Aditia Purnomo

Saya adalah orang yang amat membenci pembangunan kereta bandara Soekarno Hatta. Jika kita hanya menilai secara normatif, memang kehadiran kereta bandara ini membuat akses menuju Soetta menjadi lebih mudah. Terbukanya akses bakal membuat orang-orang yang menggunakan bandara ini menjadi lebih senang atas pelayanan pengelolanya.
Tapi tunggu dulu, kemudahan tadi jelas bukan buat warga Kota Tangerang. Rumah tempat saya tinggal hanya berjarak 11km dari bandara. Dengan jarak sedekat itu, tentu perjalanan ke bandara harusnya lebih mudah. Namun pembangunan kereta bandara itu telah merenggut segala kemudahan akses untuk datang ke Soetta bagi saya, warga Kota Tangerang yang harusnya menikmati kemudahan karena tinggal tak jauh dari bandara.
Memang sebagai dampak pembangunan tadi, warga Tangerang yang mau ke Soetta harus repot-repot dulu berkeliling bandara. Sebelum ada pembangunan, saya cuma perlu waktu 20 menit untuk sampai ke bandara. Namun kini, saya harus menikmati perjalanan setidaknya 1 jam karena pintu M 1 bandara yang jadi akses termudah untuk kami telah ditutup karena pembangunan.
Kini kami perlu melewati dua jalur yang memutari bandara. Jika pintu M 1, maka kita harus memutari bandara lewat jalan parimeter yang kerap memakan korban. Di jalan ini memang sering terjadi kecelakaan. Jalannya sempit, kendaraan melaju kencang, dan penerangan di jalan ini minim. Terakhir, seorang kawan saya harus kehilangan satu jari kakinya setelah mengalami kecelakaan di jalur maut ini.
Jika kita mau menghindari jalur maut tersebut, saya harus memutar lebih jauh lagi ke Kebon Besar sebelum akhirnya masuk melalui jalan dari arah Tol bandara. Persoalan melalui jalur ini, ya kita cuma harus jauh-jauh ke Kebon Besar dulu sebelum bisa memasuki area bandara.
Mungkin pembangunan kereta bandara ini bakal berdampak positif bagi perekonomian. Ya setidaknya perekonomian para pebisnis dan daerah itu sendiri. Tapi bagi saya, warga Tangerang, pembangunan ini justru amat merugikan. Karena saya harus buang waktu lebih banyak untuk tiba di bandara yang, harusnya kepleset saja sampai.
Memang warga Tangerang bisa memanfaatkan kehadiran kereta bandara ini untuk menuju bandara. Betul sekali. Tapi perlu Anda tahu kalau tiket perjalanan kereta bandara sebesar Rp 100 ribu. Angka yang tidak kecil buat sebagian besar orang karena harga tersebut setidaknya senilai 1/5 harga tiket pesawat menuju Jogja.
Sialnya lagi, kehadiran kereta bandara ini kabarnya bakal mengurangi jumlah perjalanan KRL yang melintasi jalur Tangerang-Duri. Bajingan betul. Sudah kalau mau ke Soetta harus memutar jauh, lah ini kita mau beraktivitas sehari-hari saja harus terhambat karena keberadaan kereta bandara. Apalagi saya juga pengguna aktif KRL yang hampir setiap hari memakai jasa transportasi ini. Jika kemudian perjalanan KRL menuju Duri harus berkurang, bagaimana nasib kami para warga Tangerang?
Kalau sudah begini, pembangunan kereta bandara benar-benar hanya merugikan saya dan sebagian warga Kota Tangerang saja. Jika memang pembangunan itu diniatkan untuk menyejahterakan dan memudahkan kehidupan warga, kenapa pembangunan ini justru membuat kami merugi dan terganggu? Atau memang, semua pembangunan yang dimaksudkan pemerintah itu hanya merugikan kehidupan rakyatnya saja?
