Aditia Purnomo

Satu hal negatif yang kerap diasosiasikan dengan gerakan literasi adalah kebiasaan meminta-minta. Tentu saja kabiasan ini bukan hanya persoalan gerakan iterasi, tetapi juga banyak gerakan lainnya. Hal yang kemudian dianggap lumrah sebagai kebiasaan masyarakat kita.
Akibat kebiasaan semacam ini, harkat dan martabat kemudian menjadi turun. Apalagi, jika kelompok tersebut terbiasa mendapatkan bantuan (dana dan yang lainnya) dari pemerintah. Mengingat bantuan yang selama ini mereka nikmati, hampir pasti, mereka tidak bisa mendorong kebijakan ataupun sekadar mengkritik pemerintah.
Hal seperti itulah yang coba diberantas gerakan hari ini. Gerakan, literasi ataupun yang lain, harus bisa berjalan secara mandiri. Bukannya tidak boleh mendapat bantuan, tapi jika mengharapkan, tentu saja itu adalah hal yang tidak baik. Karena, bagi pimpinan Pustaka Bergerak Indonesia Nirwan Ahmad Arsuka, mengharap bantuan pada pemerintah sama saja dengan mengharapkan kematian bagi gerakan literasi.
“Jangan pernah berharap bantuan pada pemerintah, karena itu mematikan,” ujar Nirwan dalam Pidato Kebudayaan di Penutupan Festival Literasi Tangsel 2018.
Pada pidato kebudayaan tersebut, Nirwan menyampaikan satu gagasan yang sebenarnya sederhana, tapi sebenarnya begitu fundamental. Bagaimana maksud baik membangun satu gerakan literasi harusnya dibarengi dengan upaya yang baik juga dalam menghidupi gerakan. Jangan sampai, seperti kata WS Rendra, maksud baik tidak selalu berguna.
Gerakan literasi harus mandiri, harus mampu menghidupi gerakannya agar kemudian tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun. Apalagi, kebiasaan mengharap bantuan itu hanya akan menjadi satu hal yang bakal memecah kelompok literasi. Karena, nantinya satu kelompok bakal saling sikut dalam kompetisi untuk mendapatkan bantuan pemerintah yang (sebenarnya) jumlahnya tidak seberapa itu.
Jika sesama kelompok literasi sudah saling sikut demi bantuan, tentunya bakal ada preseden yang buruk bagi gerakan. Apalagi, sebagai sesama pegiat, harusnya solidaritas dan kerja sama adalah hal yang lebih diutamakan. Saling bantu dan menghidupi akan menjadi hal yang lebih penting ketimbang bantuan dana (sesaat) yang diberikan dengan memakan bangkai saudara sendiri.
Karenanya, gerakan literasi harus dibangun secara mandiri. Manfaatkan segala hal yang kita miliki untuk bergerak. Kalau punya perahu, gunakan untuk literasi. Kalau punya motor, gunakan untuk literasi. Kalau punya sepeda, gunakan untuk literasi. Kalau tidak punya apa-apa, gunakan tenaga dan pikiran kita untuk membantu gerakan yang sudah ada.
Bangun unit usaha berbasis keterampilan yang dimiliki anggota kelompok. Kalau bisa menulis, buat naskah bagus hingga bisa dijual ke media. Kalau punya kemampuan fotografi atau editing video, gunakan demi kepentingan kelompok juga. Jangan cuma mau dapat ilmu di gerakan literasi, tapi tidak mau ikut menghidupi komunitas dari kemampuan kita sendiri.
Dengan kemandirian, gerakan bisa berjalan dengan nafas yang lebih panjang. Tak perlu lagi mengharapkan bantuan. Karena gerakan yang baik itu tidak pernah meminta bantuan. Justru akibat gerakan yang kiita lakukanlah, bantuan bakal datang kepada kita. Setidaknya, dari masyarakat sekitar yang benar-benar merasakan manfaat dari keberadaan gerakan ini.
Berdasar pengalaman para simpul Pustaka Bergerak, bantuan dari masyarakat adalah hal nyata yang dapat kita rasakan. Misalkan teman-teman Motor Pustaka yang tidak diperbolehkan membayar bensin oleh pengusaha bahan bakar setelah bertugas. Atau anggota gerakan yang tidak diizinkan membayar makan di warung setelah membuka lapak. Tanpa diminta pun, masyarakat bakal ikhlas membantu selama gerakan itu nyata dirasakan mereka.
