Aditia Purnomo

Pengalaman selama dua pekan di Bali Utara, melakukan penelitian tentang cengkeh membawa saya pada sebuah kebiasaan; mengenali pohon cengkeh walau dari jauh. Di sana, saya terbiasa melihat hamparan besar kebun cengkeh yang berkilauan merah Karena itu, saat pertama kali melihat Gunung Sumbing dari belakang rumah tempat kami bermukim di Temanggung saya langsung sadar, ada pohon cengkeh di ladang tetangga.
Di Munduk, melihat hamparan luas pohon cengkeh adalah hal biasa. Namun tidak bagi Temanggung. Di sini tembakau lah yang menjadi hidup masyarakat. Melihat hamparan ladang tembakau lah yang menjadi pemandangan biasa di sini. Karenanya, saat melihat cengkeh, saya mencoba mencari informasi terkait komoditas yang sama-sama menjadi bahan baku kretek ini.
Di Desa Tlilir, keberadaan kebun cengkeh pernah menjadi hal biasa. Setidaknya semua itu terjadi berpuluh tahun lalu, sebelum terdengar orang-orang menyebut nama Tommy. Tentu saja yang dimaksud adalah putra mahkota Orde Baru, Tommy Soeharto.
Dulu, sebelum nama itu terdengar di desa Tlilir, ada beberapa petani yang ikut menanam cengkeh di kebunnya. Tidak terlalu banyak memang hamparannya. Karena di sini masyarakat lebih biasa menanam tembakau sebagai komoditas utama mereka. Apalagi musim cengkeh dan tembakau tiba hampir bersamaan. Agak sulit mengurus dua komoditas ini secara bersamaan.
Tapi mereka pernah mengalami masa menyenangkan bersama cengkeh. Sebelum masa suram BPPC hadir, harga cengkeh terbilang tinggi. Setidaknya, dalam perbandingan mereka, panen cengkeh dalam luas kebun yang tidak seberapa cukup untuk membeli sepeda motor.
Sayangnya, cengkeh memang tidak pernah berjaya di Temanggung. Belum berapa lama cengkeh dibudidaya di sana, nama Tommy mulai didengar warga.
Pada masa itu pemerintah mendirikan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang mengelola semua tataniaga cengkeh di Indonesia. BPPC sebagai badan yang didirikan negara bekerja sama dengan perusahaan swasta milik Tommy dan Koperasi Unit Desa untuk membeli cengkeh. Hanya kepada mereka cengkeh boleh dijual, tidak pada yang lain.
Persoalan utama bagi petani cengkeh bukanlah kepada siapa mereka menjual, tapi lebih pada berapa harga jualnya. Kala itu cengkeh memang dihargai murah, hanya Rp2 ribu per kilogram. Perbandingan saat itu, hasil seluruh penjualan cengkeh tidak cukup menutupi biaya petik yang melibatkan pekerja. Itu baru biaya petik, belum pupuk dan lain-lainnya.
Karenanya para pemilik kebun cengkeh memilih untuk menebang pohonnya untuk diganti komoditas lain. Ditanami kembali dengan tanaman semusim bernama tembakau. Buat apa mereka menanam komoditas yang tidak bisa menghasilkan, padahal mereka tertarik menanam karena tahu harga cengkeh (awalnya) tinggi.
Di beberapa ladang, saya masih melihat beberapa pohon cengkeh berdiri. Di setiap ladang jumlahnya beragam. Ada yang 2, 4, bahkan 8 tegakan. Sayang, kebanyakan pohon yang berdiri kurang terawat, tidak produktif, dan terlihat terkena jamur akar putih. Kini, pohon-pohon yang tegak berdiri pun telah berusia lebih dari 30 tahun. Sesuai dengan acuan kalau rata-rata penanaman cengkeh di Temanggung terjadi pada periode 1980an.
Tanpa pernah merasakan jaya, komoditas ini habis karena kebijakan negara yang tidak berpihak pada petani. Hanya bisa menjadi cerita bagi warga. Hal serupa bisa saja menimpa tembakau yang menjadi andalan warga Temanggung. Hancur lebur karena regulasi yang melulu menekan tembakau, hingga akhirnya petani kehilangan pengharapan hidup dari tanaman ini.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Sepanjang musim tembakau tahun ini, ada gairah yang tahun lalu sempat hilang dari kehidupan warga Temanggung. Sepanjang jalan menuju Gunung Sumbing dan Sindoro, terlihat para-para berisi tembakau rajangan yang tengah dijemur. Para petani dan pekerja ladang pulang-pergi ke kebun, memetik dan membawa pulang daun tembakau yang telah dipanen. Sementara di siang hingga sore hari ibu-ibu terlihat sibuk menata daun tembakau untuk diperam dan pada pagi hari mereka sibuk menganjang tembakau yang telah dirajang.
