Aditia Purnomo


Sudah dua minggu kondisi tubuh tidak mengenakkan. Dimulai dari gangguan pencernaan, dan bermuara pada flu berat. Tidak nyambung, memang. Masalahnya kenapa pula hal yang tidak nyambung ini malah terjadi.

Sepekan lebih saya menderita gangguan pencernaan. Kalau makan, perut malah melilit. Tidak makan, pun melilit. Saat berak pun keluar darah. Astaga, berak berdarah. Begitu saja saya memutuskan ke rumah sakit untuk periksa kesehatan.

Setelah diperiksakan ke dokter, katanya itu gejala radang usus. Saya harus banyak makan buah dan diberi obat serta antibiotik. Lucunya, si dokter memperkarakan aktivitas merokok saya sebagai salah satu penyebab. Malas berdebat ya saya diamkan. Kan aneh perkara usus masih dihubung-hubungkan sama rokok.

Alhamdulillah, setelah minum obat yang diberikan, saya agak baikan. Meski masih suka nyeri, tapi sudah jauh lebih baik. Saya pun bisa pergi ke beberapa agenda yang memang sudah dijadwalkan.

Tanggal 19 malam, saya hadir ke acara Dis Natalis organisasi saya di kampus. Datang sambil hujan-hujanan, pulang pun masih kena hujan. Hasilnya saya langsung pilek disertai bersin-bersin. Masuk ke hari seninnya, tenggorokan pun bermasalah. Sial, jadi merembet begini. Akhirnya kondisi badan yang sudah agak mendingan kembali jatuh dalam dua hari.

Lalu, selasa kemarin saya yang merasa agak lemas memaksakan diri untuk tetap mengisi diskusi di sebuah kampus di Tangerang. Kondisi badan yang tidak baik ditambah lupa makan plus pendingin ruangan yang tidak manusiawi membawa saya pada persoalan meriang yang buruk.

Sepanjang malam rabu, saya tidak bisa tidur karena merasa nyeri di sekujur tubuh. Setelah dikerik/dikerok dengan uang logam pada pagi harinya, baru saya bisa terlelap barang dua-tiga jam.

Selesai dengan angin, baru saya merasakan pilek dan batuk yang menyiksa. Sungguh menyiksa sampai buat tiduran pun tidak enak. Akhirnya saya kembali ke dokter dan menebus resep obat.

Karena hal ini, banyak agenda yang terganggu. Banyak pekerjaan yang tidak selesai. Banyak rasa tidak enak karena lalai akan tanggung jawab.

Makanya, kamu, jangan lupa makan ya. Jangan juga hujan-hujanan. Kalau suamimu belum bisa beli mobil, naik angkutan umum saja. Soalnya saya masih nggak percaya kalau kamu bawa motor jauh-jauh.


Ngomong-ngomong, kamu apa kabar?


Sekitar dua tahun yang lalu, saya pernah menginap di rumah sakit Fatmawati selama dua minggu. Kala itu saya menemani seorang penulis yang mengalami kecelakaan setelah menghadiri undangan dari kegiatan yang saya adakan. Merasa bertanggung jawab, kami, saya dan teman-teman panitia, menemani setiap proses penyembuhan yang dilakukan di rumah sakit.

Selama menemani proses itu, banyak hal yang harus dilakukan. Mulai dari mengurus administrasi, mempersiapkan syarat-syarat fasilitas KJS, mencari donor darah, dan sebagainya. Semua hal itu tentu memberikan beban pada saya dan teman bernama Jong yang membantu mengurus semua itu. Tentu yang terbebani hal seperti itu bukan cuma kami, tapi juga ratusan orang yang mengurus fasilitas KJS untuk pengobatan keluarganya.

Beruntung, saya dan kawan masih bisa menghisap sebatang dua batang kretek di sana. Tentu tidak di pelataran apa lagi dalam ruangan rumah sakit, tapi ya di kawasan parkirnya. Kala itu (seingat saya) saya beberapa kali merokok di dekat tempat parkir bersama beberapa kawan. Mengingat yang saya tunggui di rumah sakit adalah penulis, maka tidak jarang orang-orang yang menjenguk adalah perokok.

Sepengalaman saya, tidak pernah saya ditegur oleh petugas keamanan rumah sakit. Karena menginap cukup lama di sana, saya pun akrab dengan beberapa petugas. Bukan cuma tidak pernah ditegur, malah petugas ini yang menyarankan saya untuk merokok di kawasan parkir dekat gedung tempat saya menginap.

Menurut pengakuannya, Ia simpati dengan keluarga pasien yanng harus pontang-panting mengurus administrasi rumah sakit. Karenanya Ia tidak melarang mereka untuk merokok selama itu dilakukan di tempat semestinya. Ia pun perokok, dan tahu ada cukup banyak petugas rumah sakit yang merokok. Karenanya, Ia mampu menghargai kebutuhan kami, para penunggu pasien, untuk merokok.

Sebagai perokok, saya sangat menghargai kebaikan hatinya. Bukan apa-apa, belakangan peraturan kawasan merokok makin ekstrim dan absurd saja. Merokok seakan tabu dilakukan di kawasan rumah sakit, padahal ya banyak orang yang bersinggungan dengan rumah sakit adalah seorang perokok.

Ketika proses evakuasi pesawat Air Asia, misalnya. Saya ingat saat itu para relawan dan petugas kesehatan yang membantu proses evakuasi diperbolehkan merokok di Rumah Sakit Pangkalan Bun karena beban kerja yang berat. Salah satu pimpinan tim evakuasi, Marsekal Pertama S.B. Supriyadi, malah menceritakan kalau rokok adalah salah satu hal yang membuat mereka tetap waras di sana.

Sebenarnya semua persoalan larangan merokok adalah sama, yakni tentang ketersediaan ruang merokok. Begitu pun di rumah sakit. Bagi saya, rumah sakit serta tempat umum lainnya adalah sama. Tidak bisa orang merokok sembarangan di tempat umum, karena hal ini bisa mengganggu orang lain.

Namun tetap saja perlu disediakan ruang khusus merokok agar para perokok, baik petugas rumah sakit maupun pengunjung dan keluarga pasien bisa menyalurkan kebutuhannya. Kalaupun rumah sakit tidak mampu menyediakan ruangan khusus, pertegas saja satu kawasan di luar ruang untuk menjadi ruang merokok. Meski belum bisa dikatakan layak, setidaknya masih ada ruang yang diperbilehkan.

Karena kalau pihak rumah sakit cuma memberlakukan larangan tanpa memberi ruang bagi perokok, yang ada mereka akan mencuri-curi kesempatan untuk merokok. Bisa jadi hal itu malah mengganggu orang lain ketimbang pengelola rumah sakit (dan tentunya pengelola tempat umum lainnya) memberikan ruang bagi mereka yang mau merokok.


Pertama dimuat di Komunitas Kretek

Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang akan segera menyelesaikan perkuliahan, entah di drop out atau diwisuda, saya harus segera belajar bagaimana cara menjadi buruh yang baik. Karena saya bukan anak pengusaha apalagi penguasa, kecil kemungkinan saya bakal membuka usaha dan lapangan kerja sendiri. Jangankan ngurus usaha, ngurus skripsi saja saya sudah frustasi.

Karenanya, hampir pasti saya bakal jadi pekerja, bakal jadi buruh. Agar dapat bekerja dengan benar, saya perlu tahu saja indikator menjadi buruh yang tepat guna. Karenanya saya perlu belajar.

Beruntung, sepekan terakhir banyak komentar-komentar tentang mogok nasional yang bisa saya jadikan pedoman untuk menjadi buruh yang baik dan benar. Pemikiran cerdas dari pekerja kelas menengah tentang konsep hidup buruh yang benar jelas bakal sangat membantu saya nantinya.

Pertama tentang gaya hidup. Menjadi buruh itu berarti saya harus hidup dalam kondisi pas-pasan. Nantinya, saya harus banyak berhemat. Meninggalkan gaya hidup konsumtif menuju kehidupan yang sederhana dan seadanya. Karena memang yang seperti inilah hakikat hidup buruh, kalau nggak mau disebut miskin ya hidup pas-pasan saja.

Saya harus belajar mengamalkan spirit kapitalisme yang disampaikan Webber. Dengan semangat menerima takdir sebagai buruh, saya harus percaya kalau ketabahan hidup adalah jalan paling baik menuju surga. Terima saja apa yang ada, jangan banyak mengeluh. Apalagi mengeluh sama pengusaha, eh Tuhan maksudnya.

Untuk itu, segala hal yang berbau marxis dan kekiri-kirian harus segera saya lupakan. Selain karena yang begitu selalu dianggap komunis, dan komunis itu selalu salah, ajaran Mbah Marx sendiri adalah antitesa dari semangat kapitalisme. Karena bertentangan, tentunya saya nggak boleh mengamalkan marxisme, apalagi melawan pemilik modal.

Karena itu saya harus banyak mensyukuri apa yang sudah diberikan pengusaha pada saya. Dengan gaji seadanya, toh masih syukur saya bisa makan, meski sehari dua kali dan hanya dengan tempe atau tahu. Ketimbang orang lain yang belum tentu bisa makan.

Lagian mana pantas saya dapat upah yang layak, yang banyak. Buat beli ponsel pintar? Atau punya motor ninja? Jangan mimpi. Yang begituan mah cuma boleh dimiliki kelas menengah pekerja kantoran dan pemilik perusahaan.

Buruh itu pantasnya beli hape Nokia 3100, atau hape-hape prasejarah yang masih berstandar polyphonic deh. Soal kendaraan, bisa beli Astrea Grand tahun 90-an aja sudah bagus. Kalau perlu malah naik angkot aja, biar nggak bikin macet. Karena, bikin macet itu cuma hak kelas menengah dan pengusaha, titik.

