Aditia Purnomo



Saya menyambut tahun 2016 dengan penuh kegembiraan dan harapan. Hadir di pertunjukan musik terbaik yang pernah saya saksikan. Proposal skripsi yang disetujui jurusan. Membangun harapan atas sebuah hubungan. Semua yang baik-baik menjumpai saya di awal tahun.

Baru kali ini saya menikmati hidup untuk diri sendiri. Datang ke banyak pertunjukan musik. Ikut terlibat dalam sebuah agenda keren dan berkenalan dengan banyak orang baik dan luar biasa. Mencicip banyak makanan dari warung ke warung untuk memuaskan lidah. Menonton banyak film yang diputar tahun ini.

Dan yang terbaik, tentu saja, menikmati waktu bermain bersama seseorang. Menghabiskan waktu di taman hingga menyaksikan pertunjukan musik bersama. Jalan-jalan tanpa arah, membuang-buang waktu tapi teramat menyenangkan.  Sesuatu yang telah lebih dua tahun tidak saya nikmati.

Semua berjalan baik hingga kabar itu datang. Seorang teman memutuskan akan keluar dari organisasi. Untuk regenerasi, katanya. Saya direkomendasikan untuk menggantikannya. Beban mulai menggelayut dalam pikiran.

Sejak saat itu, 2016 menunjukan wajah aslinya. Ia tak lebih dari tahun yang teramat buruk untuk ditinggali. Memberikan begitu banyak duka dan kabar yang tidak pernah mengenakan.

Dua kawan baik mati tahun ini. Satu mati karena penyakit, satu karena kecelakaan. Tidak ada yang menyangka, tidak ada yang mengenakan.

Kemudian nenek menyusul pergi. Ia mati, setelah berjuang mempertahankan hidup yang ditopang alat bantu dari rumah sakit. Lebih seminggu masuk ruang rawat intensif, Ia menyerah. Ia dibaringkan satu lubang dengan makam kakek.

Lalu kampus ikut-ikutan menunjukan wajah yang sebenar-benarnya. Urusan nilai yang saya hadapi menjadi dipersulit. Upaya membangun hubungan baik dengan jurusan tidak mendapat tanggapan berarti. Muak dengan sikap seperti itu, saya ambil keputusan tidak mau mengurusi perkara ini lagi. Satu keputusan yang belum benar-benar siap saya hadapi, DO.

Kebahagiaan memang fana, duka yang abadi. Hubungan baik yang saya jalani dengan seseorang tidak bisa dilanjutkan. Saya menyerah, dengan segala kekurangan dan kesalahan saya setelahnya. Saya memutuskan pergi dari hidupnya yang penuh warna. Biar gelap saja yang tetap menemani saya.

Tahun ini, saya kehilangan kepercayaan terhadap dua teman sekaligus. Keduanya kawan karib. Dan karena kekecewaan atas beberapa hal, hilangnya kepercayaan membuat kami tak lagi karib. Kehilangan uang bukanlah yang utama, tapi kehilangan teman tentu membuat diri nelangsa.

Sebagai gantinya, kabar buruk menjadi sahabat akrab tahun ini. Ia datang tiada henti, tanpa pernah bilang permisi.

Seorang teman ditimpa masalah yang cukup pelik, dan saya tidak bisa membantu banyak. Kemudian seorang kawan yang lain, seorang yang amat baik dan banyak memberikan kepercayaan pada saya, dihadapkan pada fase hidup yang teramat berat. Dan kembali, saya tidak bisa melakukan apa-apa untuknya. Sebuah pilu yang kembali harus saya hadapi.

Memasuki akhir tahun, Banda Neira bubar. Bajingan, senang betul 2016 ini memberi duka. Tapi itu bukan yang terakhir, dan belum apa-apa.

Menjelang natal, hari baik yang harusnya dilewati dengan penuh bahagia, orang itu mengirim pesan. 
Saya tidak benar-benar siap menerima pesan itu. Sebuah gambar tangkapan layar yang membuat saya kembali dihantui perasaan. Sial, membuka diri dengan semua perasaan ternyatya bukanlah sesuatu yang sanggup saya terima. Mungkin jatuh cinta bukanlah sesuatu yang salah. Hanya saja saya mungkin tidak ditakdirkan untuk sanggup menghadapi perasaan itu.

Dan hari ini, hanya beberapa jam sebelum tahun buruk ini berganti, kabar yang amat menyesakkan datang. Seorang guru yang amat kami hormati mendapati dirinya harus berhadapan dengan penyakit mematikan. Tubuhnya harus digerogoti oleh kanker. Dan kabar ini teramat telak memukul kehidupan kami, saya beserta teman-teman yang menyayanginya.

Barangkali di jam-jam yang akan datang, sebelum tahun berganti, akan tiba lagi buruknya kabar buruk. Jika harus datang, semoga diri ini siap menghadapi. Toh hati saya sudah remuk tahun ini, dan mungkin jiwa saya sudah tidak bisa ditolong lagi.

Maka saya tidak ingin berharap apa-apa untuk tahun yang akan datang. Barangkali hidup yang biasa-biasa saja, datar-datar saja, asal tetap hidup, sudah cukup bagi saya. Selama itu tak buruk-buruk amat, mungkin saya masih bisa menerima. Toh hidup memang tak pernah baik-baik saja.

Hari itu benar hari yang berat. Usai terjebak macet sejak pagi demi memenuhi janji seorang teman di daerah Pasar Minggu, motor bebek saya mendadak ngadat. Rantai motornya bermasalah. Walhasil, sepanjang perjalanan, saya harus berkendara dengan perasaan was-was lantaran tak ada bengkel terdekat sekitar jalan yang saya lewati, takut tiba-tiba rantai putus di tengah jalan.

Bunyi ‘krak’ terus meneror. Saya baru ketemu bengkel di daerah Kalibata. Matahari sudah lewat di atas kepala. Waktu janjian juga sudah lewat. Perut lapar belum diisi sejak semalam. Benar-benar hari yang menguras kesabaran.

Beruntung, teman yang menunggu saya sedang tak buru-buru. Saya menuju rumahnya usai motor diperbaiki. Pertemuan kami memang tak lama, hanya membahas beberapa hal soal pekerjaan. Namun tetap saja melelahkan. Apalagi muaranya kalau bukan pada persoalan yang saya hadapi sejak pagi. Lapar telah memuncak sampai taraf yang tak bisa ditahan.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak lama usai obrolan kami, teman saya mengajak keluar untuk cari makan. Nasib baik mulai menghampiri. Teman saya yang satu ini memang yang terbaik untuk urusan makanan. Dia selalu tahu tempat-tempat makan enak di banyak kota, banyak daerah. Dan mendapat ajakan makan olehnya adalah hal terbaik untuk mengobati rasa lelah dan lapar yang sudah tak tertahan.

Mengendarai sepeda motor, kami melaju mencari makan. Bayangan makan enak dan kenyang terus bergelayut dalam kepala: masakan padang, soto, dll. Akan tetapi semua tebakan itu meleset. Saya diajaknya ke warung pempek. Iya, warung pempek.

Saya hanya melongo ketika melihat teman saya masuk dengan santainya ke warung pempek itu. Dengan tingkat kelaparan yang sedang brutal-brutalnya, dua sampai tiga porsi pempek, saya pikir tak bakal bisa meredam perut saya. Seenak apapun pempeknya, saya yakin perut saya enggak bakal bisa terpuaskan. Saya butuh nasi! Saya butuh makan enak.

Dengan lemas, saya mengikutinya masuk ke dalam. Waktu itu jam makan siang sudah lewat, tapi masih ada beberapa pengunjung yang datang ke warung itu. Sepertinya pempek di warung ini memang enak, tapi tetap saja saya mau yang lebih dari pempek.

“Kamu belum pernah coba pindang iga kan?”

“Belum, Mas”

“Nah, kamu harus coba makanan ini.”

Ternyata, di warung pempek ini, tersedia satu menu khas masyarakat Palembang. Pindang tulang iga. Saya baru mendengar nama makanan ini. Mungkin juga karena pengetahuan saya soal makanan tidak bagus-bagus amat.

Namanya Warung Pempek Pak Raden. Lokasinya di Jalan Raya Pasar Minggu. Ya, jalan ‘raya’ yang nggak ‘raya-raya’ amat, tapi macetnya benar-benar keterlaluan. Di warung ini, tersedia berbagai macam pempek. Mulai dari kapal selam, lenjer, adaan, pempek kulit, hingga tekwan tersedia di warung ini. Namun, dua menu spesial di warung ini justru bukan pempek, melainkan pindang tulang iga serta es kacang merah.

Ketika diberi daftar menu oleh pegawai warung, dengan tegas kawan saya memesan dua porsi pempek, dua porsi pindang tulang iga, dan dua gelas teh manis hangat. “Pindang iganya yang satu jangan pakai bawang goreng ya, Mas,” ujar saya yang memang tidak bisa makan makanan yang ada bawang gorengnya.

Hari ini kami bakal makan dengan tiga tahapan ala masyarakat Eropa. Makan dari appetizer, main course, hingga dessert. Dibuka dengan pempek, dilanjut menu utama pindang tulang iga, dan diakhiri dengan entah apa. Saya sih makan apa saja jadi, toh perut sudah meronta untuk diisi.

Tak berapa lama, dua porsi pempek sudah tersaji. Pempek Warung Pak Raden tidak langsung disajikan dengan kuah cukanya. Kita bisa mengambilnya sendiri karena di meja sudah tersedia satu botol kuah cuka beserta sambal. Setelah menuangkan kuah cuka dan sedikit sambal, kok ya pempeknya makin menggiurkan. Tanpa perlu berlama-lama, langsung saja kami menyantap sajian pembuka ini.

Bajingan, ternyata pempeknya betul enak. Gurih dan maknyus. Rasa ikannya benar terasa. Rasa kuah cukanya pas. Saya tidak bisa menjabarkan dengan jelas bagaimana rasanya, tapi yang pasti betul enak.

Belum habis pempek kami makan, menu utama telah tiba. Disajikan dalam sebuah panci besar, pindang tulang iga begitu menggoda untuk disantap. Sayang, nasi yang disajikan di piring sepertinya tidak cukup untuk menuntaskan dendam perut saya. Agaknya saya bakal minta nambah nasi setelah yang ini habis.