Semua aktivitas ini dilakukan setiap hari, terus-menerus sepanjang hari selama musim tembakau masih berlangsung. Tahun lalu, aktivitas semacam ini kurang banyak terjadi karena hujan yang terus-menerus turun di sepanjang tahun. Kemarau basah membuat pertumbuhan tembakau kurang baik. Untuk proses pascapanennya, pengeringan tembakau menjadi lebih lama dan tidak maksimal.
Pada awal musim tanam tembakau kali ini, hujan juga sempat mengguyur tanpa henti. Para petani harus beberapa kali mengganti bibit tembakau yang rusak karena diguyur hujan terus menerus. Walau akhirnya, matahari yang menjadi faktor penentu kualitas tembakau muncul dan menyinari harapan para petani.
Meski memang pertumbuhan tembakau tahun ini masih belum begitu baik, tapi panen yang telah dijalani sejak Agustus kemarin telah mendatangkan hasil. Para pekerja ladang, yang menggantungkan hidup dari musim tembakau kembali mendapatkan pekerjaannya. Para pemetik juga kembali mendapat pekerjaan. Penjual dan pengrajin keranjang pun turut senang karena panen bisa berjalan.
Setelah panen bisa berjalan, petani kemudian harus menjual tembakaunya ke gudang yang ada di Temanggung. Di kota, ada beberapa gudang pabrikan yang tersedia. Mulai dari Nojorono, Bentoel, Gudang Garam, juga Djarum. Selain gudang-gudang pabrikan, ada juga gudang milik gaok (saudagar) yang biasanya tersedia lebih dekat dengan desa-desa penghasil tembakau.
Pekerja gudang mengangkut keranjang tembakau⁠⁠
Tahun ini pembelian dari pihak gudang kembali bergairah. Setidaknya, panen tahun ini masih jauh lebih baik dari tahun lalu. Tahun lalu, banyak gudang memutuskan untuk tidak membeli tembakau. Nojorono tidak membuka pembelian di gudangnya. Gudang Garam, tidak lama membuka gudang. Mungkin hanya Djarum yang membuka gudangnya dalam waktu yang cukup lama.
Untuk menjual tembakau, petani bisa memilih untuk menjual langsung ke gudang atau melalui gaok. Penjualan ke gudang pabrikan bisa dilakukan petani secara langsung. Hanya saja memang tidak semua pabrikan membuka gudangnya untuk petani.
Gudang Garam, misalnya. Pembelian di gudang mereka hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki KTA. Biasanya, KTA ini dimiliki oleh para gaok. Kalaupun ada petani yang juga memilikinya, kemungkinan besar petani itu juga berprofesi sebagai gaok yang membeli tembakau dari petani lainnya.
Jika mau menjual tembakau ke Gudang Garam, mau tidak mau petani yang tidak memiliki KTA harus menggunakan jasa para gaok. Mereka menjual tembakau ke gaok dengan rentang harga tertentu, dan beberapa hari setelah tembakau diserahkan ke gudang mereka baru mendapatkan uang hasil penjualan.
Sementara untuk gudang Nojorono dan Djarum, para petani bisa menjualnya langsung tanpa harus memiliki KTA terlebih dulu. Memang di gudang milik Djarum, ada petani-petani yang ikut sistem kemitraan pabrik mereka yang lebih diutamakan. Hanya saja, para petani lain yang tidak ikut kemitraan pun bisa menjualnya. Walau tentu saja, petani harus mengikuti standar mutu yang dimiliki gudang.
Para petani yang mengikuti sistem kemitraan biasanya mendapat pengawasan soal standar mutu sejak proses penanaman. Urusan ini biasanya dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan dari Djarum yang datang langsung ke ladang untuk melihat kualitas tanaman para petani kemitraan.
