Aditia Purnomo


Historiografi Indonesia masih kacau. Banyak penulisan sejarah yang tidak berdasarkan fakta dan data. Seperti sejarah peristiwa G30S yang pernah ditulis dengan kebohongan para Gerwani memotong penis para perwira Angkatan Darat dan sejarah Indonesia yang katanya dijajah 350 tahun oleh belanda. Begitulah adanya penulisan sejarah yang terjadi di Indonesia.

Dalam banyak kesempatan, sejarah palsu tersebut dipropagandakan melalui banyak media, seperti film, Koran, diktat sejarah, bahkan lagu. Coba saja tengok film pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer dengan propaganda anti komunisnya atau film Janur Kuning karya Alam Rengga Surawidjaja yang mengkisahkan kepeloporan Soeharto pada Serangan Umum 1 Maret. Padahal banyak hal dari kedua film tersebut yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.


Sumpah adalah sebuah hal yang sakral. Dalam banyak hal, sumpah dijadikan sebagai pernyataan sebuah tekad akan kebenaran dan perjuangan. Begitu pula sumpah-sumpah yang dikumandangkan demi Indonesia, semua sama, mengartikan tekad dan kesungguhan dalam perjuangan.

Dalam perjalanan bangsa, sumpah yang paling dikenang dan paling heroik adalah sumpah yang dilakukan oleh para pemuda pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928. Sumpah ini diproklamirkan dalam tujuan mewujudkan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa Indonesia, sumpah yang mewujudkan persatuan nasional dan kebangsaan Indonesia. Sumpah ini kemudian disebut dengan Sumpah Pemuda. 


Bersatulah pelacur-pelacur kota Jakarta, sebuah sajak dari WS Rendra yang menggambarkan kehidupan pelacur. Ia menjadi bagian dari libido kekuasaan, melayani sebagai abdi kuasa yang butuh makan. Masyarakat mengutuk keberadaanmu wahai pelacur, namun lapar tetap lapar, kau dipaksa membunuh perasaanmu melayani para tuan karena sang tuan tak mampu memberimu pekerjaan.

Ya, kalian para wanita, dipaksa melacurkan harga diri dan tubuh kalian demi sesuap nasi. kalian melacurkan segala yang kalian punya demi mengisi perut anak-anakmu. Tak peduli apa kata mereka, asal bisa makan itu saja sudah cukup.

Tapi, seperti kata Rendra, kini datanglah giliran kalian. Bukan lagi untuk membela diri melulu, tapi kini untuk melancarkan serangan.

Kuliah kerja nyata (KKN) selalu disebut sebagai pengabdian. Dengan dalih penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi, mahasiswa dinilai sudah melakukan pengabdian setelah melaksanakan kegiatan tersebut. Tentu saja, standar pengabdian yang diberikan kampus untuk mahasiswa amatlah rendah. Dengan waktu 1 (satu) bulan, mahasiswa yang telah melakukan KKN dianggap telah melakukan pengabdian.

Coba kita tengok sejarah, bagaimana bentuk pengabdian para pendiri Republik ini mengabdi untuk bangsanya. Berulang kali Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan pejuang lainnya ditangkap. Berpindah dari penjara ke penjara, pengasingan ke pengasingan, bahkan mati demi menunaikan pengabdiannya kepada Indonesia. Jelas tak sebanding dengan “pengabdian semu” yang diarahkan sistem pendidikan nasional.


Habis gelap terbitlah terang. Mungkin hanya kalimat itu yang paling identik dengan sosok perempuan bernama Kartini. Bergelar Raden Ajeng, Ia dianggap sebagai pahlawan bangsa, khususnya para wanita karena semangatnya memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan wanita. Memperjuangkan hak emansipasi, tetapi tetap terpingit, dikawinkan paksa, melahirkan dan mati pada akhirnya.

Gambaran seperti itulah yang diberikan oleh rezim orde baru terhadap Kartini tanpa melihat sisi kehidupannya yang lain. Padahal, masih ada banyak sisi hidup yang dimiliki Kartini. Mungkin tak banyak yang tahu ketertarikan Kartini terhadap sastra, melalui puisi-puisi yang ditulisnya. “Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya Seni! Tapi mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi,” begitu katanya.


Soekarno, Presiden pertama sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia selalu dikenal sebagai dwi tunggal. Bersama M. Hatta, ia menjadi sosok yang dikenang rakyat Indonesia. Ya, selalu dikenal dengan sebutan Soekarno-Hatta. Ia selalu dikenal bersama Hatta, dikenang bersama Hatta, jarang dikenang secara personal.

Dalam kurikilum sekolah, perjuangan Soekarno sebagai aktivis perjuangan kemerdekaan hampir tidak dibahas. Karya tulis maupun arsitekturnya (perlu diingat, Soekarno adalah seorang insinyur) hampir tidak pernah dibahas. Begitu pula pidato pembelaannya di pengadilan Hindia Belanda yang tersohor dengan nama “Indonesia Menggugat”, hanya segelintir anak bangsa yang tahu.

Pemahaman yang setengah-setengah inilah yang membuat segelintir anak bangsa itu untuk memberi pemahaman yang penuh akan Bung Karno. Roso Daras adalah salah satunya. Melalui buku “Total Bung Karno”, ia memaparkan penggalan kisah hidup putra sang fajar.

Pendidikan masih menjadi barang mahal bagi sebagian masyarakat Indonesia. Masih tingginya angka putus sekolah dan tingginya biaya kebutuhan sekolah menjadi sebuah bukti jika pendidikan masih menjadi kebtuhan tersier bagi sebagian masyarakat. Akibatnya, pendidikan selalu dianggap sebagai investasi bagi anak untuk meraih masa depan yang lebih baik.


Pada tahun ini, reformasi telah berjalan selama 15 tahun.  Dalam rangka memperingatinya, banyak pihak melakukan seremoni-seremoni guna mengingat salah satu peristiwa paling bersejarah bagi perjalanan bangsa. Mahasiswa Trisakti misalnya, mereka kembali turun ke jalan guna mengingatkan masyarakat akan kisruh dan tragedi yang terjadi saat itu. Begitu pula Fadli Zon yang menerbitkan ulang buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” di peringatan 15 tahun reformasi.

Dalam bukunya, Fadli Zon mencoba menarasikan kejadian-kejadian yang terjadi 15 tahun lalu. Dimulai dengan krisis skonomi Thailand, lembaga moneter internasional (IMF) mencoba masuk dan menggoyang politik Indonesia. Dengan dalih menyembuhkan perekonomian nasional yang terkena dampak krisi Thailand, IMF memberi “obat” yang tidak sesuai dengan penyakit kronis ekonomi nasional.

Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat batu dan kayu jadi tanaman. Begitulah penggalan lirik lagu milik Koes Plus yang menggambarkan kekayaan alam bumi nusantara. Keragaman hayati, kesuburan tanah, samudra yang kaya raya, dan melimpahnya sumber daya mineral membuatnya disebut tanah surga.

Namun sayang, di negeri yang permai ini,  di tempat padi terhampar, para penghuninya justru tak seperti hidup di surga. Berjuta rakyat bersimbah luka, anak kurus tak sekolah, serta pemuda desa tak kerja, begitu ungkapan John Tobing dalam lagu darah juang ciptaannya.


Negara harus berpihak pada petani, begitulah seruan nyata Iwan Fals dalam lagu Desa miliknya. Petani sebagai sumber penghidupan bangsa yang memberikan jiwa raganya untuk menyediakan pangan pada masyarakat. Tapi apalah daya, mungkin pemerintah terlalu sibuk sehingga tak sempat meluangkan waktu untuk mendengar seruan tadi.

Kini, petani yang harusnya perkasa dibuat sempoyongan dengan berbagai macam cobaan dari Negara. Bagaimana tidak, lihat saja arus impor yang begitu besar melanda pasar Indonesia. Mulai dari beras, kedelai, cabai, daging, dan banyak lagi membuat para petani lokal kelimpungan. Kebutuhan pangan masyarakat yang begitu tinggi disertai kurang memadainya ketersediaan pangan dari petani dijadikan dalih pemerintah untuk memainkan kebijakan impor di Indonesia.


Komunis selalu menjadi bahaya laten. Sejak berdiri, Gerakan Komunis selalu menjadi ancaman bagi para pendukung imprealisme kapitalisme. Itulah yang membuat Partai Komunis Indonesia harus hancur pada akhir tahun 1965. Gerakan 30 September, gerakan yang dipimpin Letkol Untung lah yang menjadi penyebabnya.

G30S, gerakan perwira menengah Angkatan Darat yang muak melihat gaya hidup para Jendral yang glamour dan serba mewah, berbanding terbalik dengan hidup para perwira menengah yang pas-pasan. Gerakan ini membawa misi menyelamatkan Presiden Soekarno dari kudeta para Jendral dan mengamankan pemeritahannya.



Bangsa kita adalah bangsa yang besar, itulah yang diyakini Soekarno ketika ia bersama para pendiri Republik ini berjuang memerdekakan Indonesia. Karena itu, kehadiran sebuah Negara boneka milik imprealis di samping persis perbatasan Republik tak dapat ditolerir. Ganyang Malaysia! Begitu katanya.

“Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu!”, begitu semangatnya Soekarno dalam melakukan konfrontasi ke Malaysia sana.