Aditia Purnomo

Hampir semua penelitian soal rokok menyebutkan hal-hal yang negatif. Mulai dari rokok itu mematikan hingga mengandung darah babi. Dari sekian banyak penelitian itu, ada yang kemudian terbantah dengan sendirinya melalui penelitian lain yang berhasil membuktikan jika hal-hal negatif itu palsu. Misal, tentu saja, hasil penelitian MUI dan BPOM RI yang menyebut jika darah babi tidak terkandung di filter rokok.
Kampanye negatif dan hoax soal rokok ini biasanya dikutip dengan sumber penelitian dari luar negeri. Entah Kanada atau negara lain. Jarang sekali ada penelitian terkait yang dilakukan di Indonesia. Sekalinya ada, ya penelitian yang membantah asumsi soal rokok selama ini dari MUI dan BPOM RI tadi.
Selain kampanye negatif yang sudah dijelaskan tadi, ada juga satu riset yang tidak masuk akal dan direproduksi sebagai bahan untuk membuat masyarakat membenci rokok. riset tersebut menyebut kalau rokok bisa membuat seseorang menjadi bodoh. Lebih tepatnya membuat laki-laki menjadi bodoh. Benarkah begitu?
Entah apa saja yang dijadikan indikator dalam penelitian itu hingga menyebut rokok dapat membuat orang menjadi bodoh. Tapi satu hal pasti, hampir semua penelitian tentang rokok dibuat dengan target untuk mendiskreditkan rokok. Sudah begitu saja.
Misalkan kampanye soal rokok menyebabkan penyakit jantung atau kanker. Padahal ya tidak semua penyakit jantung atau kanker. Namun dalam riset yang dilakukan, orang-orang yang sakit tersebut cukup ditanyai dua hal, apakah Anda merokok atau apakah Anda tinggal di lingkungan perokok. Jika salah satu jawabannya adalah iya, maka (dalam riset) rokok dipastikan menjadi penyebab penyakit Anda.
Pun dengan urusan rokok membuat orang menjadi bodoh. Walaupun ada riset yang menyebut demikian, tapi dapatkah hal itu kita percayai?
Jika memang betul rokok membuat orang menjadi bodoh, tidak mungkin kita menyebut Albert Einstein sebagai seorang jenius karena Ia adalah seorang perokok. Ia menemukan beberapa teori seperti teori relativitas juga persamaan massa dan energi. Karena keberadaannya, dunia sekarang mengenal teori yang akrab dengan simbol E = mc2. Mana mungkin Einstein bisa jadi jenius jika Ia adalah perokok?
Begitulah kiranya cara terbaik kita membaca suatu riset terkait rokok. Perlu banyak dikritisi. Seperti tadi saya katakan, tak mungkin Einstein disebut jenius mengingat dirinya adalah seorang perokok. Itu pun jika kita benar-benar mau mempercayai hasil riset tadi ya.
Tidak semua riset itu bisa kita percaya. Apalagi secara empirik kita tahu, kalau rokok justru dijadikan sebagian orang sebagai katalisator untuk mendapatkan inspirasi. Setidaknya, rokok dijadikan alat yang dapat memperbaiki mood mereka untuk berkarya.
Jika dirasa EInstein itu adalah sosok yang terlalu jauh dengan kita, maka marilah kita sebutkan banyak perokok pilih tanding yang ada di Indonesia. Proklamator sekaligus bapak bangsa kita, Soekarno, adalah seorang perokok. Ada juga diplomat ulung yang fasih beragam bahasa, Haji Agus Salim, yang merupakan kretekus sejati. Atau ada seorang penulis hebat yang karyanya diakui dunia, dan seseorang yang masih meminta Djarum Super tatkala sakit di akhir usianya, Pramoedya Ananta Toer.
Apabila benar rokok menyebabkan orang menjadi bodoh, bisa jadi Indonesia ini belum merdeka. Tak mungkin Agus Salim bisa menjalankan diplomasi karena Ia adalah orang yang bodoh. Atau tak mungkin Pram menjadi penulis sehat karena kebiasaan merokoknya. Tapi ya kita tahu kalau Soekarno, Agus Salim, dan Pram adalah orang-orang hebat yang memiliki kecerdasan tanpa perlu dibantah.
Jadi, benarkah rokok membuat orang menjadi bodoh?
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Saat kecil dulu, agaknya saya bukanlah anak yang kerap dibacakan dongeng oleh orang tua. Sejauh saya mengingat, ibu dan bapak sibuk bekerja. Mereka berangkat pagi dan pulang jelang magrib. Ketika tidak ada mereka di rumah, saya hanya ditemani seorang pembantu rumah tangga yang siap sedia mengurus rumah.
