Aditia Purnomo



Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Lalu slogan menolak lupa berkumandang, meski tetap saja penyakit pikun sejarah masih melanda anak bangsa. Agaknya ada satu hal yang luput dibahas kala teror datang di bulan Januari. Semua fokus pada teror bom, tapi lupa ada teror yang lebih mengerikan.

Puluhan tahun lalu, tepatnya pada 15 Januari 1974, sebuah perlawanan lahir dari kebosanan terhadap teror ekonomi yang melanda Indonesia. Selepas peristiwa 65 dan jatuhnya Soekarno, pondasi kapitalisme global tengah dibangun pada rezim baru. Investasi-investasi asing masuk menguasai pasar Indonesia. Bagi mahasiswa, pemerintah kala itu sudah menyimpang dan tidak berhaluan kepada pembangunan yang mementingkan rakyat.

Rasa muak memuncak kala Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei datang ke Indonesia. Tanaka dianggap sebagai simbol kapitalisme global yang merongrong Indonesia, karenanya kedatangan Tanaka harus disambut dengan demonstrasi. Apalagi, investasi jepang yang semakin bertambah dari waktu ke waktu di Jawa dianggap membunuh pengusaha-pengusaha kecil pribumi.

Singkat kata, demonstrasi besar-besaran terjadi. Kedatangan Tanaka di bandara Halim Perdanakusuma dijaga ketat aparat, sementara di pusat-pusat kota seperti Senen kerusuhan telah terjadi. Karena kerusuhan itu pula, Soeharto selaku presiden pada rezim itu merasa ditampar pipinya di hadapan Tanaka. Apalagi Tanaka harus diangkut menuju Istana menggunakan helikopter karena kerusuhan yang ada.

Murka Soeharto tak bisa dibendung. Segenap perintah diberikan, kerusuhan harus dibungkam. Kondisi Jakarta sendiri mencekam. Gedung pertokoan dibakar. Mobil-mobil serta motor-motor dirusak, dibakar. Korban jatuh, baik yang luka maupun tewas. Ratusan orang ditangkap, termasuk dua pimpinan mahasiswa dari UI, Hariman Siregar dan Sjahrir.

Banyak perdebatan mengenai peristiwa ini, tapi karena saya sudah kebanyakan cerita soal tragedi Malari ada baiknya bagi yang mau tahu lebih lanjut bisa googling sendiri. Pun mengenai adanya perselisihan antar jenderal dan preman bayaran yang diikutkan dalam kerusuhan itu. Lebih baik cari sendiri.

Yang lebih penting terkait persitiwa ini adalah, spirit perlawanan yang harusnya dijaga. Memasuki tahun yang baru ini, pemerintahan Jokowi telah membuat beberapa kesepakatan kerja dan investasi yang dibiayai oleh pihak asing. Bukan tidak baik, tapi sekali lagi, kalau terlalu mengakomodasi pihak asing kapan mau memperhatikan pengusaha lokal yang hendak bersaing.

Belum lagi, kebiasaan buruk sistem pengupahan yang begitu menguntungkan dan (sekali lagi) mengakomodasi, kalau tidak mau dibilang memanjakan, para pengusaha yang kebanyakan bukan dari Indonesia. Ini bukan soal menentang asing-aseng atau apalah, tapi potensi pengusaha akan semakin dikebiri dengan kebijakan yang menguntungkan modal besar dari asing.

Sialnya lagi, budaya pikun dan lupa masih melanda anak bangsa. Presiden dapat proyek kereta cepat, kalian senang-senang aja, “Yang penting bisa bolak-balik Bandung-Jakarta dengan cepat!”.  Atau ketika ketika kontrak karya Freeport hendak diperpanjang, banyak diantara kita masa bodo.

Terlalu sedikit orang yang akan memikirkan nasib-nasib supir Bus Primajasa yang akan kehilangan pendapatan karena dibuatnya kereta cepat. Atau terkait Freeport, tidak banyak yang mengurusi hidup bangsa Papua yang miskin padahal gunung emasnya dirampok asing.

Babi, memang. Penyakit lupa menjangkiti anak bangsa. Mereka lupa kalau poster berbunyi Jas Merah di dinding kelas SD tergambar sosok Soekarno, orang yang menolak penambangan emas di Papua karena besaran keuntungan yang timpang diterima Indonesia. Mereka pun lupa, kalau bapak bangsa seperti Soekarno dan Tan Malaka berjuang memerdekakan republik demi kesejahteraan anak bangsa, bukan kesejahteraan perusahaan asing.


