini bukanlah sesuatu yang bermanfaat. Meski tak sedikit juga kalangan yang mengapresiasikan pengorbanan Sondang.

Oleh karena itu, peristiwa ini harus dijadikan momentum. Pengorbanan Sondang takkan sia-sia, apabila perjuangan yang telah ia lakukan diteruskan oleh seluruh lapisan yang memiliki harapan yang sama dengannya, yakni menjatuhkan rezim tirani demi terciptanya Indonesia sejahtera.

Pengorbanan Sondang memang benar akan sia-sia, apabila kita, sebagai penonton dan penikmat aksi beraninya, hanya duduk diam terpaku meratapi kezaliman rezim dan hanya mengomentari dan mempolitisir aksi Sondang Hutagalung.

Maka dari itu, pemuda, buruh, tani, dan seluruh elemen mayarakat harus berani turun ke jalan, meneriakan dengan lantang bahwa masyarakat sudah muak dengan prilaku tirani. Mari kita berjuang bersama-sama agar segala yang telah dilakukan oleh para pejuang kemanusiaan, tidak hanya Sondang, tapi Munir dan juga yang lainnya tidak menjadi sesuatu yang sia-sia.
17 Desember 1942 menjadi sebuah hari yang sebenarnya biasa saja bagi bangsa ini. Namun, pada tanggal ini, lahirlah seorang bayi yang kelak menggemparkan Indonesia lewat keberaniannya menentang tirani kekuasaan. Pemuda yang menjadi otak dari serangkaian aksi di tahun 60an. Soe Hok Gie, pemuda tersebut kini telah menjadi salah satu legenda dari gerakan mahasiswa.

Tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya, Gie mendapat karunia yang selama ini ia impikan, yakni
mati muda. Ya, ia meninggal di usia 26 saat tengah mendaki di Gunung Semeru. Ia meninggal akibat menghirup gas belerang di kawah gunung tersebut.

Gie adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga merupakan anggota Mapalanya. Ia adalah salah satu aktivis mahasiswa yang memberikan ide-idenya melalui tulisan-tulisan di beberapa Koran nasional. Ia juga menjadi salah satu aktor yang membuat mobilisasi mahasiswa begitu dahsyat pada tahun 66.

Dengan segala kegelisahannya, ia turun ke jalan, melakukan mobilisasi dengan kawan-kawannya sesama mahasiswa, menulis artikel berisi kritik di media nasional, demi satu tujuan, jatuhnya rezim tirani dan terciptanya kesejahteraan sosial.

Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Kata-kata tersebut merupakan salah satu tulisan dari buku hariannya yang kemudian diterbitkan dalan sebuah buku, Catatan Seorang Demonstran (CSD). Kalimat tersebut juga menggambarkan keeguhan seorang Gie yang tetap berdiri tegak melawan penindasan rezim baru, dikala kawan-kawan rekan seperjuangannya justru telah nikmat dengan kemapanan mereka sebagai anggota dewan.

Kematian Gie merupakan salah satu bentuk dari kehilangan nasional. Dikisahkan dari pengantar CSD, Arif Budiman, kakak Gie menceritakan seorang penjual peti mati pun berduka mendengar kepergian Gie. “Dia orang yang berani. Sayang Ia meninggal,” ungkap penjual peti tersebut sambil menangis.

Kepergian Gie memang meninggalkan banyak kenangan. Baik bagi yang pernah mengnalnya secara langsung, atau melalui karya-karyanya. Keberaniannya menjadi sebuah mortar bagi gerakan mahasiswa. Kecerdasannya mampu menjadikannya sebagai otak dibalik mobilisasi massa. Dan keteguhannya menjadikannya diasingkan.

