Aditia Purnomo



Memasuki bulan yang penuh rahmat bagi para pemeluk agama Islam, biasanya bakal marak kampanye yang mengajak orang untuk berhenti merokok. Kampanye model ini menggunakan sentimen puasa, yang mengajak orang-orang yang berpuasa agar benar-benar menghentikan aktivitas merokok.

Sebenarnya hal itu sih sah-sah saja. Toh setiap perokok adalah warga negara yang sadar, dan kalaupun mereka mau berhenti itu adalah hak mereka. Kadang yang kerap menjadi masalah adalah, tidak semua orang senang diganggu kesenangannya. Termasuk para perokok, yang memang secara sadar memilih aktivitas merokok sebagai kebutuhannya.

Selain itu, logika berpikir yang digunakan untuk kampanye ini (sebenarnya) bertentangan dengan apa yang mereka katakan selama ini. Menurut kelompok antitembakau, rokok adalah barang yang menimbulkan zat adiktif. Jadi membuat orang ketergantungan dan tak bisa berhenti mengonsumsinya.

Padahal, ketika bulan Ramadhan tiba, setiap perokok yang menunaikan ibadah puasa ya bisa dengan santai menghentikan aktivitas tersebut. Mereka bisa tidak merokok sejak matahari mau terbit hingga terbenam. Dalam waktu sekitar 13 jam mereka bisa menahan diri untuk tidak merokok.

Hal ini sebenarnya bisa menjadi bukti paling nyata bahwa rokok tidaklah menimbulkan adiksi. Para konsumen rokok bisa benar-benar tidak merokok selama puasa, 13 jam sehari selama satu bulan. Penuh. Kalau sudah begini, apakah kita masih menganggap rokok itu sebagai barang konsumsi yang menimbulkan candu dan ketergantungan?

Kenyataan memperlihatkan bahwa tidak ada perokok yang sakau karena puasa. Karena tidak merokok ketika menunaikan ibadah tersebut. Tidak tampak hal-hal yang digambarkan sebagai alat candu yang mencengkeram hidup masyarakat.

Gejala-gejala adiksi adalah sesuatu yang bisa dilihat. Tinggal cek saja, apa betul perokok yang berhenti merokok mengalami kegelisahan, kecerobohan dan kelambanan dalam bekerja, kehilangan kepercayaan diri, penuh kecurigaan, bertingkah laku yang cenderung brutal, sulit berkonsentrasi, tertekan, merasa tidak nyaman dan mempunyai kecenderungan menyakiti diri sendiri? Apakah kami terlihat seperti itu?

Inilah bukti nyata bahwa rokok bukanlah barang adiktif. Seorang perokok bakal sehat-sehat saja ketika Ia berhenti merokok. Bukan hanya selama 13 jam seperti waktu puasa, tapi juga lebih dari itu. Mereka bakal sanggup bertahan.

Tidak lagi penting mendengarkan apa yang kelompok antitembakau katakan, mengingat mereka sendiri mengalami sesat pikir terkait perkara adiksi ini. Jika memang rokok adalah barang adiktif, kenapa mereka justru mengampanyekan ajakan berhenti merokok yang mereka anggap sebagai candu yang tak bisa dilepaskan.


Dan kalau memang rokok menimbulkan adiksi, bagaimana bisa jutaan perokok yang menjalani ibadah puasa bisa menjalani ibadahnya dengan baik. Menjalani hidupnya dengan biasa saja. Kenapa bisa begitu? Tentu saja karena rokok memanglah bukan barang adiktif. Gitu aja kok susah banget mikirnya.

Pertama tayang di situs Komunitas Kretek

Ancaman industri ekstraktif pada kehidupan masyarakat makin mengkhawatirkan. Di satu sisi, upaya penambangan dikatakan sebagai upaya pembangunan yang perlu dilakukan. Tapi di sisi lain, kehidupan masyarakat justru dirusak oleh keberadaan tambang itu sendiri.

Akibatnya, di banyak tempat keberadaan tambang dan industri ekstraktif ditolak. Di Banyuwangi, masyarakat dan aktivis tegas menolak dan melawan keberadaan tambang emas Tumpang Pitu. Di Pulau Taliabu, tambang biji besi juga ditolak masyarakat. Dan penolakan yang paling keras tentu dilakukan oleh masyarakat Kendeng.

Keberadaan pabrik semen di tanah Rembang telah bertahun-tahun ditolak masyarakat. Bahkan, sebelum PT Semen Indonesia hendak mencengkeram daerah tersebut, tahun 2009 masyarakat telah bertarung melawan pabrik semen lain. Maka pada perlawanan kali ini, masyarakat juga dengan gagah berani bertarung melawan industri ini.

Dari sekian banyak orang-orang berani yang menghadapi pertarungan dengan kekuatan modal industri ekstraktif, ada salah satu petani yang vokal melawan pabrik semen. Petani ini bernama Joko Prianto, atau Ia lebih akrab disapa Prin oleh rekan-rekannya. Sama seperti hampir semua masyarakat yang menolak pabrik semen, Prin juga melawan karena tak ingin hidupnya dirusak oleh pabrik semen.