Atau malah, anak-anak bangsa sudah lupa siapa itu Soekarno, apalagi Tan Malaka. Selama bisa sekolah sampai kuliah, lalu dapat kerja dan bisa menikah, buat apa repot-repot mengingat sejarah. Tak perlu lagi mengingat perlawanan yang dilakukan para pemuda terhadap para penjajah, yang penting sudah merdeka. Toh yang penting itu masa depan, masa depan perut dan nasib masing-masing. Kalau sudah begitu, apa mau dikata. Panjang umur kedunguan, selamat mati perlawanan.

Perama kali dimuat di Mahasiswa Bicara


Sepanjang 2015, terjadi 3.922 kasus kecelakaan lalu lintas yang memakan 352 korban jiwa di Yogyakarta. Sedangkan di Jakarta, terjadi 6.231 kasus dengan jumlah korban jiwa mencapai angka 566 orang. Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia masih saja mencela-cela rokok sebagai pembunuh massal yang mematikan tanpa mau menganalisis data tersebut.

Menurut data yang dilansir WHO, kecelakaan lalu lintas menjadi pembunuh terbesar ketiga di dunia. Secara global angka kematian mencapai 1,24 juta jiwa dan angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasar laporan dari Kepolisian RI, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi sekitar Rp 203 triliun – Rp 217 triliun per tahun.

Meski angka kecelakaan beserta kerugian yang ditimbulkannya terbilang besar, tetap saja YLKI beserta rombongan anti rokok melulu berbicara soal rokok yang membunuh, rokok memiskinkan. Hal ini menjadi wagu mengingat angka kematian yang disebabkan rokok dihitung berdasar kematian akibat Jantung dan kanker, yang tidak melulu berkaitan dengan rokok.

Memang rokok adalah salah satu faktor penyebab penyakit-penyakit tersebut, tapi tidak melulu rokok yang menjadi faktor penyebabnya. Banyak orang yang mengalami penyakit-penyakit tersebut justru tidak merokok, malah mantan Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih meninggal karena kanker. Apakah dia merokok, tentu saja tidak.

Lalu hal-hal yang menjustifikasi rokok sebagai barang yang tidak baik terus diproduksi. Belum lama, Badan Pusat Statistik merilis data yang menyatakan kalau rokok dan beras adalah penyebab utama kemiskinan. Bayangkan, beras saja sebagai kebutuhan pokok dinyatakan sebagai penyebab kemiskinan. Apalagi rokok yang dianggap sebagai mesin pembunuh.

Seandainya mau diteliti lebih lanjut, penyebab kemiskinan tentu tidaklah mendasar dari satu-dua faktor seperti konsumsi masyarakat terhadap beras dan rokok. Lebih dari itu, penyebab kemiskinan teramat kompleks dan sistemik akibat dari ketidakmampuan pemerintah menjaga harga pasar dan memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Toh negara masih belum mampu memberi pekerjaan yang layak dan menetapkan upah hidup sejahtera bagi masyarakat.

Kalaupun budaya konsumtif masyarakat mau disebut sebagai penyebab kemiskinan, saya lebih sepakat dengan Media Wahyudi Askar yang menyebutkan kalau kredit motor atau mobil menjadi penyebab tingginya angka kemiskinan. Menurut mahasiswa PhD University of Manchester jurusan Development Policy and Management ini, asumsi membayar uang muka (DP) sebesar Rp500 ribu untuk membeli motor dalam kurun waktu sekitar 3 sampai 4 tahun mereka harus membayar sepeda motor Rp5-6 juta lebih mahal dari harga sepeda motor yang dibeli secara tunai. Harga yang sangat tidak ekonomis dengan jumlah bunga yang mencapai 25 persen.

Dan memang inilah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita. Seringkali, kredit konsumsi diberikan secara mudah baik oleh bank ataupun perusahaan dagang untuk mendapatkan pelanggan. Mungkin masyarakat melihat sistem kredit adalah solusi untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan, padahal beban kredit yang cukup besar begitu membebani pengeluaran rumah tangga mereka.

Dalam hal ini, kendaraan menjadi barang mematikan yang bukan saja membunuh secara fisik, tapi mematikan secara ekonomi. Karena hisapan kredit dan tanggungan utang yang harus terus dibayarkan. Jadi mana yang lebih membunuh, rokok atau kendaraan?


Tetapi, mengutip Wahyudi Askar, teori ekonomi bukan soal hitungan matematika. Kaya miskin tidak melulu bisa dihitung berdasar angka. Sama seperti asumsi kalau seorang perokok menggunakan uangnya bukan untuk membeli rokok, melainkan ditabung maka Ia bisa memiliki mobil dengan tabungan selama 20 tahun. Asumsi yang keliru, saya kira, mengingat banyak orang yang saya kenal tidak merokok dan bekerja selama puluhan tahun tetap saja tidak memiliki mobil.

