Aditia Purnomo



Tahun ini Propinsi Banten merayakan ulang tahunnya yang kesebelas dengan penuh sukacita. Tepat semomen sebelum perayaan, rakyat Banten dikejutkan oleh berita ditangkapnya Tb. Chaery Wardana yang tak lain dan tak bukan adalah adik kandung Gubernur Banten. Sontak, mahasiswa dan tokoh-tokoh Banten merayakan kejadian itu dengan melakukan “sujud syukur” di jalanan. Inilah kado ulang tahun Banten paling istimewa bagi mereka.

Euforia tak selesai sampai disitu, tepat pada HUT Banten, ribuan mahasiswa dari berbagai organisasi tumpah ruah di ibukota Banten, mereka menuntut Gubernur, Ratu Atut Chosiyah mundur dan diusutnya kasus korupsi di Banten. Inilah gerakan mahasiswa yang paling massif (yang pernah saya ikuti) selain gerakan “Revolusi Rakyat Banten” pada perayaan HUT Banten ke 10 dan gerakan menolak kenaikan BBM tahun 2012.

Komunis masih menjadi bahaya laten buat kekuasaan. Segala bentuk perlawanan terhadap kekuasaan akan diidentikan dengan komunis. Begitulah historiografi bangsa ini dibentuk oleh penguasa. Sejarah dibentuk berdasarkan kepentingan dan kebutuhan penguasa.

Demi melanggengkan kekuasaannya, penguasa Orba menanamkan nilai-nilai yang harus diadopsi oleh masyarakat tanpa ada pertanyaan. Semua harus diikuti, kalau tidak ikut, pasti disebut komunis. Kebenaran adalah nilai yang dikonstruk oleh penguasa sebagaimana manya penguasa.
Apa artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan, begitu Rendra mengakhiri ‘Sajak Sebatang Lisong’ miliknya yang tersohor itu.  Ya, begitulah cara elegan Rendra mengakhiri sajaknya setelah mengajak para penikmatnya berpikir mengenai permasalahan bangsa. Berpikir sebagai sebuah sarana untuk memperhatikan dan memahami realitas.

Entah apakah Rendra pernah membaca karya-karya Soewardi Soejadiningrat? Tapi secara isi, sajak  'Sebatang Lisong' mirip dengan pola pendidikan tiga dinding ala bapak pendidikan nasional itu. Sebuah pola pendidikan yang mengajak peserta didik untuk melihat realitas sebagai bagian dari pendidikan.

Dalam sajaknya, Rendra mengajak kita untuk turun ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, kemudian merumuskan keadaan yang ada. Mungkin, seorang Menteri Pendidikan belum sempat membaca sastra, makanya tak mengherankan jika anda tidak tersentuh untuk melihat bagaimana bobroknya kualitas pendidikan di desa-desa. Saya sarankan anda untuk sering-sering membaca karya sastra.



Gila! Itulah komentar yang sering saya temui ketika tahun ini, menjelang pengesahan upah minimum regional (UMR), buruh Indonesia menuntut gaji Rp. 3,7 juta. Sontak, berbagai pernyataan hadir mengiringi tuntutan buruh tersebut. Ada yang berpendapat tuntutan ini tidak masuk akal, gaji lulusan universitas saja tidak langsung mencapai angka tersebut, buruh seenaknya saja menuntut upah yang lebih tinggi.

Ya, begitulah paradigma masyarakat, khususnya kaum kelas menengah “ngehe” menanggapi persoalan UMR tahun ini. Tuntutan 3,7 juta dirasa tidak masuk akal untuk upah buruh yang pendidikannya tidak tinggi. Bahkan jumlah tersebut dianggap melebihi gaji pegawai berdasi yang melakukan kerja kantoran. Begitulah paradigma masyarakat kita.

Sayangnya, masyarakat kita, terkhusus kelas menengah ngehe itu tidak tahu, jika peraturan tentang pengupahan yang terkandung pada UU No 13 Tahun 2003 menekankan penetapan upah minimum didasarkan pada kebutuhan hidup layak, bukan berdasarkan ijazah tenaga kerja yang bersangkutan. Inilah dampak dari mazhab pendidikan gaya bank yang  menjadikan pendidikan sebagai alat investasi dengan orientasi profit.

Dengan menggunakan mazhab inilah, pemerintah mengkonstruk pikiran masyarakat tentang pendidikan, pekerjaan, gaji, dan hidup layak. Pemerintah mengajarkan pada masyarakat, bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai hidup layak. Karena itu, semakin tingginya pendidikan akan menentukan pekerjaan yang dimiliki masyarakat, besaran gaji, dan kenyamanan hidupnya.

Karena itu, berapa pun mahalnya harga pendidikan, masyarakat selalu mengupayakan kesanggupan mereka untuk membayar harga pendidikan. Inilah candu baru masyarakat. Mereka diiming-imingi hidup enak jika mampu mengikuti pendidikan yang harganya mahal, dan hanya mampu mengeluh pada keadaan tanpa berbuat sesuatu yang nyata.

Hal ini tentu dimanfaatkan pemerintah yang berkolaborasi dengan kapitalis-kapitalis asing yang mendambakan buruh dengan upah murah. Mereka kemudian memberikan penghidupan kayak bagi kelas menengah, dan memanfaatkan mereka untuk menyerang perjuangan buruh yang menuntut penghidupan layak juga. Tentu saja, tanpa kelas menengah ngehe itu sadari, mereka dijadikan alat bagi pemerintah untuk menghadapi buruh.