Karenanya, teori teman terhadap saya jelas-jelas keliru. Seorang kawan pernah mengatakan kalau seseorang yang gemar membaca itu hampir pasti kerap didongengi orangtuanya saat kecil. Dan Ia menuduh saya begitu, katanya sih saya maniak buku. Padahal ya, sejauh ingatan yang terekam berhasil saya gali, saya lebih banyak mengingat saat-saat dimarahi kedua orang tua.
Kalaupun dianggap sebagai orang yang gemar membaca, ya tidak juga berarti saya pasti didongengi orang tua. Meski ya kedua orang tua saya rasanya tetap menjadi faktor penting kenapa saya gemar membaca sejak kecil. Meskipun tidak dilakukan secara langsung.
Ketika masuk sekolah dasar dan mulai bisa banyak membaca kata, orang tua saya membelikan saya bacaan agar saya tidak terlalu sering keluar rumah. Alhasil, ketika strategi ini sukses, saya mulai dilanggankan majalah Bobo oleh ibu saya. Dan sejauh ingatan saya, inilah hal pertama yang membuat saya menjadi dekat kepada buku.
Membaca majalah Bobo adalah sebuah upaya untuk mendapatkan lanjutan kisah dari Bona dan Rongrong. Selain itu, saya juga menggemari cerita dari Nirmala dan Oki serta beragam cerpen yang disajikan majalah itu. Apalagi ketika majalah ini punya kisah bersambung dari Deni si Manusia Ikan, bahkan ketika orang tua saya tidak lagi membelikan Bobo, saya justru bersemangat menyisihkan uang untuk membelinya sendiri.
Setidaknya, rasa penasaran dari kelanjutan kisah mereka telah membawa saya pada satu fase penting untuk menggemari kegiatan ini. Inilah hal pertama yang membuat saya gemar membaca.
Hal kedua yang turut berjasa tentu saja kebiasaan menonton kartun di Indosiar dan kemauan bapak untuk membelikan komik Dragon Ball. Pada saat generasi saya kecil dulu, hari minggu adalah surga. Ia adalah pengecualian dari segala kesenangan kami. Jika di hari biasa kami harus digeprak agar bangun pagi, maka pada hari minggu kami dengan senantiasa bangun sejak subuh untuk bersidekap di depan televisi. Tentu saja, untuk menyaksikan kartun dan tontonan anak kecil lainnya.
Karena kegemaran menonton kartun inilah, saya kemudian meminta bapak untuk membeli komik-komik seperti Dragon Ball atau Yu Gi Oh yang jadi favorit generasi kami saat itu. Dengan kehadiran komik-komik tersebut, gairah membaca saya menjadi semakin tinggi dan yang terpenting, saya menemukan kesenangan dari aktivitas ini.
Dan hal yang terakhir, kali ini saya harus berterimakasih pada sekolah dasar saya, buku-buku cerita nusantara yang ada di perpustakaan sekolah saat saya masih SD. Dulu ada satu materi tambahan, yakni komputer, yang harus saya ambil di luar jam sekolah. Dan jadwal materi tambahan itu jaraknya tidak berdekatan dengan waktu sekolah. Alhasil, saya harus menunggu sekira 1 jam untuk menyelesaikan urusan tersebut.
Sembari menunggu itulah saya kerap datang ke perpustakaan sekolah yang kecil dan berada di pojokan itu. Walau kecil dan sepi, tapi saya menyenangi hadir di tempat tersebut. Setidaknya saya tahu cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis itu dari perpustakaan ini. Karena kebutuhan menunggu dan ketersediaan buku cerita yang banyak, akhirnya saya menjadi orang yang semakin senang dengan aktivitas ini.
Jadi, jika ada orang yang bertanya kenapa sih saya bisa jadi orang yang gemar membaca, setidaknya ketiga hal tadi adalah faktor-faktor penting yang membuat buku menjadi barang penting buat saya. Dan harus saya akui kalau jargon pentingnya membaca sejak kecil itu adalah yang yang benar. Karena memang, semua hal yang memuat saya gemar membaca terjadi ketika saya masih berada di bangku sekolah dasar.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Ibarat Tinder, Go-Food adalah layanan yang tepat bagi para pencari kuliner nikmat seperti saya. Menemukan makanan enak di Jakarta sebenarnya tidak sulit. Namun dasar pemalas, bukannya keluar untuk mencari, saya lebih senang menggunakan layanan ini untuk bertaruh jika tempat makanan yang saya pesan punya citarasa yang baik.