Dalam sebuah kunjungan ke gudang Djarum yang dikomandoi grader bernama Koh Yopi, saya melihat transaksi beratus-ratus keranjang tembakau dalam satu hari. Menurut Koh Yopi, dalam satu tahun gudangnya sanggup menampung hingga 26 ribu keranjang tembakau. Dengan modal pembelian yang mencapai Rp 90 Miliar, gudangnya akan terus membeli tembakau dari para petani, setidaknya hingga petani kemitraan tidak ada lagi yang menjual panennya.
Untuk nilai tembakau, biasanya setiap gudang memiliki harga masing-masing berdasar kualitas tembakau. Dengan jenjang antara grade A hingga G, harga yang diberikan pun berbeda-beda.
Keranjang-keranjang tembakau mengantre masuk gudang
Misal, untuk tahun ini bukaan harga tembakau grade A dari Djarum bernilai Rp 25 ribu per kilogram. Angka ini akan terus bertambah seiring musim panen berjalan dan berdasar grade yang semakin tinggi. Ah iya, ukuran grade tembakau dimulai dari A yang paling rendah hingga ke yang paling tinggi H. Tapi grade H sendiri agak jarang ditemukan.
Saat saya datang di gudang Koh Yopi, harga untuk grade C sudah mencapai angka Rp 70 ribu per kilogram. Sementara grade E yang paling tinggi saat itu masih berkisar di angka Rp 125 ribu. Angka ini akan terus meningkat seiring panen tembakau dengan kualitas tinggi telah dilakukan. Prediksi petani kemitraan bernama Sugito, Grade F sepertinya bakal dihargai di angka Rp 250 ribu.
Tapi itu hanya harga yang saya dapat dari Gudang Djarum di Temanggung. Hingga saat ini, Nojorono belum membuka gudangnya. Sementara Gudang Garam tak bisa saya masuki karena saya sendiri tidak memiliki KTA. Untuk Bentoel, biasanya mereka membeli dari gudang-gudang kecil milik para gaok. Hanya gudang Djarum yang agaknya terbuka untuk orang asing semacam saya.
Sebelum terjun ke gudang dan melihat sendiri tataniaga pertembakauan di Temanggung, saya kerap menemukan berita tentang petani yang kapok ditipu saat menjual tembakaunya. Ada berita yang bilang mereka ditipu bobot keranjangnya. Ada juga yang katanya ditipu soal harga.
Sebenarnya, setiap gudang punya aturan main soal bobot tembakau dalam keranjang. Di gudang Djarum, setiap keranjang dipotong hingga 20% mengingat bobot wadahnya dan kebutuhan untuk percontohan pada pabrikan. Tapi maksimal, gudang memotong bobot hingga 7kg. Begitu aturannya.
Ketika petani datang ke gudang, tembakau siap jual terlebih dulu ditimbang sembari menunggu antrean. Nantinya setelah mendapat giliran, tembakau akan dinilai kualitasnya oleh grader ditemani petani pemilik keranjang. Koh Yopi biasanya akan mengambil sampel dari bagian tengah keranjang untuk menghindari kecurangan dari petani.
Setelah memastikan grade tembakau, petani akan diberitahukan hasilnya. Setelah itu, petani tinggal mendatangi kantor keuangan gudang untuk menerima pembayaran dari tembakau yang Ia jual. Poin ini yang dianggap menguntungkan petani jika menjual tembakau ke gudang. Karena mereka bakal mendapat bayaran langsung tanpa harus menunggu dengan risiko tertipu.
Skema macam ini saya rasa perlu dijadikan patokan bagaimana tataniaga tembakau berjalan. Memang, dengan sistem lama yang mengandalkan gaok ada risiko bagi petani dalam tataniaga. Namun dengan sistem yang lebih terbuka seperti di atas, risiko itu setidaknya bisa diminimalisir.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
iPhone itu hape mahal dan ribet, masa ada hape ngga punya tombol back. Setidaknya
kalimat macam inilah yang biasanya keluar dari para pengguna Android yang anti terhadap
ponsel premium satu ini. Kenapa aing bilang anti, jelas karena ketidakpahaman mereka
terhadap kualitas iPhone tapi semena-mena mengomentari ponsel ini. Semacam netizen
yang sukanya like share amin tanpa buka link.

