Aditia Purnomo


Peserta pilkada DKI Jakarta telah ditentukan. Ada dua pasangan, Agus Harimurti Yudhoyono - Sylvia Murni serta Anies Baswedan - Sandiaga Uno yang bakal menghadapi calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat. Peta pertarungan berubah, ketika orang-orang menilai Ahok, sapaan akrab Basuki, bakal menang mudah melawan Sandiaga tiba-tiba muncul Agus Harimurti. Lalu, muncul nama Anies Baswedan yang justru diusung sebagai calon utama, yang memaksa Sandiaga menjadi pendamping.

Meski banyak pengamat menilai dicalonkannya Agus hanya sebagai langkah untuk memperkenalkan dirinya di hadapan publik, namun keberadaannya patut dipertimbangkan sebagai potensi yang bisa membahayakan langgengnya kekuasaan Ahok. Maklum, Agus memiliki satu kekuatan yang cukup untuk membuatnya dipilih banyak orang, yakni bapaknya.

Sekalipun nama SBY kian hari kian memudar, namun tidak masuk akal jika kita tidak sama sekali memperhitungkan nama besarnya sebagai mantan presiden. Sekali lagi, nama besar dan lagu-lagu ciptaannya tak boleh diabaikan. Begitupula keberadaan Anies Baswedan.

Sekalipun gagal tampil di pilpres lalu, nama Anies tetap harum di hadapan pendukungnya. Basis massanya terhitung loyal, sekalipun tidak besar tapi tetap menjadi potensi berbahaya untuk Ahok. Sempat menjabat posisi menteri, nama Anies yang hampir hilang benar-benar terselamatkan oleh drama di injury time.

Dengan begini, pertarungan menjadi (agak seru). Ahok dinilai punya lawan yang berpotensi mengalahkan, ya meski potensinya tak besar-besar amat. Namun perlu diingat, politik itu dinamis. Dan potensi kejutan yang hadir di pilkada DKI semakin tinggi dan patut ditunggu.

Ahok adalah calon terkuat untuk memenangkan pertarungan ini. Persoalannya, masih pantaskah Ia memimpin Jakarta? Mengingat tidak sedikit kebijakannya yang menuai kontroversi dan digunjingkan publik. Ahok dengan segala kelakuan dan kebijakannya memang membingungkan. Awalnya kita suka dengan sikapnya yang tegas, namun lambat-laun dirinya semakin menunjukan sikapnya yang beringas.

Menurut data yang disampaikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, sepanjang bulan Januari-Agustus 2015 terjadi 30 kasus penggusuran paksa yang mengorbankan hidup lebih dari 3400 keluarga. Lebih dari 3000 keluarga itulah warga Jakarta yang hak hidupnya dilupakan oleh Ahok. Atas nama pembangunan, Ahok memaksa penggusuran dan menafikan keberadaan warganya.

Angka diatas, tentu masih bisa bertambah seiring waktu berjalan. Mengingat penggusuran yang baru-baru ini terjadi di Rawajati Barat tetap dilakukan meski mendapatkan perlawanan masyarakat. Agaknya korban-korban penggusuran masih akan terus bertambah selama Ahok berkuasa.

Pendekatan Ahok dalam perkara gusur-menggusur jelas berbeda dengan para pendahulunya. Pada masa Jokowi, misalnya, komunikasi yang aktif dengan warga dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan penggusuran. Lalu kita juga bisa melihat cara Soekarno menyenangkan warganya dengan memberikan mereka rumah di daerah lain saat membebaskan lahan untuk kawasan olahraga Gelora Bung Karno. Tidak sebanding memang, tapi cara Presiden Soekarno mengurus penggusuran patut dicontoh.

Tentu bukan tidak boleh pemerintah daerah melakukan penggusuran. Apabila alasan penggusuran memang kuat, penggusuran boleh saja dilakukan. Tapi tentu tidak dengan ‘cara Ahok’ menggusur warganya. Tidak sedikit penggusuran yang dilakukannya melanggar ketentuan yang ada seperti pada kasus penggusuran di Bidara Cina. Sudah tidak dilakukan sosialisasi sebelumnya, pembebasan lahan pun tidak sesuai dengan peraturan yang diterbitkan.

Sebenarnya ‘kepatutan’ Ahok sebagai Gubernur dapat dinilai dalam berbagai sudut pandang. Namun, karena saya memahami pahitnya digusur maka saya memilih untuk membahas ‘kepatutan’ Ahok dalam sisi kemanusiaannya. Karena, bagi saya, salah satu hal utama yang perlu dimiliki seorang pemimpin adalah empati terhadap kesulitan warganya.

Betapa tidak menyenangkan melihat rumah yang kita tinggali bertahun-tahun dirobohkan di hadapan kita demi alasan membangun ibukota. Sungguh tidak menyenangkan. Dan lebih tidak menyenangkan lagi melihat Gubernur yang bisa seenaknya bicara tanpa memahami keadaan mereka yang terusir dari rumahnya.