Itulah Gie, sosok mahasiswa idealis yang jarang terlihat di jaman setelahnya. Meski tak jarang mahasiswa yang memiliki keberanian yang sama, namun tak ada yang mampu menandingi keteguhannya dalam berjuang. Karena, tak jarang para aktivis yang lantang menentang rezim justru terlibat dalam pembentukan rezim baru yang memberi mereka kemapanan.

Mungkin, hanya seorang Gie yang berani diasingkan dari lingkaran aktivis yang kian hari kian pragmatis.semoga saja, lahir kembali aktivis yang memiliki keberanian, kecerdasan, dan keteguhan seperti yang dimiliki Gie. Seorang Intelektual, pejuang muda, yang berani diasingkan demi kebenaran.




Kedaulatan berada ditangan rakyat, itulah inti dari asas demokrasi. Kekuatan demokrasi berasal dari keterlibatan rakyat dalam segala aspek pemerintahan. Rakyat diwakili oleh para anggota dewan yang dipilih melalui sebuah pemilihan langsung. Begitu pula dengan presiden selaku kekuatan eksekutif dalam trias politika ala demokrasi Montesqieu.        

Kehadiran rakyat juga menjadi salah satu landasan berdirinya Negara. Rakyat selalu menjadi sebuah nama dimana cita-cita, tujuan, landasan, dan segala kepentingan Negara diarahkan kepadanya. Rakyat juga menjadi sumber kekuatan utama bagi negaranya.          

Namun, kini rakyat seperti kehilangan jati dirinya. Rakyat kini lebih dijadikan alat bagi politisi untuk mengejar kekuasaan. Bahkan dengan kekuatan yang begitu besar, rakyat masih menerima iming-iming puluhan ribu sebagai tumbal pembelian hak suara. Rakyat pun semakin frustasi dengan kondisi Negara yang membuat mereka cenderung apolitis. 

Padahal, rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Negara ini harus menggunakan kekuatannya demi terwujudnya kesejahteraan sosial. Kekuatan politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus digalakkan. Bukan karena pemerintah yang semakin tidak dapat dipercaya, justru rakyat diam. 

Saat ini, rakyat harus kembali turun dalam pengambilan kebijakan. Bukan hanya duduk gelisah melihat para wakilnya yang jelas-jelas telah mengkhianati amanat rakyat. Rakyat harus berani meneriakan kegelisahannya akan kondisi Negara yang terpuruk karena keblingernya pimpinan Negara. 

Bila dilihat sejarah perjalanan bangsa, mobilisasi rakyat memang menjadi salah satu kekuatan utama rakyat untuk merebut demokrasi. Rakyat, buruh, tani, tak perlu lagi takut melakukan boycott guna menentang kebijakan yang selama ini jelas-jelas tak berpihak pada rakyat. 

Rakyat harus melakukan ini semata-mata demi satu tujuan, terciptanya kemerdekaan 100% bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat harus mempelihatkan kekuataanya terhadap pemerintah yang selama ini cenderung menjadi kacung bagi asing untuk menjajah Negara ini. Semua harus dilakukan agar pemerintah tahu siapa yang seharusnya dihadapi. 

Tapi, jika dalam keadaan seperti ini rakyat memilih diam dan apolitis, maka kedaulatan rakyat tinggallah sebuah semboyan. Karena, keabsahan kedaulatan rakyat tak bisa terwujud jika rayat diam. Ingat, kedaulatan memang berada ditangan rakyat, tapi kedaulatan bukan berada ditangan rakyat yang apolitis. Rakyat harus berani kembali berpolitik.

Carut-marut dunia politik Indonesia semakin brengsek saja. Bagaimana tidak, dalam pemilihan calon pimpinan KPK saja, lobi politik lebih diutamakan ketimbang memilih siapa yang terbaik. Hal tersebut pada akhirnya membuat masyarakat berpendapat bahwa pimpinan KPK dipilih untuk membentengi para politisi korup.