Pun kalau gerakan sudah bagus, bisa jadi pemerintah malah mau memberikan bantuan kepada kita tanpa diminta atau diharapkan. Toh dengan kerja organisasi yang baik, saya kira pantas saja ada gerakan yang mendapat bantuan. Tapi ingat, jangan sampai gerakan dibangun dengan angan dan harap mendapat bantuan. Anggap saja, kalau dapat bantuan pemerintah, itu adalah bonus dari kerja keras kita.
Kalau sudah mandiri, gerakan literasi bakal memiliki strata atau kelas sosial yang tidak berbeda dengan pemerintah. Hingga nantinya, kita sebagai bagian dari gerakan bisa mendorong kebijakan atau mengkritik kerja pemerintah yang tidak tepat dalam urusan literasi. Dengan tidak meminta bantuan, gerakan literasi telah melakukan upaya untuk menyetarakan status mereka dengan pemerintah.
Kalaupun mendapat bantuan, itu tidak bakal mengubah posisi dan status kita di hadapan pemerintah. Lagipula, dengan organisasi yang mandiri, bantuan pemerintah bukanlah hal genting yang perlu kita dapatkan. Apalagi, bantuan pemerintah itu selalu ada batasnya. Kalaupun saat ini ada bantuan datang, belum tentu kemudian bantuan bakal hadir di tahun depan atau depannya lagi. Ingat, bantuan itu fana, semangat juang dan solidaritaslah yang abadi.
Kalau boleh jujur, kekalahan dari Persiraja Banda Aceh membuat kemungkinan lolos Persita semakin mendekati nol. Ya, saat ini, saya kira kemungkinan lolosnya Persita ke Liga 1 tinggal 10%. Itu pun kalau hari minggu nanti Persita bisa mengalahkan Persiraja di kandang sendiri.
Di atas kertas, boleh jadi Persita diunggulkan. Tampil di hadapan pendukung sendiri membuat semangat tim sepak bola Indonesia meningkat. Hal lain yang terdukung, kemungkinan wasit untuk lebih menguntungkan tim tuan rumah masih biasa terjadi di liga Indonesia. Kalau tidak percaya, silakan tanya pada pelatih klub yang kerap protes wasit (hampir) selalu menguntungkan tuan rumah.
Dari rekam pertemuan dengan Persiraja musim ini, Persita boleh jadi bakal kalah pada hari minggu nanti. Mengingat pada Babak Wilayah Liga 2 Persita hanya bisa mendapat satu poin hasil seri ketika bermain di kandang. Lagipula, pada laga minggu nanti ada beberapa pemain yang diragukan tampil seperti Ledi Utomo dan Egi Melgiyansah karena cedera.
Tapi, persoalan yang ada di atas bukan menjadi faktor kunci buruknya performa tim ini. Ketika berhadapan dengan PSS Sleman akhir Oktober lalu, Ledi Utomo kerap melakukan kesalahan yang membahayakan gawang Persita. Kemudian, kiper Yogi Triyana juga melakukan satu kesalahan fatal yang berakhir bobolnya gawang Persita.
Memang sih, Ledi adalah pemain penting di lini belakang. Ia menjadi andalan tim dalam menghadapi bola-bola udara. Sementara Yogi kerap melakukan penyelamatan yang krusial. Sayangnya, konsistensi adalah musuh keduanya. Ledi semakin lambat bergerak, sementara Yogi beberapa kali kedapatan blunder. Itu belum ditambah kurang padunya Ledi dengan Rio Ramandika yang kerap membahayakan gawang sendiri.
Maju ke lini tengah tim Persita, Egi yang menjadi kapten telah kehilangan sebagian besar kemampuan. Badannya semakin besar, larinya semakin pelan. Saat pertandingan melawan Perserang Serang di laga pamungkas Babak Wilayah, Ia terlihat kepayahan mengejar pemain lawan. Sementara Adit Gigis juga tidak punya visi membangun serangan yang baik. Ade Jantra, kadang bermain bagus kadang ya kita sama-sama tahu. Kurang daya gedor untuk menyuplai bola ke depan.