Terbit pertama kali untuk Baca Tangerang
Setiap orang pasti pernah membuat puisi. Entah itu puisi tentang cinta atau yang lain. Entah dibuat ketika galau patah hati atau hal yang lain. Karena itulah, puisi menjadi hal yang amat dekat dengan masyarakat.
Sayangnya, kebanyakan masyarakat menjadi takut akan puisi. Bukan karena orang yang membuat puisi bakal dihilangkan seperti Wiji Thukul tentu saja. Tapi hal itu muncul ketika orang-orang yang melihat kita berpuisi memberikan ‘penghakiman’ yang membuat kita takut untuk kembali membacakan puisi.
“Saat kita di sekolah dulu, ketika kita diminta guru untuk maju membacakan puisi, dan teman-teman memberikan sorakan ‘ciye’ pada kita hingga kita malu dan takut untuk kembali bersentuhan dengan puisi,” tutur Bentara Bumi, salah satu penggagas kelompok bernama Malam Puisi.
Untuk menciptakan panggung yang bebas penghakiman, kira-kira seperti itulah harapan saat Bumi dan rekannya Putu Aditya tatkala membentuk Malam Puisi. Selama ini, panggung untuk puisi memiliki banyak ‘regulasi’ yang merepotkan. Karena itulah Malam Puisi diupayakan untuk menjadi satu ruang yang bebas aturan dan yang terpenting, bebas ‘ciye’. “Lu mau baca puisi cinta atau apa ya terserah aja,” ujarnya tatkala ditemui di Festival Media Tangsel awal November lalu.
Berawal dari sebuah keinginan untuk membuat panggung yang menyediakan ruang bagi pencinta puisi, Malam Puisi telah berkembang hingga titik yang tak pernah mereka kira. Tatkala menginisiasi panggung pertama, mereka mengajak teman-teman juga orang lain untuk hadir dan ikut berpuisi di sana. Tak disangka, atensi publik melebihi ekspektasi mereka dan membuat Malam Puisi berkembang menjadi satu agenda yang cukup besar di Indonesia.
Kini, kurang lebih telah hadir acara dengan tagar Malam Puisi di puluhan kota seperti Surabaya, Depok, Jakarta, juga Batam. Hadirnya Malam Puisi di berbagai daerah tidak pernah rencanakan atau inisiasi, namun memang ada orang-orang di banyak kota yang meminta izin agar acara serupa digelar di tempat mereka. Ini menjadi satu hal yang betul-betul tak pernah mereka kira.
Awalnya, hanya ada dua penggagas yang aktif mengurus Malam Puisi. Namun karena Malam Puisi telah hadir di banyak kota, mereka kemudian membentuk sebuah badan bernama penyelia. Tugas utama penyelia adalah melakukan supervisi kepada Malam Puisi di berbagai kota meski akhirnya penyelia tidak terlalu aktif karena masing-masing orangnya punya kesibukan sendiri.
Meski para penggagasnya mulai tidak banyak aktif, tapi kelompok ini tetap berjalan dengan pesat. Setiap daerah telah memiliki agenda dan programnya masing-masing. Seperti di Depok yang menerbitkan Antologi, atau Jakarta tengah merencanakan Malam Puisi Istana sembari menunggu konfirmasi Presiden.
Walau telah berkembang dengan pesat, Malam Puisi menurut Bumi tetaplah satu kelompok kecil yang tak pernah diniatkan untuk menjadi besar. Karena memang hal-hal yang ingin dihadirkan oleh kelompok ini bukanlah kebesaran atau menjadi terkenal. Sesuai dengan tujuan awalnya, Malam Puisi hanya berharap bisa tetap membawa kebahagiaan dan kepuasan setelah mereka berpuisi di panggung tanpa penghakiman tersebut.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Rokok adalah salah satu hal yang paling berbahaya bagi masyarakat. Mengandung ribuan zat kimia berbahaya dan mengundang adiksi yang tinggi membuatnya menjadi salah satu pembunuh massal paling ditakuti dunia. Dan tentu saja, kandungan nikotin yang ada pada tembakau adalah satu yang paling berbahaya dari barang ini. Setidaknya, begitulah kata orang antirokok.