Soal tempat tinggal ya kayak nyanyian Iwan Fals. Kalau nggak bisa sewa kontrakan, ya kolong jembatan. Dan agar bisa bayar kontrakan, saya harus bekerja lebih keras dengan mengambil lemburan. Kalau nggak ya mana bisa bayar. Bisa tidur di kontrakan saja sudah bagus, kok bermimpi beli rumah.

Hal-hal yang enak dan menyenangkan itu cuma punya kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha. Buruh mah nggak boleh ngopi-ngopi di kafe atau nonton di bioskop. Buruh cuma boleh nonton layar tancap. Mimpi saja buruh nggak boleh.

Masa level kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha harus disamakan sama buruh. Mana boleh. Pengusaha dan kelas menengah pekerja kantoran itu nongkrong di kafe, kalau buruh ya di warkop saja. Boleh mimpi itu kalau tidur di kasur yang empuk, masa buruh yang tidurnya gelar tikar boleh mimpi.

Dan ini pelajaran paling penting yang harus saya ingat. Pengusaha adalah dewa penolong yang memberikan buruh pekerjaan. Kalau nggak ada pengusaha, buruh nggak bisa hidup. Kalau nggak ada buruh, pengusaha bisa cari yang baru. Pokoknya yang nurut dan bodoh.


Karena buruh yang demo itu cuma dihasut sama kepentingan serikat. Mana bisa mereka sadar kalau dieksploitasi pengusaha. Ingat, buruh itu bodoh dan layak hidup susah. Karena inilah teori pasti soal buruh yang harus kita pahami.

(Tulisan ini pertama dimuat di Mahasiswa Bicara)

Setelah melewati masa panen yang melimpah, masyarakat di kaki Gunung Sumbing menggelar acara merti dusun, atau ritual bersih desa. Hakikatnya, tradisi ini adalah simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya. Karenanya, masyarakat mensyukuri limpahan karunia berupa panen tembakau yang bagus dari-Nya.

Acara merti dusun memiliki beragam tradisinya sendiri. Setiap daerah memiliki caranya masing-masing. Misalkan Upacara Garebeg yang dilakukan di Kraton Yogyakarta, atau yang dilakukan masyarakat di kaki Gunung Sumbing, melaksanakan ritual pernikahan pohon tembakau.

Ritual ini, dilakukan dengan menampilkan dua tembakau, yang satu tembakau lanang dan yang satunya tembakau wedhok. Tahun ini, kedua tembakau diberi nama Kiai Pulung Soto dan Nyai Srinthil, yang kemudian dinikahkan dalam sebuah performance art di atas Sendang Piwaan Dusun Gopakan.

Sebelum dinikahkan, para warga mengikuti doa bersama ini dengan duduk khidmat di bawah bangunan Pasanggrahan Sendang Piwaan. Sendang Piwaan adalah sumber air yang menjadi penghidupan warga untuk minum dan irigasi.

Prosesi Merti Dusun ini diawali kirab dari perkampungan menuju sendang. Barisan pertama warga membawa ingkung ayam, kemudian gunungan hasil bumi dan diikuti kesehatan tradisional jathilan serta warga. Sesampainya di sendang, Mereka berjalan mengelilingi sendang dan kemudian berdoa dipimpin sesepuh dusun.

Setelah itu, Prosesi pernikahan dilakukan. Pernikahan diawali dengan tarian yang menceritakan proses tanam tembakau, memanen dan meranjang dengan pisau dengan iringan tembang Jawa. Tembakau lanang dibawa pemuda berbaju adat Jawa basahan dan tembakau wedok dibawa perempuan muda berkebaya. Kemudian, kedua tembakau itu dipertemukan dan dinikahkan.

Bagi masyarakat di kaki Gunung Sumbing, acara ini memiliki makna yang istimewa. Tradisi ini merupakan perwujudan rasa syukur sekaligus doa dan pengharapan untuk masa depan yang lebih baik. Selain itu, tradisi ini juga bertujuan untuk melestarikan budaya masyarakat bertanam tembakau. Karena memang tembakau lah yang menjadi andalan masyarakat lereng Sumbing.

Menurut masyarakat, meski tembakau tidak enak dimakan, tapi tembakau dapat membuat orang bahagia dan senang. Karena itu, dengan melaksanakan upacara pernikahan ini, mereka berharap tanaman tembakau mendatang dapat lebih memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

Ernesto ‘Che’ Guevara dikenal sebagai salah satu tokoh paling revolusioner di dunia. Ia adalah tokoh pembebasan Kuba, melakukan gerilya untuk meruntuhkan rezim tirani yang kala itu menguasai Kuba. Bersama rekan perjuangannya, Fidel Castro, Ia kemudian berhasil membawa Kuba pada kemenangan terbesar melawan penindasan.

Meski begitu, tak banyak orang yang tahu kalau pada awal gerilya, Ernesto bergabung sebagai tenaga medis, bukan sebagai prajurit. Che Guevara memanglah seorang dokter, Ia mendapatkan pendidikan kedokteran di Universitas Buoenos Aires. Setelah lulus, Ia kemudian memilih untuk bepergian dengan sepeda motor menjelajahi Amerika Latin.

Dalam perjalanannya, Ia melihat kondisi nyata kehidupan masyarakat Amerika Latin yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tinggal di tanah yang kaya, mereka malah hidup miskin, terbelakang, dan sederet kesusahan lainnya. Fenomena ini kemudian menyadarkan dirinya kalau ada yang tidak beres dengan kondisi masyarakat. karena itulah, kemudian Ia memilih jalur revolusioner sebagai gerilyawan.

Sebenarnya, Che Guevara bisa saja memilih hidup bergelimang harta mengingat Ia adalah seorang dokter. Namun, pilihan politiknya membuatnya memilih jalur perjuangan dengan cita-cita membebaskan masyarakat Amerika Latin dari kesengsaraan. Che, bukanlah orang yang seperti dokter-dokter di Indonesia. Ia tak mau kompromi, apalagi bekerja sama dengan perusahaan farmasi.

Pada awal perjuangannya, sebagai dokter Che ditunjuk sebagai tenaga medis. Akan tetapi karena ketangkasan dan kecerdasannya dalam meyusun strategi, Che kemudian ditunjuk menjadi komandan pasukan. Hal ini, sama dengan statusnya sebagai dokter, juga jarang diketahui oleh publik.

Bagi masyarakat umum, ada dua hal yang paling dikenal dari Che Guevara. Pertama topi baret yang kerap menempel di kepalanya, lalu ada cerutu yang menempel di bibirnya. Kedua benda tadi, adalah hal yang paling melekat pada Che, khususnya pada potret-potretnya.

Meski Ia adalah orang yang berkecimpung di dunia kesehatan, tapi Che Guevara sangatlah bersahabat dengan tembakau. Bersama cerutu, yang juga produk nasional Kuba, Ia kerap melewatkan saat-saat istirahat dari aktifitas yang begitu padat. Bahkan untuk hal ini, Ia pernah menyebutkan kalau cerutu adalah pendamping istirahat yang baik bagi prajurit yang soliter.

Che sendiri tahu, banyak rakyat Kuba yang menjadi petani tembakau. Cerutu sendiri adalah produk nasional Kuba, produk unggulan Kuba di pasar internasional. Apalagi Che pernah ditunjuk sebagai menteri perindustrian Kuba, pastinya Ia tahu betul betapa besar potensi ekonomi Cerutu bagi Kuba. Karenanya Che tidak pernah membenci tembakau. Sekalipun Ia seorang dokter, tapi Ia tahu betapa besarnya manfaat tembakau bagi Kuba dan masyarakatnya.

Pekan ini, kaum buruh Indonesia sedang melaksanakan aksi mogok nasional untuk menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Jutaan buruh di Indonesia, secara serentak menghentikan aktivitas produksi perusahaan sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap PP tersebut.

Aksi dilakukan di berbagai daerah, memulainya dari kawanan industri hingga berkumpul bersama di titik-titik strategis daerah tersebut. Di Tangerang, misalnya, pintu tol bitung adalah mimbar utama para buruh menyampaikan aspirasinya.

Aksi mogok nasional ini dilakukan karena upaya dialog dan langkah lain yang diusahakan oleh buruh menemui jalan buntu. Pemerintah tetap saja meneken PP Pengupahan, lalu pengusaha senang sementara buruh merana. Kenapa begitu, jelas karena PP Pengupaan sama sekali tidak berupaya melindungi buruh dari kesewenang-wenangan upah.

Secara umum, kelompok buruh menolak PP tersebut karena tiga hal utama. Pertama, formulasi pengupahan terbaru tidak lagi didasari pada instrumen poin kebutuhan hidup layak. Formulasi didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi, yang kemudian dikalikan dengan upah pada tahun berlaku. Dalam formulasi ini, tidak ada jaminan kestabilan harga pasar yang mempengaruhi daya beli buruh dengan upah seadanya.

Kedua, hilangnya peran serikat buruh dalam pengambilan kebijakan soal upah. Selama ini peran serikat buruh sebagai garda depan perjuangan pengupahan menjadi poin penting kesejahteraan buruh melalui kenaikan upah. Kini dengan hilangnya peran serikat, siapa yang bisa mengawal kebijakan kenaikan upah?

Ketiga, dan bukan terakhir, peninjauan komponen kebutuhan hidup layak yang dilakukan 5 tahun sekali. Hal ini jelas sangat tidak realistis mengingat komponen yang hari ini berlaku saja sudah tidak relevan dengan kebutuhan hidup buruh.

Selain itu, masih ada beberapa hal yang menjadi alasan PP Upah ini mesti ditolak. Misal, hingga hari ini masih ada 23 provinsi yang upah minimumnya di bawah standar kebutuhan hidup layak. Jika formulasinya berdasarkan upah berlaku saat ini, maka kenaikan upah tetap membuat mereka hidup di bawah standar hidup layak.

Pemerintah sendiri hingga hari ini masih gagal melindungi buruh dari perlakuan nakal pengusaha. Penangguhan kenaikan upah masih sangat banyak terjadi tiap tahunnya. Belum sengketa industrial lainnya seperti pesangon yang tak dibayarkan, PHK sepihak tanpa alasan, dan masih banyak lainnya.