Pemerintah dengan sengaja membuat sebuah konflik horizontal agar posisi mereka sendiri tak banyak digoyang oleh buruh yang semakin banyak menuntut belakangan ini. Dengan brainstorming yang dilakukan melalui media, pemerintah mengkonstruk paradigma mereka jika perjuangan yang dilakukan buruh lebih banyak merusak dan kerap tak masuk akal. Dan hal ini sukses dilakukan pemerintah jika melihat banyaknya komentar negatif mereka tentang terkait UMR tahun ini.

Maka jangan heran, orang-orang ini bisa dengan enteng membela pengusaha dan menjelek-jelekkan kaum buruh dengan umpatan standar: “:Gila! Cuma buruh aja minta upah 4 juta! Yang S1 aja masih banyak yang gajinya di bawah 3 juta!”. Ya, begitulah pemikiran mereka, kelas menengah ngehe. Mereka gagal melihat diri mereka sebagai bagian dari kelas pekerja yang diwakilkan oleh buruh.

Upah Murah dan Hak Buruh Sebagai Manusia

Dalam dunia ketenagakerjaan, Indonesia adalah surganya buruh dengan upah murah. Bagaimana tidak, hingga hari ini, pemerintah masih menetakan standar upah dengan tendensi minimum, taraf hidup layak yang paling minimum. Belum lagi kesempatan yang diberikan pemerintah pada perusahaan untuk menangguhkan upah yang tentu saja menyengsarakan buruh, inilah surganya para pemilik modal.

Bayangkan saja, dengan upah kecil yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang layak, buruh masih harus dibebani dengan penangguhan upah yang membuat mereka semakin tak berdaya. Perlu bukti jika upah yang didapat buruh tidak mampu menutupi kebutuhan hidup sebagai manusia, coba tengok data di bawah ini.

Pada tahun 2009, penelitian LSM Akatiga pada 50 pabrik sektor garmen dan tekstil di sembilan kabupaten kota pulau Jawa menunjukkan, rata-rata upah buruh lajang adalah Rp. 1.090.000 dan rata-rata pengeluarannya dalah Rp. 1,4 juta. Sedangkan upah plus lembur hanya menutupi 74% pengluaran. Bila hanya mengandalkan upah (UMK), hanya 62% yang tertutupi. Akhirnya, untuk menutupi defisit tadi buruh melakukan pekerjaan sampingan, mengkredit barang, berhutang, menanti tunjangan hari raya, koperasi, dan saweran.

Upah minimum, sebagaimana tertera pada UU Ketenagakerjaan, ditetapkan berdasar pada kebutuhan hidup layak. Dan dalam menetapkan UMR, pemerintah menggunakan 60 komponen KHLyang sudah tak lagi relevan dengan kondisi masyarakat hari ini.

Sebagai contoh, saat ini buruh masih diasumsikan menggunakan kompor minyak tanah padahal di Jabodetabek, semua sudah dikonversi ke gas. Contoh lain, yang disebut komponen pendidikan adalah tabloid (4 x sebulan), radio, dan ballpoint/pensil, bukan biaya seragam dan bayaran sekolah.

Jika mengikuti logika Akatiga yang menggunakan 122 komponen KHL sebagai landasan penetapan UMR, maka akan ditemukan angka Rp. 4,4 Juta sebagai standar minimum pengupahan di Indonesia, yang bahkan lebih tinggi dari tuntutan 3,7 Juta yang diperjuangkan buruh tahun ini. Terlalu besarkah? Salahkan kebijakan ekonomi yang memicu inflasi.

Sudah saatnya masyarakat sadar, jika mereka selama ini dimanfaatkan sebagai instrumen dalam politik upah murah. Kelas menengah harus sadar, jika politik upah murah selama ini hanya menguntungkan pengusaha dan oknum pemerintah yang terlibat didalamnya. Politik upah murah hanya melihat buruh sebagai instrumen produksi, bukan sebagai manusia yang punya hak untuk hidup layak. Terkutuklah mereka yang masih menafikan hal ini.

Dan jika masyarakat menganggap tuntutan upah Rp. 3,7 juta perbulan terlalu besar, maka yang harus disalahkan adalah kebijakan pendidikan dan kesehatan yang mahal. Karena, dalam kasus konflik  buruh dan pengusaha yang kerap ricuh, sesungguhnya ada negara yang tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya.


Boedi Oetomo adalah salah satu organisasi modern yang kali pertama muncul di bumi nusantara. Terlepas dari berbagai perdebatan yang hadir bersama organisasi itu, inilah organisasi yang turut menginspirasi gerakan kebangkitan nasional. bersamanya, hadir pula para terpelajar dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang membidani proses
lahirnya organisasi ini, ya para calon dokter itu.

Sebagai organisasi, Boedi Oetomo (BO) memang tak banyak terlibat dalam gerakan perjuangan kemerdekaan. Ruang lingkup yang diambil oleh BO lebih mengarah pada bidang pengajaran. Belum lagi, dalam perkembangannya, kepengurusan BO kemudian diambil alih oleh para Priyayi tua yang membuat organisasi ini mandek.


Historiografi Indonesia masih kacau. Banyak penulisan sejarah yang tidak berdasarkan fakta dan data. Seperti sejarah peristiwa G30S yang pernah ditulis dengan kebohongan para Gerwani memotong penis para perwira Angkatan Darat dan sejarah Indonesia yang katanya dijajah 350 tahun oleh belanda. Begitulah adanya penulisan sejarah yang terjadi di Indonesia.

Dalam banyak kesempatan, sejarah palsu tersebut dipropagandakan melalui banyak media, seperti film, Koran, diktat sejarah, bahkan lagu. Coba saja tengok film pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer dengan propaganda anti komunisnya atau film Janur Kuning karya Alam Rengga Surawidjaja yang mengkisahkan kepeloporan Soeharto pada Serangan Umum 1 Maret. Padahal banyak hal dari kedua film tersebut yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.