Seperti itulah kiranya nasib mempertemukan saya dengan Ayam Bakar Dalang. Iseng-iseng cari makanan enak, lihat promo gratis ongkir, dan bonusnya: pesanan saya ternyata makanan enak. Sepotong paha ayam bakar, lengkap dengan nasi, sambal dan lalapan. Sebuah paket hemat yang menyenangkan untuk makan siang.
Tapi cuma itu yang yang membuat saya tertarik dengan warung ini. Di nota dari mamang gojek, terdapat satu slogan yang agak nyeleneh. Jika tempat makan lain kerap mengklaim masakannya adalah yang terenak, warung ini justru memilih untuk menjadi yang terenak kedua. “Ayam bakar paling enak nomor dua,” begitu tulisnya.
Sebuah anomali, memang. Hal ini membuat saya ingin berkunjung ke warung itu. Ya kalau sudah ketemu makanan yang enak, pergi agak jauh pun tak apa. Apalagi lokasi warung ini tidak begitu jauh dari kantor saya, terbesit lah rencana untuk menyambanginya.
Mencari tempat makan enak di daerah Limo, Depok memang susah-susah gampang. Setidaknya, hanya ada tiga tempat makan enak yang saya jumpai di sana: satu Soto Ceker, satu Sego Sambal, dan terakhir ya Ayam Bakar Dalang ini. Selebihnya, tidak banyak yang menarik hati.
Satu kelebihan ayam bakar ini adalah bumbunya yang khas. Ya, khas. Manis dan gurihnya berbeda. Bumbunya meresap sampai ke dalam daging. Dan yang terpenting, walau dibakar agak gosong, rasa dari bumbunya menutup kegosongan itu sendiri. Benar-benar bumbu yang pas buat orang yang suka rasa manis.
Dua porsi ayam bakar dalang
Dua porsi ayam bakar dalang | © Aditia Purnomo
Ayam Bakar Dalang Berada di Jalan Meruyung, Depok
Ayam Bakar Dalang Berada di Jalan Meruyung, Depok. | © Aditia Purnomo
Warung ayam bakar ini berada di Jalan Raya Meruyung, tepatnya sebelum belokan Kantor Urusan Agama Limo. Tempatnya tidak besar, malah sederhana. Cuma memiliki empat meja yang khas seperti warung pinggiran jalan. Tapi jangan salah, dalam sehari warung ini bisa menghabiskan 80 ekor ayam dan 50 ekor bebek. Selain menjadi salah satu favorit para pengguna jasa Go-Food.
Sebagai pelengkap menu ayam bakarnya, warung ini membuat satu paket hemat yang diisi nasi, ayam bakar, ditambah satu tahu/tempe yang boleh digoreng atau dibakar. Kalau saya sih lebih senang dengan tahu bakarnya, karena memang bumbu bakar di sana membuatnya menjadi lebih enak. Dengan paket seharga 18 ribu, Anda sudah bisa menikmati satu porsi ayam bakar enak yang dilengkapi dengan sambal dalang.
Satu hal lain yang membuat warung Ayam Bakar Dalang layak dijadikan favorit adalah sambalnya. Yap, sambal dalang andalan warung ini memiliki rasa pedas yang pas dan gurih. Menurut pengakuan penjualnya, sambal yang mereka buat selalu segar karena hanya digunakan dalam jangka waktu satu hari. Jadi sambalnya tidak disimpan-simpan apalagi diberikan pengawet.
Jikalau pengunjung berharap satu menu yang bisa membuat mereka kepedesan, warung Ayam Bakar Dalang punya satu andalan lain yakni Bebek Penyet Dalang. Dua keunggulan utama dari bebek dalang adalah, bebek goreng empuk dan gurih dipenyet dengan sambal cabai yang pedas tapi nikmat. Paduan maut yang bikin perut mulas dan puas. Tapi tenang saja, kalau memang pengunjung tidak tahan pedas, Anda bisa memesan bebek goreng dengan sambal dalang.
Meski memiliki menu-menu andalan yang menggugah selera, warung ini tak mau jumawa terhadap para pelanggannya. Mereka tak mau mengaku diri sebagai warung makan terenak atau semacamnya. “Karena yang mengklaim diri nomor satu sudah banyak, cukuplah kita menjadi nomor dua saja,” ujar pengelola warung ini.
Pertama terbit di situs Minum Kopi