Sebelum aing melanjutkan tulisan ini, ada baiknya aing menegaskan dua hal. Pertama aing
tidak anti terhadap Android, toh aing masih punya Samsung J7 Prime. Kedua, aing pemakai
ponsel pintar kelas menengah dan premium. Alasannya tentu saja, karena hape mahal
kualitasnya lebih bagus. Ponsel yang kalau kita eksploitasi secara berlebih, tidak bakal hank
atau lack. Setidaknya itu yang aing rasakan dari iPhone 7 Plus seharga motor yang aing
punya.

Orang-orang yang tidak pernah pakai ponsel premium seperti iPhone tentu tidak bakal
paham kemampuan multitasking yang melancarkan segala aktivitas. Dari ambil gambar
sampai edit video, dari main game berat sampai cuma WhatsApp-an, dari twitwor sampai
fesbuk-wor dapat dengan mudah anda jalankan. Semua tentu akan berjalan mulus dengan
ponsel berjeroan terbaik.

Coba bandingkan kemampuan iPhone 5s dengan ram 1gb yang dulu aing punya itu dengan
ponsel sekelas Asus Zenfone 2 ram 4gb yang juga pernah aing punya. Adu kemampuan
multitasking kedua ponsel beda kapasitas ram itu tetap dimenangkan sama ponsel yang
ramnya cuma 1gb. Apalagi ponsel Asus sering panas kalau mesinnya terlalu dipaksakan.
Sampai aing kadang heran sama diri sendiri, kok ya dulu aing mau-maunya beli hape
semacam setrikaan itu.

Perkara kamera juga jangan ditanya bos. Ponsel adik aing yang Oppo F1s itu memiliki
kamera belakang 13mp sementara iPhone 5scuma 8mp. Tapi perkara pengambilan gambar,
apalagi video, mantan ponsel aing itu tidak kalah kelas. Dalam urusan dapur pacu pun
mantan ponsel aing tetap tak dikalahkan dengan ponsel yang ramnya 4gb itu. Nama doang
mirip balapan, kecepatan mesin sekelas Xenia.

Kalau Xiaomi mah udah jelas-jelas cuma mau niru iPhone. Dengan harganya yang murah dan
spek lumayan tinggi, Xiaomi jenis redmi cuma bisa ngadalin hape macam Vivo. Buat yang
agak bagusan macam Mi5, palingan menangnya sama Samsung seri J bos. Ada sih Samsung
yang bagus, tapi ya dibandingin nama iPhone 6 aje tetep kalah kemane-mane.
Itu hape-hape tadi baru sama iPhone 5s dan 6 loh, belum dibandingkan dengan iPhone 7
dan iPhone 7 Plus yang aing pegang sekarang.

Buat orang yang suka ponsel layar sedang dan mudah digenggam, iPhone 7 adalah ponsel
terbaik yang ada saat ini. Kemampuan kamera, dapur pacu, dan desain elegan yang berpadu
menjadi satu ponsel. Tentu saja, ini bukan ponsel yang cuma mengandalkan kamera selfie,
ram besar, baterai maximal, atau harga murah. Ini iPhone, bung.

Sementara buat yang suka ponsel layar lebih besar dengan kemampuan seperti di atas tapi
lebih bagus lagi untuk dieksploitasi, iPhone 7 Plus adalah solusinya. Dapur pacu super plus
dual kamera terbaik dibalut dengan desain super elegan. Ini ponsel terbaik yang pernah ada.

Mau nonton film, main game berat, buka medsos berakun-akun, serta aplikasi penunjang
kerja yang butuh tenaga besar tidak membuat iPhone 7 Plus perlu untuk mematikan aplikasi
yang ada di taskbar. Bandingkan dengan Android yang kalau mulai lelet, pilihan untuk
menutup semua aplikasi di taskbar menjadi solusi mereka. Dan tentu saja, salah satu
kelebihan utama iPhone 7 Plus adalah membuat penggunanya menjadi jauh lebih keren.

Kalau mau dibandingkan dengan ponsel flagship sekelas Galaxy S7 atau yang Edge, iPhone 7
Plus, ponsel terakhir terlalu tangguh untuk ponsel pintar besutan Samsung itu. Apalagi sejak
Samsung seri S menampilkan tampilan antimainstream tapi aneh dengan layar melengkung
yang hadir di S7 Edge, minat aing membeli ponsel S8 jadi hilang.