Jika ada pemain yang paling konsisten di Persita, mungkin hanya Diego Banowo yang mampu melakukannya. Visi bermainnya baik, secara posisi juga teknik. Ketika suplai bola kurang, Ia tak ragu bermain melebar agar bisa mendapatkan bola. Sayangnya, sepak bola bukanlah permainan satu orang. Butuh satu tim yang padu agar dapat menaikan performa klub.
Hal ini menjadi faktor utama kenapa potensi lolos ke Liga 1 bagi Persita boleh dikata hanpir mustahil. Apalagi, dari sisa tiga laga, dua pertandingan harus dilakoni secara tandang. Jadi, kalau pun lolos dari sergapan Persiraja di kandang, kemungkinan besar Persita bakal dikalahkan dua tim unggulan; PSS Sleman dan Madura FC pada laga tandang. Mungkin hanya keberuntungan yang bisa membuat Persita lolos ke Semifinal, itu pun bakal langsung keok.
Semua prediksi tadi bakal terwujud apabila Persita gagal memperbaiki performanya. Selama lini belakang masih mudah kocar-kacir dan gampang ditembus lawan, lini tengah melulu gagal menahan gempuran serta sulit membangun serangan, kemudian lini depan ya begitu-begitu saja, tidak ada kreasi dalam merobek jala lawan.  Agaknya mimpi lolos Liga 1 masih terlalu jauh untuk dicapai.
Pertama terbit di Baca Tangerang
Perayaan Hari Buku Nasional 2017 merupakan salah satu sebuah kado indah bagi perjuangan pegiat literasi. Di hari itu, pemerintah Republik melalui PT Pos Indonesia, bekerja sama dengan Pustaka Bergerak, menggelar program pengiriman buku gratis dengan tajuk free cargo literacy. Program ini berlaku di tanggal 17 setiap bulannya, dan telah berjalan sekira 18 bulan.
Keberadaan program ini sendiri menjadi anugerah bagi para pegiat literasi. Menggratiskan pengiriman buku sama saja mengurangi beban biaya untuk mendistribusikan donasi buku ke berbagai pelosok nusantara. Betapa sangat terbantunya teman-teman pegiat di ujung nusantara yang bisa mendapatkan kiriman buku dari teman-teman pegiat yang lain. Betapa bahagianya anak-anak yang akhirnya bisa mendapatkan kesempatan untuk membaca.
Askses dan mahalnya biaya distribusi menjadi dua dari sekian persoalan para pegiat literasi di pelosok nusantara. Bagaimana, mereka dan taman bacaannya kekurangan buku dan fasilitas penunjang untuk mengajak anak-anak di tempat mereka gemar membaca. Bagaimana, mereka harus mengeluarkan biaya besar jika ingin mendatangkan buku-buku berkualitas dari pusat kekuasaan di Jawa sini.
Mungkin, hal semacam ini tidak pernah terbayangkan bagi masyarakat. Bagaimana teman-teman pegiat Taman Baca Masyarakat Bina Generasi di Cinangka Serang, Taman Bacaan Cinta Baca Masni di Papua Barat, Komunitas Rumah Relawan Remaja di Aceh, serta beragam TMB dan Rumah Baca lainnya akhirnya bisa mendapat bantuan buku dari masyarakat. Akhirnya, ada juga pihak yang mau memperhatikan kebutuhan banyak taman baca.
Sejauh ini, telah diterbangkan 289 ton buku ke seluruh penjuru nusantara. Dari ujung barat hingga timur Republik ini, dari utara hingga selatan semua akhirnya mendapatkan kesempatan dikirimi buku donasi. Dan hal ini hanya dapat terjadi karena PT Pos Indonesia mau menggratiskan pengiriman donasi buku bagi seluruh simpul Pustaka Bergerak.
Karenanya ketika PT Pos Indonesia mengeluarkan wacana untuk memberhentikan sementara program pengiriman buku gratis ini, seluruh pegiat literasi berteriak. Tidak, jangan, tolong teruskan. Begitu kira-kira suara yang disampaikan para pegiat literasi. Meski kemudian kita sama-sama tahu, PT Pos tidak salah, mengingat beban besar yang telah dikeluarkan selama ini hanya ditanggung mereka sendiri.