Ya, nikotin adalah hal yang tidak terpisah dari tembakau. Zat ini terkandung dalam daun tembakau yang membuat tanaman ini menjadi berbahaya buat masyarakat. Karena itu tembakau, apalagi jika sudah berbentuk rokok, harus dikendalikan. Nikotin dalam tembakau harus dapat dikendalikan.
Hal-hal macam inilah yang menjadi dalih utama mengapa rokok begitu dibenci dan dijauhkan dari masyarakat. Agar kesehatan masyarakat terlindungi, katanya. Maka dari itu rokok, tembakau, juga nikotin adalah berbahaya dan perlu diperangi.
Kampanye-kampanye negatif terhadap rokok dan tembakau dilancarkan. Orang-orang disuruh berhenti merokok karena dianggap berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Tapi karena ‘adiksi’ yang ditimbulkan, tidak semua orang bisa berhenti merokok. Untuk menyelesaikan persoalan inilah, para perokok harus diterapi. Harus mendapat alternatif konsumsi selain rokok.
Karena itulah kemudian diciptakan produk-produk alternatif atas kebutuhan nikotin masyarakat. Koyok nikotin, permen karet nikotin, rokok elektrik, juga produk terapi nikotin lainnya disediakan agar orang-orang beralih dari rokok. “Karena rokok berbahaya, maka konsumsilah produk nikotin ini,” begitu ujar orang-orang antirokok.
Entah apa yang ada di kepala orang-orang ini. Apakah dengan mengonsumsi produk yang bukan rokok, maka nikotin tidak lagi berbahaya? Nikotin yang katanya racun buat tubuh dan menyebabkan adiksi juga berbagai macam penyakit mematikan itu. Nikotin yang menjadi mesin pembunuh massal itu tidak lagi dianggap berbahaya karena tidak diproduksi dalam bentuk rokok. Sungguh hebat sekali pendapat ini.
Ada yang bilang, jika nikotin tidak dikonsumsi dengan proses pembakaran seperti rokok, maka dia tidaklah berbahaya. Jika dikonsumsi dalam bentuk produk olahan lain, selain rokok tentu saja, risiko kesehatan nikotin bakal berkurang hingga 90%. Karenanya, lebih baik mengonsumsi produk olahan lain itu ketimbang mengisap rokok.
Lebih lanjut lagi, orang-orang ini menyebut kalau tar yang merupakan senyawa hasil pembakaran adalah hal yang membuat rokok jadi berbahaya. Membuat nikotin ikut jadi berbahaya. Seandainya rokok tidak dikonsumsi dengan cara dibakar, bisa jadi rokok bukanlah hal yang berbahaya. Dan tentu saja, nikotin tidak lagi dianggap menjadi zat yang berbahaya.
Karena tidak berbahaya, maka tidak lagi perlu ada kampanye negatif terhadap nikotin. Asalkan, tentu saja ada syaratnya, barang yang dikonsumsi adalah produk olahan lain dan bukan rokok. Kalau rokok, semua jadi berbahaya. Kalau cuma koyok atau permen karet nikotin, yang tidak berbahaya. Karenanya idak perlu ada kampanye berbahaya untuk produk olahan ini.
Kalau sudah begini, saya malah jadi ingin bertanya, benarkah nikotin itu berbahaya bagi kesehatan?
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Semua ini terjadi karena ulah si tua bangka Major. Jika saja Ia tak pernah bermimpi tentang sirnanya manusia dari muka bumi, dan tak pernah Ia berujar soal binatang yang menjalankan roda dunia, semua binatang tidak bakal mengalami hidup sulit di bawah penindasan para babi.