Sumpah adalah sebuah hal yang sakral. Dalam banyak hal, sumpah dijadikan sebagai pernyataan sebuah tekad akan kebenaran dan perjuangan. Begitu pula sumpah-sumpah yang dikumandangkan demi Indonesia, semua sama, mengartikan tekad dan kesungguhan dalam perjuangan.

Dalam perjalanan bangsa, sumpah yang paling dikenang dan paling heroik adalah sumpah yang dilakukan oleh para pemuda pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928. Sumpah ini diproklamirkan dalam tujuan mewujudkan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa Indonesia, sumpah yang mewujudkan persatuan nasional dan kebangsaan Indonesia. Sumpah ini kemudian disebut dengan Sumpah Pemuda. 


Bersatulah pelacur-pelacur kota Jakarta, sebuah sajak dari WS Rendra yang menggambarkan kehidupan pelacur. Ia menjadi bagian dari libido kekuasaan, melayani sebagai abdi kuasa yang butuh makan. Masyarakat mengutuk keberadaanmu wahai pelacur, namun lapar tetap lapar, kau dipaksa membunuh perasaanmu melayani para tuan karena sang tuan tak mampu memberimu pekerjaan.

Ya, kalian para wanita, dipaksa melacurkan harga diri dan tubuh kalian demi sesuap nasi. kalian melacurkan segala yang kalian punya demi mengisi perut anak-anakmu. Tak peduli apa kata mereka, asal bisa makan itu saja sudah cukup.

Tapi, seperti kata Rendra, kini datanglah giliran kalian. Bukan lagi untuk membela diri melulu, tapi kini untuk melancarkan serangan.

Kuliah kerja nyata (KKN) selalu disebut sebagai pengabdian. Dengan dalih penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi, mahasiswa dinilai sudah melakukan pengabdian setelah melaksanakan kegiatan tersebut. Tentu saja, standar pengabdian yang diberikan kampus untuk mahasiswa amatlah rendah. Dengan waktu 1 (satu) bulan, mahasiswa yang telah melakukan KKN dianggap telah melakukan pengabdian.

Coba kita tengok sejarah, bagaimana bentuk pengabdian para pendiri Republik ini mengabdi untuk bangsanya. Berulang kali Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan pejuang lainnya ditangkap. Berpindah dari penjara ke penjara, pengasingan ke pengasingan, bahkan mati demi menunaikan pengabdiannya kepada Indonesia. Jelas tak sebanding dengan “pengabdian semu” yang diarahkan sistem pendidikan nasional.


Habis gelap terbitlah terang. Mungkin hanya kalimat itu yang paling identik dengan sosok perempuan bernama Kartini. Bergelar Raden Ajeng, Ia dianggap sebagai pahlawan bangsa, khususnya para wanita karena semangatnya memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan wanita. Memperjuangkan hak emansipasi, tetapi tetap terpingit, dikawinkan paksa, melahirkan dan mati pada akhirnya.

Gambaran seperti itulah yang diberikan oleh rezim orde baru terhadap Kartini tanpa melihat sisi kehidupannya yang lain. Padahal, masih ada banyak sisi hidup yang dimiliki Kartini. Mungkin tak banyak yang tahu ketertarikan Kartini terhadap sastra, melalui puisi-puisi yang ditulisnya. “Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya Seni! Tapi mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi,” begitu katanya.


Soekarno, Presiden pertama sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia selalu dikenal sebagai dwi tunggal. Bersama M. Hatta, ia menjadi sosok yang dikenang rakyat Indonesia. Ya, selalu dikenal dengan sebutan Soekarno-Hatta. Ia selalu dikenal bersama Hatta, dikenang bersama Hatta, jarang dikenang secara personal.

Dalam kurikilum sekolah, perjuangan Soekarno sebagai aktivis perjuangan kemerdekaan hampir tidak dibahas. Karya tulis maupun arsitekturnya (perlu diingat, Soekarno adalah seorang insinyur) hampir tidak pernah dibahas. Begitu pula pidato pembelaannya di pengadilan Hindia Belanda yang tersohor dengan nama “Indonesia Menggugat”, hanya segelintir anak bangsa yang tahu.

Pemahaman yang setengah-setengah inilah yang membuat segelintir anak bangsa itu untuk memberi pemahaman yang penuh akan Bung Karno. Roso Daras adalah salah satunya. Melalui buku “Total Bung Karno”, ia memaparkan penggalan kisah hidup putra sang fajar.

Pendidikan masih menjadi barang mahal bagi sebagian masyarakat Indonesia. Masih tingginya angka putus sekolah dan tingginya biaya kebutuhan sekolah menjadi sebuah bukti jika pendidikan masih menjadi kebtuhan tersier bagi sebagian masyarakat. Akibatnya, pendidikan selalu dianggap sebagai investasi bagi anak untuk meraih masa depan yang lebih baik.


Pada tahun ini, reformasi telah berjalan selama 15 tahun.  Dalam rangka memperingatinya, banyak pihak melakukan seremoni-seremoni guna mengingat salah satu peristiwa paling bersejarah bagi perjalanan bangsa. Mahasiswa Trisakti misalnya, mereka kembali turun ke jalan guna mengingatkan masyarakat akan kisruh dan tragedi yang terjadi saat itu. Begitu pula Fadli Zon yang menerbitkan ulang buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” di peringatan 15 tahun reformasi.

