Aditia Purnomo



Jangan sekali-kali melupakan sejarah, hal itu diungkapkan oleh Bung Karno dalam pidato kenegaraan tahun 1966. Dan tentu pula, sebagian besar masyarakat yang hidup pada masa itu jelas mengingat kejadian pembantaian masyarakat yang dianggap komunis ataupun yang dekat dengan komunis, pasca terbunuhnya jendral teras angkatan darat (AD) oleh pasukan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S).

Gerakan itu sendiri memang langsung dapat diatasi kekuatan AD yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto selaku yang secara sepihak mengambil alih pimpinannya. Namun malapetaka yang sebenarnya justru terjadi pasca peristiwa itu. Keterlibatan beberapa pimpinan Partai Komunis Indonesia dalam G30S menjadi dalih utama pembantaian massal terhadap anggota kader dan simpatisan PKI di berbagai daerah.

Tak hanya itu, ribuan orang yang di cap “merah” pun ditangkapi dan ditahan di berbagai penjara dan kamp konsentrasi, dan salah satu yang terkenal adalah Pulau Buru dimana terdapat seorang Sastrawan besar Indonesia yang turut ditahan tanpa diadili. Bagi mereka yang selamat dari pembantaian dan pemenjaraan, hidupnya tak lebih indah dari mereka yang mati dan ditahan. Mereka yang selamat ini tetap mendapat diskriminasi dan pengebirian hak-hak mereka. Bahkan tak jarang harta mereka seperti tanah dan rumah juga turut dirampas.

Bagi mereka yang merasakan kekerasan dan melihat sendiri bagaimana pembantaian dilakukan, mungkin seumur hidup mereka takkan lupa apa yang terjadi diantara akhir tahun 1965 hingga awal tahun 1966. Mereka juga takkan lupa akan diskriminasi terhadap hak-hak sosial, ekonomi, dan politik mereka yang dilakukan oleh rezim selama 32 tahun.

Namun, sekalipun rezim yang menindas mereka sudah lengser, mereka berusaha untuk tak bersuara menuntut keadilan. Sudah terlalu lama mereka berharap akan datangnya keadilan, tapi selama itu pula mereka harus menelan pahitnya ketidakadilan. Mereka jug sudah bosan dengan ketegangan yang ada hingga mereka bersikap seakan tak terjadi apa-apa meski kemarahan, kesedihan, dan kekerasan yang mereka alami masih terasa.

Begitu pula bagi masyarakat biasa yang tak ingin terlibat, mereka berusaha tutup mulut meskipun mereka tahu kebenarannya. Apalagi masyarakat yang terlibat, mereka akan bungkam (mungkin) untuk menutupi pa yang mereka lakukan. Bagi mereka, kini tak perlu lagi membuka luka peristiwa 65 yang kini mulai tertutup.

Tapi ada satu hal yang sama dari mereka yang ditindas, tak ingin terlibat, ataupun yang ikut menindas. Mereka sama-sama belum dapat memaafkan apa yang terjadi pada kurun waktu terjadinya malapetaka tersebut. Bagi mereka yang menjadi korban, tentu takkan mudah memaafkan pelaku pembantaian keluarga mereka, penindas hak-hak mereka, dan segala kejahatan Ham yang mereka alami.

Dan bagi yang ikut serta dalam penindasan, mereka takkan mudah meminta maaf karena mereka tetap meyakini jika yang mereka lakukan itu benar meski tahu jika kejahatan kemanusiaan yang dilakukan mereka pada peristiwa 65 adalah salah.

Memang, saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden republik, beliau pernah meminta maaf secara langsung kepada Premoedya Ananta Toer yang menjadi korban peristiwa 65. Gus Dur selaku bagian dari Nahdlatul Ulama yang terlibat dalam peristiwa 65. Tak pelak, peristiwa itu memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat meski pada akhirnya Bung Pram menolak mentah-mentah permintaan maaf Gus Dur. “Gampang amat,” tegas Pram  saat itu.