Karenanya, setelah dialog dan aksi yang dilakukan tak mendapat hasil, kaum buruh bersepakat untuk menggelar mogok nasional selama empat hari. Mogok nasional tahun ini sendiri agak spesial, karena hampir seluruh elemen serikat menyepakati dan memilih berjuang bersama. Sebelumnya, mogok nasional tak pernah seramai ini (dalam hal kesepakatan elemen serikat).

Kemudian kenapa yang dipilih adalah mogok, bukankah mogok kerja bakal membuat perusahaan merugi dan bisa jadi memilih menutup perusahaannya?

Yang jelas mogok adalah hak setiap pekerja yang dilindungi berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana pada pasal 137 Undang-undang tersebut berbunyi, “mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan”. Maka, jelas sudah kalau mogok diperbolehkan undang-undang.

Lalu soal kerugian, bukan cuma perusahaan yang merasakan rugi. Karena selama melakukan mogok kerja, upah buruh tidak dibayarkan sepanjang hari ia mogok. Jadi, mogok sendiri memiliki konsekuensi perjuangannya sendiri.

Selain itu, kerugian perusahaan memang menjadi salah satu target dari aksi mogok. Tujuannya jelas, agar pengusaha sadar kalau buruh adalah elemen penting dalam produksi. Bukan sekadar pelengkap apalagi budak. Karenanya, dalam aksi mogok kerja selalu mengupayaka berhentinya proses produksi secara total.

Perkara urusan pengusaha ingin mencabut investasinya, ya silakan saja. Kaum buruh yang sadar tidak bakal gentar dengan hal macam itu. Karena dengan menutup perusahaan, pengusaha bakal kehilangan sumber pemasukan dan akan mengeluarkan ongkos besar sebagai upaya menutup perusahaannya. Ingat, kalau buruh dipecat selalu ada ‘pesangon’ yang harus dibayarkan.

Lalu, setelah penjelasan di atas mengenai asalan-alasan kenapa para buruh mogok nasional masih saja ada kelas menengah yang mencibir perjuangan buruh, ya biarkan saja. Mereka hanya manusia bermental inlander yang masih saja berpikir kalau buruh adalah budak dan tidak boleh sejahtera.

Lagipula, mana mau mereka membaca tulisan macam ini dan perkara substansial yang dihadapi buruh. Wong skripsi aja mungkin banyakan copy paste daripada tulisan sendiri.

(Pertama diterbitkan di Mahasiswa Bicara)

Hari ini laptop saya mogok. Ia ngadat dan tidak bisa digunakan. Ia mogok, bukan untuk untuk keren-kerenan apalagi ikut-ikutan buruh. Laptop ini mogok, karena tidak kuat dengan eksploitasi yang saya lakukan kepadanya.

Laptop ini hanyalah mesin. Ia bisa rusak apabila digunakan tanpa mengingat batasan dan kemampuannya.

Ingat loh, laptop ini adalah mesin yang katanya bisa menggantikan tenaga manusia. Gimana jadinya kalau manusia yang bukan mesin, mungkin bakalan mati kalau dipaksa kerjain produksi mulu.

Kemudian, apa saya berpikir untuk mengganti laptop? Jawabnya ya. Namun hal itu sulit terwujud mengingat saya hanya besarnya biaya yang bakal dikeluarkan untuk membeli laptop baru. Pilihannya ya menuruti mau si laptop, diobati dan nantinya diberikan jam istirahat lebih.

Kalau buruh yang mogok, apa perusahaan akan berpikir untuk menarik investasi dan menutup perusahaan? Jawabnya juga iya. Namun, bayangan akan beban memberi pesangon pada buruh yang diberhentikan dan modal besar buat membangun perusahaan baru pasti lebih menghantui pengusaha.

Yang pasti, dengan mogoknya laptop ini, saya menyadari kalau keberadaannya bukanlah pelengkap dalam agenda dan aktifitas saya. Ia adalah bagian penting dari kehidupan saya. Hingga nantinya saya tak bisa berlaku seenaknya saja kepada laptop ini.


Lalu, semoga saja pengusaha juga cepat sadar kalau buruh memiliki peran yang besar dalan kegiatan produksi perusahaannya. Bukan sekadar pelengkap apalagi budak. Toh dengan mogoknya para buruh, pengusaha bakal tahu kalau mereka tak bisa menjalankan perusahaanya tanpa keberadaan buruh.

Ada baiknya mulai besok saya berhemat. Mengubah gaya hidup yang konsumtif menjadi sederhana dan seadanya. Agar nantinya nggak perlu lagi ada kenaikan upah dan demo-demo buruh.

Saya perlu mengamalkan spirit kapitalisme dengan semangat menerima nasib agar tidak banyak melakukan protes terhadap perusahaan. Apabila saya menerima gaji yang pas-pasan ya diterima saja. Toh masih syukur saya bisa makan, meski sehari dua kali dan hanya dengan tempe atau tahu.

Saya harus percaya kalau ketabahan hidup adalah jalan paling baik menuju surga. Terima saja apa yang ada, jangan banyak mengeluh. Apalagi mengeluh sama pengusaha, eh Tuhan maksudnya.

Lagian mana pantas saya dapat upah yang layak, punya ponsel pintar atau memiliki motor ninja. Hal-hal macam itu cuma boleh dimiliki kelas menengah pekerja kantoran dan pemilik perusahaan.

Untuk bisa bayar kontrakan, saya harus bekerja lebih keras dengan mengambil lemburan. Kalau nggak ya mana bisa bayar. Bisa tidur di kontrakan saja sudah bagus, kok bermimpi beli rumah.

Hal-hal yang enak dan menyenangkan itu cuma punya kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha. Buruh mah nggak boleh ngopi-ngopi di kafe atau nonton di bioskop. Buruh cuma boleh nonton layar tancap.

Masa level kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha harus disamakan sama buruh. Mana boleh. Pengusaha dan kelas menengah pekerja kantoran itu nongkrong di kafe, kalai buruh ya di warkop saja.

Ingat, pengusaha adalah dewa penolong yang memberikan buruh pekerjaan. Kalau nggak ada pengusaha buruh nggak bisa hidup. Kalau nggak ada buruh, pengusaha bisa cari yang baru. Pokoknya yang nurut dan bodoh.

Karena buruh yang demo itu cuma dihasut sama kepentingan serikat. Mana bisa mereka sadar kalau dieksploitasi pengusaha. Ingat, buruh itu bodoh dan layak hidup susah.


Dulu saya pernah dicaci teman karena dianggap merendahkan martabat guru di depan forum dalam sebuah diskusi bersama teman-teman mahasiswa dari fakultas pendidikan sebuah kampus swasta. Teman saya, dia mahasiswi fakultas pendidikan, marah karena profesi guru saya samakan dengan buruh. Menurutnya, profesi guru jelas berbeda dengan buruh. Guru mengabdi untuk anak bangsa, sedang buruh, jelas berbeda pokoknya.

Lalu Ia menjelaskan kalau menjadi guru itu tidak mudah. Menjadi guru memerlukan tanggung jawab yang besar, karena bagaimanapun masa depan bangsa ada di tangan mereka. Karenanya jangan samakan dengan guru yang bekerja dengan penuh pengabdian, beda dengan buruh yang bekerja untuk hidup sehari-hari.

Di forum itu, saya malas menanggapi bantahannya. Karena dengan posisi berpikir yang tidak objektif, dia hanya akan terus mendebat kusir jawaban saya. Maka saat itu saya hanya bilang kalau guru pun mengajar untuk mendapatkan gaji. Tanpa mau berpanjang-panjang saya kembalikan arah diskusi kepada tema yang diusung.

Meski begitu, hingga hari ini saya masih berkeyakinan kalau guru dan buruh adalah sama. Mereka sama-sama tenaga kerja produktif yang bekerja (juga) untuk menghidupi diri mereka dan keluarganya. Sama-sama  bekerja untuk memperjuangkan kesejahteraan.

Kalau pun beda, itu hanya pada progresivitas saja. Kaum buruh lebih terorganisir ketimbang guru. Mereka pun lebih berani bersuara ketika hak-haknya akan kesejahteraan direbut oleh negara atau perusahaan. Karena itu, dalam beberapa hal saya merasa bahwa buruh bahkan memiliki derajat yang lebih tinggi dari guru. Dalam beberapa hal ya.

Saya sendiri tidak bisa menafikan peran guru. Bahwa guru berjasa bagi hidup saya, iya. Tapi tidak semua orang yang berprofesi sebagai guru yang saya kenal dan saya tahu punya etos layaknya guru. Kalau mau jujur, berapa banyak guru yang tidak kamu sukai cara mengajarnya? Atau berapa banyak guru yang meninggalkan pekerjaan untuk nyambi kerjaan lain? Kalau buruh sih meninggalkan pekerjaan buat aksi, nah kalau guru?

Kalimat guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, bagi saya, hanyalah slogan-slogan yang tidak mampu dibuktikan oleh mereka. Buktinya berapa banyak guru yang tidak melulu mengejar sertifikasi agar mendapat kenaikan tunjangan.  Toh pada akhirnya guru-guru lebih mengedepankan kesejahteraannya.

Memang mendapat kesejahteraan dan gaji adalah hak bagi guru, namun apakah itu menjadi perkara nomor sekian selain urusan mengabdi? Berapa banyak guru-guru muda yang mengejar status PNS agar mendapat kesejahteraan yang layak? Atau yang pernah saya alami, apa tidak ada guru yang mengambil keuntungan dari muridnya dengan menjual atau meminta seusuatu?

Sekali lagi, saya tidak bilang kalau semua guru pasti berlaku begitu. Ada juga guru yang benar-benar memliki etos pendidik yang tepat. Ada guru yang saya hormati, tapi tak sedikit juga guru yang saya tak sukai. Tentu ada juga guru yang saya caci dan ajak berdebat.  