Dalam bukunya, Fadli Zon mencoba menarasikan kejadian-kejadian yang terjadi 15 tahun lalu. Dimulai dengan krisis skonomi Thailand, lembaga moneter internasional (IMF) mencoba masuk dan menggoyang politik Indonesia. Dengan dalih menyembuhkan perekonomian nasional yang terkena dampak krisi Thailand, IMF memberi “obat” yang tidak sesuai dengan penyakit kronis ekonomi nasional.

Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat batu dan kayu jadi tanaman. Begitulah penggalan lirik lagu milik Koes Plus yang menggambarkan kekayaan alam bumi nusantara. Keragaman hayati, kesuburan tanah, samudra yang kaya raya, dan melimpahnya sumber daya mineral membuatnya disebut tanah surga.

Namun sayang, di negeri yang permai ini,  di tempat padi terhampar, para penghuninya justru tak seperti hidup di surga. Berjuta rakyat bersimbah luka, anak kurus tak sekolah, serta pemuda desa tak kerja, begitu ungkapan John Tobing dalam lagu darah juang ciptaannya.


Negara harus berpihak pada petani, begitulah seruan nyata Iwan Fals dalam lagu Desa miliknya. Petani sebagai sumber penghidupan bangsa yang memberikan jiwa raganya untuk menyediakan pangan pada masyarakat. Tapi apalah daya, mungkin pemerintah terlalu sibuk sehingga tak sempat meluangkan waktu untuk mendengar seruan tadi.

Kini, petani yang harusnya perkasa dibuat sempoyongan dengan berbagai macam cobaan dari Negara. Bagaimana tidak, lihat saja arus impor yang begitu besar melanda pasar Indonesia. Mulai dari beras, kedelai, cabai, daging, dan banyak lagi membuat para petani lokal kelimpungan. Kebutuhan pangan masyarakat yang begitu tinggi disertai kurang memadainya ketersediaan pangan dari petani dijadikan dalih pemerintah untuk memainkan kebijakan impor di Indonesia.


Komunis selalu menjadi bahaya laten. Sejak berdiri, Gerakan Komunis selalu menjadi ancaman bagi para pendukung imprealisme kapitalisme. Itulah yang membuat Partai Komunis Indonesia harus hancur pada akhir tahun 1965. Gerakan 30 September, gerakan yang dipimpin Letkol Untung lah yang menjadi penyebabnya.

G30S, gerakan perwira menengah Angkatan Darat yang muak melihat gaya hidup para Jendral yang glamour dan serba mewah, berbanding terbalik dengan hidup para perwira menengah yang pas-pasan. Gerakan ini membawa misi menyelamatkan Presiden Soekarno dari kudeta para Jendral dan mengamankan pemeritahannya.



Bangsa kita adalah bangsa yang besar, itulah yang diyakini Soekarno ketika ia bersama para pendiri Republik ini berjuang memerdekakan Indonesia. Karena itu, kehadiran sebuah Negara boneka milik imprealis di samping persis perbatasan Republik tak dapat ditolerir. Ganyang Malaysia! Begitu katanya.

“Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu!”, begitu semangatnya Soekarno dalam melakukan konfrontasi ke Malaysia sana.


Refleksi 24 Tahun Tragedi Hillsbrough
Perjuangan takkan sia-sia. Inilah yang menjadi semangat bagi Kopites, supporter klub sepak bloa Liverpool dalam memperjuangkan keadilan atas tragedi Hillsbrough. Dan perjuangan memang takkan sia-sia. September tahun lalu, keluar pengumuman atas penyelidikan lebih lanjut atas tragedi Hillsbrough dan hasilnya menyatakan pihak kepolisian dan panitia penyelenggara bersalah atas tragedi tersebut.


Beberapa waktu lalu, nama Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi menjadi bahan perbincangan hangat di dunia maya. Namun, saat itu dia menjadi perbincangan bukan karena menelurkan novel baru, melainkan karena niatannya memproses secara hukum seorang blogger dan pengamat perbukuan bernama Damar Juniarto karena mengkritik dirinya.

Menurut Damar yang aktif mengamati dunia buku, klaim Andrea tentang tidak adanya karya  anak bangsa yang mendunia dalam kurun waktu seratus tahun jelas-jelas mencederai dunia sastra Indonesia. Pasalnya pengakuan internasional terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang hampir mendapat Nobel jelas tak sebanding dengan label bestseller karya Andrea.

Meski begitu, niatan Andrea untuk membawa urusan kritik Damar di Kompasiana ini ke ranah hukum tentu bukanlah hal yang patut diapresiasi. Entah apa yang ada di otanya hingga ia begitu bernafsu dicatat sejarah untuk menjadi orang pertama yang memperkarakan kritik terhadapnya.

Mungkin Andrea hanya belajar sejarah versi Orba, atau malah tidak belajar sejarah. Dalam perjalanan bangsa, Pramoedya, HB Jassin, atau Taufik Ismail kerap melakukan perang kritik. Begitu juga Martin Aleida yang membalas pandangan Sulastomo, matan ketua umum PB HMI tentang korban 65 di Harian Kompas melalui tulisan lagi.

Goenawan Mohammad, wartawan yang kini lebih diidentifikasi sebagai sastrawan juga pernah mengkritik Pram yang menolak permintaan maaf Gusdur atas peristiwa 65 di Majalah Tempo. Dan Pram, dengan kecerdasannya membalas tulisan Goenawan di media yang sama dengan argumentasi yang khas dirinya.

Dalam tataran ini, kritik yang diberikan seseorang mampu mereka lawan secara intelektual. Mereka, tak seperti Andrea, menggunakan intelektualitasnya dalam memandang kritik atas dirinya. Dengan hal tersebut, pertarungan intelektual lebih dikedepankan ketimbang membawanya ke ranah hukum atas dasar pencemaran nama baik.

