Aditia Purnomo

Jika tidak ada rumah judi milik Nyai Manggis, bisa jadi tidak akan ada dongeng perjalanan ke barat untuk mengehentikan perang sebelum terjadi. Bisa jadi, Sungu Lembu tidak akan bertemu Raden Mandasia dan keduanya tak akab bertemu Loki Tua.

Kejeniusan Paman Yusi Avianto Pareanom pada buku dongeng ini bisa dilihat dari (hampir) tidak ada tokoh yang tak berguna dalam cerita. Semua bertautan, dan memiliki keterkaitan dengan tokoh-tokoh lainnya.

Misal, Melur, perempuan pertama yang bermain bersama Sungu. Siapa bisa menerka tokoh ini bakal dijumpai kembali pada akhir cerita. Atau Wulu Banyak yang nyatanya menjadi tokoh penting dalam perjalanan ke barat, meski awalnya cuma diceritakan sepenggal saja.

Tapi dari banyaknya tokoh, saya menganggap Nyai Manggis adalah tokoh sentral yang menjadikan kisah dari masing-masing tokoh menjadi berkaitan. Ya, Nyai Manggis dan rumah judinya tak boleh dilupakan. Karena setiap rumah judi punya ceritanya masing-masing.

Di tempat itu, Raden Mandasia nekat mempertaruhkan gelang bahu resmi Kerajaan Giliwengsi. Sedang di Jogja, semalam, beberapa orang nekat mempertaruhkan pundi-pundinya untuk bertaruh memperebutkan pinggiran.

Ada pengantin baru yang pulang dengan wajah agak lesu setelah berulang kali mengeluarkan lembar merah dari dompetnya. Ada pula anak muda idola banyak wanita yang bertaruh sembari meneguk bergelas-gelas bir. Tentunya, ada pula yang tertawa terbahak menertawai keberuntungannya di meja judi.

Sepanjang tiga malam, berturut, meja kerja yang biasa digunakan untuk mengurus naskah berganti fungsi sebagai meja judi dadakan dalam sebuah upaya peringatan. Maklum, hari ini akan diluncurkan sebuah buku kiat berjudi paling mutakhir dari seorang penulis yang telah menghabiskan sebagian hidupnya untuk judi.

Penulis itu kini sudah berhenti dari profesi penjudi penuh waktu. Semasa muda, Ia meyakini bahwa judi adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukannya. Sebelum akhirnya Ia sadar bahwa nekat saja tak cukup, perlu bakat juga keberuntungan dalam berjudi.

Malam nanti di Angkringan Mojok, mantan penjudi penuh waktu ini bakal membagikan sedikit pengalamannya. Tentunya dalam urusan judi. Bagi kalian anak muda yang belum tahu bagaimana nasib dan masa depan, silakan hadir di acara ini. Sembari ngopi-ngopi dan makan-makan, mari ubah tempat makan ini jadi rumah judi. Eh.

Ah iya, foto dibawah ini dapat tercipta karena kebaikan beberapa teman yang ikut judi semalam. Kepada mereka, juga kepada pemilik rumah judi, saya ucapkan terima kasih.

#‎KamiTakInginTumbuhDewasa

Dengan mengesampingkan ingar-bingar dan kehebohan novel Lelaki Harimau (Man Tiger) yang masuk nominasi The Man Booker Prize, nyatanya Eka Kurniawan mengawali karir kepenulisan dengan jalan yang tidak mudah.

Bermula dari tahun 2000-an, novel pertamanya Cantik itu Luka mendapat penolakan dari semua penerbit yang ia tawari draft buku. Eka merasa putus asa, novel yang telah ditulisnya malah susah diterbitkan.

Namun, di saat-saat tidak baik itulah, tawaran dari Yogya datang. Ia diminta balik ke Kota Berhati Nyaman dan berkegiatan di komunitas baru bernama Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Eka jelas tak bisa menolak tawaran tersebut. Di AKY, Eka bersama beberapa penulis lain seperti Puthut EA, Azhari, dan lain-lain menjalankan program untuk penulis pemula.

Di komunitas inilah Eka kembali menempa kemampuannya sebagai penulis. Sebagai penganggung jawab program diskusi di AKY, Eka mengurai masalah-masalah apa saja yang dialami para penulis pemula. Dari situlah kemudian Eka mengundang para pakar untuk memperluas pemahaman penulis muda AKY. Setelah enam bulan beraktifitas, AKY memberi subsidi penerbitan novel pertama Eka tersebut.

Bertahun-tahun setelahnya, kesuksesan Cantik itu Luka membawa Eka pada karir kepenulisan yang cemerlang. Beberapa bukunya diterbitkan oleh penerbit mayor. Cantik itu Luka diterbitkan ulang, serta dua buku baru Novel Lelaki Harimau dan kumpulan cerpen Corat-Coret di Toilet.

Pada masa-masa itulah, pertemuannya dengan Benedict Anderson membawa karir kepenulisannya mendunia. Cerita ini terselip pada sesi bincang-bincang saat peluncuran buku terbaru Eka Kurniawan yang berjudul O di Gramedia, Mall Central Park Jakarta Barat. Bersama sekitar 150-an pengunjung, Eka yang datang bersama istri dan anaknya merayakan terbitnya O dengan acara potong tumpeng serta berbagi pengalaman selama menulis buku ini.

Hari itu saya masuk dalam kategori orang-orang yang beruntung. Dalam rangka memperingati ulang tahun Gramedia yang ke 42, panitia syukuran menyiapkan hadiah buku O untuk dibagi kepada 42 orang yang datang pertama. Dan saya termasuk orang beruntung keempat.

Syukuran dibuka dengan agenda potong tumpeng, Eka maju mengambil pisau dan memotong tumpeng. Ia tersenyum sejenak, memberikan potongan tumpeng kepada anaknya, Kinan. Sehabis itu sesi bincang-bincang dimulai, dan Eka mulai bercerita sebagai awalan.

Novel ini bermula dari sebuah kebuntuan menulis yang harus dihadapi Eka pada medio 2010-an. Saat itu, ia sedang berupaya menyelesaikan draf-draf tulisan yang tak tahu hendak ia bawa ke mana. Hingga kemudian, ia menyaksikan pertunjukan sirkus topeng monyet di perempatan jalan kala mengantar anaknya ke sekolah. Sekali lagi Eka menjadi orang yang beruntung.