Lagipula, bagi saya semua orang adalah guru, dan alam raya adalah sekolah. Saya bisa belajar banyak meski tak melulu berada di kelas. Dan yang paling penting adalah guru bukan dewa, mereka tak selalu benar. Karenanya jangan marah jika saya mengatakan kalau guru dan buruh sebenarnya sama saja. Sama-sama bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Sejak kemarin sampai hari jumat teman-teman buruh melaksanakan ibadah mogok nasional. Kenapa mogok dilakukan, ya karena dialog tidak menghasilkan solusi dari tuntutan buruh.

Pada mogok nasional tahun ini, buruh membawa isu utama tentang penolakan PP Pengupahan dan tuntutan untuk dibatalkannya PP tersebut. PP Nomor 78 Tahun 2015 ini secara substansial mengatur kenaikan upah berkala tap tahunnya berdasarkan formulasi tetap. Formulasi itu ialah upah minimum tahun ini akan dikali dengan berapa persen pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.

Sekilas, PP dan formulasi upah ini terlihat manis. Karena menjanjikan kenaikan upah yang pasti tiap tahunnya. Tapi kemudian, harus dipahami konteks masalah pengupahan yang terjadi hari ini terlebih dahulu sebelum menerapkan hal seperti itu.

Saat ini, upah yang berlaku di Indonesia masih berada di bawah standar layak. Bahkan Filipina saja memiliki standar upah minimal mencapai Rp 4 juta perbulan. Penghitungan upah di Indonesia sendiri dilakukan berdasar komponen hidup layak yang ditetapkan pemerintah. Sayangnya, 60 komponen yang berlaku merupakan warisan orde baru yang hingga kini tak disesuailan dengan kondisi zaman.

Karena itulah kemudian teman-teman buruh menolak PP Pengupahan yang belum layak pakai selama upah minimum tidak disesuaikan dengan standar hidup sejahtera terlebih dahulu.

Tak hanya soal formulasi, teman-teman buruh juga menolak PP ini karena menghilangkan peran serikat buruh secara signifikan dalam pengambilan kebijakan tentang upah. Serikat buruh, tak lagi diberi ruang dalam penentuan upah minimum yang dulu dilakulan oleh dewan pengupahan kota/kabupaten.

Karena berbagai dialog dan aksi-aksi yang dilakukan buruh tidak digubris pemerintah, dan pemerintah malah menerapkan PP Pengupahan meski DPR sudah meminta ditunda dulu penerapannya.

Sebagai contoh, UMK Bantul tahun lalu adalah Rp 1.108.249. Berdasarkan formulasi PP Pengupahan, UMK Bantul hanya naik Rp 133.900 saja. Kalau mau kita hitung kebutuhan hidup di sana, apakah kenaikannya mampu memenuhi hidup buruh dan keluarganya dalam sebulan?

Ada baiknya kita mulai berpikir adil terhadap buruh. Apakah anda dan keluarga bisa hidup dengan uang sebesar Rp 1,3 juta dalam sebulan? Mungkin uang segitu bakal anda habiskan untuk ngopi-ngopi gemez selama seminggu.


Karena itu ada baiknya anda diam saja ketika melihat buruh memperjuangkan haknya (mungkin juga hak anda). Jika anda memang belum bisa ikut berjuang, maka dukunglah perjuangan buruh dengan tidak mencibir mereka. Dengan diam. Biar bagaimanapun juga, selemah-lemahnya perjuangan adalah dengan mendukung meski dilakukan dalam diam.
Beberapa hari terakhir tak banyak hal yang saya lakulan. Bahkan untuk membuka sosmed pun saya malas. Kalau bukan karena agenda mogok kemarin, mungkin saya masih tidak memainkan sosmed.

Bukan apa-apa, saya sedang malas berhubungan dengan siapapun, dengan apapun. Menghentikan aktifitas memberi kabar, begitupun mendapatkan kabar. Sedang ingin asosial pokoknya.

Banyak hal-hal terbengkalai, banyak hal-hal yang tidak selesai. Tapi dengan begini, saya jadi belajar menata diri. Bersiap untuk beberapa hal yang harus dihadapi.

Nyatanya menjadi asosial tidaklah mudah. Ada banyak hal yang perlu dikeluarkan, namun harus tertahan. Ada banyak hal yang ingin diungkap, tapi tak keluar.

Tidak menyenangkan memang hanya berbicara pada dinding kamar. Tidak mengenakan tidak mendapat tanggapan dari orang.

Di dalam kamar, saya lebih sering membaca buku. Beberapa buku saya khatamkan. Selebihnya saya bengong, mencoba menulis, dan membuat mie instan juga kopi.

Ada yang menyenangkan dari menjadi diam. Buku-buku yang lama tak tersentuh kini kembali terbaca. Tak enaknya tentunya menjadi tidak tahu apa yang terjadi di luar sana.

Tapi dengan begini saya belajar soal betapa berharganya kabar dari seseorang, betapapun tidak menyenangkannya kabar itu. Kadang kita terlalu banyak berbicara tanpa mau banyak mendengarkan.


Karena itu saya tetap berharap bisa mendapatkan kabar darinya. Meski mungkin agak sulit terjadi, tapi toh kita tetap boleh berharap. Karena menurut Pram, hidup tanpa harapan adalah hidup yang kosong. Selamat berbahagia.

Pada tahun 1989 Untung Noor hanya tukang ojek biasa. Karenanya saat melihat kebakaranyang melalap dealer motor di Kota Banjarmasih, tak banyak yang bisa dilakukannya. Sebagai tukang ojek, kewajibannya adalah mengantar penumpang sampai tujuan. Maka Ia pun pergi meninggalkan kebakaran tanpa bisa melakukan apa-apa.

Kejadian itu, kemudian begitu membekas pada benak lelaki yang akrab disapa Kai Untung ini. Setelahnya, Ia pun bergabung sebagai relawan barisan pemadam kebakaran di Banjarmasin. Tak sekadar bergabung, Kai Untung pun kemudian menyisihkan penghasilannya dari berjualan rokok dan bensin eceran untuk membeli mobil tua untuk dijadikan mobil pemadam kebakaran.

Dalam talkshow yang dilakukan pada sebuah televisi swasta, Kai Untung menceritakan perjuangannya bersama komunitas Pemadam Musibah Kebakaran (PMK) ‘Penjelajah’ yang didirikannya tahun 2004. Awalnya, Ia memulai komunitas ini dari komplek tempatnya tinggal. Bermodal mobil tua yang dijadikan mobil pemadam ini, Ia dengan sukarela membantu orang-orang yang terkena musibah kebakaran.

Mobil tua itu dibeli setelah lima tahun Ia menabung. Dari sebagian hasil jualan rokok dan bensin eceran, Ia meminta istrinya untuk menyimpan uang tersebut agar suatu saat bisa dibelikan mobil. “Saya tidak menabung di bank, tidak mengerti. Jadi saya minta istri yang simpan,” jelasnya pada talkshow tersebut.

Setelah memiliki mobil pemadam, Kai Untung bersama komunitas relawan pemadam kebakaran telah mendatangi banyak tempat. Dari kebakaran ke kebakaran, dari bencana ke bencana. Area kerja mereka pun tak terbatas pada kota Banjarmasin saja, tapi juga daerah-daerah di sekitarnya. “Pokoknya kalau dengar ada kebakaran, lagi sarapan pun Kai akan berangkat,” ujarnya.

Sebagai masarakat biasa, apa yang dilakukan Kai Untung bersama PMK Penjelajah adalah hal luar biasa. Mengingat bagaimana kehidupan masyarakat hari ini yang semakin acuh pada lingkungan, militasi Kai beserta kelompoknya patut diacungi jempol. Apalagi Kai beserta kelompoknya bukanlah abdi negara yang memang berkewajiban mengamankan area kebakaran.

Hal-hal macam ini, bantuan dari pihak ketiga, menjadi penting dalam banyak hal. Jika melihat ketidakmampuan aparatur negara dalam menyelesaikan berbagai masalah, bantuan dari pihak lain seperti dari PMK Penjelajah atau kelompok lain tentu akan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sayangnya, negara masih saja memandang kelompok-kelompok ini dengan pandangan sebelah mata.

Meski tidak mengharap imbalan, kelompok Kai Untung tentu memerlukan bantuan untuk menjalankan operasional komunitas. Apalagi, mereka tidak hanya memiliki mobil pemadam, tapi juga mobil ambulans yang memerlukan perawatan agar bisa dimaksimalkan dalam setiap musibah.

Begitulah cerita Kai Untung. Masyarakat biasa yang berupaya membantu mereka yang tidak terlayani negara. Menyisihkan sedikit demi sedikit uang hasil jualan rokok dan bensin eceran untuk membeli mobil pemadam. Karenanya, jangan melulu berharap pada negara. Seperti Kai Untung, jika ada yang bisa kita lakukan untuk membantu orang lain, begeraklah. Jangan ragu.

Sebulan terakhir saya sedang mencoba melatih diri untuk terus membaca. Dulu ketika awal masuk kuliah, saya sanggup menghabisi sekitar 15-30 buku dalam sebulan. Hal ini berlangsung dalam periode yang cukup lama, yakni 1,5 tahun.

Tapi setelahnya, saya begitu alpa dalam membaca. Tiga tahun lebih saya gagal membaca sebuah buku habis dalam sebulan. Malah seringkali saya tidak membaca buku dalam sebulan.

Saat itu saya memang tengah disibukkan kerja organisasi dan kegiatan di lapangan yang sangat menyita waktu. Bukan hendak memaklumi, gairah berorganisasi saya waktu itu sedang tinggi-tingginya. Tapi ya tetap saja pengalaman di lapangan tidak mampu saya imbangi dengan bacaan yang menopang aktifitas itu.

Belakangan saya merasa hidup yang sangat hambar. kesibukan dan aktifitas tiada henti dilakukan, tapi tetap saja ada yang saya rasa kurang dalam hidup ini. Akhirnya, saya memutuskan untuk melatih diri agar tetap membaca. Karena saya menyadari betapa hambarnya hidup dengan aktifitas yang padat tanpa sama sekali memberikan otak ini gizi yang baik.