Di Kampus UIN, peristiwa melawan tulisan dengan hukum juga pernah terjadi. Saat itu, pemimpin sebuah lembaga Pers Mahasiswa melancarkan kritik terhadap rektorat atas upayanya menjinakan mahasiswa. Sayangnya, pihak yang dikritik ini mungkin kurang cerdas dan tak mampu menulis hingga memperkarakan kritik tersebut dengan kekuasaannya di kampus. Tak ayal ancaman skorsing pun menimpa mahasiswa berani tersebut.

Ancaman skorsing memang begitu berbahaya bagi mahasiswa tingkat akhir, hingga akhirnya pemimpin lembaga pers mahasiswa ini menulis sebuah pernyataan permohonan maaf dan mencabut kritik yang dilancarkannya. Dalam hal ini, mahasiswa itu tak bisa disalahkan, tapi kelakuannya patut disayangkan.

Seandainya ancaman rektorat terhadap dirinya tak ia gubris, dan ia tetap berpegang pada apa yang ia yakini hingga tak perlu meminta maaf, penulis yakin, gerakan moral akan berada bersama orang-orang yang berani. Jika tidak, minimal penulis yang akan berdiri disampingnya untuk melawan semua tindakan yang membungkam.

Karena seperti kata Pram, menulis adalah sebuah keberanian. Dan karena keberanian Pram, penjara menjadi tempat yang tak asing baginya. Bagi penulis, Damar dan orang-orang yang berani menulis kritik adalah pemberani. Dan penulis tentu akan berada di garda depan bila akhirnya Damar harus dikriminalisasi.

Semoga tindakan pembungkaman dan pengekangan kebebasan berekspresi dapat musnah dari Bumi Indonesia. Dan semoga orang-orang yang tidak menyukai tulisan ini melakukan kritik terhadap penulis. Dan akhirnya semoga mereka tidak mengkriminalisasi penulis akibat tulisan ini.



Berdiri di kaki sendiri, itulah konsep pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh Bung Karno dalam Trisaktinya. Berdiri di kaki sendiri menjadi perwujudan pembangunan ekonomi yang menolak intervensi asing dalam upaya menyejahterakan rakyat Indonesia.

Namun sayang, sebelum kita bisa berdiri di kaki sendiri, Bung Karno harus lengser dan digantikan oleh Soeharto yang ironisnya malah membuka keran investasi asing secara besar-besaran. Walhasil, kekayaan alam Indonesia kini dinikmati perusahaan asing.


Sebut saja Chevron, ConocoPhillips, dan ExxonMobil dari Amerika Serikat, lalu Total dan British Petroleum asal Prancis dan Inggris yang menguasai produksi migas di Indonesia. Begitu juga Freeport di Papua dan Newmont di minahasa yang masih mengeksploitasi emas Indonesia.

Tak hanya itu, pembangunan ekonomi Indonesia pun masih banyak bergantung dari utang lembaga keuangan dunia seperti IMF dan Bank Dunia. Karena utang tersebut pula kebijakan dagang dan ekonomi Indonesia banyak didikte oleh World Trade Organisation hingga merugikan masyarakat Indonesia.

Dalam hal pangan, dibukanya keran impor yang menghadirkan rempah murah yang mendominasi pasar Indonesia. Sementara itu. harga rempah lokal yang cenderung lebih mahal  akhirnya kalah bersaing permainan harga yang tak bisa dikendalikan pemerintah. Ironis memang, jika melihat dulu bangsa eropa memburu rempah kita karena kualitas yang bagus, namun kini rempah dengan kualitas biasa saja justru mendominasi pasar lokal.

Karena itu, kegilaan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo yang menolak bantuan utang dari Bank Dunia ditengah dominasi asing dalam kehidupan Negara menjadi sebuah harapan untuk melihat Indonesia yang lebih baik. Penolakan ini tentu menjadi yang pertama kali dilakukan di Indonesia semenjak Orde Baru berkuasa.

Dalam hal ini, Jokowi mengaku menolak Bank Dunia karena permintaan yang macam-macam dan menolak untuk didikte.  Hal ini tentu sejalan dengan semangat Berdikari ala Bung Karno dalam membangun ekonomi bangsa. Apalagi, Jokowi bermaksud menggunakan kekuatan BUMD untuk menggantikan posisi Bank Dunia dalam masalah pembiayaan proyek pembangunan bantaran kali ciliwung.

Dalam hal ini, Jokowi justru memperlihatkan jika perusahaan daerah mampu membantu untuk masalah pembiayaan proyek pembangunan daerah. Bahwasannya, Jokowi ingin membuktikan bahwa Indonesia mampu membangun perekonomian tanpa campur tangan asing, apalagi didikte.


Saat ini, Jokowi tengah berupaya membuat Jakarta berdiri di kaki sendiri, tak lagi bergantung pada kekuatan asing. Dengan upaya itu, Jokowi tak hanya berteori tentang kemandirian bangsa, namun juga memanifestasikannya dalam bentuk kebijakan. Semoga langkah Jokowi ini mampu membuat pemerintah sadar jika Negara kaya bernama Indonesia mampu berdiri di kaki sendiri dan tak lagi menghamba diketiak modal asing.

Tahun 2013 adalah tahun politik, tahun yang menunjang pesta demokrasi 2014. Tahun dimana para politisi berebut tampil ke depan publik untuk mencari jalan menuju Senayan. Ada yang buat posko bantuan bencana, ada yang ikutan blusukan, buat spanduk di banyak tempat, hingga ada yang pindah partai.