Tanpa perlu menggunakan ayat-ayat dari Kitab Suci, saya rasa ‘kepatutan’ Ahok masih bisa dinilai dengan hal-hal semacam ini. Karena dalam pertarungan di Pilkada nanti yang jadi masalah bukan persoalan apakah Ahok bisa dikalahkan atau tidak. Namun persoalan utamanya, sekali lagi, adalah: Masih layakkah Ahok Memimpin Jakarta?

Pertama kali terbit di bolehmerokok.com

Sekali waktu saya pernah bercita-cita menjadi petani. Mau punya lahan sendiri, digarap sendiri, dan dijadikan tempat menggantungkan hidup. Hidup tenang di desa, kerja keras mengurus lahan. Bosan hidup di Jakarta menjadi salah satu alasan tercetusnya ide macam ini. Lelah berhadapan dengan jutaan kendaraan tiap harinya, lelah pula berhadapan dengan kehidupannya.

Tapi ya itu hanya sebuah harapan kosong. Mempertaruhkan hidup saya di sini untuk sesuatu yang belum pasti jelas sulit. Apalagi, menjadi petani bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah.

Tidak semua orang adalah Susno Duaji, itu loh yang pernah jadi Kabareskrim di Polda Metro. Belio adalah orang berpunya yang bisa beli lahan untuk bertani. Sementara saya, jangankan beli tanah, lulus kuliah saja belum mampu. Hehe.

Menjadi petani itu berat dan resikonya besar. Sudah harus keluar modal yang tidak sedikit, resiko gagal panen selalu membayangi. Saya sih nggak terlalu paham kendala apa saja yang biasa dialami selama musim tanam. Tapi ya resiko-resiko macam itu yang bikin saya gentar untuk menjadi petani.

Memang persoalan pertanian di Indonesia terlalu banyak. Misalnya pada sektor gula, saya baru tahu kalau lahan pertanian itu banyak dikuasai pabrikan. Jadi, mereka yang mengurus lahan ya buruh tani yang kerja di perusahaan. Selain itu tinggi-rendahnya harga tebu sangat ditentukan oleh rendemen. Singkatnya, rendemen itu kandungan gula yang terkandung dalam tanaman. Jadi kalau semakin baik rendemennya, maka harga tebu bakal semakin tinggi.

Masalahnya, kita tahu kalau kualitas tanaman amat bergantung pada banyak faktor seperti gangguan hama dan cuaca. Untuk menghasilkan tanaman berkualitas tentu teknologi pertaniannya harus bagus juga. Bagaimana caranya petani mengakali kondisi alam, juga bagaimana mereka melewati gangguan hama.

Sementara para petani kebingungan menghadapi masalahnya, negara malah dengan asiknya membuka keran impor gula. Ini persoalan klasik. Ketika ketersediaan komoditas tidak mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan negara memainkan strategi impor untuk menyelesaikan masalah. Dulu, dulu sekali, saya sudah pernah menyatakan bahwa negara tak pernah menyelesaikan akar masalah dengan membuka keran impor.

Pada tahun ini, kondisi pertanian tebu memang cukup memprihatinkan. Kondisi alam yang tidak menentu memaksa produktifitas pertanian tebu menurun. Sudah kuantitas produksi turun, harga pun ikut anjlok. Dan bajingannya lagi, negara sama sekali tidak hadir sebagai pelindung bagi warganya yang sedang kesulitan.

Sebenarnya saya mau membandingkan persoalan pertanian di banyak komoditas dengan sektor pertanian tembakau yang lumayan saya kuasai isunya. Namun ketimbang dibilang antek pabrik rokok atau dibilang komunis (lah?) lebih baik saya nggak bahas di sini.

Mengetahui hal-hal semacam ini, nyali saya untuk jadi petani jelas ciut. Mendingan ngurus kuliah biar cepat lulus lalu kerja di Bank daripada harus ambil resiko besar kayak gini. Saya rasa pemikiran macam ini juga ada di kepala jutaan anak muda seusia saya.

Persoalannya kemudian, siapa yang mau jadi petani kalau jutaan anak muda memiliki impian untuk kerja di Bank? Oke deh, nggak hanya Bank. Itu cuma cita-cita saya lainnya yang nggak bakal tercapai. Tapi tetap saja, jutaan anak muda itu lebih mempertimbangkan kerja kantoran dan membangun karir ketimbang mengurus lahan pertanian negara yang katanya agraris ini. Ya kalaupun ada, jumlahnya akan sangat sedikit sekali, saya kira.

Di desa-desa, lahan pertanian semakin banyak yang dialihfungsikan menjadi lahan industri atau perumahan. Orang-orang sekarang lebih membutuhkan pekerjaan dan rumah ketimbang membutuhkan makan. Ya kalaupun urusan makan dirasa penting, masih ada jalan keluar yang solutif sekali. Tepat, jawabannya adalah impor.