Seandainya tak pernah si tua bangka Major itu menceritakan mimpi dan harapannya agar para binatang bisa memiliki hak yang sama dengan manusia, bisa jadi babi kader muda teladan Snowball dan Napoleon tak bakal memimpin revolusi dadakan para binatang. Bila semua ini tidak terjadi, mungkin para binatang tidak bakal hidup tertindas di bawah kekuasaan binatang yang lain, dalam hal ini para babi.
Begitulah kiranya jika revolusi dipimpin para babi. Setelah perjuangan dimenangkan, kekuasaan didapatkan, tinggal mencari cara agar bisa mengeruk keuntungan dan mempertahankan kekuasaan. Kalau ada teman babi yang melawan, ya singkirkan. Caranya, mudah. Bangun saja pemerintahan yang militeristik. Tak suka, bunuh. Tak senang, bantai. Selesai.
Kebebasan yang diraih para binatang dari keberhasilan revolusi hanya sesaat saja mereka rasakan. Impian agar hidup bahagia tanpa kerja yang dipaksa pun sirna karena kerasnya tangan besi babi Napoleon. Semua harus kerja-kerja-kerja, menjalankan roda produksi agar peternakan yang berhasil direbut para binatang dari tangan manusia ini mendapatkan untung buat kesenangan para babi.
Kisah para binatang dalam Novel monumental George Orwell ini mengingatkan saya pada matakuliah pengantar ilmu politik saat masih kuliah dulu. Dengan pendekatan yang otoriter, rezim yang berkuasa dapat mempertahankan stabilitas pemerintahan serta membuat kekuasaannya langgeng. Alamak, jadi ingat zaman orde baru dulu.
Boleh dibilang Binatangisme ini adalah karangan terbaik dari Orwell. Meski namanya melambung melalui 1984, tetap saja tak ada kisah satir sebaik ini dari semua buku yang pernah saya baca. Lagipula, novel tak tebal ini berhasil memukau saya sedari awal hingga akhir tanpa bosan sedikit acan.
Banyak orang bersepakat kalau Orwell tengah menceritakan kisah yang terjadi di Soviet. Setelah sukses melakoni Revolusi Oktober, Soviet tak pernah benar-benar menjadi negara yang menjunjung kebebasan rakyatnya. Apalagi rezim komunis Stalin dianggap tidak mengenal yang namanya kemanusiaan. Satu hal penting yang perlu dimiliki penguasa bila ingin menyejahterakan rakyatnya.
Di Indonesia, Binatangisme telah diterbitkan dalam beberapa edisi. Yang saya ingat, ada dua judul yang dipakai untuk karya terjemahannya. Pertama Animal Farm terjemahan Bakdi Soemanto yang diterbitkan Bentang. Kedua, dan yang saya miliki, tentu saja terjemahan dari si jenaka Mahbub Junaidi yang kebetulan diterbitkan ulang oleh Gading.
Hal paling mendasar yang membedakan kedua terjemahan ini adalah keberanian Mahbub untuk menerjemahkan karya Orwell ini dengan ‘tidak taat’. Mahbub, dengan berani menambahkan beberapa kata yang tidak hadir di buku dalam Bahasa Inggris. Contoh yang paling mudah, tentu saja penambahan kalimat “Bibirnya mencong, setitik ingus melekat di lubang hidungnya” pada paragraf pembuka buku ini.
Hal semacam ini memang menimbulkan perdebatan oleh beberapa pihak. Meski ya menurut saya, itu tidak penting-penting amat mengingat Mahbub tetap berhasil menyampaikan isi Binatangisme-nya Orwell dalam bahasa yang memukau. Saking memukaunya, saya hanya membutuhkan waktu 3 jam untuk menyelesaikan buku ini dalam satu kali baca. Habis dalam sekali lahap.
Ketika membaca buku ini, saya melakukan dua hal di hampir seluruh aktivitas membaca. Yang pertama, tentu saja tertawa. Kejenakaan tampak nyata dalam buku ini. Kedua, tentu saja, memaki. Entah mengucap babi atau anjing, seperti dua pelakon utama sistem otoritarian Peternakan Binatang. Semua maki itu terucap karena memang ini adalah sebuah buku bajingan yang memukau.