Awalnya, beban biaya pengiriman buku gratis ini bakal dibebankan pada beberapa pihak. Bukan hanya PT Pos semata. Sayangnya, hingga hari ini, bantuan terhadap PT Pos tak kunjung datang. Tak pernah ada bahasan dari pemerintah melalui Kementerian BUMN untuk membantu PT Pos agar terus menerbangkan donasi buku ke seluruh pelosok negeri.
Melihat hal ini, tentu saja, saya tidak bisa tidak marah kepada negara. Ternyata, kebijakan yang kiranya datang dari mereka justru dibebankan hanya kepada PT Pos. Tidak pernah ada bantuan, atau subsidi bagi PT Pos. Yang ada hanya pujian dan ucapan selamat, yang tentu saja, ke depannya terbebani hingga membuat buku-buku itu sulit terjangkau ke pelosok negeri.
Untuk mengatasi hal ini pemerintah jelas harus memberi subsidi melalui alokasi di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tanpa melakukan ini, tentu saja PT Pos bakal kesulitan meneruskan program yang amat berharga ini. Atau setidaknya, jika memang pemerintah tidak mau ‘membebani’ APBN dengan alokasi anggaran untuk hal ini, berikan perintah pada Kementerian BUMN agar memberi alokasi dana lebih untuk PT Pos guna melanjutkan pengiriman buku gratis ini.
Apabila tindakan seperti itu tidak dilakukan pemerintah, bisa jadi program Free Cargo Literacy tidak akan dilanjutkan oleh PT Pos Indonesia. Dan jika hal itu terjadi, gerakan literasi yang sepanjang dua tahun ini tumbuh subur mungkin bakal layu karena kurang kiriman buku. Dan jika hal ini terjadi, kita sama-sama tahu siapa yang menjadi dalang bagi upaya untuk mematikan gerakan literasi seperti sekarang.
Dalam sekian banyak diskusi juga obrolan tentang sastra atau literasi, kerap bahasan tentang bagaimana cara menjadi penulis yang baik. Diberikan beragam tips untuk menjadi penulis, dimulai dengan banyak membaca, dan diakhiri dengan bagaimana kualitas tulisan ditentukan oleh seberapa banyak bacaan yang telah kita khatamkan.
Kebanyakan dari kita tentu mengamini hal tersebut. Sembari mangut-mangut, kita menyadari bahwa tak mungkin menjadi penulis yang baik tanpa bisa membaca. Formulanya jelas, bisa membaca dulu baru kita bisa menulis. Menjadi pembaca yang baik dulu, baru kita bisa menulis dengan baik. Persoalannya, seberapa banyak waktu yang kita berikan kepada urusan membaca?
Hidup di zaman perbudakan oleh korporasi, waktu kita sebagian besar dihabiskan untuk bekerja. Sebagian lainnya, dimakan oleh perjalanan pulang pergi ke kantor. Kemudian, sedikit waktu istirahat dan bercengkerama dengan keluarga. Lalu, kapan waktu khusus untuk membaca dialokasikan?
Ini yang menjadi masalah kebanyakan kita hari ini. Memiliki sekian banyak buku, tapi hampir tidak memiliki waktu untuk membacanya. Punya angan dan harapan bisa menulis baik, tapi belum bisa menjadikan diri sendiri sebagai pembaca yang baik. Tapi, apa bisa kita menjadi pembaca yang baik dengan sedikit waktu yang kita punya?
Pada dasarnya, membaca adalah hal yang menyenangkan. Jadi, jangan bebani diri Anda untuk melahap bacaan yang tidak Anda suka. Baca saja buku yang kira-kira dapat menyenangkan diri terlebih dahulu. Kalau sudah terbiasa, barulah buat kesempatan untuk membaca buku-buku lainnya.
Ada baiknya, sebelum memulai ritual membaca, kita membuat kondisi yang senyaman mungkin terlebih dahulu. Buatlah kopi atau the sebagai teman membaca. Boleh juga ditambahkan camilan. Cari tempat yang membuat Anda nyaman ketika membaca. Asal, jangan kemudian lebih banyak caminlan yang Anda habiskan ketimbang halaman yang Anda baca. Atau jangan sampai kenyamanan itu hanya membuat Anda tertidur.