“Saya menulis novel ini dari kumpulan cerita-cerita yang belum tahu dibawa ke mana, stuck saja, bahkan sempat mau dibuang,” cerita Eka.

Mendapat inspirasi dari sirkus topeng monyet, Eka melanjutkan naskah-naskahnya yang terbengkalai dengan satu titik temu yang menarik. Sebuah ide muncul, ia merajutnya menjadi sebuah kisah fabel. “Tapi ini fabel bukan untuk anak-anak. Ini fabel khusus dewasa,” tegasnya sembari tertawa.

Novel O sendiri mengisahkan perjalanan seekor monyet bernama O yang belajar bagaimana cara hidup sebagai manusia. Monyet ini meyakini bahwa dengan berlaku seperti manusia maka ia akan berubah menjadi manusia yang sebenarnya, dan bisa menyusul kekasihnya yang telah menjadi seorang Kaisar Dangdut.

Dalam O Eka mencoba membuat fabel yang agak berbeda dengan kebiasaan umum. Kalau novel Animal Farm karya George Orwell menceritakan bagaimana manusia memiliki aspek-aspek kebinatangan, maka Eka menuliskan O dengan paradigma binatang yang memiliki aspek-aspek kemanusiaan. Bahkan dalam sirkus topeng monyet kita disajikan pertunjukan monyet yang hendak meniru manusia. “Ya sudah dibuat saja, kalau binatang mau menjadi manusia coba saja, memangnya enak,” katanya.

Pada peluncuran kali ini, ceritanya tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan masuk nominasi The Man Booker Prize. Berulang kali pertanyaan seputar keberhasilannya itu dilontarkan, dan Eka tetap menjawabnya dengan santai.

Sebagai seseorang yang hidup tanpa media sosial, Eka terlambat mendapatkan kabar tentang nominasi tersebut. Sebenarnya ia telah diberi kabar oleh seorang teman melalui pesan singkat, namun tak langsung dibaca. Barulah ketika membaca pesan tersebut, segera ia mencari koneksi WiFi untuk membuka tautan yang dikirim temannya.

Ini juga cerita menarik. Perlu diketahui bahwa Eka telah menutup semua akun media sosialnya sejak beberapa tahun lalu. Waktu itu, Eka mencoba menahan godaan untuk berkomentar yang amat terasa kala menggunakan media sosial. Karena itu, ia mencoba untuk ‘puasa’ menggunakan media sosial hingga akhirnya keterusan dan tidak lagi menggunakannya. “Saya tidak anti informasi, hanya menahan godaan untuk berkomentar,” celotehnya.

Untuk karir menulisnya yang mendunia, Eka merasa Ben Anderson adalah orang yang sangat penting. Pada pertemuan pertamanya dengan Ben pada 2008, Eka diminta menerbitkan novel-novelnya di luar Indonesia. Setidaknya, dalam bahasa Inggris atau Prancis. Eka hanya mengiyakan tanpa banyak berbuat apa-apa. “Ya saya tidak ngapa-ngapain karena nggak tahu apa-apa soal penerbitan di luar,” jelasnya.

Tahun selanjutnya, Eka kembali bertemu dengan Ben Anderson. Kembali Ben menanyakan kepada Eka tentang penerbitan novelnya di luar negeri.

“Bagaimana, udah ketemu penerbit belum?” tanya Ben

“Belum, Om. Hehehe….” ucap Eka sambil terseyum ketika menceritakannya.

Tiap tahunnya ia terus menanyakan hal yang sama hingga akhirnya datang orang dari penerbit Verso. Menurut Eka, orang dari Verso itu datang atas rekomendasi Ben. Mereka mengatakan ingin menerjemahkan novelnya ke dalam bahasa Inggris. Dan sekali lagi, Eka hanya mengiyakan.

“Bukan begitu, kami tidak memahami sastra Indonesia. Jadi kamu yang cari penerjemah,” jelas orang dari Verso.

“Oh, gitu ya,” jawabnya disambut gelak tawa para penggemar.

Akhirnya, Eka dibantu editornya di Gramedia mencari beberapa penerjemah untuk mengerjakan contoh terjemahan untuk nantinya diseleksi oleh Ben Anderson. Kenapa diseleksi oleh Ben, karena Verso yang memintanya. Lalu terpilihlah Labodalih Sembiring sebagai penerjemah novel Eka. Kemudian, Anda bisa cari di Google bagaimana kelanjutan ceritanya.

Menjelang berakhirnya acara syukuran ini, muncul sebuah pertanyaan menarik dari pengunjung. Setelah meraih kesuksesan di dunia menulis, bagaimana sih rasanya menjadi Eka Kurniawan?

Pertanyaan ini disambut tawa dari Eka serta hadirin yang lain. Lantas, dengan santainya Eka menjawab: “Sesungguhnya setelah 40 tahun menjadi Eka Kurniawan, saya merasanya cukup membosankan juga.” Dan pecahlah tawa hadirin menyambut jawaban itu.

Begitu acara selesai, sesi tanda tangan telah dipenuhi antrean yang cukup panjang. Bergegas saya mengisi antrean agar tidak semakin di belakang. Beberapa orang memilih menyantap tumpeng yang tersaji, tapi lebih banyak yang memilih mengejar tanda tangan Eka.

Saya lihat ke depan, sesi tanda tangan dan foto telah dimulai. Orang-orang secara bergantian meminta tanda tangan dan foto bersama. Sembari menunggu antrean, saya berbincang dengan seorang pengunjung yang telah membaca semua karya Eka. Menurutnya, meminta tanda tangan penulis adalah sebuah hal penting untuk menyempurnakan buku. “Kurang lebih biar buku yang saya baca ini paripurna,” jelasnya.



Giliran saya akhirnya tiba. Saya membawa dua buku untuk ditandatangani, satu untuk sendiri dan satu lagi untuk seorang kawan. Sembari meminta tanda tangan, saya meminta wejangan dari Eka. Biar bagaimana Eka adalah salah satu penulis Indonesia yang paling hebat. Sambil tersenyum, Eka membubuhkan tanda tangan dan sebuah kalimat. “Buat Adit, semoga cepat lulus,” pesannya, yang ditambahi emot di bawah tulisan.

Saya tertawa, dia pun tertawa. Purna sudah kebahagiaan saya hari itu.


Jadi Orde Baru itu pembohong ya?” ujar Dewi seusai diskusi Menyoal Orde Baru 1965-1998 di Belok Kiri. Fest akhir pekan lalu (5/3).