Dan yang paling penting, buku ini mengingatkan kita akan bahaya pendekatan kekuasaan otoriter dengan cara yang paling jenaka. Penggunaan kekuatan militer untuk membungkam upaya perlawanan, kebohongan yang melulu ditampilkan hingga rakyat bingung mana yang nyata mana yang palsu, dan betapa serakahnya rezim yang berkuasa dengan model seperti ini. Dan memang hal macam itulah yang bakal kita dapatkan jika kita membiarkan para babi yang memimpin revolusi.
Judul                           : Animal Farm
Penulis                        : George Orwell
Penerjemah               : Mahbub Junaidi
Jumlah halaman      : ix + 153 hlm
Penerbit                     : Gading
Cetakan                      : II, Mei 2017
ISBN                           : 978-602-0809-31-1

Terbit pertama di Baca Tangerang
Sebagai mahluk sosial, manusia tak pernah bisa lepas dari lingkungannya. Hampir dalam seluruh aspek hidup, seseorang tidak bisa lepas dari keberadaan orang lainnya. Begitu pun dengan para perokok yang tidak bisa menafikan keadaan lingkungan dan keberadaan orang lain.
Dengan memutuskan untuk merokok, seseorang harus sadar akan tanggung jawab yang besar karena memilih jalan ini. Para perokok harus sadar bahwa mereka bakal berada dalam tekanan yang tinggi, karena stigma negatif yang dilekatkan masyarakat pada rokok suka tak suka bakal merepotkan mereka. Belum lagi segala bentuk diskriminasi yang bakal dialami. Untuk itulah, semua orang yang merokok harus sadar akan risiko dari hal tersebut.
Walau memiliki risiko tidak mengenakkan seperti tadi, tapi ya para perokok tetap istiqomah pada jalannya. Tetap teguh menjalani lakon sebagai perokok. Tak peduli sumpah serapah yang dilontarkan padanya, perokok tetap saja menikmati jalan hidup yang dipilihnya ini.
Mungkin tidak semua orang sadar kalau para perokok ini sedang menjalani laku untuk membaktikan diri pada kepentingan orang lain. Menjalani hidup untuk berbagi pada orang lain. Satu hal yang agaknya, sulit dipahami jika tidak menjalaninya secara langsung.
Menjadi perokok itu artinya kita harus bersedia menyumbangkan sebagian (besar) uang kita kepada negara. Melalui Cukai, PPN, PDRD, sekitar 70% uang yang kita keluarkan untuk membeli sebungkus rokok masuk ke kas pemerintah. Dari cukai saja, uang kita yang masuk ke kas negara sudah mencapai Rp 130 triliun. Lebih dari 5% dana APBN.
Uang tersebut memang tidak langsung kita berikan untuk kepentingan masyarakat. Masih harus masuk APBN dan menunggu dialokasikan untuk apa saja. Tapi ya nantinya, uang kita para perokok tetap bakal dinikmati oleh masyarakat, tentu saja termasuk yang tidak merokok.
Sebagai contoh, baru-baru ini pemerintah menyuntikkan dana Rp 5 triliun kepada BPJS agar tetap bisa beroperasi. Dan dana tersebut didapatkan dari cukai rokok yang jelas saja bersumber dari kita para perokok. Sebuah kebanggaan, tentu saja. Mengingat kita yang selalu dianggap menjadi penjahat ini ternyata mampu berbuat sebaik ini pada bangsa dan negara.
Itu baru Rp 5 triliun yang dialokasikan. Kalau mengacu sama pendapatan cukai tahun lalu, masih ada sekitar Rp 131,5 triliun lagi yang bisa digunakan negara untuk membantu kehidupan rakyatnya. Dengan uang segitu, coba bayangkan berapa banyak sekolah, rumah sakit, atau jalanan yang bisa dibangun pemerintah.