Sebagai penikmat makanan amatir, saya menyeruput kuah pindang terlebih dulu. Bah, segar betul. Rempahnya terasa. Rasa kuahnya agak mirip seperti rendang, tapi dalam sajian kuah cair yang melimpah. Pindang iga disajikan bersama beberapa sayuran seperti kol, tomat, serta dilengkapi potongan cabai iris besar. Betul-betul membuat air liur membanjiri mulut.

Selesai mencicip kuah, waktunya mencicip daging iga. Potongan daging beserta tulang yang disajikan di warung ini betul-betul memuaskan. Tiga potong daging ukuran besar, benar-benar menggoyahkan iman untuk memakannya sedikit demi sedikit. Empuk dan gurih, bumbu serta rempahnya benar-benar meresap ke dagingnya. Niatan makan dengan terhormat hanya menjadi wacana, yang ada hanyalah brutal. Dan lahap, tentu saja.

Begitu nasi di piring tandas, kok rasanya keinginan untuk nambah jadi hilang. Perut terasa penuh, kepala terasa enteng. Di panci masih ada sepotong iga. Memang makanan terbaik harus disiapkan untuk yang terakhir. Save the best for the last. Rasa lapar sudah hilang, yang ada hanya kepuasan. Benar-benar nikmat. Benar-benar puas.

Setelah dua santapan tandas, sajian terakhir siap kami nikmati. Sepertinya Anda sudah bisa menebak sajian terakhir yang bakal kami nikmati. Bukan es kacang merah, tapi sebatang kretek. Ya, sebatang kretek adalah pelengkap nikmat makan kali ini.

Sebelum pulang, tak lupa kami membayar apa yang kami makan. Seporsi pempek kapal selam dihargai Rp20 ribu, sedang seporsi pindang tulang iga dihargai Rp35 ribu. Oh iya, tak lupa kami membayar tambahan seporsi pempek kulit hasil nambah kawan saya yang dihargai Rp7 ribu. Harga yang sepadan buat nikmat yang kami dapat dari apa yang kami santap.


Kini, saya sudah siap pulang. Dengan nikmat yang masih begitu kentara di mulut, saya merasa amat siap untuk menghadapi jalan Jakarta yang bajingan itu. Iya, menghadapi macet sepanjang jalan sedari Pasar Minggu menuju rumah saya di Tangerang.

Sejak kali pertama Portugis datang ke wilayah Nusantara pada awal abad ke-16, mereka telah mencium satu komoditas yang nantinya bakal menjadi alasan bangsa asing menjajah negara kita. Ya, rempah bernama cengkeh. Rempah yang tidak tumbuh di Eropa ini digunakan untuk mengawetkan makanan.

Sebagai salah satu tanaman endemik Indonesia, cengkeh diperjualbelikan dengan harga yang tinggi di Eropa. Pada saat itu, harga satu kilogram cengkeh sama dengan harga 7 gram emas. Oleh karena itu, negara-negara Eropa datang ke Nusantara untuk menguasai cengkeh.

Tapi, itu cerita masa lalu. Setelah negara Barat menemukan mesin pendingin bernama lemari es, pengawetan makanan tak lagi menjadi urusan cengkeh. Pasar cengkeh di Eropa pun berkurang dan harganya jatuh. Pemanfaatan cengkeh sebagai bumbu makanan dan bahan lainnya jelas tidak sebesar pemanfaatannya sebagai pengawet makanan.

Beruntung, penggunaan cengkeh sebagai salah satu bahan baku utama kretek membuat harganya terdongkrak lagi. Kebutuhan industri kretek, yang dimulai perusahan rokok Tjap Bal Tiga, membuat produksi cengkeh kembali naik. Masyarakat yang tadinya merugi karena kurang lakunya cengkeh kini kembali menjadikannya primadona mata pencaharian masyarakat.

Upaya budi daya cengkeh kemudian tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Jika dulunya tanaman ini banyak ditanam di wilayah kepulauan Maluku, kini cengkeh tersebar dari Kalimantan, Jawa, hingga Sumatra. Berkembangnya industri kretek pada periode 1950-an membuat harga cengkeh melangit.

Sayang, tingginya harga cengkeh saat itu menggoda rezim Orde Baru untuk memonopoli perdagangan cengkeh dalam negeri melalui Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang sangat merugikan petani. Di bawah naungan lembaga itu, harga cengkeh di tingkat petani hanya dihargai Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilonya. Dampaknya, ratusan ribu pohon cengkeh ditebang atau dibiarkan telantar tak terurus.

Sesudah reformasi, keberadaan BPPC ditiadakan. Perlahan tapi pasti, harga cengkeh merangkak naik seiring bertambahnya tahun. Puncaknya, harga cengkeh mencapai angka Rp200.000 per kilo pada 2012. Tingginya harga jual dan kecenderungan harganya yang stabil membuat cengkeh menjadi salah satu komoditas primadona di Indonesia. Terpenting, para petani cengkeh kembali menikmati kehidupan yang baik.

Ibarat kata, hidup yang selalu berputar seperti roda, terkadang berada di atas kadang ada di bawah. Begitu pun nasib cengkeh. Pasang dan surutnya pertanian cengkeh terus berlanjut. Ketika harga cengkeh sedang bagus-bagusnya, petani ketiban masalah karena hoax kenaikan harga yang mencapai Rp50.000 per bungkus.

Ketika itu, harga cengkeh merosot tajam karena kepanikan pasar. Bahkan harga cengkeh anjlok hingga angka Rp65.000 per kilo. Padahal, harga terendah sebelumnya masih mencapai angka Rp80.000 hingga Rp90.000 per kilo.

Melihat persoalan di atas, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah begitu mempengaruhi pasang surutnya harga cengkeh. Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan wacana liar soal rokok Rp50.000 perbungkus menjadi satu bukti betapa berpengaruhnya kebijakan politik dalam perdagangan cengkeh.

Setelah isu itu tak terbukti, harga cengkeh hari ini mulai stabil dan kembali ke harga normal di angka Rp120.000 per kilo. Petani kembali menaruh harapan yang tinggi terhadap tanaman ini. Namun, patut diingat, naikturunnya harga cengkeh amat dipengaruhi kebijakan pemerintah. Apalagi kebijakan pemerintah terkait industri kretek banyak merugikan. Padahal industri kretek merupakan satu industri yang menyerap lebih dari 95% produksi cengkeh nasional.


Ada baiknya pemerintah mulai memperhatikan hal ini. Apalagi pemasukan pemerintah dari sektor cukai salah satunya didukung oleh komoditas ini. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap cengkeh tentu bakal mempengaruhi pendapatan mereka karena selama ini, bagi banyak petani cengkeh, keberadaan industri kretek lebih memberikan pengaruh baik pada penghidupan mereka ketimbang keberadaan negara yang banyak merugikan.


Dulu, saya sempat bermasalah jika ingin minum kopi yang enak di kisaran rumah saya, di Kota Tangerang. Sejak dikenalkan dengan kopi-kopi enak di beberapa kedai kopi Jakarta dan Yogyakarta, saya agak sulit menerima kopi sasetan biasa. Bukan apa-apa, lidah jadi agak sulit menerima gula yang ada di kopi saset. Jadi kalau mau ngopi ya yang tanpa gula atau ke kedai sekalian.

Tapi, tidak banyak pilihan kedai kopi di kota saya. Mungkin bagi sebagian teman, ngopi dimana saja akan sama, termasuk di kedai-kedai yang ada di pusat perbelanjaan. Yang penting ada kopi dan tempat untuk nongkrong sudah cukup. Karenanya mereka tak bakal ambil pusing soal minum di kedai kopi.

Namun bagi manusia sejenis saya, minum kopi di tempat seperti itu adalah neraka. Bagaimana mungkin bisa menikmati kopi di tempat yang tidak menyediakan ruang untuk perokok seperti saya. Bukannya bergembira dengan kopi, malah tidak bisa menikmati sama sekali. Belum lagi pilihan kopi yang mereka sediakan kebanyakan hanya Americano, saya agak kurang cocok dengan kopi ini.

Itu baru satu hal, tentu hal lainnya adalah jam buka. Cofee Shop di pusat perbelanjaan tidak buka hingga larut. Ini tentu tidak cocok dengan orang yang selalu pulang malam seperti saya. Bisa-bisa baru pesan segelas kopi, sudah diminta pulang.

Karena itu bisa menemukan Kedai yang bisa menerima pelanggan ketika larut adalah sebuah kebahagiaan. Bukan apa-apa, saya dan beberapa teman adalah orang malam. Kami biasa beraktifitas hingga pagi, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang dikejar deadline, atau sekadar kumpul bersama teman yang lain menertawai nasib. Dan yang paling penting adalah, saya tidak perlu lagi jauh-jauh ke Jakarta untuk menikmati secangkir kopi.

Nama kedai itu Dnocturn Cofee. Ya, nama yang cocok untuk mahluk malam seperti kami. Kedai ini ada tepat sebelum jalan veteran, baru buka selepas magrib. Dengan konsep tempat yang minimalis, kedai ini menyediakan kenyamanan yang tidak minimal bagi pengunjungnya.

Di sini, anda akan disajikan film-film berkualitas yang kerap diputar untuk menemani pengunjungnya. Jadi anda tidak bakal bosan sekalipun datang sendiri, membawa kejenuhan yang amat sangat, atau kegalauan yang memuncak. Sambil ngopi dan merokok, anda akan melupakannya segala hal duniawi itu.

Untuk urusan kopi, di sini menyediakan stok biji kopi yang lumayan. Anda bisa menikmati single black dari biji kopi nusantara seperti Gayo, Wamena, Mandailing, dan sebagainya. Kalau mau yang lain seperti Latte, Espresso, hingga rum coffee. Itu loh, kopi yang dicampur sirup rum. Kalau anda tidak terbiasa dengan kopi, anda bisa juga memesan red velvet, Pure Chocolate, atau Green tea. Silahkan pesan sesuai selera anda.

Bukan hanya enak, tapi harga secangkir kopi di kedai ini amat terjangkau oleh kantung masyarakat miskin kota seperti saya. Dengan uang Rp 15 ribu, saya bisa menikmati secangkir kopi enak. Bandingkan dengan kedai-kedai lain yang memaksa saya mengeluarkan uang dua kali lipat dari harga ini, itu pun kopinya belum tentu enak.