Ada beberapa hal yang menarik dalam pemilihan tersebut. Namun, yang paling menarik (bagi saya) tentu saja argumentasi dari fraksi PKS DPR RI yang mengatakan bahwa salah satu capim, yakni Abdullah Hehamahuwa terlalu bersih dan lebih cocok sebagai penasihat KPK.

Mungkin, masih banyak hal lain dalam pemilihan itu yang mendapat perhatian lebih. Namun, pernyataan Fraksi PKS tersebut layak untuk dicermati pula.

Hal pertama dan yang paling utama yang akan dicermati adalah pernyataan bahwa seorang Abdullah terlalu bersih untuk menjadi seorang pimpinan KPK. Kata “terlalu bersih” ini menjadi begitu sakral apabila dikaitkan kepada lembaga penegak hukum, apalagi yang konsen dimasalah pemberantasan korupsi ini.

Bagaimana lembaga pemberantas korupsi bisa memberantas hal-hal yang direpresentasikan kotor selayaknya korupsi, apabila manusia yang terlibat di dalamnya tidak bersih. Apakah para wakil rakyat yang tergabung di komisi 3 DPR ini lebih memilih orang yang tidak bersih guna memanfaatkan ketidakbersihannya kemudian?

Kedua, seharusnya para pemilik suara dalam pemilihan pimpinan KPK tersebut mampu memahami kebutuhan rakyat akan seorang pimpinan KPK yang mampu menjadi satria piningit dalam pemberantasan koruptor di Indonesia. Namun, perkumpulan seperti setgab parpol koalisi lebih terlihat sebagai perkumpulan calo untuk memenangkan suatu hal yang menguntungkan perkumpulan tersebut.

Padahal para wakil rakyat semestinya mampu menjadi representasi dari 230 juta rakyat. Namun segala intrik yang digunakan dalam kegiatan politik Indonesia, pada akhirnya gagal menjadikan politik, sebagai sebuah alat untuk memerdekakan 230 juta rakyat Indonesia sebagaimana dicita-citakan Tan Malaka.
Belum lama ini sebuah klub sepak bola asal Amerika Serikat, LA GALAXI datang untuk bertanding melawan Timnas Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Hal tersebut tentu saja merupaan sebuah angin segar bagi persepakbolaan nasional yang telah lama tak dikunjungi oleh tim berskala internasional. Dan hal tersebut juga menjadi sebuah sinyal yang menunjukan keamanan di Indonesia.
  
Publik kita tentu masih ingat ketika klub sekelas Manchester United gagal bermain di Indonesia karena keamanan yang dipermasalahkan setelah terjadinya peledakan bom di Jakarta. Ketika itu masyarakat pecinta bola dikecewakan kasus yang membuat keamanan Indonesia kembali dipersalahkan.

Rizki Fauzi, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta adalah satu masyarakat yang kecewa akan hal tersebut. Menurutnya, Indonesia belum dapat dikatakan aman, terlebih dengan kasus-kasus terorisme yang masih menghantui masyarakat. Apalagi akhir-akhir ini konflik antar masyarakat kerap terjadi dan menambah ketidaknyamanan publik.

Fauzi juga menambahkan, ketidakamanan yang dirasakan masyarakat itu diperparah dengan ketidaksanggupan aparat keamanan dalam menanggulangi konflik dan kasus-kasus tersebut. Baginya, aparat keamanan hanya melakukan tindakan represif untuk menyelesaikan konflik, bukan untuk menanggulangi dan mengurangi jumlah kasus tersebut.

Senada dengan Fauzi, M. Yordan, aktivis UKM Kopma UIN mengatakan bahwa aparat dan pemerintah kurang tegas dalam bertindak. Menurutnya, hukuman seharusnya memberi efek jera bagi pelaku kejahatan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, hukum bukan hanya tak mampu member efek jera, tetapi juga dapat diperjualbelikan kepada pihak yang memiliki kekuatan, seperti kasus Gayus Tambunan yang bisa pergi ke Bali.