Sudah jarang memberi makanan pada otak, tiap harinya otak harus saya peras hingga mentok terakhir.

Baiknya, keberuntungan menghampiri saya dari teman-teman yang baik. Selain berkawan dengan banyak penjual buku bergizi, ada juga teman-teman yang dengan membuka penerbitan dan menyajikan buku yang saya rasa perlu untuk dibaca.

Misalkan buku Melawat dari Timur yang diterbitkan teman-teman dari Buku Mojok. Ketertarikan saya pada persoalan sosial membuat buku ini menjadi penting untuk dibaca, karena menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia Timur. Memberikan gambaran soal prahara panjang karena agama, juga hal-hal sederhana soal kehidupan sehari-hari masyarakat.


Kalau teman-teman tertarik dengan buku ini, mohon jangan hubungi saya buat membelinya. Karena saya juga mendapatkan buku ini dari Pojok Cerpen. Bukan dapat sih, tapi beli. nah kalau kalian mau beli, silakan hubungi yang bersangkutan. 


Saya pernah melihat seorang anak termenung melihat rumahnya dirobohkan aparat pamong praja. Kebetulan rumah itu milik seorang teman, dan anak itu adalah adiknya yang paling kecil.

Saat itu saya dan beberapa orang lainnya melakukan advokasi terhadap teman saya. Membantu teman yang dipaksa pindah karena rumahnya mengganggu pembangunan. Tapi kemudian kami gagal. Rumahnya dibongkar, Ia bingung harus tinggal dimana.

Beberapa minggu lalu seorang teman mengabarkan kalau tempat ibadahnya bakal disegel aparat. Ia minta bantuan, agar tempat ibadahnya tak jadi disegel. Dua minggu berlalu, rumah ibadahnya akhirnya ditutup aparat. Alasannya sederhana, dianggap mengganggu ketertiban masyarakat.

Dalam dua kasus tadi, saya gagal membantu teman. Meski ada banyak lagi kekalahan yang saya alami, dua kejadian tadi adalah yang paling menyakitkan. Karena sebagai seorang manusia, saya masih saja gagal membantu teman mempertahankan sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan mereka.

Padahal, selama ini saya sering dianggap sebagai orang yang luar biasa. Orang hebat. Padahal ya, membantu kedua teman tadi saya gagal.

Seringkali saya memiliki pemikiran yang saya anggap besar. Seringkali saya ingin melakukan sesuatu yang besar. Padahal, untuk hal-hal yang sangat dekat pada saya masih saja gagal saya wujudkan.


Sial memang untuk seorang yang bermimpi besar seperti saya. Ketidakmampuan untuk menyadari kalau saya ini tidak mampu melakukan hal besar begitu menyakitkan. Ya meski karena kekalahan demi kegagalan, saya akhirnya sadar kalau saya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. 

Pada siang hari yang terik ketika puluhan ribu buruh sedang berdemo menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, pejabat teras Pemprov Jakarta, tengah melakukan aksi senyap. Tak ada yang menyangka, tak ada yang mengira, bapak Ahok tercinta mengeluarkan Peraturan Gubernur terbaru tentang Demonstrasi. Yak, mengatur perihal demonstrasi.

Dalam peraturan tersebut, Ahok menegaskan bahwa hanya ada tiga lokasi yang boleh dipakai untuk berdemo, yakni Parkir Timur Senayan, Alun-alun Demokrasi DPR, dan Silang Selatan Monas. Selain itu tidak boleh, apalagi kalau demo di Balaikota Jakarta tempat Ahok ngantor. Alasannya, jelas saja karena demo itu mengganggu ketentraman hidup warga ibukota.

Bagaimana tidak mengganggu, sudah yang demo itu bukan warga dengan KTP Jakarta, bikin jalanan kotor dengan sampah-sampah yang berserakan, dan yang paling parah tentu bikin macet. Bikin macet, catat itu. Sudah susah-susah warga Jakarta bayar pajak mahal masa masih kena getah kemacetan dari demonstrasi.

Karena itulah, Pergub ini harus didukung penuh warga Jakarta. Bayangkan saja Jakarta tanpa demo, tentu warga tetap nggak bakal kena macet lagi, ya masa macet hilang cuma karena nggak ada yang demo lagi. Tapi ya minimal, kalau demo cuma dilakukan di tiga tempat tadi nggak bakal deh buruh kena nyinyir kelas menengah (ngehek). Jelas-jelas demonya di tempat tertutup yang sudah disediakan, nggak bakal melanggar hak warga Jakarta.

Lagian kalian ini tahu kan Parkir Timur Senayan biasa dipakai buat apa? Paling kalau ada yang mau demo harus rebut-rebutan sama acara kayak Jackcloth, Hayday, atau konser-konser lain. Atau, konsernya digabung sama yang demo, biar kuat-kuatan yang paling keras sound systemnya.

Terus Alun-alun Demokrasi, dari namanya aja udah ngeri. Tempat ini memang sengaja dibuatkan oleh anggota dewan agar mereka yang demo nggak perlu panas-panasan lagi di jalanan. Di Alun-alun ini, sudah disediakan tenda yang cukup luas biar orator yang mimpin aksi nggak kehabisan suara gara-gara kepanasan. Kurang apa coba, bisa teriak sekencang-kencangnya tanpa mengganggu orang lain, termasuk anggota dewan yang didemo.

Nah kalau di Monas, yang aksi malah difasilitasi Ahok buat wisata gratis di sana. Palingan cuma bayar kalau mau naik lift Monas atau beli air minum saja. Daripada aksi di depan istana tapi masih foto-foto di Monas juga, mending sekalian aksi di Monas lah.

Lagipula Pergub ini nggak melarang orang buat demo, nggak melarang orang buat menyampaikan aspirasi. Catat itu. Pergub ini cuma memastikan demo ada di tempat yang benar-benar sepi hingga nggak ganggu orang lain, apalagi ganggu pemerintah dan parlemen.

Meski sebenarnya, ada satu tempat yang luput dari pandangan Ahok buat orang-orang demo. Yak, betul. Harusnya linimasa twitter juga dijadikan salah satu tempat demonstrasi yang diperbolehkan. Selain nggak bakal bikin jalanan macet kayak mobil-mobil kelas menengah ngehek itu, demo di twitter paling mentok cuma nyampah di timeline.

Tapi jangan salah sangka dulu. Kalau mahasiswa jomblo nan proletar macam saya bilang revolusi berawal dari warung kopi, sekarang udah beda zaman bos. Revolusi dimulai dari Twitter, pake hestek. Nggak percaya, coba tanya #TemanAhok yang getol banget belain Pergub ini di twitter.

Kita mesti belajar dari Ahok dan teman-temannya. Perkara menyampaikan aspirasi dan menolak kebijakan nggak perlu menggunakan aksi massa. Cukup ngeluh di twitter aja, asal jangan mengumpat biar nggak kena pasal Hate Speech. Toh orang-orang macam Jonru pun masih bisa bermimpi bikin revolusi dengan hestek, ya kan?

Selain dikenal sebagai kota santri, Kudus tentunya juga dikenal sebagai kota Kretek. Meski begitu, jangan pernah ke kudus untuk melihat ladang tembakau. Kudus dikenal karena industri kreteknya yang menghidupi warganya selama puluhan tahun.

Sejarah kretek bermula disini. Bukan karena tembakau pertama kali ditanam di sini, tapi karena penemuan Haji Djamhari terhadap tembakau dan cengkeh yang dilinting bersama sebagai obat sesak napasnya. Kemudian penemuannya ini dikenal masyarakat sebagai Kretek karena bunyinya yang ‘keretek-keretek’ saat dibakar.

Bukan cuma cerita soal Haji Djamhari, sejarah juga mencatat Nitisemito bersama istrinya Nasilah memulai bisnis industri kretek di kota ini. Awalnya, mereka hanya berdagang warung rumahan. Namun karena besarnya permintaan, akhirnya bisnisnya berkembang menjadi industri dengan jumlah pekerja yang besar.

Menurut sejarah, sedari muda Nitisemito seringkali membuka usaha, namun seringkali juga gagal. Hingga kemudian, Ia memutuskan menjual tembakau bersama istrinya di rumah.

Warung Nasilah menjual kretek yang banyak disukai pelanggannya. Campuran irisan tembakau dan cengkeh kemudian di bungkus dalam kulit jagung kering yang dikeringkan, lalu diikat dengan tali dari benang buatan Nasilah. Kini, kretek dengan pembungkus daun jagung itu dikenal dengan Klobot.

Seperti sudah dijelaskan diatas, kretek yang dijual Nasilah ini banyak disukai, dan permintaannya terus bertambah. Karena itu, menjualnya dengan nama produk dan mendirikan pabrik untuk memproduksinya. 10 tahun berjalan, pabriknya sudah dapat memproduksi sebanyak 10 juta batang dalam sehari dan mempekerjakan sekitar 15 ribu orang.

Cerita Nitisemito dan Nasilah tadi terjadi di paruh awal abad 20. Dan karena bisnisnya lah, Nitisemito telah membuka pintu zaman industri kretek. Dan kerajaan binisnya dimulai dari kota kretek, Kudus.

Karena banyaknya cerita tentang kretek di Kudus, pada tanggal 3 Oktober 1986, Guberbur Jawa Tengah kala itu Soepardjo Roestam mendirikan Museum Kretek sebagai monumen pengingat zaman bahwa sejarah Kretek dimulai di Kudus. Semua ini terjadi menyaksikan potensi kontribusi usaha kretek dalam menggerakkan perekonomian daerah dan penghidupan masyarakat.