Secara 'spek', Android boleh merasa lebih tinggi dari iPhone. Tapi tahukah Anda, jika kemampuan IoS untuk menjalankan mesin rasa-rasanya lebih efisien dan unggul ketimbang sistem operasi
bernama makanan itu. Maka, mohon ini mah, jangan bandingkan iPhone 7 dan 7 Plus
dengan merek semacam Xiaomi, Oppo, Asus, apalagi Vivo. Bertarung sama iPhone 6 atau 5S
saja belum mampu, masa mau diadu sama 7 Plus bhaaang.

Kalau pun harga iPhone mahal, ya wajar aja sih. Ada harga ada kualitas bos. Masa hape
harga 3 juta mau sebanding kemampuannya ama yang premium. Itu Samsung Galaxy Note 8
yang pengen dibeli kepala suku (aing juga pengen sih) aja harganya hampir 13 juta.

Atau ya memang kalau kemampuan kalian cuma beli Asus Zenfone ngaku aja deh. Nggak
usah minder gitu. Kalau nggak mampu beli iPhone ya ngaku aja, aing tahu kok kemampuan
kantong kalian. Ya tolong jangan bandingin kemampuan kalian sama aing yang kemarin baru
beli iPhone 7 bekas kepala suku yang nggak paham-paham amat soal ponsel premium itu.