Karena itu hampir setiap malam saya menghabiskan waktu di kedai yang berlokasi di Cikokol ini. Entah selepas kerja, menghadapi macet ibukota, sehabis kencan, atau sekadar melepas sepi selalu datang ke kedai ini. Apalagi setiap minggu malam, kedai ini memiiki sebuah program rutin single origin gratis untuk semua. Jadilah saya semakin sering kemari, terutama tiap minggu malam.

Bukan hanya karena program kopi gratisnya. Tapi sebagai masyarakat pekerja yang kerap bermusuhan dengan senin, saya membutuhkan asupan energi yang baik untuk menghadapinya. Jadilah saya, tentu bersama teman-teman, memanfaatkan malam yang satu ini untuk bersua dan mengumpulkan energi untuk kerja esok harinya.

Tak hanya itu, karena teramat sering datang ke kedai ini, kami jadi semakin biasa menyeduh kopi sendiri. Mula-mula menyeduh tubruk. Semakin seringnya kami malah jadi bisa menyeduh dengan metode lain seperti V60. Tentu saja, agenda menyeduh kopi sendiri ini tidak dihitung sebagai pesanan hingga kami tidak perlu membayar segala kopi seduhan sendiri.


Meski semakin banyak kedai kopi bertebaran di kota ini, tapi saya bersama teman-teman kadung mencintai tempat ini. Tentu bukan hanya karena kopi gratis, tapi juga persoalan tempat menyenangkan dan kopi yang aduhai. Apalagi, hanya kedai ini yang menerima keberadaan kami para mahluk malam berkumpul hingga pagi hari.

Biasanya saya minum sampai pagi di sini. Menjelang jam 4 baru saya pulang. Suasana malam di kota ini membuat saya kangen masa sekolah dan kehidupan malam bersama teman-teman ini. Kalau sempat, mampirlah kemari. Mungkin kita bisa ngopi bareng sambil diskusi buku-buku sama pemilik kedai ini. Atau kita bisa tertawa sampai pagi, menikmati hidup yang suram ini. 

Sebenarnya ini persoalan perspektif. Saya warga kota Tangerang, tahu bagaimana kapasitas Wahidin Halim. Dia walikota yang baik, setidaknya selama dua periode memimpin kota Tangerang. Pembangunan berjalan baik, meski tetap ada satu dua kebijakan yang ngawur, tetap tidak membuat prestasinya di kota ini tercoreng.

Tahun 2012, Ia mencalonkan diri sebagai calon gubernur untuk melawan Atut, Gubernur petahana pemimpin tahta dinasti ciomas. Saat itu, meski tidak sepenuhnya setuju dengan langkah Wahidin, tapi saya mendukungnya. Rekam jejak baik ditambah kemuakan terhadap dinasti ciomas membuat saya dengan tegas memilih WH. Setidaknya, harus ada pemimpin baru menggantikan dinasti korup milik Atut.

Sayangnya, saat itu Ia harus kalah oleh Atut. Dan kekuasaan dinasti ciomas terus berlanjut hingga akhirnya Atut dan adiknya, TB Chaeri Wardana tersangkut kasus korupsi yang jumlahnya tidak seberapa itu.

Tahun depan, Wahidin bakal maju kembali di pemilihan kepala daerah Banten. Ia tetap membawa harapan perubahan untuk pembangunan yang lebih baik. Tapi, amat disayangkan, kali ini Ia maju berpasangan dengan Andika Hazrumi yang nontabenenya adalah anak kandung dari Atut Chosiyah.

Memang yang sudah terjerat perkara korupsi di keluarga Atut bukanlah Andika. Kalau kata seorang kawan yang dulu getol berhadapan dengan keluarga ciomas tapi sekarang berbalik membela Andika, "yang ditangkap itu paman dan ibunya, Andika ngga ada sangkut paut."

Walau sebenarnya kita sama-sama tahu, persoalan korupsi di keluarga Atut jelas melibatkan setiap pihak yang ada di sana. Atau setidaknya, perlawanan yang dulu digalakkan teman-teman bukan cuma persoalan menjatuhkan Atut. Tapi untuk menghadang seluruh bagian dinastinya agar tak lagi berkuasa di Banten.

Perkara ini menjadi dilematis, setidaknya bagi saya. Di satu sisi saya tahu kalau Wahidin punya kompetensi untuk menjadi gubernur Banten. Tapi di sisi lain, sangat mustahil bagi saya untuk mebiarkan gerbong ciomas kembali berkuasa melalui posisi Andika yang dipasangkan dengan WH.

Mungkin Rano Karno belum punya rekam jejak yang bagus-bagus amat sebagai gubernur Banten. Kapabilitasnya sebagai seorang kepala daerah belum benar-benar teruji. Tapi setidaknya, Ia tidak maju bersama gerbong ciomas. Tidak bersama dinasti korup itu.

Beruntung Rano maju bersama Haji Embay, salah satu pendiri Banten yang punya rekam jejak lumayan. Setahu saya, dia memang tidak pernah terjun di dunia pemerintahan. Tapi sebagai tokoh masyarakat, Ia berhasil membangun hubungan baik dengan masyarakat. Kalau tidak salah, Ia juga membangun perekonomian berbasis komunitas di daerahnya. Setidaknya melalui program pendirian 1000 BMT di Banten.

Mungkin saya memang tidak terlibat begitu aktif dalam pergerakan melawan dinasti Atut. Boleh dibilang, saya hanya seorang pribadi yang tak terikat pada kelompok-kelompok arus utama pada waktu itu. Intensitas aksi yang saya lakukan tidak sebesar teman-teman yang lain, yang sedari awal getol melawan dinasti korup ini. Tapi saya punya satu kesadaran, korupnya pemerintahan Banten saat itu bukan hanya dilakukan Atut seorang, tapi ada sebuah dinasti yang menggerogoti hak hidup masyarakat Banten.

Karenanya, saya jelas agak kecewa dengan teman-teman yang dulu ada pada barisan yang sama tapi memilih untuk memenangkan pasangan yang ditumpangi gerbongnya Atut ini. Tidak-tidak, saya tidak mengatakan pilihan politik mereka salah. Setiap orang berhak memilih dan mengambil sikap. Tentu kekecewaan tak akan berarti apa-apa, tak bakal merubah apa-apa. Karenanya, ketimbang sekadar kecewa saya juga memilih untuk mengambil sikap serupa, tentu pada pasangan yang berbeda.

Sebenarnya, dengan tulisan ini saya menyatakan sikap politik pribadi dalam Pilkada Banten tahun depan. Mungkin Rano Karno dan Embay Mulya bukanlah sosok yang sempurna. Tapi diantara dua calon yang ada, jelas saya tidak menjatuhkan pilihan pada pasangan yang membawa gerbong korupnya Atut Chosiyah untuk menjadi kepala daerah di Banten nanti. 

Sebagai salah satu tempat yang dinyatakan sebagai kawasan tanpa asap rokok, angkutan umum jadi salah satu ruang yang paling berpolemik terkait hak merokok. Di ruang yang tidak seberapa besar macam angkutan kota, memang agak sulit mewujudkan keberadaan ruang merokok sebagai amanat dari undang-undang yang ada.

Seyogyanya adanya ruang merokok perlu menjadi perhatian para pihak terkait, mengingat banyak pengguna angkutan umum yang merokok namun tidak mendapatkan fasilitas itu. Memang bisa saja mereka melakukannya setelah turun dari angkutan, dan umumnya juga sudah demikian sejauh pengamatan sambil lalu. Akan tetapi bagi penumpang angkutan umum jarak jauh, sedianya bisa disediakan ruang merokok sebagai salah satu penunjang kenyamaan mereka yang merokok.

Seperti telah dilakukan oleh beberapa bus antar propinsi, misalkan bus Primajasa, mereka menyediakan ruang merokok yang terdapat di bagian belakang bus. Mereka menyekat ruang di bagian belakang bus sebagai tempat untuk para penumpang merokok. Tidak terlalu besar memang, kurang-lebih hanya bisa dipakai sekitar 5 orang, tapi setidaknya ruang ini cukup untuk memenuhi hak penumpang yang merokok.

Jelas, ini adalah sebuah inisiatif yang baik dari pengelola angkutan umum agar kenyamanan dan hak penumpang bisa mereka penuhi. Dengan jarak tempuh Jakarta – Bandung yang memakan waktu sekitar 4 jam, penumpang bisa bergantian duduk di ruang merokok sepanjang perjalanan.

Hal serupa juga diterapkan oleh pengelola bus Mila Sejahtera jurusan Yogyakarta – Banyuwangi. Mereka menyediakan ruang merokok yang cukup nyaman bagi para penumpang di bagian belakang bus. Tentu masih ada beberapa pengelola bus yang menyediakan ruang merokok di angkutannya, dan ini menjadi solusi baik dari polemik dan perdebatan mengenai hak perokok dan bukan perokok.

Tentu solusi ini juga bisa diterapkan oleh pengelola kereta api jarak jauh untuk memberikan fasilitas ruang merokok pada para penumpangnya. Mengingat banyaknya penumpang kereta api yang merokok, maka sudah sewajarnya pengelola dapat menyediakan satu gerbong khusus untuk para perokok agar dapat memenuhi hak mereka. Karena merokok di gerbong umum sudah dilarang, maka penyediaan ruang merokok di salah satu gerbong bisa menjadi solusi untuk memenuhi hak semua pihak.

Menyediakan ruang merokok di kereta sebenarnya sudah dilakukan di Jepang oleh pengelola kereta api ‘peluru’ Shinkansen. Jepang yang tercatat sebagai salah satu masyarakat perokok tertinggi di dunia namun nyatanya tingginya harapan usia hidup di sana justru membantah asumsi tingginya resiko kematian karena rokok itu, tentu membutuhkan adanya fasilitas ruang merokok. Walhasil, didesainlah salah satu gerbong kereta api Shinkansen itu menjadi tempat yang diperbolehkan untuk merokok.

Jika PT KAI selaku pengelola kereta api Indonesia mau belajar dari kasus tersebut, mereka bisa meniru model dan kebijakan pengelola kereta api di Jepang untuk memenuhi hak penumpangnya yang merokok. Jika hal ini bisa dilakukan PT KAI tentu jadi sebuah terobosan baru yang luar biasa super. Apalagi amanat peraturan perundang-undangan memang mewajibkan tempat-tempat umum untuk menyediakan ruang merokok bagi para perokok. Selain memenuhi hak penumpangnya, model solusi ini juga menjadi bagian dari fasilitas yang membuat kenyamanan bepergian dengan angkutan umum bertambah.