Museum ini adalah saksi bisu bagaimana Kudus kemudian terus berkembang bersama industri kretek hingga hari ini. Meski begitu, Kudus juga menjadi saksi besarnya pengaruh kampanye dan kebijakan anti rokok yang membuat ribuan industri kretek rumahan yang gulung tikar. Kini, tinggal tiga perusahaan besar yang masih beroperasi di Kudus, yakni Sukun, Norojono, dan Djarum.

Pemerintah Kabupaten Kudus sendiri banyak bekerja sama dengan perusahaan dalam pembangunan Kudus. Pada bidang olahraga misalnya, dibangun Perkumpulan Bulutangkis Djarum yang membina bibit muda pebulutangkis lokal. Begitu juga pembangunan Gerbang Kudus Kota Kretek di kawasan Taman Tanggul Angin.


Begitulah, Kudus dan Kretek memang tak terpisahkan. Sedari abad 20-an hingga sekarang, kretek terus hidup bersama masyarakat dan Kota Kudus. Bukan hanya membangun perekonomian Kudus, tapi juga menghidupi masyarakatnya. Kota yang hidup dan tumbuh bersama kretek.
Bagi para pecinta cerutu, Kota Deli di Sumatera Utara adalah sebuah tempat yang tak asing bagi mereka. Sekalipun belum pernah ke sana, mereka biasanya mengetahui Deli karena kota ini adalah salah satu penghasil tembakau Na oogst terbaik di dunia yang digunakan untuk produksi cerutu. Belum lagi, sejarah panjang tembakau dan cerutu Deli yang mendunia membuat para pecinta cerutu hampir pasti mengenal tempat ini.

Kisah antara Deli dan tembakau bermula sejak pemerintahan kolonial menerapkan tanam paksa kepada petani di Nusantara. Ketika itu, Deli dikenal salah satunya berkat perkebunan tembakau, yang dirintis oleh pebisnis Belanda yang kelak mendirikan Deli Maatschappij. Sejak saat itu, perkebunan tembakau di Deli mulai berkembang.

Pada masa itu, Deli Maatschappij bisa mengekspor tembakau sekurangnya 207 kg karena izin konsesi penguasaan lahan oleh perusahaan swasta asing. Kebijakan inio dikeluarkan untuk mendorong produksi komoditas yang diserap oleh pasar global. Hingga akhirnya, Pada awal abad ke-20 perusahaan itu merajai pasar, tembakau Deli dikenal sebagai bahan pembungkus cerutu (wraffer) terbaik dunia.

Perkembangan ini turut mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kota Medan (saat itu Deli termasuk dalam wilayah Medan) pun berkembang sebagai sebagai pusat perdagangan dan pusat pemerintahan di wilayah itu. Tenaga kerja dari Tiongkok, India, dan Jawa pun didatangkan untuk menyokong perusahaan.

Pada buku berjudul Menjinakkan Sang Kuli, Jan Breman menulis pada 1873 jumlah kebun tembakau baru 13 dan pada 1876 menjadi 40 kebun. Lalu dalam buku Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979, Ann Laura Stoler  melaporkan sudah ada 179 kebun tembakau besar dan kecil tumbuh di Sumatera Timur pada tahun 1889.

Namun memasuki abad 20, perkembangan industri tembakau di Deli mulai merosot. Sejak tahun 1930an sudah banyak perusahaan yang beralih ke tanaman lain, dan hal ini menyebabkan produksi tembakau di Deli jadi berkurang. Pada tahun 1950an, Deli Maatschappij dinasionalisasi oleh pemerintah Republik. Namun, saat itu perusahaan perkebunan tembakau hanya menyisakan tiga perkebunan yang masih beroperasi. Kemudian ketiganya beroperasi di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.


Meski telah melewati masa jayanya, tembakau Deli masih menjadi salah satu yang terbaik untuk cerutu. Permintaan pasar dunia terhadap tembakau ini masih tinggi, meski Deli sendiri belum bisa memenuhi permintaan pasar tersebut. Kini Deli masih menjadi satu dari tiga penghasil tembakau untuk pasar cerutu dunia, selain di Jember dan Klaten.

Pernah terbit di Komunitaskretek.or.id
Sebuah mobil berhenti mendadak di pelataran pusat kegiatan mahasiswa kampus UIN Jakarta. Sang empunya mobil, turun tergesa, langsung menuju lantai tiga. Sedatangnya, Ia menggebrak pintu sebuah sekretariat Pers Mahasiswa, dan dengan nada tinggi membentak penghuninya. “Apa maksud tulisan ini?!!!”

Adegan di atas bukanlah rekayasa, apalagi khayalan. Adegan diatas adalah kejadian yang cukup sering terjadi pada pers mahasiswa, bukan hanya di UIN. Si empunya mobil yang dikenal sebagai pimpinan Lembaga Pengabdian Masyarakat, marah karena sebuah pemberitaan yang dilakukan INSTITUT, pers mahasiswa kampus UIN, yang mengangkat laporan terkait kuliah kerja mahasiswa yang di bawahi oleh lembaga pengabdian masyarakat kampus.

Kejadian macam ini tidak hanya terjadi sekali. Pernah suatu ketika, datang memo dari pembantu rektor bidang kemahasiswaan terhadap pimpinan Institut karena opini yang dimuat di tabloid Institut dianggapnya tendensius. Ia pun menunut Institut untuk melakukan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka. Jika tidak, ancaman pembantu rektor kala itu, pimpinan Institut akan diberi skorsing 1-2 semester.

***

Pasca reformasi, media arus utama yang sebelumya tertekan oleh rezim orde baru mengambil kembali posisi mereka sebagai referensi utama masyarakat. Mereka yang sebelumnya tidak berani mengkritik pemerintahan, karena takut diberedel, menjadi bersemangat meluapkan kegelisahan mereka pada negara setelah puluhan tahun dibungkam. Tidak hanya itu, kemudian dibuat peraturan-peraturan yang meminimalisir “kriminalisasi” media oleh siapapun yang hendak membungkam pers.

Organisasi-organisasi pers dibentuk, salah satunya untuk melakukan advokasi jikalau ada wartawan dikriminalisasi, ada media hendak diberedel. Karena itu, media (arus utama) tidak lagi perlu takut terhadap negara. Selama menjujung tinggi etika jurnalistik dan membuat berita benar, perkara framing atau yang lain tak perlu dikhawatirkan. Mereka nggak bakal diberedel.

Tapi hal berkebalikan terjadi pada pers mahasiswa. Selama media arus utama dibungkam, mereka tampil sebagai penyambung lidah rakyat. Misal, ketika media utama bungkam soal kasus tegalboto, mereka justu mengangkatnya sebagai headline dan topik utama. Inilah masa-masa jaya persma ketika mereka bisa tampil di depan media arus utama. Setelah reformasi, ya persma balik lagi ke kampus, kalah saing dengan media utama.

Bukan Cuma kalah saing, persma pun tidak memiliki tempat dalam peraturan dan organisasi-organisasi pers tadi. Jika dalam undang-undang, jelas dinyatakan kalau seorang jurnalis dilindungi saat meliput, bagaimana dengan jurnalis persma, apa perlakuan undang-undang sama terhadapnya?

Ini adalah perbincangan panjang, yang sampai saya tak lagi aktif di persma, belum terjawab dengan baik. Aliansi Jurnalis Independen, sebagai salah satu organisasi pers terdepan dalam melakukan advokasi pada jurnalis, pernah bilang kalau hak persma sama dengan pers utama. Tapi ya itu hanya sebatas omongan, tetap saja perlakuan terhadap persma tak semewah perlakuan pada pers utama.

Pada kasus Lentera, Pers Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, beredel yang dilakukan terhadapnya jadi booming karena kebetulan mereka mengangkat pemberitaan soal tragedi 1965. Apalagi, bulan-bulan ini memang sedang ramai pembicaraan soal 65. Seandainya tidak, saya yakin kalau beredel yang dilakukan terhadap Lentera tidak akan menjadi apa-apa, sama seperti kasus-kasus yang terjadi pada persma pada umumnya.

Kalau tidak percaya, coba kita lihat pada kasus yang terjadi pada LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta. Berapa banyak orang yang tahu kalau reporter Didaktika dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh salah satu dosen UNJ? Palingan hanya Forum Pers Mahasiswa Jakarta.

Sebagai orang yang terdidik dalam kultur persma, saya yakin kalau (hampir) semua anggota persma juga terdidik untuk siap menghadapi resiko-resiko seperti ini. Resiko yang didapat karena pemberitaan yang tidak mampu menyenangkan semua pihak, apalagi kalau memang pihak tersebut terindikasi melakukan kesalahan.

Sebenarnya, akar masalah dalam perkara ini adalah cara pikir orbaisme yang masih dimiliki oleh pejabat-pejabat kampus dan dosen-dosennya. Mereka masih saja berpikir, kalau mahasiswa pada umumnya (termasuk persma), adalah anak ingusan yang tidak paham apa-apa. Jadi apapun yang hendak dilakukan mahasiswa, harus disetujui oleh mereka.

Padahal, kalau kita tarik dalam konteks jurnalistik, hal-hal macam itu adalah sebuah upaya sensor yang selalu ditolak oleh pers manapun hari ini. Bayangkan, mau angkat berita soal korupsi kampus dilarang oleh rektorat. Mau beritakan kinerja dosen yang jelek, dilarang. Mau beritakan buruknya fasilitas kampus juga dilarang. Yang boleh diberitakan cuma yang bagus-bagus, yang baik-baik. Memangnya persma itu humas kampus? Digaji kagak, minta duit juga susah, Pret.


Hal-hal macam tadilah yang harusnya jadi fokus utama pembahasan beredel oleh pihak kampus. Mau itu pemberitaan soal 65 ataupun buruknya fasilitas kampus, semua harus punya porsi sama. Tidak peduli seksi atau tidaknya isu itu, beredel adalah beredel. Jelas, yang perlu dilawan adalah perlakuan sewenang-wenang pihak kampus, entah rektorat ataupun dosennya, terhadap Lentera, Didaktika, Institut, dan persma lainnya.