Ke-ngebetan politisi untuk menuju Senayan tentu memprihatinkan, mengingat mereka bisa melakukan apa saja untuk keinginannya. Entah pendidikan politik apa yang mereka dapat, tapi melakukan hal seperti pindah partai tentu menjadi sebuah kecacatan dalam pendidikan politik itu sendiri.

Semakin menjamurnya kader-kader karbitan dan kutu loncat  menjelang pesta demokrasi ini mungkin tak pernah terjadi pada masa Repubik ini belum menemui masa kelam Orde Baru. Pada masa itu, tak pernah terdengar ada seorang anggota partai yang hijrah ke lain partai hanya demi jabatan. Karena pada masa itu setiap anggota partai adalah orang yang memiliki ideologi yang sama dengan partai.

Tak pernah terdengar ada seorang kader PKI yang pindah ke Masyumi hanya untuk mengejar posisi. Bandingkan dengan sekarang dimana PKS sebagai partai yang katanya berideologi Islam menjaring kader meskipun tak beragama Islam. Begitu juga pindahnya politisi seperti Akbar Faisal yang katanya cinta Hanura tapi memilih berbagung dengan Nasdem.

Melihat kejadian tadi tentunya miris jika mengingat Tan Malaka menjadikan parpol sebagai alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Tentu juga semakin miris ketika mengingat ribuan politisi yang berjuang demi kemerdekaan yang dibuang ke Boven Digul akibat perjuangan mereka.

Ditambah semakin banyaknya politisi yang pergi dari Senayan menuju hotel prodeo akibat banyak kasus seperti korupsi, tentu sangat berbeda dengan politisi dulu yang berangkat dari perlawanan hingga mendekam di balik jeruji sebelum berangkat menuju Senayan. Mungkin karena memang hanya sedikit politisi sekarang yang berangkat ke Senayan untuk berjuang.


Seandainya pendidikan poltik dilakukan secara benar sehingga ideologi tak bisa digadaikan hanya demi jabatan. Jika saja ideologi yang menjadi acuan tak sekadar ucapan belaka tapi menjadi sebuah ketetapan hati, mungkin dunia politik tak terlalu banyak dibenci orang. Entah kapan kita bisa mendengar lagi orang bangga dengan politik dan berani berkata lantang “saya kader PKI” dengan bangga.


Curah hujan yang tinggi pada awal tahun ini membuat banyak wilayah di Nusantara tergenang banjir. Jakarta dan sekitarnya pun tak luput dari terjangan banjir. Status darurat banjir bahkan telah diterapkan di ibukota. Banjir ini berdampak pada berbagai agenda kenegaraan, salah satunya ialah dibatalkannya kunjingan Presiden Argentina berkunjung ke istana.

Banyak yang berceloteh, banjir ini adalah yang terparah. Hal ini disebabkan pusat perputaran uang di pusat ibukota ikut tergenang, meskipun tak separah yang dialami masyarakat. Dari beberapa media, disebutkan kerugian yang dialami oleh para pengusaha mencapai Rp. 1,5 Milyar lebih Per Jam. Begi mereka, banjir kali ini merupakan bencana besar yang dapat merusak siklus perekonomian republik.

Kementrian keuangan sendiri mengungkapkan, inflasi yang disebabkan bencana ini dapat mencapai angka 1%. Tentu sebuah angka yang lumayan besar mengingat saat ini masih awal tahun. Tentu dampak ini memberatkan hidup masyarakat juga para pengusaha setahun kedepan.

Bagi pengusaha, inflasi ini mungkin tak terlalu berpengaruh bagi kehidupan rumah tangganya. Namun inflasi ini tentu menambah beban mereka yang telah lebih dulu dipusingkan oleh kenaikan upah minimum propinsi. Sedangkan bagi masyarakat, ya tentu saja pengasapan di dapur dapat terganggu.

Selain menjadi bencana, bagi sebagian masyarakat banjir juga telah menjadi kebiasaan. Hal ini dapat dilihat dari keogahan mereka untuk mengungsi meski banjir telah merendam rumah mereka. Faktor keselamatan barang-barang mereka menjadi perhatian utama bagi mereka ketimbang faktor kesehatan dan keselamatan.

Namun, bagi beberapa warga, banjir yang terjadi tak akan memakan banyak waktu. Karena itu mereka memilih tinggal di rumah ketimbang berdesak-desakan di pengungsian. Selain itu, banyak juga dari mereka yang harus tetap bekerja dalam kondisi ini. Tentu memilih tetap tinggal di rumah menjadi pilihan baik bagi mereka.

Tak hanya itu, bagi sebaian warga yang lain banjir kerap menjadi lahan basah untuk mendapatkan keuntungan. Penyediaan transportasi gerobak baik untuk pejalan kaki atau pengguna sepeda motor menjadi lahan utama. Bagi mereka, banjir bukanlah sebuah musibah yang perlu dikhwatirkan.

Perhatian tentu mengarah kepada psikologi massa. Apa massa benar-benar telah menganggap banjir sebagai budaya? Apakah masyarakat yang menganggap banjir sebagai budaya terbentuk akibat terlalu seringnya mereka bersentuhan dengan bajir pada setiap musim penghujan?


Lalu bagaimana pemerintah menanggapi permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan diatas. Bagaimana upaya pemerintah untuk membuat masyarakat nyaman tanpa hadirnya banjir, lalu bagaimana pula langkah pemerintah untuk menekan inflasi yang menjadi bencana setelah bencana banjir? Menarik ditunggu langkah-langkah untuk membuktikan jika banjir bukanlah budaya.