Jika sebelumnya merokok di angkutan umum adalah hal yang agak mustahil dibayangkan, maka sekarang sudah saatnya mewujudkan hal yang sebenarnya bisa diwujudkan itu. Karena, daripada pemerintah melulu melarang orang untuk merokok, lebih baik membuat kejelasan batas ruang di mana mereka boleh dan tidak boleh merokok. Untuk mewujudkan hal ini, tentu menyediakan ruang merokok adalah hal yang perlu didorong oleh para pihak pengelola tempat umum dan pemerintah.


Selain itu, perlu diingat juga bukankah pemerintah di sisi lain sebenarnya juga berharap banyak dengan kontribusi cukai rokok sebagai sumber income APBN (?). Sehingga pemenuhan fasilitas merokok di tempat umum khususnya pada jasa layananan angkutan umum, lebih-lebih yang dikelola oleh perusahaan “plat merah” seperti kereta api, semestinya jadi konseren dan kebijakan pemerintah.

Pertama dimuat di Boleh Merokok


Namanya La Ido, usianya sudah menginjak 73 tahun. Kepalanya hampir sepenuhnya memutih, tubuhnya jelas mulai terlihat ringkih. Namun ia masih dipaksa bekerja setiap hari agar dapat bertahan hidup. Ya, dipaksa oleh keadaan. Setiap malam, ia mangkal di pinggir jalan RA Katini Kota Baubau Sulawesi Tenggara, berjualan minuman cepat saji dan rokok kretek.

Berjualan sejak 1986, Kakek La Ido menyukai Jalan RA Kartini sebagai tempatnya mangkal. Dengan sepeda dan kotak dagangan, setiap malam ia berangkat ke tempat itu dari kontrakannya. “Sudah 30 tahun jual rokok di pinggir jalan ini. Saya juga belum pernah jualan di tempat lain, saya sudah suka jualan disini,” ujarnya seperti dilansir dari Kompas.com, Selasa (1/3).

Kakek La Ido hanya hidup seorang diri di kontrakannya. Tanpa istri, anak, ataupun cucu. Ia harus berjuang sendirian, tiap harinya, untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membayar kontrakan serta mengisi perut dan melepas dahaga.

“Saya jualan hanya untuk bertahan hidup saja. Laku dari jualan ini tidak tentu. Tiap malam biasa dapat Rp 50.000. Itu saya belikan ikan dengan nasi,” tuturnya.

Tentunya bukan Kakek La Ido yang bergantung hidupnya dari rokok. Ia hanya satu dari jutaan orang yang menggantungkan hidupnya dari industri hasil tembakau. Entah dari berdagang, bertani, ataupun bekerja di pabrik rokok. Industri ini memang menjadi salah satu industri padat karya yang menghidupi begitu banyak orang yang terlibat, dari hulu-hilir industri tembakau.

Di Banjarmasin misalnya, ada sosok Kai Untung yang tidak hanya menghidupi diri dan keluarganya dari berjualan rokok, tetapi juga bisa membuatnya membeli mobil untuk dijadikan mobil pemadam kebakaran. Kai Untung adalah relawan barisan pemadam kebakaran di Banjarmasin sekaligus penggagas komunitas Pemadam Musibah Kebakaran Penjelajah. Ia juga berhasil membeli sebuah mobil tua bekas untuk dijadikan mobil pemadam dari hasil jualan rokok.

Mobil tua itu dibeli setelah lima tahun menabung. Dari sebagian hasil jualan rokok dan bensin eceran, ia meminta istrinya untuk menyimpan uang tersebut agar suatu saat bisa dibelikan mobil. “Saya tidak menabung di bank, tidak mengerti. Jadi saya minta istri yang simpan,” jelasnya pada sebuah talkshow di salah satu tv swasta.

Sebagai masarakat biasa, apa yang dilakukan Kai Untung bersama PMK Penjelajah adalah hal luar biasa. Mengingat bagaimana kehidupan masyarakat hari ini yang semakin acuh pada lingkungan, militasi Kai Untung beserta kelompoknya patut diacungi jempol. Apalagi dia beserta kelompoknya bukanlah abdi negara yang memang berkewajiban mengamankan area kebakaran.


Ini hanyalah beberapa contoh dari orang-orang yang berusaha untuk hidup dan berbagi ketimbang hanya mengharap pertolongan dari negara. Kerja keras dan kegigihan mereka dalam hidup ini layak diapresiasi meski hanya berbekal hidup dari jualan rokok.

Pertama kali terbit di bolehmerokok.com


Sidang kasus Jessica Kumala Wongso sedikit lagi mencapai klimaks.

Setelah menemani hari masyarakat kita selama beberapa pekan ini, siaran langsungnya bakal membuat hati sebagian kita kembali sepi. Rating tinggi dan pemasukan yang lumayan besar buat stasiun televisi jelas membuat mereka bakal berpikir untuk membuat serialnya.

Bisa saja, apapun vonis hakim serial adalah jawabannya. Jika Jesica dinyatakan bersalah, maka sang pengacara Otto Hasibuan bakal membela dengan mengajukan banding. Kalau tidak, ya bapaknya korban yang mengajukan banding.

Dan hal ini bakal menjadi seru, bagi stasiun televisi, apalagi kalau kasusnya dibawa hingga ke Mahkamah Agung. Bakal mendatangkan keuntungan besar.

Kalaupun tidak mau dibuat serialnya, saya rasa stasiun televisi bisa menampilkan sidang-sidang lainnya yang saya rasa tidak kalah menarik dan menghibur. Ya, kalaupun tidak terlalu menghibur, saya rasa ada gunanya televisi menyajikan sidang-sidang yang informatif buat masyarakat. Yang begini ini juga bisa mendatangkan rating tinggi.

Maka, setelah melalui telaah tingkat tinggi sebagai seorang akademisi di fakultas komunikasi (baca: dakwah), saya mengajukan beberapa sidang ini agar segera disiarkan secara langsung oleh para pemilik frekuensi.

Sidang Perceraian

Yang pertama dan jelas diutamakan tentunya adalah sidang perceraian. Entah sidang cerai artis siapa atau masyarakat biasa.

Dari yang saya dengar, seorang kenalan pengacara pernah menyatakan kesaksiannya melihat beberapa hal penting di sidang perceraian. Belio melihat betapa para korban perceraian adalah mamah-mamah muda, entah anak satu, dua, atau belum punya yang mana yang paling aduhai.

Bayangkan, mereka, para mamah muda itu, menjadi korban dari sebuah peristiwa tidak menyenangkan bernama perceraian.

Ketika resmi bercerai, bisa saja mereka sedikit lega karena beban biaya pengacara tak lagi membengkak. Tapi setelah itu, mereka bakal merasakan sepi dan kurangnya kehangatan dari seorang teman. Itu belum ditambah sentimen negatif masyarakat terhadap predikat janda yang didapatnya. Betapa tidak enaknya perceraian itu.

Selain itu, agar tidak dipandang seksis atau sebagainya, sudah barang tentu korban dari sudut lainnya adalah para duda yang bisa jadi tak kalah keren dari Mike Lewis atau siapalah. Karena agak sulit membayangkan para mamah muda itu dicerai seorang lelaki dengan tampang seperti saya. Sangat tidak mungkin saya rasa.

Di sanalah stasiun televisi masuk untuk memberi pencerahan pada mereka. Dengan menampilkan sidang cerai para korban, mereka bisa menyampaikan pada khalayak kalau bakal ada satu calon ‘jomblo’ yang bisa digebet. Bakal ada satu calon ‘jomblo’ yang bisa mereka perjuangkan untuk bahagia.

Saya yakin, program ini bakal mendapat respon baik dari masyarakat dan rating. Sudah membantu para jomblo untuk mendapatkan pasangan hidup, tayangan ini juga bakal membuat harkat pengacara kasus cerai lebih tinggi bayarannya. Hahay.

Sidang Tilang

Lalu sidang kedua yang saya rekomendasikan adalah sidang tilang.

Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo tentang pemberantasan pungli di lingkaran pemerintahan, sidang ini saya rasa bakal mengedukasi masyarakat soal tidak diperlukannya calo dalam proses sidang tilang. Kenapa banyak orang menggunakan calo untuk mengurus perkara tilang, bisa jadi karena mereka tidak tahu bagaimana proses sidang tilang itu sendiri.

Sebagai anak muda dari Fakultas Dakwah di Universitas Islam, sogok-menyogok dan memberi pungutan liar di dunia tilang adalah haram hukumnya bagi saya. Karenanya, ketika pernah kena tilang, saya memutuskan untuk mengikuti sidang saja ketimbang pakai calo.

Ternyata, mau ikut sidang saja kita harus berjibaku dengan ratusan orang untuk mendapatkan tempat di hadapan hakim. Sudah repot antre dan menunggu agak lama, ternyata sidang yang dihadapkan pada kita hanyalah begitu saja. Cuma ditanya tahu kesalahan atau tidak, lalu diberi vonis dan disuruh bayar. Begitu saja, selesai.

Jika kemudian sidang tilang disiarkan secara langsung di televisi, bisa jadi agenda sidang yang gitu-gitu saja berubah jadi lebih menarik. Nantinya adegan-adegan dalam sidang bakal berubah, nggak lagi menjemukan seperti sidang tilang selama ini.

Siapa tahu, nanti bakal ada nota pembelaan setebal 4000 halaman yang dibacakan pelanggar agar terbebas dari jeratan denda. Siapa tahu.

Lagipula, hal positif yang bakal dirasakan masyarakat dari disiarkannya sidang tilang secara langsung adalah pemahaman tentang itu sendiri. Nantinya informasi soal tilang bukan lagi monopoli para calo dan agenda Presiden Jokowi soal pemberantasan pungli bukan sekadar gertak sambal.

Kelak juga bakal beredar buku-buku soal tutorial mengikuti sidang tilang yang baik di toko buku yang jelas membuat penerbit dan penjual buku senang. Luar biasa kan?

Sidang Skripsi

Yang prioritas memang selalu disebut terakhir, apa itu? Betul: sidang skripsi.

Sebagai ajang untuk membuktikan kualias intelektual seorang calon sarjana, sidang skripsi kerap dianggap angker bagi para mahasiswa tingkat akhir. Seorang teman, ketika menghadapi sidang ini, bahkan harus tidak bisa tidur karena grogi dan datang kesiangan karenanya.