Kemudian, membaca adalah persoalan komitmen. Bagaimana kita mau memaksa diri untuk terus meluangkan sedikit saja waktu untuk aktivitas ini. Tidak perlu memaksa diri untuk membaca puluhan buku dalam satu bulan. Nikmati saja proses membaca (setidaknya) 50 halaman dalam satu hari. Seandainya hal tersebut konsisten dilakukan, setidaknya dalam satu bulan kita bisa menghabiskan 4-5 buku.
Untuk perkara ini, keraslah sedikit pada diri sendiri. Kalau tidak bisa, minta bantuan orang-orang di sekitar kita untuk mengingatkan komitmen membaca ini. Pada urusan ini, satu cara yang saya lakukan adalah dengan membangun satu komunitas yang mampu menjadi pengingat bahwa kita memiliki komitmen untuk menghabiskan setidaknya satu buku per pekan.
Keberadaan lingkungan yang suportif pada aktivitas ini memang menjadi hal penting. Selain mampu menekan Anda untuk menjalankan komitmen membaca, kelompok ini bisa menjadi sarana curah gagasan terkait hal-hal yang baru saja kita baca. Karena, menceritakan apa yang kita baca pada orang lain dapat menjadikan kita benar-benar memahami dan mengingat hal yang kita baca.
Kalaupun tidak memiliki komunitas atau lingkungan yang suportif, ya proses ini juga tetap bisa dilakukan. Cari saja teman yang mau mendengarkan ceritamu, dan curahkan hasil bacaanmu. Yang pasti, dengan berdiskusi seperti ini, kita bakal bisa lebih memahami apa yang kita baca.
Terakhir, setelah melakukan sekian proses tadi, jadikanlah bahan yang telah kalian baca sebagai sebuah tulisan. Dengan menulis, proses curah gagasan juga dapat dilakukan. Hal ini bisa memudahkan kita untuk menstrukturkan gagasan yang telah kita dapatkan dari membaca (baik teks juga konteks), agar nantinya kita bisa menguasai hal yang hendak kita sampaikan tersebut.
Pertama terbit di Baca Tangerang 
Langit sore itu agak mendung. Dari arah selatan, terlihat langit makin gelap. Sementara di utara, langit menampakkan terangnya. Kondisi sore itu persis seperti perasaan saya, dan (mungkin) sebagian pendukung Persita lainnya.
Oktober tahun lalu adalah masa-masa yang kelam. Persita gagal lolos ke Delapan Besar Liga 2. Yang menambah perih, pada laga penentuan, Persita dikalahkan PSMS Medan lengkap dengan dimatikannya seorang saudara kami bernama Banu Rusman oleh para suporter ‘arahan’ milik PSMS Medan. Gagal lolos mungkin bisa dicoba kembali, tapi hilangnya nyawa Banu, siapa bisa hidupkan kembali?
11 Oktober lalu tepat satu tahun kematian Banu. Setahun yang suram tanpa ada kejelasan siapa matikan Banu dan siapa mau bertanggungjawab atas nyawa yang hilang. Protes dan tuntutan telah dilayangkan, tapi siapa bisa (atau mau) adili tentara, eh pendukung ‘arahan’ PSMS Medan, lah Ketua PSSI saja dari militer dan jadi pembina PSMS. Sejauh apa yang telah terjadi hingga kini, kematian Banu agaknya tak bakal membuat siapapun dihukum.
Langit makin mendung, harapan tetap dipupuk
Sore itu (15 Oktober 2018) di rumah yang baru, setelah setahun penuh mendung dan kabung, Persita mengusung asa lolos ke Delapan Besar Liga 2 pada laga pamungkas di Wilayah Barat. Menghadapi Perserang, Persita harus mendapatkan setidaknya 1 poin agar bisa mengamankan posisi 4 besar sebagai syarat lolos ke Delapan Besar.
Pada akhirnya, awan mendung sore itu tidak menumpahkan hujan. Langit tak mau melulu dirundung mendung. Pun duka kematian Banu yang tidak terobati itu harus segera dienyahkan. Harapan harus terus dipupuk. Dan lolos ke Delapan Besar bakal menjadi hadiah manis untuk peringatan setahun kepergiannya.