Besok, tanggal 24 September adalah hari tani nasional. Saya kurang tahu agenda apa yang bakal dikerjakan teman-teman yang aktif di sektor tani. Yang pasti, dalam 10 – 20 tahun ke depan persoalan pangan adalah salah satu isu yang bakal banyak dibahas. Kalau persoalan pangan, yang akar masalahnya ada di pertanian tidak segera diselesaikan jangan harap negara ini bakal mandiri dalam urusan perut masyarakatnya.
Kurang lebih seminggu lalu bapak mengajak saya bicara. Ia meminta saya pindah ke belakang, menjauhi keramaian. Waktu itu sedang ada acara pengajian, 40 harian nenek. Suasana masih ramai meski pengajian sudah usai. Ibu masih sibuk mengurus besek, keluarga yang lain mengurus tamu.

Di belakang, saya duduk menunggu bapak. Sejenak, saya mengambil rokok dan hendak membakarnya namun urung dilakukan. Tapi saya baru ingat, saya di rumah. Di lingkungan keluarga, saya tidak bisa merokok. Ibu pasti langsung marah besar kalau saya merokok. Padahal ya mereka tahu saya merokok. Yang penting, tidak boleh merokok di rumah. Titik. Saya menghargainya.

Bapak datang sendirian. Pembawaannya tampak serius, saya kira Ia benar-benar akan bicara perihal yang serius. Sebenarnya bapak dan saya amat jarang berbicang. Selain karena saya jarang di rumah, saya juga tidak banyak bicara kalau di rumah. Begitu pulang, saya masuk kamar. Entah tidur entah melakukan yang lain.

Dan benar saja, Ia membuka pembicaraan tanpa sedikitpun basa-basi. “Kuliahmu itu mau diselesaikan atau tidak?” ujarnya serius begitu duduk. Saya agak kikuk menerima pertanyaan semacam ini. Bukan karena tidak siap atau tidak bisa menjawab, tapi karena yang bertanya adalah bapak. Kalau ibu atau siapapun yang menanyakan, saya masih bisa jawab. Kalau bapak, agak lain rasanya.

Sejenak diam, saya mulai menjawab ketika bapak menoleh ke arah saya. Kurang lebih, begini jawaban saya kepadanya. Saya tidak punya motivasi untuk lulus. Setidaknya, tidak benar-benar punya motivasi. Saya membutuhkan alasan lebih, yang benar-benar layak untuk memperjuangkan kelulusan. Selama ini alasan yang ada cuma untuk menyenangkan keluarga atau demi masa depan.

Namun, bagi saya, alasan seperti itu masih kurang. Tidak benar-benar memotivasi saya untuk mengejar kelulusan. Kurang lebih, alasan semacam itu belum bisa membuat saya berjuang mengejar kelulusan.

Saya berhenti sejenak. Bapak juga diam. Saya menunggu bapak untuk bicara, tapi tak kunjung terjadi. Akhirnya saya memilih untuk lanjut bicara. Saya katakan padanya, kuliah saya masih bisa diperjuangkan. Tidak berat-berat amat. Hanya perlu menyelesaikan dua matakuliah dan skripsi saya. Ya mungkin ada hal lain yang diurus, macam mengikuti tes bahasa inggris dan bahasa arab sebagai syarat kelulusan.

Kuliah saya masih bisa diselamatkan. Saya masih bisa lulus. Tapi ya tadi, saya membutuhkan sesuatu, alasan yang tepat untuk memperjuangkan kelulusan. Saya bukannya tidak mau menyenangkan orangtua, bukannya tidak mau bertanggungjawab pada pilihan kuliah yang saya ambil dulu. Tapi bukankah saya kuliah juga karena kalian, karena saya mengikuti keinginan kalian. Bukankah dulu saya memilih untuk langsung bekerja, tapi tidak terlaksana karena dua-tiga alasan yang satu diantaranya demi menyenangkan kalian.

Untuk persoalan masa depan, saya yakin akan tetap hidup walau tidak sarjana. Mungkin kalian menanggap hidup saya akan dipenuhi ketidakpastian jika gagal meraih gelar. Saya menghargai itu. Tapi bukankah sejak SMA saya sudah tidak terlalu memusingkan hal-hal semacam itu. Toh, hidup memang dipenuhi ketidakpastian dan beribu kemungkinan. Bisa saja saya gagal dalam hidup. Tapi saya masih bisa memperjuangkan hidup walau tidak sarjana.

Saya kemudian diam. Menanti jawab dari mulut bapak. Lagipula, saya merasa sudah tidak punya apa-apa lagi untuk disampaikan. Semua unek-unek sudah disampaikan bersama jawaban untuk pertanyaan bapak yang singkat itu. Bapak angkat bicara. Saya bersiap mendengarkan, apapun yang bakal disampaikan.


“Yasudah, terserah kamu. Hidup ya hidupmu. Mau apa yang penting tanggung jawab. Katanya kamu mau pergi lagi, buruan sana sebelum terlalu larut. Nanti kalau sudah punya niat lulus baru pulang ke rumah ya.”