Pagi itu saya bangun terlambat. Saya sudah bangun jam setengah enam pagi, namun karena merasa perlu menuntaskan hajat di perut, saya baru berangkat ke loteng jam 6. Ketika keluar rumah tempat saya menginap di Temanggung, saya melihat orang-orang sudah mulai menjemur tembakau rajangan. Saya melewati proses merajang tembakau pada hari pertama kami di Temanggung.
Saya dan beberapa teman dari Komunitas Kretek tengah berada di Temanggung, untuk belajar lebih dalam lagi tentang persoalan pertembakauan. Beruntung, kami dapat menumpang tinggal di rumah salah satu petani terbaik yang ada di Desa Tlilir. Seorang petani bernama Sugito yang dikenal seantero Temanggung karena kualitas tembakau dari ladangnya. Soal ini akan saya ulas lebih serius pada tulisan yang lain.
Dalam kerja-kerja yang dilakukan para petani tembakau, beberapa dari mereka mempekerjakan orang lain untuk membantu kerjanya di ladang dan rumah. Di ladang untuk merawat tanaman dan memanen, di rumah untuk melakukan proses pasca panen. Jadi hampir dalam seluruh fase budidaya tembakau dibutuhkan pekerja yang siap membantu para petani.
Umumnya, masyarakat Temanggung hidup dari tembakau. Karenanya mereka biasa memanfaatkan musim tembakau sebagai ladang penghasilan untuk hidupnya dan keluarga. Hal semacam inilah yang mendasari Mugiat untuk ikut bekerja di ladang tembakau Sugito.
Mugiat adalah seseorang yang memiliki ladang tembakau, walau memang tidak seberapa besar. Hanya sekitar setengah hektar. Karena itulah Ia memutuskan untuk ikut bekerja bersama petani lain sebagai upaya menambah penghasilan dari musim tembakau. Seperti namanya, Ia bekerja dengan giat ketika musim tembakau tiba.
Biasanya ketika masuk musim tanam, Ia lebih dulu mengurus lahannya bersama anak dan istri. Ketika pembibitan dan menyiapkan tanah untuk ditanami, Ia akan ada di ladangnya dulu. Nanti setelah lahannya ditanami dan bisa ditinggal, Ia menyerahkan nasib ladangnya kepada istri dan anaknya yang sudah dewasa.
Di tempat Sugito, Giat mengerjakan semua hal yang dilakukan dari fase menyiapkan tanah hingga pascapanen tembakau. Ia membantu Sugito dari saat pembibitan hingga mengangkut keranjang tembakau siap jual ke mobil untuk dibawa ke gudang. Semua dikerjakan Giat sebagai seorang pekerja di ladang.
Ketika awal musim, Ia beserta pekerja lainnya menyiapkan tanah untuk ditanami. Setelah bibit siap, Ia tanami dengan tembakau. Masuk masa perawatan tanaman Ia juga memberikan pupuk, memangkas tangkai bunga yang tumbuh disela batang dan daun, juga memastikan penanganan seandainya tembakau diserang hama wereng.
Hal ini Giat lakukan hampir di sepanjang dua-tiga bulan masa tanam tembakau. Setidaknya ketika Ia tidak mengharuskan diri untuk bekerja di ladang sendiri. Ada masanya di mana Ia perlu membantu keluarganya mengurus lahan. Biasanya hal semacam ini dilakukan ketika pekerjaan di ladang Sugito sedang tidak terlalu banyak.
Namun saat panen, hampir seluruh waktunya disita oleh pekerjaan di ladang Sugito. Maklum, Sugito memiliki sekitar 1,5 hektar lahan yang ditanami tembakau. Dengan mengandalkan tenaga Sugito sendiri beserta dua pekerjanya, mereka hampir tidak memiliki waktu beristirahat. Itu saja mereka telah dibantu oleh tenaga pemetik yang hanya bekerja saat pemetikan.
Ah iya, pada masa panen biasanya hadir pekerja tambahan untuk membantu proses pemetikan. Mereka datang hanya untuk membantu memetik daun tembakau sedari jam 9 pagi hingga jam 2 siang. Begitu selesai memetik dan panen telah diangkut ke mobil, kerja mereka hari itu telah selesai.
Noto Mbako
Noto Mbako
Berbeda dengan Giat dan pekerja lainnya. Mereka yang bekerja penuh akan ikut terlibat dalam proses pascapanen, mulai dari menata tembakau untuk diperam, merajang tembakau setelah daun tembakau matang keseluruhan, menjemur daun rajangan, hingga menggulung tembakau rajangan yang telah kering. Semua kerja ini mereka akhiri dengan menaikkan keranjang berisi tembakau siap jual ke mobil untuk dibawa ke gudang.
Tentu saja, pekerja seperti Giat yang bekerja penuh mendapat bayaran berbeda dari pada pekerja yang hanya memetik saja. Biasanya, para pekerja penuh seperti Giat dibayar pada kisaran Rp40 ribu hingga Rp50 ribu per hari. Itu angka yang diberikan ketika musim tembakau belum tiba. Oh iya, musim tembakau di sini diartikan sebagai masa panen dan petik tiba. Ketika musim tembakau, mereka dibayar pada kisaran angka Rp50 ribu hingga Rp70 ribu. Itu belum masuk bonus yang diberikan ya.
Sementara para pemetik dibayar pada kisaran Rp35 ribu hingga Rp50 ribu per hari. Jumlah yang mereka terima bergantung pada hasil kerja yang mereka lakukan. Nantinya upah akan dibayar sesuai kehendak pemetik. Jika mau diambil harian bisa, diambil sekalian pun bisa. Tergantung kebutuhan pemetiknya.
Jika menghitung musim tanam tembakau dan panen, Giat bisa bekerja selama 3 bulan saat masa merawat tembakau. Lama tersebut bisa dikurangi waktu ketika para pekerja mengurus ladangnya sendiri. Sementara pada saat masa panen tembakau, mereka bisa bekerja selama dua bulan penuh.
Kalau mau diratakan, upah yang diterima saat merawat tanaman sebesar Rp40 ribu dan yang diterima saat panen sebesar Rp60 ribu, lalu dihitung waktu bekerja saat merawat tanaman selama tiga bulan dan masa panen dua bulan, mereka bisa membawa pulang uang sekitar Rp7 juta. Itu belum termasuk bonus-bonus yang bisa mencapai angka Rp1 juta rupiah tergantung musimnya sedang bagus atau tidak. Angka yang lumayan besar jika dibandingkan upah minimum kabupaten Temanggung yang sebesar Rp1,4 juta.
Lagipula, angka di atas adalah hasil dari kerja sampingan yang dilakukan untuk menambah pemasukan saja. Belum termasuk uang yang dihasilkan dari ladang-ladang yang mereka miliki di rumah. Maklum, pada musim tanam tembakau tambahan penghasilan seperti ini harus dimaksimalkan. Semua kesempatan untuk mendapatkan penghasilan haruslah dimanfaatkan.

Pertama terbit di situs Komunitas Kretek