Ya mungkin apa yang kami berikan pada negara ini tidak seberapa. Tapi percayalah, semua ini kami lakukan tentu dengan niat yang tulus. Tak pernah kami muluk-muluk menuntut pada negara, kecuali dalam urusan ruang merokok yang layak juga tidak lagi didiskriminasi oleh pemerintah. Setidaknya dengan begini, kami mampu mengamalkan laku kesalehan untuk kehidupan sosial.
Meski kami perokok sama-sama tahu kalau cukai melulu naik dan semakin hari semakin tinggi, kami tetap saja membeli rokok dengan cukai. Walau kami melulu didiskriminasi dan mendapat stigma negatif, kami tak gentar untuk menyumbangkan uang kami melalui cukai. Karena memang dengan merokok, kami dapat membantu bangsa dan negara yang tercinta.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Paruh pertama film Wage berlangsung terlalu cepat. Fase demi fase masa muda komponis lagu kebangsaan ini hanya menampilkan cuplikan-cuplikan yang amat tidak bisa dinikmati. Apalagi jika orang yang menonton film ini adalah awam yang tak kenal bagaimana Wage tumbuh sebagai pejuang.
Adegan demi adegan tersaji hanya sekelebat saja. Wage kecil yang ditinggal mati ibunya, kemudian tinggal bersama van Eldik yang tak dijelaskan kalau dirinya adalah kakak ipar Wage. Hingga kemudian Wage dicemooh teman-teman sekolahnya yang bukan pribumi berubah dewasa dan menjadi anggota grup musik Black & White yang terkenal di Makasar sana.
Semua berlangsung dengan kilat. Tak ada adegan yang menceritakan kenapa Wage jadi andal bermain biola. Tak ada juga adegan yang menggambarkan alasan kenapa Wage mau ikut berjuang bersama orang-orang pergerakan kemerdekaan. Di film ini, hanya tersaji kalau Wage tiba-tiba hadir di sebuah pertemuan dengan pidato berapi-api, tanpa ada gambaran yang membuat Wage mantap berjuang untuk para pribumi.
Satu-satunya hal menarik di paruh pertama ini, adalah bagaimana sang tokoh mengenalkan diri pada khalayak. Meski lebih dikenal dengan nama Rudolf, tokoh kita lebih senang dipanggil dengan nama Wage. “Panggil saja saya Wage,” ujarnya dalam sebuah adegan tatkala Ia minta bosnya yang Belanda untuk memanggilnya dengan nama tersebut.
Saya secara pribadi sudah khatam membaca kisah Wage. Dari sebuah komik terbitan Elex Media, saya mendapati kisah Wage yang cukup jelas dan dapat menggambarkan masa-masa yang membentuk Wage sehingga mau berjuang untuk kemerdekaan. Hal ini, sayangnya, tidak bisa saya dapatkan dari fim tersebut.
Di Komik, diceritakan dengan cukup detail bagaimana kakaknya yang Belanda itu menambahkan Rudolf pada nama Wage agar dirinya bisa masuk sekolah Belanda. Selain itu, dikisahkan juga bagaimana van Eldik mengajarkan Wage bermain musik untuk menghilangkan kesal karena diejek temannya di sekolah. Beberapa hal yang kurang dijelaskan dalam film garapan John de Rantau ini.
Yang menurut saya agak parah adalah, ketika film ini gagal memasukkan kisah ditolaknya Wage oleh seorang noni Belanda karena statusnya yang seorang pribumi. Padahal, saya rasa hal ini adalah salah satu hal yang menambah keyakinan Wage untuk ikut berjuang bersama pribumi yang lain. Ya meski alasan utamanya adalah kegundahan Wage melihat hidupnya yang sejahtera sementara pribumi lain malah menderita.