Pagi itu, saya tengah berada di Kalibata City untuk sebuah urusan, ketika saya mendapatkan kabar bahwa terjadi aksi massa yang mengatasnamakan seluruh masyarakat muslim komplek perumahan Keroncong Permai di Kota Tangerang. Massa, menuntut agar sebuah rumah peribadatan milik Huria Batak Kristen Protestan (HKBP) Keroncong Permai segera ditutup karena meresahkan masyarakat. Aksi ini, adalah buntut dari polemik yang sudah lama terjadi.

Perlu diketahui, bahwa rumah peribadatan yang dimaksud massa bukanlah gereja. Tempat ini hanyalah sebuah rumah yang dijadikan tempat peribadatan sementara karena proses pembangunan gereja milik jemaat HKBP Keroncong yang mandek pada perkara perizinan. Ya, soal taah dan anggaran mereka sudah punya, hanya perkara izin yang belum pernah mereka miliki.

Polemik ini saya ketahui dua tahun lalu, ketika seorang teman dan tetangga rumah saya, Jonathan Alfrendi menceritakan persoalan yang dialami jemaatnya kepada saya di kampus. Kebetulan, Jonathan dan saya memang kuliah di kampus yang sama, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam ceritanya, persoalan pembangunan gereja ini sudah terjadi puluhan tahun. Saya agak lupa ceritanya, yang jelas mereka sudah memiliki sebidang tanah untuk pembangunan gereja, tapi izin dari masyarakat tak pernah mereka dapatkan. Sementara izin tak mereka dapatkan, tanah tersebut jsutru dialihfungsikan sebagai lapangan badminton oleh warga. Tentu tanpa izin dari pemilik tanah.

Sementara gereja tak bisa dibangun, ritual ibadah harus tetap berjalan. Kalau cuma ibadah harian mungkin jemaat HKBP Keroncong tak perlu ambil pusing. Mereka bisa menggilir rumah para jemaat untuk dijadikan tempat beribadah. Ya, kayak ibu-ibu pengajian yang rumahnya digilir setiap malam jum’at untuk mengaji bersama. Itu kalau ibadah harian ya.

Nah persoalannya, kalau lagi ibadah akbar saat Misa Natal, tidak mungkin mereka menggunakan rumah jemaat dengan luas ruangan yang tidak memadai. Akhirnya, jemaat HKBP Keroncong memutuskan untuk menggunakan Gedung Pertemuan agar ibadah tetap berjalan meski rumah ibadah tak ada. Tapi ya namanya jalan keluar sementara, masalah pun hanya selesai sementara.

Menggunakan gedung pertemuan boleh jadi membuat jemaat bisa beribadah dengan nyaman dan khusuyuk, tapi persoalan baru soal membengkaknya anggaran jelas tak bisa dianggap sepele. Dalam setahun, ada tiga ibadah raya yang dilaksanakan, yakni Paskah, Natal, dan Kenaikan Isa Almasih. Misalkan, gedung pertemuan tersebut memiliki tarif sebesar 20 juta untuk setiap ibadah raya, bisa dibayangkan berapa besar uang yang harus dikeluarkan jemaat.

Itu belum ditambah ibadah minggu, yang juga mesti dilaksanakan di gedung pertemuan.  Mungkin untuk ibadah minggu, dana yang dikeluarkan tak sebesar itu. Tapi kalau harus dikalikan 52 minggu dalam setahun, ya besar juga duit yang harus dikeluarkan.

Hal inilah yang kemudian membuat jemaat memutuskan untuk membuat satu rumah huni sebagai tempat peribadatan. Ilegal, tidak memenuhi izin, ya memang. Jika mengacu pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, izin untuk rumah hunian dan rumah ibadah jelas berbeda. Juga jika mengacu pada Surat Keputusan Bersama dua Menteri tahun 2006. Karena itu, menggunakan rumah hunian sebagai rumah ibadah adalah sebuah kesalahan.

Tapi, bukan hal itu yang perlu kita kedepankan. Persoalan paling mendasar dari masalah ini adalah bagaimana negara menjamin kebebasan warganya untuk beribadah. Mau menggunakan landasan hukum apapun, jika sudah bertentangan dengan Undang-undang Dasar, sebagai landasan konstitusi negara ini, harusnya hal-hal seperti itu menjadi tidak berlaku.

Lagipula, semua masalah tadi bermula dari ketidakmauan warga memberikan izin pada jemaat HKBP Keroncong untuk membangun gereja sebagai tempat ibadah mereka. Jika saja warga memberikan izin, tentu saja tidak bakal ada pelanggaran apalagi konflik yang terjadi pada masyarakat. lagipula, apa memiliki gereja sebagai tempat ibadah menjadikan mereka sebagai pengganggu ketertiban?

Jika masyarakat hanya bisa menolak tanpa mau berdialog, tentu persoalan ini tidak akan pernah selesai bahkan sampai kiamat datang. Percayalah. Atau mungkin, karena masyarakat islam mayoritas belum pernah merasakan bagaimana rasanya dilempari batu ketika sedang khusyuk beribadah di masjid. Lucunya, masyarakat begitu heboh ketika kolom agama di ktp hendak dihapus, tapi masih saja tidak membolehkan umat agama lain untuk beribadah.

Dalam persoalan ini, keberpihakan saya jelas pada soal kemanusiaan. Bagaimana negara, yang memaksa warganya untuk beragama tidak mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi mereka yang hendak beribadah. Mengutip kalimat Pram, “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.”

Memang, kejadian di Tangerang ini hanyalah sebuah permasalahan yang sangat kecil dari ratusan kasus pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia. Bukan kejadian yang memakan korban seperti yang terjadi di Papua, Aceh, atau yang dialami jemaat Ahmadiyah. Tapi, jika masalah yang sangat kecil ini tidak bisa diselesaikan masyarakat dan aparat negara, bagaimana nasib kasus-kasus lain yang skalanya lebih besar?



Dalam sejarah, Indonesia punya berbagai persoalan kemanusiaan yang tidak terbahas oleh dunia literasi. Ada banyak tindakan pelanggaran HAM yang melibatkan negara dan masyarakat yang bahkan tidak dimasukkan ke dalam buku-buku pelajaran sejarah yang dipakai oleh sistem pendidikan kita. Karena itulah, kebutuhan akan buku-buku alternatif yang mencoba membahas persoalan yang tidak terungkap tadi menjadi penting.

Sebagai contoh, pada masa orde baru, banyak buku-buku alternatif terkait peristiwa kejahatan kemanusiaan yang kemudian dilarang oleh kejaksaan. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suhartos Coup in Indonesia karya John Roosa, misalnya, adalah salah satu buku yang dilarang oleh rezim orde baru.

Buku John Roosa ini adalah salah satu buku yang membahas peristiwa 65 dengan perspektif yang berbeda dengan sejarah versi militer/pemerintah dan menjadi buku pertama yang tidak menggunakan idiom G30S tanpa melibatkan PKI di belakangnya.

Tentu bukan hanya buku ini yang pernah dilarang pemerintah. Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer juga menjadi salah satu buku yang dilarang pada masa orde baru. Buku karya Pram yang mengangkat alur perjuangan seorang anak pribumi yang melawan kolonialisme belanda dengan menggunakan organisasi ini juga memberi perspektif berbeda dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.

Jika selama orde baru, perjuangan kemerdekaan Indonesia didominasi oleh kisah-kisah perlawanan militer, maka buku ini memberi perspektif berbeda. Bahwa, perjuangan yang paling ampuh adalah dengan menggerakan massa melalui organisasi. Sayangnya, buku ini dilarang hanya karena Pram dicap komunis oleh pemerintah.

Kehidupan dunia perbukuan kembali bergairah pada awal masa reformasi. Setelah Soeharto jatuh dari kekuasaanya, banyak buku-buku yang sebelumnya dilarang kemudian diterbitkan oleh penerbit-penerbit indie di Jogjakarta. Des Kapital karya Karl Marx, Tetralogi Buruh Pram, juga buku-buku soal marxisme yang pada masa orba sangat tabu dicetak oleh mereka.

Lantas, bagaimana kehidupan buku-buku alternatif sekarang?

Tumbuhnya industri perbukuan yang menggunakan akumulasi kampital yang besar kemudian membuat penerbit-penerbit tadi menjadi gulung tikar. Selain karena ketidakmampuan melawan kekuatan kapital yang besar, pangsa pasar yang disasar oleh buku-buku alternatif tadi sangat kecil. Masih sebatas mahasiswa dan akademisi, itu pun tidak dalam jumlah besar.

Kehidupan dunia buku hari ini dikuasai oleh pasar buku populer justru cukup menyingkirkan keberadaan buku-buku alternatif yang memberikan perspektif sejarah/keilmuan yang jarang diterima masyarakat Indonesia. Keberadaan Gagas Media dengan pasar pembaca teenlitnya semakin mematikan budaya membaca buku serius. Anak muda kini lebih memilih membaca buku yang ringan.

Padahal, pengungkapan sejarah kemanusiaan Indonesia yang kelam sangat penting untuk diketahui publik. Tak sekadar persoalan luka lama diungkap kembali, tapi pengungkapan ini lebih menitikberatkan kepada sejarah sebuah bangsa yang harus berani diterima. Dan buku-buku yang membahas soal ini tidak banyak ditemukan di toko-toko buku besar macam Gramedia.

Karena itulah, keberadaan penerbit-penerbit indie seperti Marjin Kiri, Ultimus, atau Komunitas Bambu menjadi penting. Buku-buku yang dicetak oleh penerbit tadi tidak sekadar membahas soal sejarah yang tak terungkap, tapi juga mengetuk kemanusiaan sebuah bangsa. Mengingat, perjuangan yang dilakukan para kru penerbitan tadi juga luar biasa beratnya.

Penerbit Ultimus misalnya, tahun 2006 penerbit yang bermarkas di Bandung ini pernah diserbu oleh gerombolan massa dengan dalih pembasmian komunis. Acara diskusi yang saat itu digelar Ultimus harus terhenti di tengah jalan. Beberapa peserta diskusi dibawa ke kantor polisi, markas Ultimus ditutup, disegel, dan dilintangi garis batas polisi berwarna kuning.