Kegentaran ini terjadi karena mereka tidak tahu bagaimana jalannya sidang. Belum lagi desas-desus yang menakutkan soalnya, membuat nyali mereka makin ciut untuk menghadapi sidang ini. Saya sendiri tidak tahu bagaimana jalannya sidang, apalagi rasa takut untuk menghadapinya karena memang belum pernah merasakannya.

Karena itu, siaran langsung untuk sidang skripsi adalah sebuah terobosan baru di dunia pertelevisian agar negara ini dapat mencetak para sarjana berkualitas.

Agar nantinya tidak ada lagi mahasiswa seperti Eddward S. Kennedy yang harus blingsatan menjelang sidang. Serta supaya sidang skripsi menjadi satu program akademik yang membahas argumen-argumen akademis dipandu oleh para pimpinan sidang.

Kalaupun ratingnya nggak terlalu besar, ya tak apa, karena tayangan ini adalah bagian dari tugas media sebagai alat edukasi masyarakat. Dan kalau nantinya stasiun tv swasta nggak mau, siapa tahu TVRI bersedia menayangkan. Siapa tahu pula setelah siaran langsung sidang skripsi tayang, saya jadi ada semangat buat memperjuangkan lulus. Siapa tahu.

Setelah membaca tulisan di atas, saya yakin ada beberapa teman yang kecewa karena sidang kasus-kasus perburuhan, agraria, atau yang menjadi persoalan kerakyatan tidak ditampilkan. Nantinya, pandangan mereka terhadap saya yang dianggap sebagai aktivis bakal berubah. Peduli setan.

Karena bagi saya, sidang-sidang kasus perjuangan kerakyatan adalah sesuatu yang penting. Tidak mungkin kita bisa mengharap sidang kriminalisasi aktivis buruh atau sidang kriminalisasi petani bakal disiarkan.

Wong diberitakan oleh mereka saja tidak, kok ya mau kita berharap pada media…

Lagipula, apa yang ditayangkan oleh televisi itu tidak ada yang penting. Mungkin ya menghibur bagi sebagian orang, tapi ya tetap tidak bermanfaat. Lagipula mana yang lebih penting, sidang Jesicca atau kasus penggusuran bukit duri? Dan mana yang disiarkan? Jelas yang tidak penting, kan?


Sudahlah, matikan saja televisimu.

Pertama terbit di Mojok.co

Apa hal terbaik yang bisa kita lakukan dalam perayaan ulang tahun? Bisa mengundang teman sebanyak-banyaknya, menyiapkan perayaan yang meriah, atau sekadar memanjatkan doa kepada yang maha esa. Tergantung seberapa besar perayaan yang kita inginkan. Tergantung semampu apa kita membuat perayaannya.

Maka dalam rangka merayakan ulang tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia yang ke 36 tahun ini, sebuah perayaan dihelat di markas mereka di kawasan Mampang Prapatan. Menjelang hari jadi yang sebenarnya jatuh pada tanggal 15 Oktober nanti, sebuah pameran terlebih dulu dihelat sebagai pembuka rangkaian acara perayaan HUT mereka.

Pada perayaan ultah kali ini, WALHI tidak hanya mengundang teman sebanyak-banyaknya untuk hadir di perayaan meriah yang mereka gelar. Tapi WALHI juga mencoba mengajak para tamu yang hadir di perayaan mereka untuk melihat kondisi nyata advokasi lingkungan di Indonesia.

Dengan menggandeng Andreas Iswinarto bersama beberapa kawan lainnya, WALHI menggelar sebuah pameran rupa yang menampilkan rupa dan warna perjuangan advokasi lingkungan di Indonesia. Menggunakan tajuk “Perayaan Warna”, pameran ini menampilkan ragam rupa kehidupan dan perjuangan masyarakat kita.

Dalam pameran ini, Andreas benar-benar tidak tampil sendiri. Ia mengajak beberapa kolega, serta beberapa teman muda untuk mengisi pameran ini. Ada beberapa nama yang sudah tidak asing di dunia seni rupa seperti Dolorosa Sinaga, Wijatmika Ika dan Toni Malakian. Juga hadir nama Chairun Nissa, Michelle R Yudhita, serta Efi Sri Handayani yang mewakili anak muda dalam pameran ini. Selain itu ada Galis Agus Sunardi dan Budi Santoso yang turut menyumbangkan karyanya.


Menurut Andreas, pertemuannya dengan beberapa teman muda ini disebabkan aktifitasnya dalam advokasi jaringan masyarakat Kendeng yang menolak keberadaan pabrik semen di sana. Kebetulan, Michelle, Toni, dan Efi juga aktif terlibat dalam gerakan ini. Karena keterlibatan dalam gerakan yang sama serta upaya mereka merekam perjuangan masyarakat Kendeng dalam gambar, mereka kemudian memiliki wacana untuk mengadakan satu pameran tersendiri tentang masyarakat Kendeng. Sayangnya hal tersebut belum mampu terlaksana.

Beruntung, meski pameran itu belum terlaksana mereka punya kesempatan untuk menampilkan karya-karya mereka dalam agenda ini. Ada satu pojok bernama Perayaan Bumi Kendeng yang menampilkan gambar-gambar Efi, Michelle, dan Toni tentang perjuangan masyarakat Kendeng. Selain itu, ada pula pojok dengan tajuk Perayaan Solidaritas yang menampilkan gambar Marsinah.

Andreas sendiri menampilkan karyanya di dua pojok bertajuk Perayaan Kehidupan yang menampilkan permainan warna ala Andreas dan Perayaan Tanah Air yang menggambarkan kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Dan terakhir, ada pojok bertajuk Perayaan Keberagaman yang menampilkan karya penuh warna dari Wijatmika Ika.


Pada karya-karya yang terpampang di ruang galeri WALHI ini, saya melihat betapa beratnya perjuangan advokasi lingkungan hidup di Indonesia. Bukan hanya soal perjuangan masyarakat Kendeng, saya kira. Tapi juga pada banyak perlawanan lain seperti penolakan reklamasi di Bali dan Jakarta serta perlawanan terhadap aktifitas tambang lainnya.

Begitu anda memasuki ruang galeri, anda langsung disuguhi gambar-gambar para pejuang lingkungan yang harus tewas karena perjuangannya. Agak tragis memang, mengingat sebagian mereka hanyalah masyarakat yang tak ingin hak hidupnya dirampas korporasi agar lingkungan tempatnya mencari hidup rusak akibat aktifitas tambang.


Selain itu anda juga bisa menyaksikan semacam infografis yang memetakan sejarah WALHI sejak awal berdiri pada tahun 1980. Pada infogafis ini, anda bisa mengetahui perjuangan WALHI dari periode ke periode dalam mengawal advokasi lingkungan di Indonesia.

Pameran dan perayaan ini akan berlangsung sedari tanggal 10 hingga 31 Oktober 2016. Nantinya akan ada agenda workshop dan bincang-bincang kebudayaan di galeri ini masih dalam rangka perayaan ultah WALHI yang ke 36 ini. Pada puncak perayaannya, bakal dilaksanakan jalan santai di kawasan Monumen Nasional serta Workshop WALHI Memanggil sekaligus acara lelang karya lukisan dalam pameran ini.

Pada pembukaan yang dilaksanakan semalam, para pengunjung larut dalam suasana riang dan bahagia. Bukan saja karena mereka dihibur sebuah grup musik pendatang baru bernama Keroncong Hibrida yang digawangi oleh Ibeth Koesrini, Alfa Gumilang, Jibal Windiaz, Ardiansyah Mbe, serta Agnes Gurning. Namun juga karena kabar gembira tentang kemenangan warga Kendeng dalam putusan Mahkamah Agung terkait gugatan terhadap izin Pabrik Semen Indonesia di Rembang.

Kemenangan ini berarti, izin PT Semen Indonesia di pegunungan Kendeng sana telah dibatalkan. Satu kemenangan besar di kala brutalnya pembangunan yang digalakkan negara tanpa memperhatikan nasib hidup orang banyak. Terbayang senyum bahagia para Kartini Kendeng yang terus berjuang mempertahankan hidupnya serta teman-teman lainnya yang ikut berjuang bersama dan bersolidaritas terhadap gerakan ini. Tentunya kemenangan ini menjadi kado indah bagi WALHI pada perayaan ulang tahunnya kali ini.

Pertama kali terbit di Minumkopi.com
Mungkin selama ini saya dikenal sebagai seorang aktivis, mau ikut berjuang untuk beberapa agenda advokasi. Kadang, saya dipandang sebagai seseorang yang militan. Punya daya juang tinggi.

Bisa jadi anggapan itu benar, tapi bisa juga menjadi salah. Untuk beberapa hal, saya adalah orang yang sangat bergairah untuk melakukan sesuatu. Ikut terlibat dalam suatu agenda, baik advokasi, pengorganisiran, atau berbagai agenda lain yang membuat saya bergairah.

Sekali include dalam sebuah agenda, saya jarang memilih meninggalkan tim apabila target kami belum tercapai. Saya adalah tipikal orang yang tidak bisa multitasking. Tidak bisa mengerjakan berbagai hal dalam satu kesempatan. Karenanya, ketika terlibat saya harus menyelesaikan itu baru membuka tabir baru.

Namun anggapan tadi juga bisa salah. Saya adalah tipikal orang yang malas memperjuangkan sesuatu kalau tak punya alasan kuat. Bahkan untuk hal-hal yang baik untuk diri saya, termasuk untuk perkara pribadi.

Kadang saya bisa ngotot kepada mbak-mbak petugas kasir yang tanpa izin saya memberikan sumbangan dengan uang kembalian saya. Tapi kemudian saya sadar, hal itu tidaklah berguna. Mungkin uang 100 atau 200 perak terlihat kecil. Tapi saya amatlah tidak senang jika uang itu disumbangkan untuk sesuatu yang tidak saya inginkan. Tapi kemudian saya jadi kasihan sama mbak-mbak itu, dan meninggalkannya pergi begitu saja.

Perkara berjuang dalam hidup saya bukanlah suatu hal yang sederhana. Ketika dalam suatu agenda gerakan, saya merasa ada beberapa hal yang melenceng dari landasan yang telah kami sepakati, saya bisa saja meninggalkan kelompok ini begitu saja tanpa permisi. Pernah juga, saya tengah memperjuangkan sesuatu yang lain, tapi karena ada satu-atau dua hal yang mengganggu pikiran dan perasaan, semua yang telah saya lakukan bakal saya tinggalkan begitu saja.

Ini perkara mental, memang. Saya adalah orang kalahan. Meski acapkali berkoar-sesumbar soal perjuangan dan hal-hal motivatif lainnya, saya nyatanya adalah orang yang mudah menyerah. Mungkin ini adalah satu dari sekian banyak sifat buruk yang saya punya. Tapi ini adalah salah satu yang terburuk. Memang nyatanya begitu.


Untuk beberapa hal, saya amat mudah menyerah. Seperti pada urusan perasaan, misalnya. Mungkin saya amat ingin berjuang, memperjuangkan sesuatu yang amat jarang saya ingin perjuangkan. Tapi, kadang kenyataan berkata lain. Menerima nasib seakan lebih identik dengan saya. Ketimbang meneruskan langkah dan mengambil resiko, saya lebih suka mundur dari langkah ke langkah. Hingga kemudian, saya sadar bahwa saya tak pernah pantas untuk mendapatkan itu. Memenangkan perasaan seseorang. Dan saya memang menyerah untuk hal ini.

Masuknya nama Agus Harimurti Yudhoyono dalam percaturan politik DKI membuat banyak orang terkejut. Punya karir militer yang lumayan, Agus dianggap membuang masa depannya yang bisa cemerlang itu untuk bertarung di Pilkada Jakarta. Tidak sedikit orang menyayangkan Susilo Bambang Yudhoyono yang memaksa anaknya untuk tampil di gelaran politik paling panas tahun depan. Namun tidak sedikit juga yang menganggap ini strategi jitu dari SBY untuk menaikkan nama Agus dalam pentas ini.

Memang, hampir semua pihak menganggap pencalonan Agus hanya dijadikan batu pijakan untuk kebutuhan politiknya suatu saat nanti. Ada yang menganggap pada Pilkada DKI Jakarta ini hanyalah pemanasan bagi Agus untuk maju di Pilkada Jawa Timur nantinya. Dan hampir semua pihak itu memprediksi kekalahan Agus pada pertempuran di Jakarta. Hampir mustahil baginya untuk menang.

Namun patut diingat, politik itu dinamis. Sangat dinamis. Mungkin tidak ada yang menyangka kalau Joko Widodo bakal memenangkan pilkada Jakarta pada 2012 lalu. Siapa sangka kalau Jokowi mampu menggeser sang petahana, Fauzi Bowo yang didukung mayoritas partai politik pada putaran kedua pilkada. Kemenangan besar untuk calon yang tak diduga bakal menang.

Termutakhir, sulit membayangkan keberadaan Jokowi di Istana Negara karena mengalahkan Prabowo pada 2014 lalu. Walau tipis, tapi menang tetaplah menang. Agak sulit memang membayangkan dirinya bisa mengalahkan Prabowo, yang didukung koalisi gemuk penguasa parlemen. Walau awalnya diragukan bakal maju, Jokowi akhirnya berhasil memenangkan hati rakyat Indonesia.

Hal seperti ini bukan tidak mungkin terjadi pada Agus. Walau berat, siapa tahu Agus tiba-tiba menang. Bisa saja kemuakan sebagian warga Jakarta pada tingkah Ahok yang pongah dan ketidaksukaan sebagian lainnya pada Anies Baswedan yang dianggap kutu loncat membuat mereka menjatuhkan pilihan pada Agus. Ingat, politik itu dinamis. Siapa tahu itu bisa saja terjadi.

Dan jangan pernah lupakan keberadaan SBY di belakang Agus. Walau nama besarnya kian pudar, tapi jangan pernah remehkan popularitas SBY. Persoalan popularitas dan elektabilitas dalam politik Indonesia menjadi penting, salah satunya, karena peran SBY. Betapa pentingnya mencitrakan diri demi adalah trademark SBY. Untuk urusan ini, pastilah beliau membantu anaknya sebaik mungkin. Bisa jadi keberadaan si jagonya pencitraan ini bakal memenangkan Agus di Jakarta.

Persoalannya, pada pilkada kali ini Agus dianggap hanya melakukan pemanasan. Menjadikannya sebagai batu loncatan untuk popularitas yang lebih baik. Belum terbayang, dalam benak saya, apakah Agus dan timnya benar-benar memikirkan program kerja yang tepat untuk jakarta. Apakah Agus benar-benar siap menjadi Gubernur Jakarta seandainya menang nanti?

Sialnya, Agus nampak tak pernah benar-benar siap untuk itu. Sebagai calon dadakan, Ia terlihat amat tidak siap menghadapi ini. Bahkan untuk sekadar pertanyaan wartawan mengenai program saja Agus tidak sanggup menjawabnya. Agaknya Agus benar-benar belum memiliki program andalan untuk Jakarta.

Walau ditemani seorang birokrat DKI, Agus tidak memiliki pengalaman dalam urusan birokrasi. Sekalipun nantinya tim Agus bisa membuat satu-dua program baik untuk Jakarta, bukan tidak mungkin program itu bakal tak terlaksana karena birokrasi yang berbelit. Untuk urusan ini, Ahok agak unggul karena efisiensi adalah andalannya. Walau harus melanggar hukum yang ada.

Selain itu, pengalaman politik Agus masih sangat minim. Ia belum pernah menghadapi tekanan politik yang berhasil membuat rambut bapaknya memutih dan katung matanya menghitam. Bagaimana cara menghadapi tekanan media dan masyarakat karena gagal menjalankan program. Atau tekanan selalu menjadi kambing hitam atas suatu permasalahan di Jakarta. Agus belum benar-benar teruji.

Kapabilitasnya pun patut diragukan. Pengalaman militernya saya rasa tidak bakal membantu banyak dalam urusan memerintah. Apalagi pengalaman kepemimpinannya di militer tidak banyak. Yang boleh agak dibanggakan paling ketika menjadi Komandan Yonif 203/Arya Kemuning Tangerang. Selebihnya saya rasa tidak ada yang bisa dibanggakan.


Ada baiknya Agus memang kalah pada pilkada kali ini. Selain karena sulit menang, Agus memang tidak pernah benar-benar siap menjadi Gubernur Jakarta. Kapabilitasnya meragukan, pengalaman tidak ada. Baiknya Agus menjadikan kekalahan di pilkada ini sebagai sebuah pelajaran, bahwa mengikuti keinginan orang tua tidak melulu baik untuk diri sendiri.

Pertama kali terbit di bolehmerokok.com

Ketika awal masuk organisasi tempat saya bernaung di kampus, saya adalah satu dari sekian banyak orang yang cukup sering kena omelan. Pertama kali datang di pendidikannya, saya sudah dimarahi karena sudah dua kali tidak hadir di pertemuan sebelumnya. Itu belum ditambah keterlambatan saya datang saat itu. Semakin menjadilah kemarahan yang dilampiaskan pada saya.

Saat itu saya hanya diam karena sadar saya salah. Walau punya alasan kenapa tidak hadir di dua pertemuan awal, tetap saja itu hanyalah sebuah alasan. “Kalau kalian bisa membuat alasan untuk tidak hadir, kenapa tidak kalian buat alasan untuk bisa hadir dalam setiap agenda kita!” ujar senior saya saat itu. Dan memang, sebenarnya alasan ketidakhadiran itu, walau tidak dibuat-buat, tetap saja hanya menjadi dalih kemalasan saya untuk hadir.

Setelah pertemuan itu, saya kemudian sadar bahwa alasan-alasan dibuat hanya untuk menjadi pembuktian kemalasan. Ada kejadian teman-teman yang tidak membuat tugas dengan alasan sibuk kuliah. Kalau dipikir-pikir, teman-teman yang mengerjakan juga sibuk kuliah. Tapi mereka bisa mengerjakan tanpa harus menjadikan aktifitas mereka sebagai alasan, sebagai hambatan.

Pun ketika ada teman-teman yang tidak hadir karena alasan mengerjakan tugas kuliah dan semacamnya. Bukan berarti mereka yang tidak mengerjakan tugas kuliah, hanya saja mereka mampu mengatur jadwal dan serius mengikuti pendidikan organisasi saat itu.

Hal-hal seperti inilah yang kemudian amat membekas dalam diri saya. Ketika posisi saya di organisasi telah berganti, dari peserta didik menjadi penanggungjawab pendidikan, saya kemudian sadar bahwa bebiasaan macam begini adalah hal pertama yang harus saya enyahkan. Mereka yang mau masuk ke organisasi saya, harus bisa menyingkirkan kemalasan dan pandai-pandai mengatur jadwal. Kapan wajtu dan pikiran mereka fokuskan untuk perkara kuliah, dan kapan mereka harus fokus untuk organisasi.

Kedisiplinan adalah kunci. Keterlambatan adalah sesuatu yang fatal. Mengingat organisasi tempat saya bernaung bergerak di bidang jurnalistik, garis mati sama sekali tak boleh dilanggar.

Karenanya keterlambatan, sekecil apapun tak bisa saya tolerir. Ini bukan perkara sikap sok disiplin. Tapi keterlambatan bisa membuat mereka kehilangan berita karena ditinggal narasumber atau kehilangan momen karena telat meliput.

Begitu pun dalam dunia pekerjaan. Keterlambatan bisa membuat kredibilitas seseorang jatuh. Karena telat mengerjakan proyek, kepercayaan dari klien bisa saja hilang dan membuat anda kehilangan pekerjaan.

Sayangnya, perkara tepat waktu adalah hal yang masih agak sulit saya temui dalam kehidupan teman-teman yang masih aktif di organisasi. Ketika membuat acara diskusi, acara ngaret sudah biasa. Ketika janjian rapat, masih datang telat. Telat satu dua jam dianggap biasa. Telat tiga jam bisa selesai dengan perkara maaf sembari cengengesan.

Sialnya, seiring waktu berjalan hal-hal semacam ini tidak pernah berubah. Telat adalah hal biasa, yang tepat waktu dianggap luar biasa. Mungkin inilah yang membuat masyarakat menganggap banjir atau macet adalah hal biasa. Kerena terlalu sering dirasakan, hal ini dianggap sebagai sebuah realitas yang biasa saja.


Begitu pun dengan urusan terlambat. Karena sudah terlalu sering telat, kebiasaan jelek ini dianggap sebagai sebuah hal biasa. Bukannya membiasakan yang benar, kebanyakan kita lebih sering membenarkan yang biasa terjadi. Mana yang mau anda pilih?

Dalam sebuah tim, kerja sama antar individu di dalamnya sangat menentukan nasib tim itu. Sekalipun orang-orang yang ada di tim tersebut merupakan individu dengan kemampuan luar biasa, selama tak ada kerja sama, sistem yang dijalankan tim tersebut tak akan berjalan.

Hal macam begini bisa kita lihat di Liverpool pada musim lalu, misalnya. Siapa yang meragukan kualitas seorang Phil Coutinho atau Christian Benteke. Mereka adalah pemain bagus yang tidak mampu memaksimalkan kualitasnya karena sistem yang diciptakan pelatihnya tak berjalan baik. Untungnya, si pelatih itu sudah diganti.

Kini di bawah asuhan Jurgen Klopp, Liverpool bermain lebih rapi dengan sistem yang baik. Setiap pemain bahu-membahu menjaga pertahanan, dan mengikuti skema penyerangan yang sistematis. Tentu semua bisa berjalan karena ada sistem yang baik dan latihan yang serius.

Perubahan terjadi karena adanya keinginan untuk berkembang. Tentu sebuah tim dengan sejarah yang hebat seperti Liverpool tidak mau terus berada di papan tengah. Mereka butuh maju, karenanya sistem harus diubah. Semua harus bekerja keras untuk mencapai tujuan.

Walau memiliki pemain sekelas Lionel Messi, Sergio Aguero, atau Angel Di Maria, tim nasional Argentina tetap saja gagal merengkuh gelar karena kurang baiknya sistem dan kerja sama dalam tim mereka. Biar bagaimanapun, yang namanya organisasi adalah persoalan kerja sama. Agak sulit meraih kesuksesan jika cara kerja organisasi masih one man team saja.

Kegagalan macam tadi bakal terus terjadi selama sistem yang sudah disepakati dalam tim tidak dijalankan. Kenapa tidak berjalan, bisa karena sistemnya yang tak cocok, bisa karena tidak ada kekompakan dalam tim, bisa juga karena individunya tidak mau mengikuti sistem yang ada.

Dan yang terpenting, kegagalan itu akan terus menerus dilakukan jika tim itu tak pernah menyadari kalau mereka melakukan kesalahan. Tak pernah menyadari bahwa mereka telah gagal. Dan hal ini adalah yang paling berbahaya bagi sebuah organisasi.


Apapun penyebabnya, tidak berkembangnya pekerjaan tim adalah sebuah permasalahan yang harus diselesaikan. Tapi ya kalau individu di tim tersebut tidak mau memperbaiki timnya, ya apa boleh buat. Toh kenyamanan kadang lebih penting ketimbang kemajuan. Kalau sudah begini, saya sarankan anda lebih baik keluar atau bubarkan saja organisasinya.

Peserta pilkada DKI Jakarta telah ditentukan. Ada dua pasangan, Agus Harimurti Yudhoyono - Sylvia Murni serta Anies Baswedan - Sandiaga Uno yang bakal menghadapi calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat. Peta pertarungan berubah, ketika orang-orang menilai Ahok, sapaan akrab Basuki, bakal menang mudah melawan Sandiaga tiba-tiba muncul Agus Harimurti. Lalu, muncul nama Anies Baswedan yang justru diusung sebagai calon utama, yang memaksa Sandiaga menjadi pendamping.

Meski banyak pengamat menilai dicalonkannya Agus hanya sebagai langkah untuk memperkenalkan dirinya di hadapan publik, namun keberadaannya patut dipertimbangkan sebagai potensi yang bisa membahayakan langgengnya kekuasaan Ahok. Maklum, Agus memiliki satu kekuatan yang cukup untuk membuatnya dipilih banyak orang, yakni bapaknya.

Sekalipun nama SBY kian hari kian memudar, namun tidak masuk akal jika kita tidak sama sekali memperhitungkan nama besarnya sebagai mantan presiden. Sekali lagi, nama besar dan lagu-lagu ciptaannya tak boleh diabaikan. Begitupula keberadaan Anies Baswedan.

Sekalipun gagal tampil di pilpres lalu, nama Anies tetap harum di hadapan pendukungnya. Basis massanya terhitung loyal, sekalipun tidak besar tapi tetap menjadi potensi berbahaya untuk Ahok. Sempat menjabat posisi menteri, nama Anies yang hampir hilang benar-benar terselamatkan oleh drama di injury time.

Dengan begini, pertarungan menjadi (agak seru). Ahok dinilai punya lawan yang berpotensi mengalahkan, ya meski potensinya tak besar-besar amat. Namun perlu diingat, politik itu dinamis. Dan potensi kejutan yang hadir di pilkada DKI semakin tinggi dan patut ditunggu.

Ahok adalah calon terkuat untuk memenangkan pertarungan ini. Persoalannya, masih pantaskah Ia memimpin Jakarta? Mengingat tidak sedikit kebijakannya yang menuai kontroversi dan digunjingkan publik. Ahok dengan segala kelakuan dan kebijakannya memang membingungkan. Awalnya kita suka dengan sikapnya yang tegas, namun lambat-laun dirinya semakin menunjukan sikapnya yang beringas.

Menurut data yang disampaikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, sepanjang bulan Januari-Agustus 2015 terjadi 30 kasus penggusuran paksa yang mengorbankan hidup lebih dari 3400 keluarga. Lebih dari 3000 keluarga itulah warga Jakarta yang hak hidupnya dilupakan oleh Ahok. Atas nama pembangunan, Ahok memaksa penggusuran dan menafikan keberadaan warganya.

Angka diatas, tentu masih bisa bertambah seiring waktu berjalan. Mengingat penggusuran yang baru-baru ini terjadi di Rawajati Barat tetap dilakukan meski mendapatkan perlawanan masyarakat. Agaknya korban-korban penggusuran masih akan terus bertambah selama Ahok berkuasa.

Pendekatan Ahok dalam perkara gusur-menggusur jelas berbeda dengan para pendahulunya. Pada masa Jokowi, misalnya, komunikasi yang aktif dengan warga dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan penggusuran. Lalu kita juga bisa melihat cara Soekarno menyenangkan warganya dengan memberikan mereka rumah di daerah lain saat membebaskan lahan untuk kawasan olahraga Gelora Bung Karno. Tidak sebanding memang, tapi cara Presiden Soekarno mengurus penggusuran patut dicontoh.

Tentu bukan tidak boleh pemerintah daerah melakukan penggusuran. Apabila alasan penggusuran memang kuat, penggusuran boleh saja dilakukan. Tapi tentu tidak dengan ‘cara Ahok’ menggusur warganya. Tidak sedikit penggusuran yang dilakukannya melanggar ketentuan yang ada seperti pada kasus penggusuran di Bidara Cina. Sudah tidak dilakukan sosialisasi sebelumnya, pembebasan lahan pun tidak sesuai dengan peraturan yang diterbitkan.

Sebenarnya ‘kepatutan’ Ahok sebagai Gubernur dapat dinilai dalam berbagai sudut pandang. Namun, karena saya memahami pahitnya digusur maka saya memilih untuk membahas ‘kepatutan’ Ahok dalam sisi kemanusiaannya. Karena, bagi saya, salah satu hal utama yang perlu dimiliki seorang pemimpin adalah empati terhadap kesulitan warganya.

Betapa tidak menyenangkan melihat rumah yang kita tinggali bertahun-tahun dirobohkan di hadapan kita demi alasan membangun ibukota. Sungguh tidak menyenangkan. Dan lebih tidak menyenangkan lagi melihat Gubernur yang bisa seenaknya bicara tanpa memahami keadaan mereka yang terusir dari rumahnya.

Tanpa perlu menggunakan ayat-ayat dari Kitab Suci, saya rasa ‘kepatutan’ Ahok masih bisa dinilai dengan hal-hal semacam ini. Karena dalam pertarungan di Pilkada nanti yang jadi masalah bukan persoalan apakah Ahok bisa dikalahkan atau tidak. Namun persoalan utamanya, sekali lagi, adalah: Masih layakkah Ahok Memimpin Jakarta?

Pertama kali terbit di bolehmerokok.com

Sekali waktu saya pernah bercita-cita menjadi petani. Mau punya lahan sendiri, digarap sendiri, dan dijadikan tempat menggantungkan hidup. Hidup tenang di desa, kerja keras mengurus lahan. Bosan hidup di Jakarta menjadi salah satu alasan tercetusnya ide macam ini. Lelah berhadapan dengan jutaan kendaraan tiap harinya, lelah pula berhadapan dengan kehidupannya.

Tapi ya itu hanya sebuah harapan kosong. Mempertaruhkan hidup saya di sini untuk sesuatu yang belum pasti jelas sulit. Apalagi, menjadi petani bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah.

Tidak semua orang adalah Susno Duaji, itu loh yang pernah jadi Kabareskrim di Polda Metro. Belio adalah orang berpunya yang bisa beli lahan untuk bertani. Sementara saya, jangankan beli tanah, lulus kuliah saja belum mampu. Hehe.

Menjadi petani itu berat dan resikonya besar. Sudah harus keluar modal yang tidak sedikit, resiko gagal panen selalu membayangi. Saya sih nggak terlalu paham kendala apa saja yang biasa dialami selama musim tanam. Tapi ya resiko-resiko macam itu yang bikin saya gentar untuk menjadi petani.

Memang persoalan pertanian di Indonesia terlalu banyak. Misalnya pada sektor gula, saya baru tahu kalau lahan pertanian itu banyak dikuasai pabrikan. Jadi, mereka yang mengurus lahan ya buruh tani yang kerja di perusahaan. Selain itu tinggi-rendahnya harga tebu sangat ditentukan oleh rendemen. Singkatnya, rendemen itu kandungan gula yang terkandung dalam tanaman. Jadi kalau semakin baik rendemennya, maka harga tebu bakal semakin tinggi.

Masalahnya, kita tahu kalau kualitas tanaman amat bergantung pada banyak faktor seperti gangguan hama dan cuaca. Untuk menghasilkan tanaman berkualitas tentu teknologi pertaniannya harus bagus juga. Bagaimana caranya petani mengakali kondisi alam, juga bagaimana mereka melewati gangguan hama.

Sementara para petani kebingungan menghadapi masalahnya, negara malah dengan asiknya membuka keran impor gula. Ini persoalan klasik. Ketika ketersediaan komoditas tidak mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan negara memainkan strategi impor untuk menyelesaikan masalah. Dulu, dulu sekali, saya sudah pernah menyatakan bahwa negara tak pernah menyelesaikan akar masalah dengan membuka keran impor.

Pada tahun ini, kondisi pertanian tebu memang cukup memprihatinkan. Kondisi alam yang tidak menentu memaksa produktifitas pertanian tebu menurun. Sudah kuantitas produksi turun, harga pun ikut anjlok. Dan bajingannya lagi, negara sama sekali tidak hadir sebagai pelindung bagi warganya yang sedang kesulitan.

Sebenarnya saya mau membandingkan persoalan pertanian di banyak komoditas dengan sektor pertanian tembakau yang lumayan saya kuasai isunya. Namun ketimbang dibilang antek pabrik rokok atau dibilang komunis (lah?) lebih baik saya nggak bahas di sini.

Mengetahui hal-hal semacam ini, nyali saya untuk jadi petani jelas ciut. Mendingan ngurus kuliah biar cepat lulus lalu kerja di Bank daripada harus ambil resiko besar kayak gini. Saya rasa pemikiran macam ini juga ada di kepala jutaan anak muda seusia saya.

Persoalannya kemudian, siapa yang mau jadi petani kalau jutaan anak muda memiliki impian untuk kerja di Bank? Oke deh, nggak hanya Bank. Itu cuma cita-cita saya lainnya yang nggak bakal tercapai. Tapi tetap saja, jutaan anak muda itu lebih mempertimbangkan kerja kantoran dan membangun karir ketimbang mengurus lahan pertanian negara yang katanya agraris ini. Ya kalaupun ada, jumlahnya akan sangat sedikit sekali, saya kira.

Di desa-desa, lahan pertanian semakin banyak yang dialihfungsikan menjadi lahan industri atau perumahan. Orang-orang sekarang lebih membutuhkan pekerjaan dan rumah ketimbang membutuhkan makan. Ya kalaupun urusan makan dirasa penting, masih ada jalan keluar yang solutif sekali. Tepat, jawabannya adalah impor.


Besok, tanggal 24 September adalah hari tani nasional. Saya kurang tahu agenda apa yang bakal dikerjakan teman-teman yang aktif di sektor tani. Yang pasti, dalam 10 – 20 tahun ke depan persoalan pangan adalah salah satu isu yang bakal banyak dibahas. Kalau persoalan pangan, yang akar masalahnya ada di pertanian tidak segera diselesaikan jangan harap negara ini bakal mandiri dalam urusan perut masyarakatnya.
Kurang lebih seminggu lalu bapak mengajak saya bicara. Ia meminta saya pindah ke belakang, menjauhi keramaian. Waktu itu sedang ada acara pengajian, 40 harian nenek. Suasana masih ramai meski pengajian sudah usai. Ibu masih sibuk mengurus besek, keluarga yang lain mengurus tamu.

Di belakang, saya duduk menunggu bapak. Sejenak, saya mengambil rokok dan hendak membakarnya namun urung dilakukan. Tapi saya baru ingat, saya di rumah. Di lingkungan keluarga, saya tidak bisa merokok. Ibu pasti langsung marah besar kalau saya merokok. Padahal ya mereka tahu saya merokok. Yang penting, tidak boleh merokok di rumah. Titik. Saya menghargainya.

Bapak datang sendirian. Pembawaannya tampak serius, saya kira Ia benar-benar akan bicara perihal yang serius. Sebenarnya bapak dan saya amat jarang berbicang. Selain karena saya jarang di rumah, saya juga tidak banyak bicara kalau di rumah. Begitu pulang, saya masuk kamar. Entah tidur entah melakukan yang lain.

Dan benar saja, Ia membuka pembicaraan tanpa sedikitpun basa-basi. “Kuliahmu itu mau diselesaikan atau tidak?” ujarnya serius begitu duduk. Saya agak kikuk menerima pertanyaan semacam ini. Bukan karena tidak siap atau tidak bisa menjawab, tapi karena yang bertanya adalah bapak. Kalau ibu atau siapapun yang menanyakan, saya masih bisa jawab. Kalau bapak, agak lain rasanya.

Sejenak diam, saya mulai menjawab ketika bapak menoleh ke arah saya. Kurang lebih, begini jawaban saya kepadanya. Saya tidak punya motivasi untuk lulus. Setidaknya, tidak benar-benar punya motivasi. Saya membutuhkan alasan lebih, yang benar-benar layak untuk memperjuangkan kelulusan. Selama ini alasan yang ada cuma untuk menyenangkan keluarga atau demi masa depan.

Namun, bagi saya, alasan seperti itu masih kurang. Tidak benar-benar memotivasi saya untuk mengejar kelulusan. Kurang lebih, alasan semacam itu belum bisa membuat saya berjuang mengejar kelulusan.

Saya berhenti sejenak. Bapak juga diam. Saya menunggu bapak untuk bicara, tapi tak kunjung terjadi. Akhirnya saya memilih untuk lanjut bicara. Saya katakan padanya, kuliah saya masih bisa diperjuangkan. Tidak berat-berat amat. Hanya perlu menyelesaikan dua matakuliah dan skripsi saya. Ya mungkin ada hal lain yang diurus, macam mengikuti tes bahasa inggris dan bahasa arab sebagai syarat kelulusan.

Kuliah saya masih bisa diselamatkan. Saya masih bisa lulus. Tapi ya tadi, saya membutuhkan sesuatu, alasan yang tepat untuk memperjuangkan kelulusan. Saya bukannya tidak mau menyenangkan orangtua, bukannya tidak mau bertanggungjawab pada pilihan kuliah yang saya ambil dulu. Tapi bukankah saya kuliah juga karena kalian, karena saya mengikuti keinginan kalian. Bukankah dulu saya memilih untuk langsung bekerja, tapi tidak terlaksana karena dua-tiga alasan yang satu diantaranya demi menyenangkan kalian.

Untuk persoalan masa depan, saya yakin akan tetap hidup walau tidak sarjana. Mungkin kalian menanggap hidup saya akan dipenuhi ketidakpastian jika gagal meraih gelar. Saya menghargai itu. Tapi bukankah sejak SMA saya sudah tidak terlalu memusingkan hal-hal semacam itu. Toh, hidup memang dipenuhi ketidakpastian dan beribu kemungkinan. Bisa saja saya gagal dalam hidup. Tapi saya masih bisa memperjuangkan hidup walau tidak sarjana.

Saya kemudian diam. Menanti jawab dari mulut bapak. Lagipula, saya merasa sudah tidak punya apa-apa lagi untuk disampaikan. Semua unek-unek sudah disampaikan bersama jawaban untuk pertanyaan bapak yang singkat itu. Bapak angkat bicara. Saya bersiap mendengarkan, apapun yang bakal disampaikan.


“Yasudah, terserah kamu. Hidup ya hidupmu. Mau apa yang penting tanggung jawab. Katanya kamu mau pergi lagi, buruan sana sebelum terlalu larut. Nanti kalau sudah punya niat lulus baru pulang ke rumah ya.”

Ketika masih aktif di kampus, saya kerap terlibat dalam perdebatan mengenai kerja organisasi. Dari rapat ke rapat, dari agenda ke agenda, perdebatan hampir pasti terjadi. Yang satu mau agenda berjalan sebagaimana inginnya, sementara yang lain ingin sebagaimana mau mereka. Masing-masing punya pendapat, dan itulah yang membuat organisasi sehat.

Yang jadi persoalan adalah, ketika perdebatan hanya berkisar pada hal-hal yang tidak substantif. Tidak penting. Kadang, dalam perencanaan sebuah agenda ada saja teman-teman yang ingin kegiatan berjalan ala kadarnya. Semampunya saja. Tidak perlu ribet. Tidak perlu ambil resiko.

Ketika seseorang menyampaikan gagasan serta konsep yang menurutnya ideal untuk sebuah agenda, ada saja yang membantah konsep tersebut dengan alasan ribet dan sebagainya. Bukannya membantah konsep dengan konsep, yang ada cuma perdebatan mengenai penolakan konsep yang dianggap ribet oleh sebagian orang.

Masalah bertambah karena yang menolak gagasan itu adalah kebanyakan anggota. Dan bertambah pelik karena yang kebanyakan itu tidak setuju dengan konsep yang memberatkan. Sudah dibuat mudah saja. Realistis saja. Tidak perlu repot.

Kalau sudah begini, biasanya rapat pengambilan keputusan berujung buntu. Deadlock. Alhasil keputusan bakal diambil dengan voting, tanpa mengusahakan mufakat dari semua anggota. Tentunya yang bakal menang adalah kelompok mayoritas yang tidak mau repot itu. Sementara yang susah payah membuat konsep sebaik mungkin malah tersisihkan.

Hal-hal macam begini terjadi karena ketidaksiapan banyak orang yang berorganisasi untuk bekerja sepenuh hati. Kebanyakan mereka tujuannya saat ikut organisasi adalah cari teman dan cari ilmu. Tapi ketika dihadapkan pada kondisi organisasi yang tidak sesuai dengan bayangan mereka, kebanyakan mereka merasa terbebani dan membuat organisasi jadi tidak berkembang.

Padahal ya buat apa, aktif di organisasi untuk belajar hal yang itu-itu saja. Bagaimana nantinya hidup kita ketika sedari awal kita melulu kompromis terhadap keadaan. Realistis lah.

Jadi begini, kalau masih ada orang yang merasa terbebani karena aktif di organisasi ya sebaiknya keluar saja. Karena organisasi bukan sekadar tempat bermain apalagi tempat mencari pacar. Organisasi adalah tempat belajar dan berkreasi dengan segala waktu yang masih disediakan oleh muda.

Belajarlah memikirkan kondisi yang ideal bagi organisasi. Mumpung masih belajar, masih boleh salah ketika mengambil langkah. Tapi ya kalau sudah tidak mencoba hal-hal yang menurutmu ideal sejak dini, mati saja kalian ke laut.

Kalau masih merasa kegiatan-kegiatan yang dilakukan organisasi terlalu membenani apalagi mengganggu hidup ya untuk apa masih bertahan di organisasi. Toh organisasi nggak pernah memaksakan keberadaan anda di dalamnya.


Jika nggak mau pusing dan kerja keras di organisasi ya keluar. Kalau cuma jadikan organisasi tempat nongkrong dan meluangkan kekosongan jadwal ya jangan masuk organisasi. Organisasi nggak sebercanda itu.