Meski begitu, setelah masuk paruh kedua film, cerita jadi berjalan menyenangkan dan lebih mudah dicerna oleh orang yang awam sekalipun. Jika paruh pertama film mengisahkan masa muda Wage hingga datang ke Batavia dan terlibat dalam kongres pemuda, maka paruh kedua menceritakan perjalanan Wage sebagai seorang buronan setelah menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kongres Pemuda kedua.
Pada fase peralihan ini, film menjadi menyenangkan karena saya dapat menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza dengan lantang di dalam bioskop. Maklum, ketika nonton film ini semalam, hanya ada 5 orang yang rela mengeluarkan uang untuk menyaksikan Wage. Jadi ya ruang bioskop serasa milik pribadi sahaja. Nyanyi sampai teriak kencang pun, tak ada orang yang terganggu.
Setelah lagu kebangsaan berkumandang, mulailah fase berbeda dalam hidup Wage. Meski sadar akan risiko perjuangannya, tapi tetap saja Wage harus bersembunyi agar selamat dari kejaran dinas intelijen politik pemerintah Hindia Belanda. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya Wage ditangkap dan dipenjara di Surabaya.
Film ini sebenarnya cukup berhasil memberikan gambaran detail dalam hidup Wage, hanya saja di awal film adegannya terlalu cepat dan sulit dipahami. Terlihat jelas ada banyak adegan yang dipotong demi memenuhi durasi yang tersedia. Tapi ya film ini tetap perlu diapresiasi mengingat tidak banyak orang tahu bagaimana kisah dan perjuangan Wage demi kemerdekaan Indonesia.
Saya jadi teringat, betapa stresnya Wage tatkala dikejar deadline untuk membuat satu lagu kebangsaan yang mampu menyatukan seluruh komponen bangsa di Hindia Belanda. Betapa Wage yang cuma bisa dekat dengan seorang gadis tanpa mampu meminangnya karena nasib hidupnya sebagai pelarian. Dan bagaimana seorang pencipta lagu kebangsaan harus meloak barang-barang di rumahnya guna mempertahankan hidup dan mencetak bukunya sendiri. Begitulah kiranya memang nasib senorang yang memilih garis perjuangan.
Sebuah ironi, agaknya. Di saat orang-orang mengucap selamat hari pahlawan, film Wage di bioskop justru tak ramai dikunjungi. Ketika orang-orang melulu menampilkan wajah Soekarno atau Bung Tomo di spanduk-spanduk yang tersebar di jalanan, tapi lupa kalau ada orang yang berhasil mempersatukan komponen bangsa melalui lagu ciptaannya. Sebuah lagu kebangsaan, yang tak pernah betul-betul bisa Ia nyanyikan di kala Indonesia merdeka.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Selama ini masyarakat kita kerap mengenal nama Gatot Subroto atau TB Simatupang sekadar sebagai nama jalan. Kalau Soedirman, memang sebagian kita masih mengingatnya sebagai seorang jendral besar yang jadi pimpinan pertama angkatan bersenjata kita. Tapi kalau yang lain, agaknya tidak banyak yang tahu.
Hal serupa juga menimpa nasib Daan Mogot. Nama tersebut memang menjadi jalan yang terbentang sepanjang Tangerang-Jakarta. Menjadi jalan besar yang menghubungkan kota ini dengan ibukota. Menjadi jalan tempat orang mengais rezeki setiap harinya. Sebatas itu saja pengetahuan umum soal Daan Mogot yang kepahlawanannya cukup melegenda di Tangerang.
Jarang agaknya yang tahu kalau pemuda asal Minahasa ini adalah pejuang yang gugur di Tangerang kala mempertahankan kemerdekaan Republik dari para penjajah. Upaya pendirian akademi militer darurat yang dinamai Militaire Academie Tangerang tak lepas dari keberadaannya.
Lahir dengan nama lengkap Elias Daan Mogot pada 28 Desember 1928 di Manado, Ia hidup dalam lingkungan keluarga polisi dan tentara. Ayahnya, Nicolaas Mogot adalah pejabat pemerintahan di Hindia Belanda. Ia pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat pada masa penjajahan), dan membawa serta keluarganya kala untuk pindah ke Batavia.