Diterbitkannya Prosedur Tetap Polri tentang penanggulangan anarki tahun 2010 menimbulkan pertanyaan besar bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum. Protap tersebut memberikan keleluasaan bagi polri untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga kestabilan dan keamanan negara. Namun disatu sisi, keberadaan protap tersebut juga menjadi ganjalan bagi masyarakat saat melakukan demonstrasi.

Keberadaan demonstrasi sebagai alat penyampai pesan dimuka umum kini sedikit terpengaruhi keberadaan protap tersebut. Terlalu seringnya demonstrasi di jalanan berujung pada chaos membuat protap tersebut menjadi alat sakti aparat untuk membubarkan dan mengacaukan massa.

Hal tersebut tentu menjadi rancu di masa reformasi yang katanya anti rezim orba, namun menciptakan sebuah peraturan yang khas sekali dengan rezim itu. Kemerdekaan menyampaikan pendapat yang tercantum dalam konstitusi republik ini memang tak terwujud pada masa itu. Dimana konsep massa mengambang ala jendral tua yang sudah mati itu tak memberi kesempatan masyarakat mengamalkan pasal 28 UUD 1945.

Padahal, lahirnya reformasi yang diiringi lahirnya berbagai perundangan baru yang membawa angin segar bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya terlah terwujud. UU no 9 Tahun 1998 juga telah memberi keleluasaan masyarakat untuk kembali turun ke jalan, seperti saat melawan parlemen yang tumpul melalui mobilisasi massa yang menjadi sebuah parlemen jalanan yang mampu menghakimi rezim otoritarian tersebut.

 Namun, terlalu banyaknya permasalahan yang tak mampu diselesaikan pemerintahan baru  berbanding lurus dengan banyaknya demonstrasi, baik yang sifatnya seremonial pertahun ataupun insidental untuk menanggapi kebijakan pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang menurut para demonstran menyengsarakan rakyat selalu menjadi isu yang diangkat dalam aksinya. Tetapi terlalu sering pula pemerintahan baru ini tak merasa dikritik atas kebijakannya.

Oleh karena itu, untuk menaikan isu yang mereka angkat di media massa, kebanyakan agenda setting para demonstran akan berujung pada chaos yang dalam protap tersebut disebut anarki. Meski para penanggungjawab aksi tentu memahami teks yang ada di UU no 9 Tahun 1998 dan tahu akan ancaman pidana yang menunggu mereka jika aksi berujung anarki, mereka masih menjalankannya demi mewujudkan kemerdekaan 100% bagi rakyat Indonesia.


Meski begitu, pemerintah bersama aparatur yang kini siap menjadi alat untuk menjaga kekuasaan tidak lagi menghiraukan keselamatan massa dengan penindakan yang berkala hingga perintah tembak di tempat. Kini, kemerdekaan menyampaikan pendapat, sekali lagi diuji oleh peraturan dan legitimasi yang dibuat pemerintah.
Refleksi 39 Tahun Peristiwa Malari
Malapetaka Lima Belas Januari atau yang dikenal dengan peristiwa Malari merupakan sebuh manifesto perlawanan rakyat terhadap kepentingan asing yang terjadi pada tahun 1974.

Peristiwa yang menampar muka presiden karena dilakukan dihadapan Perdana Menteri Jepang saat itu, Kakuei Tanaka yang dianggap sebagai simbol kepentingan asing.
Peristiwa yang memakan 11 korban jiwa, 75 luka berat, ratusan luka ringan, 775 orang ditahan (diantaranya Hariman Siregar, Syahrir), 807 mobil dan 187 motor dibakar ini tentu memberikan pelajaran pada kita bahwa segala bentuk keberpihakan pemerintah kepada kepentingan asing harus dilawan.

Namun, hampir 40 tahun setelah peristiwa malari, bukannya mendorong perekonomian kerakyatan pemerintah justru lebih memilih mendukung modal asing untuk berkembang. Hal ini tentu saja berbanding terbalik dengan harapan aktivis angkatan ’74 yang menjadi korban dari peristiwa malaria.

Keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan asing dapat kita lihat dalam berbagai kebijakan seperti merampok Indonesia, lewat Newmont, Freeport, Chevron, Exon, dll. Sedangkan masalah para petani yang seringkali gagal panen akibat kebanjiran tak pernah diselesaikan.

Belakangan ini, pemerintah sekali lagi mengeluarkan kebijakan uang mendukung kepentingan asing di Indonesia. Hal itu tercermin dengan dikeluarkannyan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Tembakau yang sebelumnya ditentang oleh para petani tembakau.

Dengan dalih kesehatan, pemeritah melalui PP ini melakukan pembatasan dan pengurangan penanaman tembakau yang tentu merugikan petani tembakau dan pemilik perusahan rokok kecil. Selain itu pemerintah juga mempermudah impor tembakau yang membuat harga tembakau lokal jatuh dipasaran.

Lewat kebijakan tersebut, kita dapat melihat pemerintah yang lebih mendukung kepentingan asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia ketimbang mendorong pelaku industri lokal untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, pemerintah juga akan mematikan industri lokal dengan membuka pintu yang sebesar-besarnya bagi perdagangan bebas.

Hal ini tentu saja membahagiakan kapitalis asing. Karena kebutuhan yang mereka butuhkan dengan mudah disediakan oleh pemerintah. Kebutuhan akan keamanan, buruh murah, pasar yang luas dan pelemahan kekuatan lokal telah terjamin dengan peraturan yang berlaku.