Dewi Nuraini adalah mahasiswa semester delapan di UIN Jakarta. Ia sama dengan kebanyakan mahasiswa pada umumnya, memilih tak aktif berorganisasi dan tidak begitu tertarik pada kegiatan politik. Kedatangannya di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, tempat diselenggarakannya Belok Kiri. Fest karena ajakan temannya yang mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang.

Seminggu sebelum acara Belok Kiri. Fest (BKF) digelar, Dewi mengirim pesan setelah melihat kiriman tautan agenda BKF di dinding facebook saya. Ia menanyakan beberapa hal terkait acara, jadwal, dan bagaimana cara untuk mengikuti BKF. Saya jawab singkat saja dengan ajakan ke Taman Ismail Marzuki (TIM) bersama saat acara berlangsung. Dan dia sepakat.

Sayang, sehari sebelum BKF berlangsung panitia diminta untuk membongkar instalasi pameran yang sedianya akan berlangsung di Galeri Cipta II, TIM. Pengelola pun mengeluarkan surat pernyataan penolakan terhadap BKF karena izin dari Kepolisian Daerah Metro Jaya tak keluar.

Masih kurang gaduh, aksi penolakan terhadap BKF juga disampaikan oleh beberapa organisasi mahasiswa dan ormas lainnya. Pada hari di mana Festival harusnya berlangsung, panitia dipaksa membubarkan acara oleh pengelola dan kepolisian dengan dalih keamanan dan dapat menganggu ketertiban. Acara batal terlaksana di TIM, tapi tetap berlangsung dengan memindahkannya ke kantor LBH Jakarta di Jl. Diponegoro.

BKF dibuka pada Sabtu malam, 27 Februari 2016, di lantai satu gedung LBH Jakarta. Persiapan yang serba mendadak tidak mengurangi antusiasme para pengunjung yang telah hadir bahkan sejak siang sebelumnya di TIM. Awalnya, BKF akan dibuka dengan panggung dan penampilan yang agak ‘wah’. Namun kondisi memaksa acara hanya bermodal semangat kalau BKF harus tetap berjalan.

Di Kantor LBH, terpampang jelas instalasi pameran poster dari isi buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula. Semua isi dari buku itu—yang mulanya akan dijadikan poster pameran—memang tak semuanya ditempel lantaran tempat yang tak memadai.

Sayup-sayup terdengar ajakan berdiri kepada semua pengunjung untuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Saya yang tengah mengobrol dengan beberapa teman di luar ruang tempat pembukaan berlangsung, tanpa pamit bergegas masuk ke tempat pembukaan. Hampir semua pengunjung memegang selembar kertas, salah satu halaman dari buku SGKI, yang berisi lirik Indonesia Raya. Lagu dimulai, semua orang hikmat menyanyikan. Sampai kemudian, lagu dilanjut ke bagian kedua lirik asli dari Wage. Ternyata menyanyikan yang tiga stanza, pikir saya.

Masuk bagian terakhir, Yayak Yatmaka, tim penyusun buku SGKI yang memandu pengunjung bernyanyi, menaikkan tempo dan para pengiring musik memainkan bagian ini dengan lebih ceria. Ekspresi pengunjung, khususnya yang berada di barisan depan (termasuk saya) meledak. Semua bernyanyi dengan lantang, bergembira, dan khidmat dengan tangan kiri mengepal sambil meninju udara. Begitu berulang hingga lagu selesai.

Yayak Yatmaka, dalam pengantar sebelum nyanyian, mengajak para pengunjung untuk menyanyikan Indonesia Raya dengan lebih ceria. “Kita, dengan gembira menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tidak dengan cara-cara Orba, yang berdiri tegak dan bergaya seperti tentara,” ujarnya.

* * *

Pekan selanjutnya Belok Kiri. Fest kembali berlangsung di LBH Jakarta. Efi Sri Handayani, salah satu panitia acara terlihat duduk di depan gedung sambil membaca sebuah buku. Waktu itu, kira-kira lewat pukul 10 pagi di hari Minggu, langit agak mendung. Kantor LBH masih terlihat sepi. Efi adalah salah satu anak muda yang menjadi panitia di BKF. Ia mewakili generasi di usianya yang mencoba memunculkan wacana tentang ‘kiri’ yang selama ini dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat.

Menurut Efi, dalam sambutannya di pembukaan BKF, sejarah yang selama ini ia dan kebanyakan anak muda tahu, ternyata amat berbeda dengan kenyataan yang ada. Sejarah bangku sekolah, dalam bahasanya, tidak menceritakan tragedi ‘65 yang memakan banyak korban jiwa dan orang-orang yang dirampas haknya.

“Dari situ saya merasa sebagai generasi muda, merasa perlu berhak untuk mendapatkan pengetahuan sejarah yang lebih lengkap. Bukan persoalan benar atau salah. Tetapi sejarah yang jujur dan nyata,” jelasnya.

Katanya, anak muda perlu mengetahui kebenaran ini. Tapi bagaimana caranya, mengingat banyak buku alternatif tentang sejarah yang ada, namun tetap tidak banyak dibaca oleh anak muda. Karena itulah, ia dengan semangat membantu teman-teman panitia menginisiasi sebuah acara yang dikemas dalam bentuk populer untuk anak muda. Dan jadilah Belok Kiri. Fest ini.

“Karena kalau pakai gaya yang konservatif, siapa anak muda yg tertarik. Apalagi ini kan menyasar anak-anak muda yang tidak tahu apa-apa. Kalau diskusi sejarahnya kaku, malah susah dicerna. Toh banyak diskusinya yang memang untuk pemula,” tegas Efi.

Mendobrak stigma negatif yang selama ini melekat pada kiri memang tidak mudah. Apalagi jika menggunakan pendekatan yang tidak populer. Untuk itulah, agenda yang direncanakan di BKF ini lebih banyak menghadirkan diskusi-diskusi ‘untuk pemula’ agar anak muda yang hadir di acara ini dapat memahami pesan yang ingin disampaikan.

Selain itu, BKF juga mengagendakan pemutaran film-film dokumenter sebagai salah satu upaya menyampaikan wacana lewat bentuk yang lebih populer. Ada juga pameran yang menampilkan setiap halaman buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk pemula di luar ruang diskusi agar para pengunjung, terutama anak muda, bisa melihat gambaran gerakan kiri yang pernah membuat sejarah di Indonesia.