Karir militer Daan bermula kala Ia berusia 14 tahun. Saat itu, Belanda baru saja menyerah pada Jepang dan tentara Nippon mengambil alih kekuasaan politik di Hindia. Ia menjadi salah satu anak muda yang terpilih untuk mengikuti latihan Seinen Dojo (Pelatihan Pemuda) di Tangerang. Setelah lulus dari pelatihan ini kemudian Daan bergabung dengan barisan Pemuda Tanah Air yang merupakan kelompok tentara sukarela buatan Jepang.
Saat bergabung dengan PETA, Daan diberi pangkat sebagai Shodanco atau Letnan dalam strata perpangkatan hari ini. Ia menjadi salah satu anggota termuda karena waktu itu baru berusia 15 tahun. Meski berusia muda, dalam pengakuan beberapa orang Daan dikenal sebagai sosok cerdas. Karena itu Ia pernah ditunjuk menjadi asisten instruktur pelatihan militer anggota PETA di Bali.
Pada masa cemerlang karirnya di militer, pemerintahan Jepang justru menyerah pada sekutu. Saat itu, Ia beserta rekan-rekannya di PETA harus memilih berada di sisi mana: sekutu atau Republik Indonesia yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya. Dan Ia memilih berada di pihak republik dengan bergabung bersama Barisan Keamanan Rakyat dengan pangkat Mayor.
Untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman sekutu, Daan Mogot kemudian mendirikan akademi militer Tangerang untuk mendidik perwira guna perjuangan revolusi kemerdekaan. Di usianya yang masih terbilang remaja, 17 tahun, Ia telah menjadi pimpinan dari sebuah akademi militer untuk orang sebayanya. Semua itu terjadi pada bulan November 1945.
Baru dua bulan akademi berjalan, Daan Mogot harus gugur setelah pecah pertempuran senjata antara pasukannya dengan pasukan Jepang yang menolak menyerahkan senjata pada Republik. Pada awal masa kemerdekaan, para tentara Jepang yang telah kalah memang dipaksa untuk menyerahkan senjatanya pada pasukan republik. Sayang, tak semua tentara Jepang mau menyerahkan senjatanya, seperti yang terjadi di Lengkong ini.
Semua bermula dari upaya perundingan agar tentara Jepang menyerahkan senjatanya secara sukarela. Namun kala perundingan antara Daan Mogot dan pimpinan tentara Jepang berlangsung, di luar justru pecah pertempuran antara pasukannya dengan tentara Jepang. Berada di markas musuh dengan persenjataan yang terbatas menjadi alasan kekalahan mereka. Daan Mogot tewas, beserta rekan dan anak-didiknya.
Beberapa hari kemudian mereka yang tewas dimakamkan di dekat penjara anak Tangerang yang kini menjadi Taman Makam Pahlawan Taruna. Dalam pemakaman itu hadir petinggi militer Tangerang juga tokoh seperti Sutan Sjahrir.
Puluhan tahun berlalu, Daan Mogot pun diangkat menjadi Pahlawan Nasional Nasional karena jasanya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di Lengkong, tepat di lokasi pertempuran tersebut terjadi juga didirikan sebuah monumen yang dinamakan Monumen Lengkong. Tanggal 25 Januari yang menjadi hari saat pertempuran itu terjadi juga diperingati sebagai Hari Bakti Taruna Akademi Militer.
Dan tak ketinggalan, tentu saja, nama Daan Mogot turut diabadikan sebagai nama jalan yang membentang sepanjang Kota Tangerang dan Jakarta Barat. Sebuah jalan penting yang tak pernah sepi walau macet dan banjir menghadang. Tidak pernah sepi walau tak ada yang tahu siapa pejuang tampan asal Minahasa yang menjadi nama jalan tersebut.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang