Aditia Purnomo



Beberapa waktu lalu, saya sempat mendengar jika Toko Buku Kalam akan pensiun. Ya, toko buku yang pernah menjadi salah satu tempat penyebaran buku-buku yang dilarang pada akhir Orde Baru ini akan tutup usia. Tentu menyedihkan mendapat kabar seperti ini ketika dunia literasi Indonesia tengah berkembang.

Saya sendiri tidak tahu apa alasan pasti Toko Buku ini tutup, tapi sekadar menerka, saya rasa toko ini tutup karena mulai hilangnya pembaca yang berkunjung kesana. Sekadar info, dulu toko buku ini ramai dikunjungi karena menjadi tempat ngumpulnya anggota Komunitas Utan Kayu. Namun, sejak 2009 Komunitas Utan Kayu sudah pindah ke Salihara.

Pada masanya, toko buku ini menjadi semacam oase ditengah kehomogenan terbitan yang ada di Indonesia. Saat itu, keberadaan buku alternatif masih sangat jarang, dan hanya beredar dibeberapa tempat, salah satunya Toko Buku Kalam ini. Tetralogi Buru karya Pram yang saat itu dilarang pun bisa ditemukan di tempat ini.



Saat kecil, mungkin kamu memiliki cita-cita mulia, kamu ingin menjadi petugas pemadam kebakaran. Ketika itu, kamu berpikir, pasti keren membawa mobil merah besar dengan sirine yang mengiung kencang, lalu datang menyelamatkan warga yang rumahnya kebakaran. Terlihat seperti pahlawan.

Tapi, mblo, tahukah kamu, cita-cita mulia saat kecil itu masih terbawa dalam pola pikirmu saat ini. Mungkin cita-citamu telah berubah, tapi pola pikir “terlihat keren seperti pahlawan” itulah yang membuatmu masih menjomblo saat ini.


Kuliah sebenarnya adalah salah satu hal yang mendukung kepribadian saya. Hanya saja, perspektif kuliah saya tentu berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Bagi saya, persoalan kuliah adalah bagaimana mampu mendapatkan pengetahuan baru, dan setelahnya diaplikasikan sebagaimana Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Bagi saya dan beberapa rekan sejenis, kuliah di kelas adalah hal yang membosankan. Untuk hal ini, banyak hal yang mendukung kebosanan kami (saya dan rekan sejenis). Sebagai contoh, dosen yang mengajar sering terlambat (meski kami juga sering), tak masuk tanpa kabar (membuat mahasiswa membuang-buang waktu saja), dosen kolot yang tak mau didebat (ingat, dosen bukan dewa, dan mahasiswa bukan kerbau), serta bermacam alasan yang membuat saya tak terangsang untuk berada di kelas.




Apa Kabar, Cak? Tak terasa sudah 10 tahun kau pergi untuk selama-lamanya. Di udara, ya, seperti lagu buatan Efek Rumah Kaca, kau menghembuskan nafas terakhir di pesawat yang kau tumpangi untuk menuntut ilmu. Sayang sekali, impianmu harus terhenti di udara.

Apa kabar, Cak? Aku tahu pasti bahwa jasadmu telah dimakan cacing. Lagipula, kematianmu sudah 10 tahun, tentunya jasadmu telah membusuk bahkan tinggal menyisakan tulang-belulang. Tapi tahukah kau, Cak? Semangatmu belum padam hingga hari ini. Masih banyak orang yang menyebutkan namamu, bahkan pada poster bergambar wajahmu dituliskan kalimat “Tidak Mati, Kami Berlipat Ganda”.