Dengan semangat tinggi untuk menawarkan publik kepada sebuah wacana alternatif, yang kebanyakan bersebrangan dengan kekuasaan militer dan negara, penerbit alternatif seperti Ultimus harus hidup dalam beban berat. Sudah dihajar oleh sistem sosial yang menolak wacana alternatif, apalagi soal kiri, pasar buku juga tidak terlalu bersahabat. 

Meski begitu, hidup melawan arus pemikiran masyarakat yang bertolak belakang dengan gagasan yang ingin disampaikan penerbit alternatif sudah menjadi nilai lebih yang dimiliki. Apalagi, menghidupi penerbit alternatif bukanlah melulu soal mencari uang, tapi lebih kepada penyebaran gagasan yang dibungkam. Sebuah usaha untuk melawan lupa, sebuah usaha untuk memanusiakan manusia.

Bagi saya, menunggu adalah sebuah pekerjaan melelahkan sekaligus mengasyikan. Dalam prosesnya, menunggu bisa membuat hati berdebar, membikin kepala penuh praduga dan bayangan-bayangan yang akan terjadi. Itulah yang saya rasakan saat menunggu Efek Rumah Kaca merilis karya terbarunya, Pasar Bisa Dicitakan.

Pertemuan pertama saya dengan ERK terjadi sekitar 8 tahun silam, ketika masih duduk di bangku sekolah. Kala itu, saya datang untuk bukan untuk menyaksikan ERK bermain, karena saya pun belum mengenal ERK. Kalau tidak salah, waktu itu saya menunggu penampilan band lain yang saya lupa apa. Maklum, saya pelupa yang baik dalam hal macam ini.

Menjadi penggemar ERK bukanlah keinginan saya, karena semuanya terjadi begitu saja. Saya datang ke acara pentas seni sebuah sekolah, tanpa sengaja menyaksikan mereka tampil di panggung, dan jatuh cinta pada musik dan lirik lagu mereka. Kalaupun anda tak mempercayai pertemuan ini telah ditakdirkan, mempercayainya sebagai sebuah kebetulan tak apa. Karena ini kebetulan yang menyenangkan.

Saat itu mereka mendendangkan beberapa lagu, tapi yang begitu membekas di benak saya adalah lagu Debu-debu Berterbangan dan Di Udara. Entah kenapa, saya merasa kedua lagu itu sangat cerdas dan membangkitkan gairah saya.

Selepas acara itu, saya mulai mencari tahu soal ERK lewat internet. Mulai mengulik karya-karya pada album pertama mereka, dan memantapkan diri untuk jatuh cinta pada karyanya. Sungguh, lirik mereka cerdas dan membantu anak muda macam saya (kala itu) belajar mengenal permasalahan sosial. Mohon dimaklumi, anak muda sepantaran saya waktu itu lebih banyak bergulat soal cinta dan masa remaja yang indah.

Dari lagu Di Udara saya mengenal Munir lebih dalam. Pada lagu Jalang saya memaknai sulitnya hidup sebagai minoritas. Sungguh, album ini membuat masa remaja saya jadi lebih berwana ketimbang hidup anak muda yang terbuai oleh fashion dan menyanyikan lagu cinta melulu. Ah, mungkin karena ERK juga saya jadi susah dapat pacar.

Tapi album keduanya adalah album yang sangat membekas pada benak saya. Keluarnya album Kamar Gelap akhir tahun 2008 mengantarkan masa remaja saya pada titik baru dalam kehidupan sosial saya. Album penuh dengan kritik sosial yang tersirat dalam makna setiap lagunya memiliki peran penting bagi saya untuk lebih mengenal keadaan negara ini.

Mendengar album ini membantu saya melihat dunia dalam sudut pandang yang lebih luas. Melodi manis disertai lirik yang kuat dan cerdas membuat album ini memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penikmatnya. Membawa karya mereka menjadi pengantar kesadaran sosial bagi anak muda macam saya.

Sayangnya, album ketiga yang lama dinanti-nanti sedikit terhambat oleh beberapa hal yang membuat ERK vakum agak lama. Pertama tentunya kesehatan sang bassis Adrian yang terganggu dan berangkatnya Cholil, sang vokalis untuk melanjutkan studi di luar negeri. Untungnya, rasa rindu melihat ERK tampil sedikit terobati dengan band side project mereka, Pandai Besi.

Proses rekaman album ketiga sendiri telah mereka mulai sejak tahun 2010. Dalam beberapa wawancara di media, mereka menjelaskan kalau album ketiga bakal sedikit berbeda dari album-album sebelumnya. Aransemen, materi, dan eksperimen-eksperimen baru dilakukan untuk menyempurnakan album ini. Ya meski sayang, penyelesaian album ini banyak mengalami hambatan teknis yang tidak bisa dielakkan.

Tapi ya, perjuangan tidak pernah membohongi proses. Seperti nyanyian dedek-dedek JKT48, usaha keras itu tak akan mengkhianati. Setelah lama ditunggu, akhirnya ERK kembali mengeluarkan single anyar bertajuk Pasar Bisa Diciptakan. Lagu ini, adalah proses elaborasi lebih lanjut dari lagu Cinta Melulu, yang membawa kegelisahan ERK tentang posisinya atas karya dan pasarnya.

Dibawakan dengan lebih kalem, ERK kemudian merilis fragmen selanjutnya yang dengan tajuk Cipta Bisa Dipasarkan, yang masih membawa semangat dan optimisme mendapatkan pasar bagi karyanya. Sebuah karya yang menolak takluk pada kekuatan pasar dengan karya-karya yang tidak hanya lezat tapi juga begizi.

Pemberontakan yang tidak meledak-ledak ini, membawa ERK pada tahap kedewasaan dalam bermusik yang tidak hanya bergairah dalam berkarya, tapi juga tidak tergesa-gesa dan lebih matang. Layaknya menjadi lelaki matang yang diidamkan para wanita. Dan kematangan inilah yang membuat kita jatuh cinta lagi pada Efek Rumah Kaca. 

Semoga saja, virus optimisme ini tidak hanya bersifat berkata pada diri sendiri, tapi juga mampu menciptakan dialog kepada para penggemarnya agar lebih optimis menghadapi hidup di era ini. Dan semoga saja, bukan cuma ERK yang optimis menciptakan pasar atas karyanya, tapi juga saya yang harus optimis untuk mendapatkan pacar. Yakinlah, pacar bisa diciptakan.

Sebagian penikmat kretek mungkin tahu kalau yang menciptakan inovasi tembakau dan cengkeh yang dilinting bersama itu adalah H. Djamhari. Saat itu, Djamhari yang tengah mengalami sesak mencoba-coba membakar tembakau dengan cengkeh, dan hal itu membuat dadanya yang sakit jadi membaik. Kemudian, Ia temuannya itu dinamakan Kretek karena bunyinya yang khas ketika dibakar.

Itu baru soal H. Djamhari sang penemu kretek. Tentunya sebuah temuan tidak akan menjadi terkenal kalau tidak ada orang yang menyebarluaskannya. Dan temuan ini, kemudian menjadi barang yang dikenal masyarakat setelah kretek kemudian diproduksi secara massal oleh Nitisemito beserta istrinya, Nasilah.

Ketika muda, Nitisemito banyak merintis bisnis. Mulai jadi pengusaha pakaian hingga membuka usaha pembuatan minyak kelapa. Sayangnya, semua usaha yang dirintis kemudian bangkrut hinghga Nitisemito memilih untuk menjadi kusir Dokar dan berjualan tembakau. ketika itulah, Ia mengenal Nasilah dan menikahinya.

Boleh dibilang, kalimat “Dibalik kesuksesan seorang pria, pasti ada wanita hebat di belakangnya” sangatlah cocok disematkan pada diri Nitisemito. Kretek yang dijual Nasilah di warungnya disukai oleh para pelanggannya. Campuran irisan tembakau dan cengkeh kemudian di bungkus dalam kulit jagung kering yang dikeringkan, lalu diikat dengan tali dari benang buatan Nasilah ini mendatangkan banyak pelanggan ke warungnya.

Dari keberhasilan inilah, kemudian Nitisemito memberi nama produk rokok kreteknya ini Kodok Nguntal Ulo. Namun karena tidak dirasa membawa keberuntungan, bahkan dijadikan bahan tertawaan, Ia kemudian menggantinya menjadi Tjap Bal Tiga. Dari sinilah kisah sukses Nitisemito dimulai.

Setelah 10 tahun beroperasi, Ia kemudian membuat hak paten nama produknya dan membuat sebuah pabrik rokok seluas 6 hektar pada tahun 1914. Dengan memperkerjakan sekitar 15 ribu pekerja, pabriknya mampu memproduksi sebanyak 10 juta batang dalam sehari. Dengan intuisi bisnisnya, Nitisemito mampu menjadikan usaha rumahan miliknya sebagai sebuah industri yang mampu mempekerjakan banyak orang.

Dalam hal ini, Nitisemito punya cerita sendiri mengapa Ia mempekerjakan begitu banyak pekerja. Pada beberapa literasi, dengan semangat nasionalismenya Ia mempekerjakan banyak orang agar mereka tidak lagi bekerja pada oarng-orang belanda.

Sayangnya kemudian, usaha yang dirintisnya mengalami masa surut pada akhir tahun 1930an. Lalu masuknya Jepang dan Perang Dunia 2 semakin memperburuk keuangan perusahaan hingga pabriknya dinyatakan pailit di awal tahun 1950an. 

Mungkin kisah Tjap Bal Tiga telah berakhir, tapi sebagai sebuah perusahaan, Tjap Bal Tiga dan Nitisemito merupakan katalisator, pembuka zaman bagi industri kretek Indonesia. Kini, telah banyak perusahaan dan raja-raja baru dalam industri kretek yang memberikan pemasukan besar bagi kas negara.