Aditia Purnomo



Pilkada memang membuat hidup kita suram. Mulai dari wabah menghapus pertemanan hingga blokir akun di media sosial, sampai urusan kafir-mengkafirkan menjadi tren yang bahkan ditiru oleh anak-anak. Sifat mudah tersinggung menjadi hal yang biasa kita temukan, berbeda pilihan politik bahkan membuat pasangan memutuskan hubungan.

Tentu tak ada yang mengira kalau pilkada bakal membuat hidup menjadi sesuram ini. Apalagi pilkada adalah sebuah hajatan pestanya demokrasi. Sebuah pesta tentunya harus dirayakan dengan gembira. Namun yang terjadi adalah pilkada menjadi pestanya para pembenci. Saling sindir saling sikat tak peduli karib ataupun tetangga.

Mungkin kejadian ini adalah efek dari kemenangan Donald Trump. Kesuraman warga Amerika kemudian menjangkit hingga ke Indonesia. Kesuraman karena pemilihan umum menghasilkan presiden semacam Trump harus dihadapi oleh masyarakat kita. Apalagi momen pemilu di Amerika sana nggak beda jauh sama Pilkada di sini.

Tapi memang pilkada, khususnya Pilgub DKI membuat orang lupa terhadap urusan lain. Ketika semua mata tertuju padanya, kita semua seakan lupa pada banyak hal. Baju-baju yang lupa disetrika, jemuran yang belum diangkat padahal di luar sedang hujan, bahkan urusan makan saja bisa terlupa karena bius dan magnet pilkada DKI. Suram betul nasib mereka.

Tentu hal tadi masih sebatas suram yang biasa saja. Kesuraman yang bersifat pribadi, tak terlalu genting untuk kepentingan masyarakat. Karena masih ada kesuraman-kesuraman yang lebih buruk dari itu. Kesuraman yang diakibatkan semua mata terlalu fokus pada Jakarta.

Ketika semua perhatian dan mata tertuju pada debat terakhir calon gubernur DKI, misalnya, hanya sedikit mata tertuju ke Rembang saat sebuah musala perjuangan warga dibakar oleh oknum yang itu-itu juga. Ketika Bapak Gubernur Jawa Tengah yang katanya terhormat itu asik menyaksikan debat, Ia tak tahu (atau mungkin tak peduli) kalau rakyatnya di Rembang sana, di Kendeng sana merana.

Pilkada DKI memang membuat suram. Hampir 6 bulan adanya media sosial jadi memuakkan tak menyenangkan. Semua orang membahas Pilkada DKI, membahas Ahok lagi, membahas pemilihan yang bahkan mereka sendiri tak punya hak untuk memilih. Itu belum ditambah drama tidak menghibur dari mantan presiden yang kerjanya cuma baper melulu. Beruntung masih ada laman fesbuk menyenangkan seperti Tasty dan Indomie goreng yang menghibur perut ketika lapar.

Tapi tak ada yang lebih suram ketimbang menjadi warga tetangga ibukota. Ketika sebagian tentangga dan teman terlena mengomentari pilkada Jakarta, kami harus terperangah melihat calon-calon kepala daerah yang begitu nganu hingga membuat otak tak lagi bisa berfikir. Mungkin pilkada DKI memang lebih menarik, tapi Banten dan Bekasi juga memiliki pilkadanya sendiri, bung.

Coba tengok tetangga DKI bernama Bekasi itu. Warganya harus menghadapi kemuraman ketika Ahmad Dhani Prasetyo maju menjadi calon wakil bupati mereka. Urusan rekam jejak Ahmad Dhani mungkin tak perlu kita perdebatkan lagi. Selain urusan musik, tak ada hal yang membanggakan bisa dilihat dari rekam jejaknya.

Atau mungkin tak ada yang lebih suram dari masa depan masyarakat Banten. Baru tiga tahun kami sebagai warga Banten berupaya membangun masa depan setelah lepas dari jerat dinasti Atut Chosiyah, eh anak kandungnya yang nganu itu maju menjadi calon wakil gubernur Banten. Bayangkan saudara-saudara, anaknya RATU ATUT yang dulu dihajar habis-habisan sama teman-teman aktivis malah didukung sebagian mereka yang ada di barisan melawan ATUT.

Dan yang semakin membuat suram, kedua calon tadi malah unggul sementara dalam penghitungan cepat. Entah gimana nasib warga Bekasi yang harus dipimpin sama Ahmad Dhani, saya sendiri nggak bisa bayangin hidup masyarakat Banten di bawah kepemimpinan anaknya Atut. Kurang suram apalagi hidup ini.

Mungkin warga Bekasi bisa dapat sedikit terhibur dengan nazar Ahmad Dhani yang mau mendatangkan Red Hot Chili Papers jika menang. Mereka bisa nonton RHCP manggung dengan gratis, meski kita tidak tahu biaya datangin RHCP itu pakai APBD atau uang pribadi. Itu pun kalau menang lho.

Dan kemarin, ketika warga Jakarta bersiap menghadapi putaran kedua dengan kegembiraan mengejek pendukung dari pasangan yang kalah, kami harus menghadapi kenyataan yang menyedihkan. Ketika televisi menampilkan secara langsung hasil hitung cepat Pilkada DKI, kami warga tetangga harus buka situs KPU atau cari-cari berita dulu. Itu pun kami harus harap-harap cemas, berharap agar mereka yang menang bukanlah calon yang potensial membuat hidup rakyatnya suram.

Mungkin warga Bekasi agak beruntung, mengingat yang memenangkan Ahmad Dhani di pilkada hanyalah hasil hitung cepat versi PKS. Kalau dari KPU sih memperlihatkan kekalahan Ahmad Dhani, ya walau nggak telak-telak amat. Tapi ya tetap, masa depan warga Bekasi belum tentu tidak suram di bawah pimpinan petahana yang juga nganu. Toh menjadi warga tetangga daerah paling kaya tetaplah membawa kesuraman tersendiri.


Lagipula kesuraman kami warga tetangga ibukota ini tak pernah dipedulikan orang lain. Sudah melulu menghadapi macetnya ibukota, diperas keringat dan tenaga untuk kemajuan ibukota, tetap saja nasib suram orang pinggiran tak bakal diperbaiki oleh siapapun yang nantinya menang Pilkada DKI.