Pasca peristiwa itu, muncul berbagai gagasan untuk melakukan Rekonsiliasi terhadap korban peristiwa 65. Dukungan untuk Presiden Susilo Bambng Yudhoyono yng ingin meminta maaf kepada korban pelanngaran HAM berat oleh Negara juga pernah dilontarkan oleh Franz Magnis Suseno, dalam opininya di harian Kompas. Begitu juga Komnas HAM yang member rekomendasi pada Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa 65.

Namun semua usul, gagasan, dan rekomendasi yang dimunculkan untuk melakukan rekonsiliasi belum terwujud hingga kini. Bagi mereka yang menolak usul ini menilai, lebih baik tak perlu membuka luka lama yang belum tertutup sepenuhnya. Padahal, siapapun yang terlibat dalam peristiwa 65, baik korban maupun pelaku, seharusnya saling memaafkan dan tak melupakan peristiwa ini. Karena tanpa sebuah kata “maaf” dendam dan luka lama dapat timbul kembali. Dan kita juga tak boleh melupakan peristiwa ini, karena kita dapat mengambil pelajaran yang berharga sepahit apapun peristiwa ini. Jangan sampai peristiwa ini buntu dan tetap tak termaafkan namun dilupakan.

Nasionalisme, tidak perduli dengan aneka ragam wujud penampilannya, pada awalnya adalah gagasan mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu wilayah politik kenegaraan. Nasionalisme merupakan nilai rohaniah yang mendorong kehendak untuk hidup sebagai satu bangsa serta mempertahankan kelangsungan hidup kebangsaannya itu. Maka tidak aneh jika nasionalisme dijadikan alat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Soekarno pernah mengajarkan bahwa nasionalisme harus dibangun atas dasar prinsip kemanusiaan. Dia juga mengingatkan bangsa ini akan bahaya nasionalisme yang tumbuh diluar prinsip kemanusiaan. Nasionalisme demikian adalah nasionalisme yang chauvinis, nasionalisme yang sempit, yang “Deutschland Alles” seperti terjadi di Jerman pada masa Adolf Hitler. Nasionalisme Indonesia harus tumbuh diatas taman yang mampu mempersatukan keragaman suku, budaya, dan agama dalam horizon persatuan umat manusia yang hakiki.

Faktual, kini nasionalisme yang pernah mengantarkan bangsa Indonesia dalam meraih harkat dan martabatnya (kemerdekaan), hanya menjadi bunyi-bunyian tanpa makna. Ditengah dinamika kekuatan ekonomi-politik global yang didominasi oleh kekuatan pasar bebas menjadikan batas-batas teritorial suatu negara menjadi kian tak jelas dan kedaulatan negara-bangsa semakin tak berarti.

Kapitalisme kini menjelma menjadi sebuah mighty power yang berwujud dalam korporasi multi-nasional yang kekuasaanya melebihi kedaulatan Negara-bangsa. Bahkan kekayaan sebuah megakorporasi ditengarai melampaui pendapatan kotor domestic (GDP) Negara-negara berkembang yang ada.

Pemberian hak operatorship blok cepu kepada Exxon Mobil merupakan contoh aktual dari kekuatan korporasi global untuk mengeksploitasi dan mendikte kebijakan ekonomi Indonesia. Bahkan mantan menteri kesehatan, Siti Fadilah Supari membeberkan pola pendiktean yang dilakukan oleh negara adigdaya sekelas Amerika Serikat. Dalam biografinya dituliskan bahwa Kemenkes “dipaksa” membeli vaksin buatan AS yang jika tidak dipenuhi, maka AS akan menyebarkan virus yang hanya dapat diatasi oleh vaksin tersebut.

Keadaan ini menunjukan dengan jelas ketidakberdayaan para pemimpin bangsa yang rela didikte guna melayani agen-agen pembangunan. Sikap demikian jelas akan merugikan kepentingan ekonomi dan politik nasional dalam jangka panjang dan membuat bangsa ini mandul dalam segala aspekm utamanya menyangkut kapasitas kebijakan para elit dalam memanage kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dalam menghadapi berbagai permasalahan yang kian kompleks dan kian rumit ke depan.


Melihat kenyataan diatas, pertanyaan yang muncul adalah masih pentingkah nasionalisme untuk bangsa Indonesia saat ini? Bila masih penting, nasionalisme yang bagaimanakah yang harus diwujudkan? Kepadamu aku bertanya.