Namun bagaimana dengan rakyat? Coba kita tengok saudara kita di Papua sana. Mereka memiliki tanah yang kaya, gunung emas berlimph dan segala keperluan untuk sejahtera. Tapi dengan bodohnya pemerintah memberikan gudang emas mereka untuk asing dengan iming-iming murah dan rendah. Akibatnya, rakyat Papua menelan ludah darah menyaksikan penjarahan besar-besaran emas Papua oleh kapitalis asing.

Tidak hanya itu, para petani, buruh, dan nelayan di seluruh Indonesia pun masih dicampakkan pemerintah. Kenaikan upah minimum provinsi hingga saat ini belum terealisasi. Petani masih menanggung rugi akibat harga gabah yang jatuh akibat impor dan gagal panen yang tak dilirik pemerintah. Nelayan pun masih sulit melaut karena biaya bensin yang mahal.

Saat ini, rakyat selalu digoyang dengan isu kenaikan bahan bakar, tarif listrik, harga pangan, penggusuran dan berbagai tindakan yang berpriketidakmanusiaan oleh pemerintah. Sedangkan kapitalis asing begitu dimanja layaknya istri muda para penguasa.


Apakah perlu terjadi malapetaka baru lagi seperti peristiwa malari untuk menyadarkan penguasa jika rakyat perlu kebijakan yang waras untuk mereka hidup? Apakah rakyat mesti turun lagi ke jalan untuk menampar muka presiden agar tak lgi memberi kasih berlebih pada kapitalis asing? Jika tidak, sampai kapan rakyat harus menunggu para penguasa sadar? Sepertinya kita harus belajar sabar menunggu keajaiban datang.

Selasa lalu (5/3), Wakil Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengumumkan di televisi nasional bahwa Presiden Hugo Chavez Frias meninggal pada pukul 16.25 dalam usia 58 tahun. Presiden yang telah memimpin Venezuela selama 14 tahun ini meninggal akibat kanker yang telah didrutanya selama dua tahun terakhir. Sontak hal ini membuat rakyat Venezuela berduka.

Rasa duka mendalam yang dialami rakyat Venezuela menjadi sebuah kepantasan mengingat Hugo Chavez adalah pemimpin yang begitu dicintai rakyat Venezuela. Selama masa kepemimpinannya, Chavez berhasil mengentaskan 75% angka kemiskinan  dan buta huruf masyarakat. Selain itu rakyat juga dimanjakan dengan hasil minyak yang berlimpah untuk sektor sandang, papan, dan pangan mereka.

Pada pemilu lalu, Chavez berhasil menyingkirkan pesaingnya Henrique Capriles dengan program perumahan rakyat yang terkenal dengan Gran Vivienda. Begitu pula dengan berbagai kebijakan lain yang memihak pada rakyat. Venezuela sendiri dikenal sebagai Negara yang menggratiskan biaya pendidikan hingga perguruan tinggi.

Kebijakan luar negeri Venezuela sendiri membuat Presiden Hugo Chavez juga menarik perhatian dunia. Ketika Negara-negara islam memilih diam melihat perjuangan Palestina untuk merdeka, Chavez malah secara terang-terangan mendukung perjuangan rakyat Palestina dan mengakuio kedaulatan Negara tersebut. Bahkan Chavez berani mengusir Duta Besar Israel dari Venezuela karena Israel melanggar Resolusi PBB mengenai Palestina.

Bagi Negara-negara berkembang, Hugo Chavez memiliki jasa tersendiri. Selama memimpin Venezuela, Chavez punya program Petro Caribe yang menyediakan bantuan minyak dan produk minyak bumi bagi negara-negara kecil di Karibia rata-rata 200.000 barrel per hari dengan syarat pembayaran yang ringan.

Petro Caribe mendapat subsidi tahunan 1,7 miliar dollar AS dan menempatkan peringkat bantuan Venezuela di atas bantuan dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Australia, Belgia, Denmark, Norwegia, Portugal, Spanyol, dan Swiss di kawasan itu. Jumlah itu melebihi bantuan Marshall Plan setelah Perang Dunia II.

Belum lagi peran Chavez dalam membangun aliansi dengan negara-negara sepaham seperti China, Belarusia, Kuba, dan Iran untuk menolak tunduk pada Amerika Serikat. Kekayaan Venezuela akan minyak menjadi senjata utama kebijakan luar negeri dan soft power efektif untuk mendapatkan sekutu sekaligus menyeimbangkan kekuatan yang mengerem nafsu Amerika untuk menguasai dunia.

Kematian Chavez sendiri membuat sekutu sekaligus sahabatnya, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berduka. Ahmadinejad bahkan menetapkan satu hari berkabung nasional untuk mengenang Hugo Chavez. "Venezuela kehilangan pahlawannya, putra terbaiknya, sementara dunia kehilangan seorang pemimpin bijaksana dan revolusioner," ujar Ahmadinejad.

Melihat jasa dan perjuangan Chavez, janganlah heran jika jutaan Warga Venezuela dan dunia begitu berduka. Wafatnya Chavez sendiri merupakan tantangan bagi pembangunan manusia, keadilan sosial, penghormatan terhadap HAM, dan kebebasan individu di Amerika Latin. Bagi Gerakan Nonblok, wafatnya Chavez akan mengurangi suara vokal untuk mendukung Palestina. Begitu juga bagi Amerika Serikat dan sekutu, kematiannya akan jadi momentum untuk menguatkan hegemoni mereka.


Namun, apapun yang akan terjadi, Hugo Chavez telah menjadi sosok yang begitu dicintai dunia. Ia pun telah memberi kontribusi nyata dalam peta politik dan demokrasi dunia. Selamat jalan Chavez, dunia akan terus mengenangmu.