Pertama dimuat di Komunitas Kretek
Kuba hanyalah negara kecil. Luasnya tidak melebihi pulau Jawa, ibukotanya tak sebesar DKI jakarta. Sumber daya alam Kuba terbatas, tidak sebanyak yang dimiliki Indonesia. Meski begitu, Kuba memiliki posisi penting dalam percaturan politik internasional. Khususnya dunia kesehatan.

Kuba, memang bukan negara besar dan subur seperti Indonesia, namun angka kesejahteraan disana jauh lebih tinggi, dilihat dari presentase angka buta huruf rakyat Kuba yang mendekati 0%, Kuba mampu memaksimalkan kemampuan terbatas mereka.

Semenjak Revolusi Kuba yang terjadi tahun 1959, Kuba menjadi negara yang diperhitungkan. Duet Fidel Castro dan Che Guevara membawa Kuba ke depan pintu menuju perubahan. Skema industri di Kuba diubah. Kuba lebih mengedepankan industri berbasis nasional, yang memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki negara yang tak luas itu.

Industri pengolahan tembakau, yang dijadikan cerutu, menjadi salah satu industri prioritas yang ada di Kuba. Pemerintah Kuba memaksimalkan potensi pertanian tembakau di sana dan kegemaran masyarakat akan cerutu dengan menjadikan industri ini sebagai salah satu aset berharga negara.

Hasilnya, cerutu Kuba begitu dikenal dan diminati dunia. Berdasar laporan keuangan salah satu merek cerutu ternama asal Kuba, Habanos SA, total penjualan mereka mencapai US$447 juta (Rp5,1 triliun) pada tahun 2013. Penjualan cerutu mereka naik 8% dibanding tahun sebelumnya karena kenaikan permintaan dari China.

Di Kuba, industri potensial seperti ini tidak dilarang, malah dimaksimalkan sebagai salah satu sumber pemasukan untuk menyejahterakan masyarakat. Pemerintah Kuba cukup mengandalkan ekspor cerutu sebagai salah satu sumber devisa yang besar bagi mereka, mengingat keterbatasan sumber daya lain yang mereka punya.

Tapi jangan salah, sekalipun memaksimalkan potensi industri tembakau Kuba adalah salah satu negara dengan sistem kesehatan yang paling baik di dunia. Mereka memiliki sekolah dokter gratis bagi pelajar dari seluruh penjuru dunia bernama ELAM. Pun rasio dokter yang ada di Kuba seimbang. Kira-kira satu dokter di sana hanya melayani 100 keluarga, atau diminta melayani satu wilayah RT.

Selain itu, angka kematian bayi di Kuba hanya 6 per 1000 kelahiran, sedangkan di Indonesia mencapai 35 kematian per 1000 kelahiran. Lalu angka kematian ibu melahirkan di Kuba mencapai 8 per 1000 kelahiran. Di Indonesia? Mencapai 307 kematian per 1000 kelahiran.

Jadi, tidak ada hubungan negara yang industri tembakaunya maju akan buruk pelayanan kualitas kesehatannya. Kuba telah membuktikan, mereka sanggup melayani masyarakat dengan sistem kesehatan bermutu dengan mengandalkan penghasilan dari industri tembakau.

Sedangkan Indonesia, yang industri tembakaunya begitu dicecar oleh kementrian kesehatan dan regulasi-regulasi yang mematikan tetap saja tidak bisa memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi warganya. Sudah tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan yang baik masih saja getol mematikan industri yang potensial bagi negara.


Pertama dimuat di Komunitas Kretek


Bagi mereka yang tidak memahami perkara ekonomi politik dan kebudayaan, tembakau pasti hanya dipandang sebagai biang penyakit dan penyebab kematian. Wajar, karena tidak tahu. Seandainya mereka mau memahami bagaimana konteks yang sebenarnya ada dalam pertarungan wacana soal tembakau, niscaya mereka tidak akan memandang tembakau dengan sebelah mata.

Dalam perkara ekonomi, tembakau adalah salah satu bidang indsutri yang memberi penghidupan bagi belasan juta orang yang bergantung secara langsung maupun tidak langsung pada industri ini. Mulai dari petani, buruh, pedagang, pekerja iklan, dan masih banyak lainnya. Bukan cuma untuk masyarakat, pada negara pun tembakau memberikan sumbangan dana yang tidak sedikit dari cukai dan pajak industri.

Malah, bagi beberapa daerah seperti Sumatera Utara, tembakau memberikan sumbangan devisa yang tidak sedikit pada daerah tersebut. Sumatera Utara memang menjadi salah satu daerah penghasil tembakau. Tembakau Deli malah menjadi salah satu tembakau terbaik dunia yang digunakan untuk pembuatan cerutu.

Tembakau Deli sendiri lebih banyak digunakan untuk produksi tembakau di luar negeri, salah satunya di Jerman. Karenanya, kebanyakan tembakau ini diekspor ke luar karena kebutuhan pasar luar negeri akan tembakau ini cukup besar. Dan dari hasil ekspor inilah, tembakau memberikan sumbangan devisa yang tidak sedikit kepada Sumatera Utara.

Pada tahun 2014, devisa yang diberikan tembakau kepada Sumatera Utara sebesar USD 333,771 juta. Angka yang cukup besar dari tanaman yang dianggap sebagai musuh dan mematikan ini. Sementara pada tahun 2015, sekalipun angkanya turun karena krisis ekonomi global namun tetap bisa menyumbangkan USD286,771 juta.

Pada perkembangannya, tembakau Deli menjadi salah satu aset besar bagi devisa Sumatera Utara karena tembakau ini memang menjadi bahan yang diekspor. Sejak masa Hindia Belanda, tembakau Deli sudah dikenal dan diekspor. Dulu paling banyak dikirim ke Jerman, kalau sekarang banyak ke Kamboja. Karena dulu tembakau Deli kebanyakan akan dilelang di Bremen untuk kemudian dikirim ke negara lain, kalau sekarang sudah tidak terpusat dan langsung dieskpor ke banyak negara.

Sekalipun memberi dampak ekonomi yang tidak sedikit baik bagi masyarakat, daerah, atau negara sekalipun, pemerintah masih saja kerap memandang tembakau dengan sebelah mata. Kebijakan pemerintah terkait tembakau masih berkisar soal pengendalian dan pengerukan dana dari kenaikan cukai dan pajak lainnya.

Jarang sekali pemerintah memberi perhatian pada perkembangan industri tembakau seperti pengembangan teknologi pertanian ataupun industri. Padahal tembakau sudah memberi banyak pada negara, tapi ya tetap saja pemerintah main dua kaki pada perkara ini. Memberangus dengan dalih pengendalian, tapi tetap menaikan cukai agar pemasukan negara bertambah.

Meski beberapa daerah penghasil tembakau sudah mengakui potensi tembakau dalam berbagai bidang, tetap saja pemerntah pusat bergeming dan memalingkan pandangan untuk mengembangkan industri ini. Sekalipun pemerintah daerah telah memberi ruang terhadap industri tembakau, tapi tetap saja regulasi dari pusat banyak tidak berpihak terhadapnya.


Pertama dimuat di Komunitas Kretek
Saya adalah orang yang masih percaya bahwa akan tiba masa di mana semua orang merasa bahagia. Masa di mana orang-orang tidak lagi menertawakan kesengsaraan orang lain, tidak lagi mengutuk kebahagiaan orang lain. Utopis memang. Tapi seburuk-buruknya hidup, harapan harus terus dipupuk.

Keyakinan tersebut tertuang dalam semangat awak Jombloo dalam memperjuangkan nasib asmara orang lain. Alih-alih mencari kebahagiaan sendiri, kami lebih senang melihat orang lain tertawa dan bahagia ketika membaca situs ini. Ada perasaan lain timbul ketika bisa membuat orang lain bahagia.

Lahir dari semangat menjodohkan seorang teman, Jombloo kemudian berkembang sebagai situs yang memberi kesempatan pada para tuna asmara untuk bersuara. Menyampaikan kegundahannya karena terlalu lama di-bully atau terlalu lama sendiri. Jadi Jombloo adalah tempat membela diri atau membela kaumnya.

Meski begitu, nasib suatu kaum tidak akan berubah apabila kaum itu tidak memperjuangkan nasib mereka sendiri. Karenanya, daripada hanya membela diri dari bully yang tidak berkesudahan, ada baiknya setiap jomblo mampu membuktikan diri kalau mereka tidak cuma bisa hidup sendiri. Sudah saatnya sifat sok tegar dihilangkan dan kembali pada hakikat manusia sebagai mahluk sosial. Mahluk yang memerlukan kasih sayang orang lain.

Sedari awal kami sadar, situs ini bukan cuma milik segelintir orang. Situs ini mampu berjalan berkat kerja kolektif antara punggawa, penulis, juga pembaca. Dengan semangat yang militan dan progresif, semua pihak yang bahu membahu membangun situs ini memiliki andil dari pasang surut yang pernah kami alami.

Kami pun sadar kalau situs ini masih memiliki banyak cela. Dan kami tidak mau menjadikan proses sebagai alasan. Setiap orang tumbuh dan berproses, tapi kami sadar bahwa proses saja tidak cukup. Ada banyak variabel lain yang harus dicapai agar situs ini boleh bertahan dalam persaingan dunia digital yang lebih keras daripada persaingan mendapatkan pacar.

Dengan penuh pertimbangan, dicapai sebuah keputusan yang bulat untuk menggabungkan Jombloo dengan situs Minum Kopi. Tentu keputusan ini diambil tidak secara sembarangan, mengingat ini menyangkut kebahagiaan banyak orang yang terpaut hatinya dengan Jombloo.

Semua boleh kecewa, tapi tidak boleh berlarut. Bagaimanapun, keputusan sudah diambil. Tidak ada waktu untuk meratapi apalagi menangisi. Semua harus berjalan dan tetap maju ke depan. Jangan lupa cari pacar, kalau sudah punya pacar jangan lupa cari modal lamaran. Siapa tahu, siapa tahu.

Kalau kejauhan, kelarin aja yang ada di depan mata. Lulus kuliah misalnya. Jangan lupa ngopi sama ngudud. Kalau nggak suka kopi boleh ngeteh, kalau nggak suka ngudud jangan larang orang lain ngudud, ya. Nanti kamu susah punya pacar loh. Kalau susah deketin orang yang kamu suka, coba cari artikel-artikel di Jombloo yang bisa kasih kamu inspirasi. Toh kalau masih susah deketin, kamu masih bisa ketawa-tiwi. Lumayan, bisa nyegerin jiwa.


Setiap jalan pasti ada ujungnya. Cepat atau lambat perpisahan pasti terjadi. Yang penting jangan lupa cari pasangan hidup, nggak enak loh hidup terlalu lama sendiri. Jika masih seneng hidup sendiri pun nggak apa, asal jangan lupa bahagia. Boleh saja kita berpisah, tapi jangan sampai lupa bahagia, ya.

*Ini tulisan penutup di Jombloo Dot Co

Ketidaksukaan masyarakat terhadap rokok agaknya benar-benar dimanfaatkan oleh pemerintah. Selain dihisap cukainya, rokok juga kerap dijadikan kambing hitam atas beberapa persoalan, salah satunya kemiskinan. Belum lama ini, Badan Pusat Statistik merilis data temuan mereka yang menyebutkan kalau rokok berperan besar sebagai penyebab kemiskinan masyarakat.

Dalam data BPS, disebutkan kalau rokok (juga bahan konsumsi lainnya, tapi karena yang tidak disukai maka yang ditekankan hanya rokok) menjadi faktor penyebab karena tingginya angka pembelian rokok oleh masyarakat. Data ini kemudian dipercaya sebagai kebenaran mutlak, tanpa melihat berbagai faktor lainnya. Pokoknya, rokok selalu salah.

Padahal kalau kita mau melihat persoalan kemiskinan yang terjadi di negara ini, ada begitu banyak faktor yang saling berkaitan. Hal-hal utama seperti upah kerja yang rendah, banyaknya pengangguran, serta ketidakmampuan pemerintah menjaga laju inflasi justru tidak dibahas dalam data BPS.

Kalaupun rokok dianggap sebagai salah satu faktor karena tingginya konsumen rokok, tidak serta merta bisa dijadikan sebagai faktor utama. Apalagi, kenaikan harga rokok akan tetap berpengaruh pada prilaku konsumsi masyarakat terhadap rokok.

Jika harga rokok naik, kemungkinan angka konsumen tidak turun disebabkan oleh pengurangan jatah belanja rokok oleh masyarakat. Jika sebelumnya, dalam sehari orang yang merokok bisa membeli sebungkus rokok, karena kenaikan harga kemudian hanya bisa beli setengah bungkus. Bisa jadi malah Ia tidak membeli karena lebih memilih untuk meminta rokok milik temannya.

Memang kenaikan presentase uang yang digunakan untuk membeli rokok meningkat, sehingga terkesan seolah olah harga rokok tinggi jadi penyebab kemiskinan. Tingginya persentase kemiskinan masyarakat terjadi lebih karena adanya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah. Sehingga mereka yang berada di kelompok rentan miskin bisa dengan mudah masuk ke kategori miskin.

Tapi ya hal seperti ini tidak akan banyak diketahui orang. Lha wong data BPS terkait penyebab kemiskinan ini dijadikan kebenaran mutlak, khususnya oleh mereka yang begitu membenci rokok. Meski rokok sebenarnya juga memberi hidup pada banyak orang, tapi apa daya kebencian sudah begitu mengakar sampai tidak bisa melihat hal lain.


Memang, agar bisa membenci kita tidak perlu alasan. Sebab membenci lebih hemat energi karena tidak perlu menggunakan otak untuk belajar mengenali dan memahami.

Pertama kali dimuat di Komunitas Kretek 


Tembakau dan Temanggung adalah dua kata yang berbeda namun serupa. Temanggung hampir tidak bisa dipisahkan dari tembakau. Sekalipun ada banyak daerah lain yang juga menghasilkan tembakau, namun Temanggung hampir pasti selalu disebut sebagai sentranya.

Bagi masyarakat Temanggung, tembakau adalah segalanya. Bukan hanya sebagai identitas, tapi juga pemutar roda ekonomi serta kehidupan mereka. Karena itulah muncul beragam hal berbau tembakau salah satunya adalah Nasi Goreng Mbako.

Makanan ini bisa anda temukan di Rumah Makan Temanggung Bersenyum yang berlokasi di di Jalan MT Haryono, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Memanfaatkan tembakau sebagau campuran dalam menu nasi goreng, menu ini menjadi andalan di rumah makan tersebut.

Dalam penyajiannya, nasi goreng ini tidak menggunakan daun tembakau sebagai bahan utama dalam masakan. Yang digunakan sebagai campuran dalam bumbu nasi goreng adalah biji tembakau. Sedangkan daun tembakau biasa digunakan sebagai taburan setelah nasi siap dihidangkan. Penggunaan biji tembakau memang agak tidak lazim mengingat daun tembakau adalah hasil utama dari pertanian tembakau.

Saat masak, biji tembakau akan digoreng tanpa minyak sekitar 15 menit. Ingat, tanpa minyak. Setelahnya, dicampur bumbu serta bahan lainnya. Hampir tidak beda memang, hanya menambahkan biji tembakau pada awal proses masak. Jika anda mau, daun tembakau dapat ditaburkan diatas nasi setelah dihidangkan.

Aroma tembakau akan tercium dari hidangan dan terasa saat disantap. Ya iyalah, namanya nasi goreng tembakau. Mungkin saat pertama kali merasakannya anda akan merasa tidak biasa terhadap rasanya. Maklum, selain kretekus tentu banyak yang tidak terbiasa dengan cita rasa tembakau. Tapi nantinya, anda akan terbiasa dan mampu merasakan nikmatnya.

Rumah Makan Temanggung Bersenyum dapat anda temui dengan perjalanan mobil sekitar 15 menit dari Alun-alunTemanggung. Selamat mencoba bagi anda yang hendak merasakan sensasinya.


Pertama dimuat di Komunitas Kretek


Sebenarnya saya agak malas menanggapi perkara DO-DO-an yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta. Bukan apa-apa, saya sendiri sedang berada dalam kondisi terancam DO dan harus memperjuangkan nasib sendirian tanpa ada kekasih di samping saya. Tapi ya, karena perkara DO ini sewenang-wenang maka kemanusiaan saya terusik. Seperti kata Pram, Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila sekalipun Ia sarjana.

Sebagai seorang mahasiswa yang kerapkali diancam DO, saya sangat memahami bagaimana perasaan Ronny yang secara tiba-tiba mengalami peristiwa mematikan tersebut. Lah wong saya yang masih diancam sudah ketar-ketir gimana Ronny yang dadakan dikeluarkan tanpa peringatan. Apalagi, perkara yang dihadapi Ronny ini lebih pelik dari kisah asmara perkara akademis yang saya hadapi.

Berdasar sebaran pesan watsap yang saya terima di beberapa grup, saya melihat kalau upaya DO yang dilakukan kepada Ronny terancang sedemikian tersetruktur, sistematis, juga masif. Bayangkan saja, hanya karena acara diskusi terbuka bersama semua lembaga kemahasiswaan di kampus Ronny dianggap sebagai propokator yang bakal membubarkan kampus UNJ. Oke ini lebay, tapi si rektor lebih lebay.

Padahal, ini yang saya tahu lho, yang gerakin anak-anak kampus UNJ itu ya Aliansi Keluarga Mahasiswa UNJ bukan BEM-nya. BEM itu kemudian diajak ikut dalam tergabung dalam gerakan mereka, dan si Ketua BEM Ronny ini terlibat dari awal dalam gerakan apalagi propaganda itu. Ya bisa dibilang, si Ronny ini korban salah DO. Tapi apapun itu, DO sepihak adalah hal yang harus dilawan.

Si rektor yang terhormat, Propesor Doktor Djaali itu mungkin kelewat takut dengan ancaman besar perlawanan mahasiswa yang pernah dibaca di masa kuliah. Sebagai seorang profesor matematika, Djaali mungkin sudah berhitung untung rugi memecat Ronny. Daripada bikin susah mending di-DO sekalian, mungkin begitu pikirnya. Tapi ada satu yang luput dari perhitungan profesor djaali, masa orde baru sudah lewat dan revolusi bakal segera dimulai dari dunia digital.

Layaknya pamflet-pamflet bergambar almarhum Munir, perlawanan di kampus UNK tidak mati dan (malah) berlipat ganda. Semua terjadi bukan hanya karena mahasiswa UNJ bersatu, tapi juga karena viralnya sebaran pesan watsap dan share status kawan Ronny yang terdzolimi itu. Ini mungkin belum diperhitungkan oleh Djaali karena pada masa dia belajar fesbuk dan twitter belum ada.

Salah perhitungan ini diperparah dengan jeleknya kemujuran yang dimiliki Djaali. Agak beda dengan pendahulunya yang bejo, sang mantan rektor yang gagal disentuh hukum Profesor Bedjo Sutanto. Meski memiliki banyak kasus dan amat sering didemo, Pak Bedjo ini tetap aman menyelesaikan masa jabatannya.

Padahal, seandainya profesor Djaali sedikit lebih bijak dan kebapakan, Ronny yang dianggap telah melakukan tindak kejahatan berbasis teknologi dan aktivitas penghasutan ini tidak perlu dikeluarkan. Cukup dipaksa wisuda saja, disuruh buru-buru lulus. Jika hal ini dilakukan, saya haqul yakin tidak bakal terjadi gejolak seperti yang terjadi kini.

Lagipula membungkan perlawanan dengan cara DO-DO-an itu sudah kuno dan tidak kekinian. Toh tanpa perlu di-DO sekalipun para aktivis kekinian itu akan tetap menghadapi momok menakutkan jika tidak diwisuda. Membayangkan Zen RS saat memberitahukan ibunya kalau Ia gagal wisuda saja saya tak berani, apalagi kalau harus gagal lulus beneran. Karenanya, tak perlu para aktivis itu di-Do segala, cukup diancam dan dipaksa untuk segera lulus.

Saya sendiri sangat kesal dan marah mendengar seorang mahasiswa diperlakukan macam ini. Dirampas haknya untuk mendapatkan pendidikan hanya karena kritik terkait fasilitas pendidikan yang tidak memadai untuk kampus seukuran UNJ. Padahal sudah sejak lama saya berangan mendapatkan surat DO karena mengkritik kampus, tapi apa daya tak pernah saya dapat alasan yang baik untuk tidak lulus di hadapan ibu.


Karenanya, saya sangat tidak terima kalau ada orang lain yang mendapatkan itu. Bersama segelintir mahasiswa tingkat akhir yang terancam DO, sudah saatnya kita berontak menolak DO paksa yang dilakukan kampus. Bersatulah mahasiswa terancam DO sedunia!! !Katakan pada mereka: Kami hanya mau diwisuda paksa!!! 
Jauh sebelum Semaun beserta Vereniging Van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) atau serikat buruh kereta api melakukan aksi mogok bersejarah pada tahun 1923, sudah berdiri sebuah serikat buruh pertama yang berlokasi di Jawa. Sama seperti VSTP yang sudah begitu dikenal, serikat ini didirikan oleh para buruh kereta.

Adalah Staatspoorwegen Bond (SS Bond) atau Serikat Personel Kereta Api Negara yang berdiri pada tahun 1905 di Bandung. SS Bond dapat diklaim sebagai serikat buruh pertama di Indonesia, walau sebelumnya pada tahun 1897 telah berdiri Nederland Indische Onderwys Genootschap (NIOG) atau serikat pekerja guru Hindia-Belanda.

Namun NIOG sebagai sebuah serikat pekerja sangat ekslusif karena hanya beranggotakan para pekerja dan guru yang berasal dari Belanda. Sementara orang-orang pribumi tidak diperkenankan untuk ikut serta menjadi bagian dari anggota serikat.

Ini berbeda dengan SS Bond yang walaupun sejak awal berdirinya, kepengurusan SS Bond dikuasai oleh para buruh asal Belanda. Namun demikian pada perkembangannya cukup banyak buruh pribumi yang bergabung menjadi anggota serikat.

Layaknya NIOG, perdebatan mengenai klaim sejarah bahwa ini adalah serikat buruh pertama juga besar. SS Bond sendiri memiliki nasib sejarah yang hampir sama seperti NIOG, mati sebelum berkembang.

Salah satu hal yang membuat SS Bond tidak berkembang adalah ekslusifitas serikat, yang kepengurusannya hanya dipegang oleh orang Belanda, sementara pribumi yang menjadi anggota juga tidak mempunyai hak suara dan hak pilih. Dari 1.276 anggota SS Bond, sebanyak 826 orangnya adalah pribumi.

SS Bond sendiri didirikan hanya untuk menggalang persatuan diantara buruh di lingkungan perusahaan kereta api milik pemerintah. Watak dan cara pandangnya yang masih konservatif membuatnya tak mampu memberikan kesadaran bagi pergerakan kaum buruh.

Watak dan gerakan serikat buruh saat itu yang masih konservatif disebabkan karena semangat pendirian dari serikat tersebut tidak memiliki motif atau kesadaran ekonomis yang sebenarnya menjadi kesadaran awal dari sebuah kebutuhan buruh untuk membangun alat perjuangannya, serikat buruh.

Padahal ketikat itu sistem ekonomi kolonial yang dibangun oleh Belanda menuntut kerja-kerja fisik yang kuat dengan upah harian atau perjam yang sangat rendah. Tanpa jaminan atau kepastian kerja, yang memaksa buruh harus berpindah-pindah pekerjaan.

Faktor yang memicu berdirinya semata karena dorongan tumbuh dan berkembanganya pergerakan buruh di Eropa (Belanda). Pada fase 1860-1870-an, di Belanda pertumbuhan gerakan buruh cukup pesar yang disebabkan pengaruh dari gerakan sosial demokrat.

Berbagai faktor tersebutlah yang pada akhirnya membuat SS Bond tidak pernah berkembang menjadi sebuah serikat buruh yang militan memperjuangkan hak-hak dari buruh, atau bahkan bicara tentang kemerdekaan dari penjajahan.

Staatsspoorwegen sendiri adalah nama perusahaan kereta api yang saat itu beroperasi di Hindia Belanda, Dimana Belanda pada tahun 1870 baru saja membangun jalur kereta api pertama yang menghubungkan antara Semarang dan Surakarta, untuk merespon kebutuhan akan peningkatan produksi berbagai industri yang dibangun penjajah di Nusantara.

Meski begitu, keberadaan SS Bond sendiri tidak bisa dipandang remeh dalam sejarah gerakan buruh. Keberadaan organisasi ini terbilang memicu kelahiran VSTP yang kemudian berkembang jauh melebihi pendulunya. Dari berdirinya kedua serikat buruh kereta api ini, nantinya akan lahir serikat pekerja dari berbagai sektor lainnya.

Seperti sudah dijelaskan diatas, usia organisasi ini tidaklah lama. Pada tahun 1912, organisasi ini bubar dan tidak mampu bersaing dengan serikat-serikat baru yang muncul. Sementara VTSP pada saat itu justru berkembang sangat pesat. Hampir semua buruh kereta api bergabung di dalam VTSP termasuk diantaranya adalah anggota SS Bond.

Pada 14 November tahun 1908, para anggota SS Bond yang kecewa pada organisasinya serta wakil-wakil buruh kereta api lainnya berkumpul di Semarang dan memproklamasikan perserikatan baru, yakni VSTP. Dengan landasan dasar yang lebih luas yaitu mengorganisasi semua buruh kereta api tanpa perbedaan ras, jenis pekerjaan, dan kedudukan di dalam perusahaan.


Memang tidak banyak catatan sejarah yang membahas SS Bond, namun tetap saja SS Bond menjadi serikat buruh pertama yang berdiri dan menjadi batu loncatan berdirinya berbagai serikat pekerja pada masa Hindia Belanda.

Tulisan ini pertama kali dimuat di Kabar Buruh

Saat mengikuti pendidikan di pers mahasiswa dulu, saya pernah dimarahi habis-habisan karena tidak datang pada sebuah agenda organisasi. Saat itu saya ada urusan keluarga yang tak bisa ditinggalkan, karena itu saya tak bisa datang.

Kebijakan organisasi kala itu agak galak terkait ketidakhadiran calon anggota pada kegiatan yang dilaksanakan organisasi. Masing-masing calon anggota diperbolehkan tidak hadir dalam tiga kesempatan, setelahnya silakan keluar dengan baik-baik.