Sebagai petani, Prin amat bergantung pada kondisi alam dan keberadaan air yang menunjang hidup dan ladang mereka. Apalagi Ia adalah petani tembakau. Mengingat tanaman yang satu ini amat rentan terhadap kondisi alam, maka kerusakan yang ditimbulkan pabrik semen bisa membuat ladang dan hidupnya terganggu.

Prin bersama rekan-rekan dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng melawan keberadaan pabrik semen dengan berbagai upaya. Mereka pernah melakukan long marc dari Rembang ke Semarang. Mereka juga menggugat keberadaan pabrik lewat jalur hukum. Dan yang paling dikenang masyarakat, para petani Kendeng ini mengecor kaki mereka di hadapan istana demi upaya mengusir industri yang bakal merusak hidup mereka.

Melalui jalur hukum, mereka mendapat kemenangan setelah Mahkamah Agung mengabulkan gugatan mereka. Izin pendirian pabrik dicabut, pabrik Semen harusnya berhenti beroperasi. Namun pemerintah dan kekuatan modal tak mau kalah begitu saja. Demi menegakkan marwah kekuatan modal, mereka rela mengelabui hukum demi tercapainya impian berjalannya pabrik semen tersebut.

Begitulah watak industri yang merusak. Dengan dalih pembangunan, merusak alam ataupun mengangkangi hukum tak menjadi soal. Apalagi kalau pemerintah daerah mendukung industri ekstraktif ini dan pemerintah pusat bodo amat dengan mengatakan “bukan urusan saya” pada masyarakat yang berjuang menolak industri perusak ini.


Karenanya, semangat juang tak pernah padam yang diperlihatkan petani tembakau bernama Joko Prianto itu tak boleh kita sia-siakan. Perjuangannya bersama masyarakat Kendeng dan ribuan orang yang bersolidaritas untuk mereka harus terus digalakkan. Kita harus terus menunjukkan pada dunia, bahwa perlawanan terhadap tambang dan industri ekstraktif yang merusak ini ada dan berlipat ganda. Selamat hari anti tambang, mari lanjutkan perjuangan.

Pertama kali tayang di situs Komunitas Kretek


Beberapa saat setelah kongres ulama perempuan, saya membaca cukup banyak tulisan bagus soal hak perempuan dan islam. Dari beberapa tema yang ada, pembahasan soal poligami adalah satu topik yang cukup viral di media sosial.

Saya sepakat bahwa dalil poligami kerap dimanfaatkan oleh pria-pria tidak bertangungjawab. Dengan alasan dibolehkan, para lelaki dengan mudahnya melakukan praktik poligami meski ada syarat-syarat yang belum terpenuhi.

Saya nggak mau bahas soal siapa contoh pria yang tidak bertanggungjawab. Tapi kita sama-sama tahulah, ada loh ustadz yang bertahun-tahun mempoligami istrinya tanpa ketahuan. Tanpa izin istrinya. Apakah hal tersebut diperbolehkan, coba kita cek ayat yang membahas soal poligami.

Pada surat An-Nisa ayat 3, Allah berfirman:"…. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki."

Saya sendiri baru tahu ternyata di ayat ini (mungkin lebih tepatnya baru tahu soal ayat ini), ada bahasan yang melarang poligami itu sendiri. Mungkin memang tidak melarang sih, tapi kalau memang tidak mampu berlaku adil ya nikahi seorang saja. Hal seperti ini baru saya tahu dari bacaan mengenai kongres tersebut.

Kekaguman saya terhadap kongres ini adalah tentang keberanian para ulama perempuan yang menyuarakan hak kaumnya. Hak para perempuan. Bahwa kekerasan seksual yang kerap dialami perempuan, dan secara tidak langsung terlegitimasi berdasarkan hukum pernikahan tidak serta merta bisa dibenarkan begitu saja. Buat saya ini satu langkah besar dalam perjuangan hak-hak perempuan.

Karenanya, saya sering agak gimana sama orang-orang seperti di gambar ini. Ketika orang-orang sedang bicara soal perjuangan hak perempuan, eh mbak ini malah lebih pilih dipoligami. Bukannya nggak boleh perempuan memilih dipoligami, ya itu haknya dia. Tapi ketidaksadaran orang-orang kayak gini terhadap persolan nyata yang dihadapi perempuan dalam urusan poligami cuma bisa membuat saya mengelus dada.

Kalau semua hal yang dilakukan rasul adalah sunah, apakah makan atau minum adalah sunah? Bukankah itu kebutuhan? Ya nikah memanglah sunah. Tapi bagi saya menikah lebih dari satu bukanlah sunah. Rasul memang menikah lebih dari satu, tapi dia lebih melakukannya untuk menunjukkan bagaimana bentuk poligami yang benar. Sama dengan ketika Rasul makan, Ia menunjukkan cara makan yang benar.


Saya kira begitu saja. Toh saya bukan orang yang suci, paham agama. Lulus di UIN aja kagak. Boro-boro mikir poligami, hidup saya ini cuma bisa mikir kerjaan. Tapi ya pembahasan soal poligami ini saya rasa perlu dipikirkan dalam konteks hak-hak perempuan. Jangan cuma dibahas dalam soal nafsu yang dilegitimasi oleh hukum saja.