* * *

Sambil melihat lapak buku di lobi ruangan yang menjadi tempat berlangsungnya acara (tentu juga membeli beberapa) diskusi Menyoal Orde Baru 1965-1998 akan segera dimulai. Segera, setelah membayar, saya masuk dan mendengarkan pemaparan dari para narasumber. Menurut poster yang tersebar viral, diskusi ini harusnya dihadiri oleh Bonnie Triyana dan Asvi Warman Adam. Sayang, karena kondisi kesehatan mereka tidak bisa hadir. Beruntung, narasumber pengganti tidak kalah kualitasnya.

Saya terpukau melihat sebuah diskusi ilmiah bisa mendatangkan lebih dari 150 pengunjung dengan kondisi ruang yang tidak seberapa luas. Ini adalah pengalaman baru, mengingat diskusi ini digelar pada saat orang-orang beristirahat atau jalan-jalan di akhir pekan. Dan rasanya saya patut bersyukur. Karena jika tak ada acara ini, bisa jadi saya masih tidur pada jam-jam di hari-hari akhir pekan seperti ini.

Antusiasme pengunjung tidak sekadar duduk hadir mendengarkan lalu pulang begitu saja. Diskusi ciamik menyoal orba ini mendapat tanggapan aktif dari pesertanya. Usman Hamid dan Yeri Wirawan sebagai narasumber dengan apik menjabarkan bagaimana orde baru membangun kekuasaannya dan mempertahankan kekuasaan melalui berbagai strategi. Lalu, aduh saya lupa, ini rubrik Gaya di minumkopi.com bukan Indoprogress.

Saya semakin bergairah terhadap acara ini setelah melihat sekelompok pelajar SMA hadir dan serius menanggapi diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Saya merasa malu pada diri sendiri melihat progresifitas dan militansi anak seumur mereka.

Usai diskusi, di luar ruangan saya bertemu Dewi, mahasiswa semester delapan itu. Ia berbisik pelan ke saya, “Bang, emang ‘kiri’ itu apa sih?” Saya melongo. Gelora semangat yang baru saja terpupuk dalam diskusi itu hilang seketika.

Pertama tayang di minum kopi


Pada tanggal 1 Oktober 1965, beberapa jam setelah operasi G30S tidak berjalan sesuai rencana, belum ada sentimen negatif dan amarah yang dilampiaskan pada massa Partai Komunis Indonesia serta para simpatisan lainnya. Operasi militer yang digawangi oleh Letkol Untung ini berhasil dipadamkan oleh Soeharto berbekal nasi bekal pasukan G30S yang habis dan iming-iming makan gratis.

Kejadian itulah yang dijadikan dalih daripada soeharto terhadap tragedi kemanusiaan pada titik nadir kekuasaan Soekarno. Titik balik kekuasaan Soekarno dimulai setelah diangkatnya jasad para jendral dan perwira menengah dari lubang buaya pada tanggal 4 Oktober 1965.

Setelahnya, dimulailah drama pembantaian umat manusia bercap komunis (juga simpatisannya) dan propaganda dongeng orde baru.

Menurut Usman Hamid, mantan kordinator KontraS, kekuasaan orde baru dibangun melalui institusi birokrasi, ekonomi, dan militer.

Melalui berbagai lembaga teror seperti Kopkamtib, orde baru membungkam semua perlawanan dan kritik terhadap penguasa, serta mematikan keberanian anak bangsa.

Lalu dengan surplus pendapatan dari ekspor minyak, kekuasaan orde baru membuai masyarakat dengan delusi kehidupan sejahtera yang mengiringi dongeng kejayaan orba.

Selain dongeng kejayaan, ada satu dongeng menakutkan yang berhasil dibuat orba dan menancapkan pengaruhnya terhadap masyarakat, yakni dongeng bahaya laten komunis dan kekejamannya.

Menurut Dolorosa Sinaga, narasi buruk terhadap perempuan dibangun berdasar cerita bohong prilaku binal dan ganas anggota gerwani yang dikisahkan mengiris dan memotong kemaluan para jendral dilubang buaya. Karenanya, saat orba berkuasa, gerakan perempuan yang ada di Indonesia dibuat lemah dengan membatasi gerakan perempuan sebatas pada kegiatan ibu rumah tangga, arisan, dan menjadi ibu-ibu pkk.

Kealpaan sejarah inilah yang menjadi sumber kejayaan orde baru sedari berkuasa hingga diruntuhkan. Ketidaksukaan anak bangsa terhadap pelajaran sejarah dianggap sebagai kemenangan besar orde baru terhadap gerakan kiri yang masih ada dan mencoba menawarkan narasi sejarah yang berbeda.

Yeri Wirawan, pengajar Universitas Sanata Dharma, mengatakan orde baru telah berhasil membangun kekuasaannya dari kealpaan sejarah ini. Karena, dengan ketidakmauan anak muda membaca sejarah, dongeng-dongeng yang diproduksi orde baru tidak akan terbongkar. Apalagi dengan sistem pendidikan yang dirancang sedemikian rupa agar anak muda tidak lagi kritis dan berani melawan ketidakbenaran pemerintah.

"Ketidakberanian melawan adalah hal yang paling mengerikan," tegas Yeri.

Karena kealpaan sejarah inilah, kemudian upaya meluruskan fakta dan mengusut kejahatan kemanusiaan amat sulit terwujud. Karena, selama ini negara masih tidak mau mengakui kalau pernah terjadi pembantaian massal pada masa itu. Padahal, pengakuan pemerintah akan dosa sejarah yang pernah terjadi adalah kunci untuk negara ini melangkah maju ke depan.

Ada beberapa contoh nyata betapa negara yang mau mengakui kejahatan kemanusiaan dan dosa sejarah yang pernah terjadi justru bisa melangkah ke masa depan yang lebih baik. Jerman, misalnya, dengan berani mengakui kejahatan kemanusiaan yang pernah dilakukannya pada orang-orang yahudi dan membuatkan monumen batu (stumble stone) di beberapa titik yang menunjukan pernah terjadi penghilangan orang yahudi di sana.

Atau Chili, negara yang berani mengadili para penjahat kemanusiaan dan memberikan hak para korban yang dirampas penguasa sebelumnya. Itu adalah beberapa contoh negara yang berani mengakui dosa sejarahnya.

Lantas, kenapa Indonesia tidak berani melakukan itu? Tentu ada ketakutan dari mereka yang pernah terlibat dalam pusaran tragedi jika kenyataan sejarah dibongkar. Bisa jadi mereka takut mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di depan publik, apalagi di hadapan hukum. Selain itu juga ada ketakutan kalau mereka akan kehilangan mainan yang selama ink mereka kuasai.

Ketakutan untuk mengakui dosa sejarah itu kemudian membuat resistensi dan kekerasan terhadap upaya pengungkapan fakta sejarah terjadi di banyak tempat. Yang paling mudah ya pembubaran acara Belok Kiri. Fest yang sedianya akan dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki akhir pekan lalu. Beruntung acara masih dapat berlangsung di kantor LBH Jakarta.

Padahal, pengungkapan dosa sejarah adalah salah satu upaya untuk menghentikan kekerasan yang biasa dilakukan negara. Dan seperti hakikatnya, mempelajari sejarah dilakukan agar kesalahan masa lalu tidak terulang kembali.

Nah, kurang lebih itu yang saya pahami dari diskusi Menyoal Orde Baru 1965-1998 kemarin. Forum-forum ilmiah seperti inilah yang dibutuhkan anak banhsa agar tidak lagi asal jeplak ketika membincang sejarah Indonesia. Dengan massa yang memenuhi ruangan, ini adalah salah satu diskusi paling menarik yang pernah saya ikuti.


Jumat malam, 26 Februari 2016, teman-teman panitia Belok Kiri. Fest mendapatkan kabar tidak baik bagi penyelenggaran acara ini. Pihak UPT Taman Ismail Marzuki mengeluarkan surat resmi berisi penolakan penyelenggaraan acara Belok Kiri. Fest. Alasannya, sederhana, izin Polisi yang diberikan panitia dianggap tidak kapabel karena hanya mencantumkan persetujuan polsek, bukan yang lebih tinggi. Bahkan saat itu panitia dipaksa untuk membongkar display pameran yang sudah terpasang. Jika tidak, mereka akan membongkarnya dengan paksa.

Drama oper-operan terkait izin ini dimulai ketika baliho acara Belok Kiri. Fest yang sudah terpasang di area promo Taman Ismail Marzuki dicopot oleh pengelola. Alasannya ya tadi, izin Polsek setempat dianggap tidak cukup untuk acara ini. Setelah melewati proses berbelit dan mondar-mandir, pihak Polres Jakarta Pusat hingga Polda Metro Jaya tidak dapat memberikan izin acara dengan berbagai alasan. Acara pun tidak dapat digelar di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki.

Tidak cukup sampai di sana, rencana Konfrensi pers dari Panitia yang sedianya diselenggarakan di lokasi serupa pun ditolak pengelola dan polisi. Alasan dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan digunakan lagi. Apalagi saat itu terdapat beberapa kelompok massa yang melakukan demonstrasi dan tampak diakomodasi dengan baik oleh kepolisian. Massa dibiarkan masuk ke Galeri Cipta II untuk mengecek pemberhentian acara, sementara konferensi pers dari pantia dilarang. Akhirnya konpers digelar seadanya.

Dalam konpers, panitia menyayangkan perlakuan pengelola TIM dan kepolisian yang melarang berlangsungnya Belok Kiri. Fest ini dan malah mengakomodasi pihak-pihak yang mengancam kebebasan berpendapat dengan memaksa acara ini dibatalkan.

Pihak komite, dalam siaran persnya, menggarisbawahi tiga hal terkait pembatalan Belok Kiri. Fest itu. Pertama, mekanisme penggunaan Galeri Cipta II di TIM tidak transparan dan tidak tersosialisasi dengan baik. Mekanisme perizinan yang makin dipersulit hingga berujung pelarangan itu, justru menunjukkan pengebirian hak publik untuk berkumpul dan berekspresi. Kedua, aparat terindikasi tidak punya pengetahuan yang merata soal mekanisme peminjaman dan seakan malah mempermainkan penyelenggara kala berupaya memperoleh izin. Ketiga, adanya pihak-pihak tertentu yang menentang dan mengancam dihelatnya kegiatan ini dengan tuduhan-tuduhan yang jauh dari kebenaran.

Akhirnya lokasi acara dipindah ke Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Karena, biar bagaimanapun acara ini harus tetap terus berlanjut. Mengusung semangat untuk mengembalikan ingatan sejarah bangsa sebagai sebuah arena pembelajaran bagi generasi yang tumbuh, panitia merasa perlu untuk tetap menyelenggarakan festival yang diisi oleh pameran dan diskusi-diskusi ilmiah ini. Bagaimana pun narasi sejarah penguasa dan dongeng-dongeng yang dicipta oleh Orde Baru harus ditelaah kembali dengan kritis.

Gerakan Kiri yang selama ini ditakuti dan dianggap tabu sebagai akibat propaganda Orde Baru perlu ditampilkan secara utuh agar tidak lagi menambah masyarakat yang ahistori. Generasi baru perlu mengenal Tan Malaka, Semaun, Hadji Misbach, atau bahkan Soekarno dan Hatta sebagai orang Kiri. Bahwa Gerakan Kiri adalah bagian dari gerakan yang mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka, bahwa kiri adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Indonesia.

Untuk memberantas masyarakat tuna sejarah itulah panitia bekerja keras selama setahun lebih untuk mewujudkan acara Belok Kiri, fest ini. Demi menjembatani jurang antara akademisi sejarah dan komunitas luas, diperlukan sebuah acara yang bisa menghadirkan kedua belah pihak. Terutama untuk merekonstruksi pemahaman historis atas gagasan dan gerakan Kiri yang selama lebih dari tiga dekade dimanipulasi dan dimatikan rezim otoriter Orde Baru. Dapat dikatakan, Belok Kiri. Fest dan buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula merupakan sebentuk edukasi sejarah bagi masyarakat luas.

Demi meluluskan sejarah dan mencerahkan generasi yang tumbuh agar adil sejak dalam pikiran, tidak bisa tidak, Belok Kiri harus jalan terus.


Dalam keadaan mabuk biasanya orang akan berkata lebih jujur dan tulus. Biasanya perasaan dan kenangan lama hadir dalam keremangan setengah sadar. Ada kenangan yang menyenangkan, ada juga yang tidak. Semua tergantung berapa botol anda menghabiskan sisa malam.

Salah satu dari kejujuran yang biasanya muncul dalam kondisi mabuk adalah penyesalan. Kondisi tidak berdaya dan tinggal menerima resiko karena sebuah pilihan atau keputusan. Saya misalnya, tiba-tiba merasa nelangsa mengingat beberapa penyesalan yang tiba-tiba nongol dalam ingatan.

Seandainya penyesalan bisa datang diawal, alah mabuk aja pakai seandainya. Kalau mau datang diawal ya namanya pendaftaran. Pret.

Seperti mendapat hukuman guru bahasa inggris karena tidak mengerjakan tugas saat SMA, kenangan itu seperti menulis satu persatu penyesalan yang pernah ada. Begini kita-kira tulisannya dalam bahasa inggris yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Saya menyesal tidak sungguh-sungguh belajar matematika saya sekolah. Saya menyesal kerap berkelahi dengan orang tua. Saya menyesal benar-benar berkelahi dengan orang tua saat memilih masuk IPS di SMA. Saya menyesal tidak ikut dalam pencalonan ketua Osis saat sekolah.

Saya menyesal melihat teman tidak naik kelas. Saya menyesal menyia-nyiakan kesempatan untuk berhubungan dengan seseorang. Saya menyesal tidak bisa melakulan regenerasi dengan baik saat di koperasi. Saya menyesal ketika koperasi akhirnya harus ditutup.

Saya menyesal tidak melanjutkan kerja saat lulus sekolah. Saya menyesal tidak melawan orang tua saat tidak diberi izin kuliah di luar kota. Saya menyesal tidak menagih janji seseorang setelah masuk kuliah. Saya menyesal melihat teman-teman yang lain tidak lulus ujian masuk PTN.

Saya menyesal banyak melawan dosen saat awal kuliah. Saya menyesal banyak meninggalkan mata kuliah saat semester awal. Saya menyesal bersikap arogan pada dosen saat awal kuliah. Saya menyesal tidak memikirkan kuliah di masa-masa itu.

Saya menyesal tidak menyelesaikan kuliah saat sekretaris jurusan begitu baik pada saya. Saya menyesal pernah mengkhianati hubungan dengan seseorang. Saya menyesal pernah ikut organisasi lain di luar sekret Institut.



Saya menyesal pernah berpikir untuk tidak lulus. Saya menyesal mengabaikan kebaikan seseorang (2) yang perhatian pada akademik saya. Saya menyesal tidak dapat mempertahankan hubungan dengannya.

Saya menyesal tidak segera menyelesaikan kuliah. Saya menyesal tidak bisa membantu teman menyelamatkan rumahnya. Saya sungguh menyesal melihat tragedi itu.

Saya menyesal mengabaikan lagi kebaikan seseorang pada saya. Saya menyesal kembali menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh seseorang. Saya menyesal pernah membuat orang yang percaya pada saya kecewa. Saya menyesal banyak deadline yang saya lampaui. Saya menyesal pekerjaan saya banyak yang terbengkalai. Dan saya menyesal terlalu banyak menyesal.


Dalam hidup yang singkat lagi fana ini, saya yakin setiap orang pernah alay pada masanya. Mulai dari gaya rambut, model pakaian, hingga buku bacaan pasti pernah dipengaruhi oleh zaman alay tersebut. Saya, misalnya, meski sudah membaca buku Catatan Seorang Demonstran dari Soe Hok Gie atau Bangsa yang Belum Selesai karya Max Lane, tetap saja saya membaca beberapa teenlit yang sudah saya lupa judulnya dan tetralogi (bukan punya Pram) Laskar Pelangi. Tapi itu adalah masa lalu. Masa remaja yang penuh pencarian akan jati diri (eaaaaa) dan ikut-ikutan teman.

Fase itu kini tengah dinikmati oleh para dede-dede gemesh yang menjadi sasaran pasar seorang Om Darwis a.k.a Tere Liye. Dijejali oleh buku-buku best seller yang lahir dari tangannya, dede-dede itu menjadi anak bangsa yang harus dilindungi olehnya dari ancaman-ancaman yang ada.

Seperti hari ini misalnya, dari halaman penggemar miliknya, seorang Tere Liye menuliskan status yang mengimbau agar para dede gemesh itu membaca sejarah bangsa ini dengan baik dan tidak terpesona oleh paham-paham dari luar. Status yang disukai oleh 3.300 pengguna fesbuk dan disebarkan (tidak lupa dengan mengucap aamiin) oleh ratusan diantaranya itu juga memberi sebuah pertanyaan yang teramat kritis pada para masyarakat dunia maya.

“Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris atau Jepang? Silahkan cari.”

Sungguh pertanyaan yang teramat sulit untuk dijawab, mengingat sejarah Indonesia adalah sejarahnya para mujahid yang berkumandang Allahuakbar demi kemerdekaan Indonesia. Sementara para hantu-hantu komunis itu melakukan apa? Berapa banyak dari mereka yang mati melawan penjajah? Sejarah ini tentu perlu diluruskan.

Jika membaca Manuskrip Sejarah 40 Tahun Partai Komunis Indonesia yang diterbitkan oleh Ultimus dan disunting oleh Bung Besar Bilven Sandalista, PKI hanyalah organisasi pertama yang menggunakan kata Indonesia sebagai nama organisasinya. Belum lagi para pendirinya hanyalah Semaun si Tukang Mogok da Tan Malaka yang bukunya menjadi pegangan Soekarno, tiada apa-apanya ketimbang Sarekat Islam yang diketuai Mbah Tjokroaminoto itu.

Eh, betewe mbah Tjokro itu khatam baca Das Kapitalnya si jenggot Marx lho, pernah nulis buku Islam dan Sosialisme pula. Piye iki.

Lalu Soekarno, dia yang kekiri-kirian itu kan akhirnya jatuh juga. Karena PKI pula. Sudah bagus Soekarno sang bapak bangsa masih dihargai oleh sejarah dengan dianggap sebagai proklamator. Nggak penting dia itu baca Das Kapital, belajar dari Musso si pimpinan PKI, mengkonsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), serta mengedepankan kebijakan anti imprealisme yang amat kekiri-kirian. Yang penting dia pernah kerjasama sama fasisme Jepang, mana ada komunis kerja sama fasis kayak orang-orang antikomunis hari ini. Coba pikir.

Sementara pasangan gandanya, Mochammad Hatta, sekalipun belajar sosialisme tapi memusuhi PKI. Mau dia membuat konsepsi sosialisme Indonesia yang tetap berdasar pada ajaran Marx yang menuntut persamaan hak semua manusia, yang penting dia memusuhi PKI. Titik. Lagipula musuh dari musuh adalah kawan dalam perjuangan, ingat itu.

Karena itu, sekalipun agak kekiri-kirian, tapi duet maut Soekarno Hatta itu bukan orang kiri, apalagi komunis. Buktinya mereka malah dimasukan dalam buku seri tempo dengan tema bapak bangsa, bukan orang kiri Indonesia. Hehehe.

Selain itu, membicarakan kebangkitan nasional pun tidak bisa dilepaskan dari tangan-tangan para haji dan pedagang. Haji Misbach misalnya, Ia berjuang untuk masyarakat pribumi pada masa awal kebangkitan nasional bergelora. Malah teman seperjuangannya, Mas Marco Kartodikromo, mengatakan Misbach sebagai seorang yang ramah dan teguh kepada ajaran islam. Eh, Mas Marco ini kan agak kekiri-kirian, tapi nggak apa deh yang penting kuotabel buat pak Haji.

Coba bandingkan dengan tokoh komunis macam Tan Malaka, jelas tiada apa-apanya. Tan Malaka hanya seorang bocah Minang yang khatam Al Qur’an sejak kecil, sementara Haji Misbach, sudah Haji pejuang pula. Mana ada komunis yang naik haji? Coba cari. Mentok-mentok juga si Haji Merah, eh ini julukannya Misbach deng.

Terus karena si komunis Semaun itu kan Sarekat Islam jadi pecah, sekalipun dia ketua Sarekat Islam cabang Semarang, tapi tetep aja dia ketua PKI yang pertama. Sarekat Islam Merah, mana ada. Wong Sarekat Islam benderanya warna hijau, kok dibuat merah. Lagipula mana ada komunisme atau sosialisme yang a la kearifan lokal Indonesia, nggak ada. Jadi pemikiran Hatta soal sosialisme a la Indonesia itu cuma omong kosong sesaat khas anak muda yang sedang bergelora.

Toh dalam sejarah, Islam dan Kiri di Indonesia memang sulit disatukan. Nggak semudah apa yang dituliskan oleh Gus Dur dalam pengantar buku Kiri Islam terbitan Lkis itu. Lagipula lebih mudah mencari gesekan antara islam dan kiri. Bagaimana dulu kaum kiri seringkali berbenturan dengan beberapa pemuka agama yang menjadi orang kaya dan tuan tanah. Yang kekirian meminta hak rakyat atas tanah yang ada untuk bisa hidup sejahtera, yang punya tanah ya nggak mau ngasih penghidupannya. Kurang-kurang gini lah ya, kalau mau ditambahin silakan.

Coba cari kesamaannya, ya banyak juga. Hehehe. Bagaimana Hatta mengatakan bahwa Islam dan Sosialisme itu sama-sama mengajarkan nilai-nilai persamaan, persaudaraan, perikemanusiaan, dan keadilan sosial. Atau Tan Malaka yang menyerukan islamisme dan komunisme harus bersatu padu melawan imprealisme karena sama-sama menjadi yang ditindas olehnya. Tapi ya sekarang udah nga penting, toh banyak juga orang islam yang nindas sesamanya. Eh.

Untungnya acara Belok Kiri. Fest yang dianggap sebagai jelmaan hantu komunis itu sudah dilarang diadakan di Taman Ismail Marzuki. Kehadiran dede-dede haemi fakifaki tjabang Djakarta beserta faksi anti-anti lainnya berhasil memukul mundur panitia untuk pindah ke Kantor LBH Jakarta. Coba kalau dibiarin, bisa-bisa mahmud abas yang mau ke planetarium sama anaknya malah ikutan diskusi soal sejarah Indonesia. Kan bisa jadi cerdas mereka.

Ingat, diskusi-diskusi yang diadakan hantu kuminis macam Belok Kiri. Fest bukanlah upaya untuk meluruskan sejarah, melainkan membuatnya berbelok ke arah kiri. Karena bagi penulis cum sejarawan Darwis ini sejarah Indonesia sudah lurus, selurus jalan Indonesia dalam khayalan pemerintahan khilafah. Buat apa melihat wajah Indonesia yang terlalu lama diadu domba agar kekayaan alamya dikeruk kalau bisa mendapat keuntungan dari itu.

Lagipula dalam statusnya, om Darwis hanya meminta anak muda Indonesia untuk membaca sejarah bangsa ini dengan baik. Tentunya maksud kata ‘dengan baik’ itu adalah sejarah resmi versi pemerintah yang diwariskan oleh orde baru. Masa gitu aja kalian nggak paham. Nggak pernah belajar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ya?

Karena bagian terpenting dari proxi war soal kiri-komunis-sosialis-blablabla ini adalah bagaimana menjadikan anak muda Indonesia tidak mengikuti dongeng-dongeng perjuangan Indonesia yang dapat menggelorakan semangat mahasiswa macam saya untuk menentang penindasan berbentuk pengerukan kekayaan alam yang direstui rezim. Maaf, saya salah, itu bagian kedua terpenting. Karena buat penulis macam Tere Liye statusnya soal kuminis adalah strategi marketing untuk bakulan buku. Bukan begitu, dede-dede gemesh?

Pada ulang tahun kali ini saya mendapat sebuah kado yang begitu spesial dari seorang penulis best seller terkemuka, tere liye. Bagaimana tidak spesial, ketika banyak orang mengarahkan anak-anak untuk fokus pada ilmu alam, seorang om darwis a.k.a tere liye ini malah mengajak anak-anak muda untuk membaca sejarah. Suatu hal yang amat jarang terjadi di dunia ketokohan yang populer.

Membaca sejarah yang bagi sebagian anak muda Indonesia dihindari ini hendak diberantas oleh om darwis. Apalagi sejarah Indonesia sudah dibelokan sedemikian rupa oleh rezim penguasa pasca tragedi 65. Eh, betewe, om darwis tahu tragedi 65 nga? Ituloh, pembantaian orang-orang yang dituduh komunis oleh soeharto dan antek-anteknya.

Bagi om darwis, membaca sejarah adalah penting agar tidak terpengaruh paham-paham luar seolah itu keren sekali. Padahal ya bangsa ini punya sejarah dan kearifan lokal yang mulai dilupakan oleh anak muda Indonesia.

Pada konteks ini saya amat sepakat dengan om darwis kalau anak muda Indonesia telah melupakan sejarah bangsanya sendiri. Bagaimana tidak, akhir pekan lalu sekumpulan mahasiswa haemi fakifaki malah membubarkan acara Belok Kiri. Fest yang mengagendakan diskusi-diskusi mengenai sejarah Indonesia. Kenapa mereka melakukannya, tentu karena mereka malas membaca dan mempelajari sejarah. Bukan karena pesanan kanda taufik sang katastrofi mendunia itu.

Atau mari kita tes pengetahuan sejarah manteman sekalian jamaah fesbukiyah ini. Adakah yang mengenal Raden Mas Soewardi Soerjaningrat? Oke kalau agak sulit kita sebut Ia dengan panggilan Ki Hadjar Dewantara. Itu loh, bapak pendidikan indonesia yang hari ultahnya diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Nga kayak saya yang pas hari ultahnya malah kena pengalihan isu dari om darwiz.

Ki Hadjar adalah tokoh yang cukup banyak diketahui anak muda Indonesia karena semboyannya soal pendidikan dijadikan trade mark pada baju batik seragam ala anak sekolah. Maaf, maksud saya semboyan Tut Wuri Handayani dijadikan slogan kementrian pendidikan yang dipasang di seragam batik anak sekolah jaman dulu.

Nah berhubung kita lagi ngomongin sejarah, pasti kalian nga tau kalau Ki Hadjar ini yang menerjemahkan lagu wajib orang kiri dunia berjudul Internasionale. Lagu Internasionale yang dianggap kekomunis-komunisan itu diterjemahkan oleh seorang nasionalis tulen yang memperjuangkan kemerdekaan hingga ditangkap belanda. Jadi Ki Hadjar ini bukan komunis, karena nga ada komunis yang memperjuangkan kemerdekaan. Bukan begitu om darwis?

Kenapa Ki Hadjar menyadur lirik Internasionale yang dianggap kekomunis-komunisan itu? Tentu karena watak Ki Hadjar yang anti imprealisme sejalan dengan semangat yang ada pada lagu tersebut. Lagipula, sekalipun bukan komunis Ia memiliki seorang kakak yang berhaluan komunis. Dan mereka tidak pernah berkelahi atau bertengkar. Mereka sama-sama berjuang untuk Indonesia.

Nah kemarin, untuk kesekian kalinya meski jarang-jarang, pembukaan Belok Kiri. Fest menampilkan paduan suara Dianita yang mengajak para hadirin untuk bersenandung ala-ala Ki Hadjar Dewantara. Bukan bermaksud untuk sok-sokan akrab sama belio, apalagi sok tahu soal sejarah, tapi kami bernanyi untuk menggelorakan semangat melawan ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lihat saja bagaimana Bung Besar Bilven Sandalista begitu bersemangat bernyanyi pada video yang direkam oleh kawan Jibal Windiaz. Yang terpenting dari video ini bukanlah soal kualitas atau durasi yang tidak penuh, melainkan inilah acara yang mencerminkan semangat belajar sejarah yang dikehendaki oleh om darwis. Bukan begitu, om?

"Perdjoangan penghabisan, Kumpullah melawan. Dan Internasionale pasti di dunia."




Semenjak kuliah saya tidak pernah merayakan ulang tahun. Apalah arti merayakan ulang tahun kalau hidup rakyat masih dipermainkan, begitu pikir saya sebagai mahasiswa apalah-apalah waktu itu. Masih banyak hal yang lebih genting dikerjakan ketimbang berhaha-hihi dan mengguyur teman dengan tepung dan telur yang belum tentu bisa rakyat beli.

Sebenarnya alasan diatas sebatas pencitraan saja, ada alasan yang lebih utama kenapa saya nga merayakan ultah. Boro-boro untuk pesta atau traktir teman, makan sehari-hari saja kadang dirapel, rokok nunggu teman nawarin, kopi join sama yang beli. Mau bagaimana lagi, mabuk aja masih patungan kok diminta traktiran.

Jadilah saya orang kapir yang diejek manteman karena nga bisa nraktir. Padahal ya tiap manteman yang lain ultah juga jarang pada nraktir. Toh kalau mabuk juga patungan, nga pernah modal ndiri hehe. Biarlah, itu resiko manusia yang hari ultahnya diingat, diingatin pesbuk maksudnya.

Kutukan merayakan ultah ini akhirnya terlepas tahun lalu di Jogja. Sekali setelah bertahun-tahun lamanya tidak ada perayaan, saya merayakan ultah kembali. Merayakannya dengan rapat, super sekali bukan?

Pagi tadi, pertanyaan kapan mabuk meneror ponsel saya tanpa sempat saya balas. Wong hari ini masih ribet urus krs yang tertunda kok udah diajak mabuk, pada nga pengertian bener. Mending ngucapin selamat atau mendoakan, ini mah minta mabuk doang.

Siangnya di beberapa watsap puluhan pesan masuk, ada yang memberi ucapan, kasih doa, semangatin kuliah, dan mendorong agar saya terus patah hati. Pret bener. Giliran nga ngajak mabuk, eh ngomongin beginian.

Tapi biarlah, namanya juga kawan, bercanda itu hal yang baik. Kecuali mencadai perasaan, eh. Terima kasih atas semua ucapan yang datang beserta doa dan minta traktiran. Semua sangat bermakna buat saya.

Teruntuk manteman yang minta traktiran, berhubung sa masih agak sibuk hingga magrib nanti bagaimana kalau jadwal mabuk dan makan-makan kita agendakan pada malam ini. Tempatnya tentu di kosan saya. Kalau anda tahu lokasinya, silakan hadir. Saya akan sediakan minuman agar kalian bisa mabuk-mabukan sampai puas. Kalau saya ya minum secukupnya saja, maklum harus ingat sama ginjal.

Anggap saja ini sebagai balasan dari agenda mabuk yang minggu lalu batal direalisasikan Andri Koesnanto karena hanya bisa menyediakan ciu.

Oh ya, saya masih terima kiriman kado kok. Saya lagi pengen banget action figure one piece yang trio Ace Sabo Luffy. Murah kok, paling mahal 2 jutaan. Hehehe. Kalau mau kirim kado yang ini aja ya, yang lain juga diterima sih.

Terima kasih atas ucapan dan perhatiannya, salam hangat.