Persita berada di posisi yang sedikit menguntungkan. Bermain di rumah sendiri, berlaga di hadapan ribuan pendukung, memiliki selisih gol yang cukup dan rekor kandang tandang yang lebih baik dari para pesaingnya. Meski begitu, kemenangan menjadi target yang harus dicapai untuk mendapatkan hasil akhir paling manis. Menang, dan mutlak lolos ke Delapan Besar.
Sayangnya, permainan Persita memang masih begitu-begitu saja. Lini tengah masih mudah kehilangan bola, operan kadang salah sasaran, dan lini depan yang masih mentok dengan pertahanan ketat Perserang. Beruntung, tim lawan juga tidak mampu menampilkan permainan yang baik, setidaknya hingga babak pertama berakhir.
Koreo tribun utara, demi promosi ke Liga 1
Masuk ke paruh kedua, Persita makin menekan. Serangan demi serangan dilancarkan. Satu dua tembakan berhasil digagalkan kiper lawan. Dan akhirnya sebuah tendangan sudut dari Egi Melgiansyah berhasil ditanduk oleh Ryan Kurnia pada menit ke-50. Satu gol Persita unggul.
Hasrat menang mutlak membuat Persita melulu menyerang. Kebiasaan semacam ini sering membuat mereka lupa akan satu hal, pertahanan yang diperagakan Persita juga tidak baik-baik amat. Ledi Utomo sudah mulai tua, Rio Ramandika sekali dua membiarkan penyerang lawan melewatinya. Egi yang menjadi gelandang bertahan sekaligus kapten pun makin kesulitan bergerak dan mencari ruang.
Hal ini kemudian dimanfaatkan Perserang untuk mencuri angka dalam satu kesempatan. Hanya satu kesempatan. Mendapatkan operan di ruang kosong yang tak dijaga pemain Persita, pada menit ke-82 Suwandy melakukan tendangan jarak jauh yang membentur tiang dalam. Meski bola kembali ke lapangan, tetapi pantulan bola telah melewati garis gawang. Skor 1-1 kemudian bertahan hingga akhir laga.
Saat pertandingan berakhir, para permain terduduk lesu. Aceh United dan Persiraja mendapatkan poin penuh. Artinya, poin yang dimiliki 4 tim yang bersaing sama-sama 35. Itu pun kalau Persis Solo tidak berhasil dikalahkan oleh Semen Padang. Beruntung, Semen Padang berhasil menang mutlak atas Persis dan memuncaki klasemen wilayah barat.
Begitu pengumuman ini disampaikan, yang artinya Persita berhasil lolos ke Delapan Besar, seluruh stadion bergemuruh. Pemain, pengurus klub, dan para pendukung larut dalam kebahagiaan. Ini adalah kado yang membahagiakan buat para pendukung Persita. Walau jalan menuju Liga 1 amat berat, setidaknya kita masih bisa memupuk asa untuk melangkah.
Apalagi, keberhasilan ini tersaji di rumah sendiri. Ya, ini adalah laga keempat Persita di Stadion Benteng Taruna (atau Sport Center Kelapa Dua, belum jelas mana yang nama resmi). Maklum, setelah 6 tahun menjadi musafir akibat Fatwa Haram MUI Tangerang yang mengharamkan pertandingan sepak bola di Stadion Benteng (lama), Persita juga Persikota harus menjadikan stadion lain sebagai kandangnya. Selama itu juga, tidak ada lagi pertandingan resmi yang berlangsung di Tangerang.
Satu hal yang masih mengganjal hati saya hanyalah, seandainya sejak musim lalu Persita diperbolehkan main di Tangerang mungkin saja nyawa Banu tidak perlu melayang. Ya, selama bertahun-tahun para pendukung Persita tetap setia menyaksikan laga kandang yang dilakukan, entah di Stadion Mini Cibinong atau Singa Perbangsa Karawang. Seandainya laga lawan PSMS Medan tahun lalu dilangsungkan di Tangerang, akankah ada orang yang berani mengerahkan aparat untuk mendukung PSMS dan berhadapan dengan puluhan ribu Benteng Viola? Entahlah.
Tapi satu hal yang patut kita syukuri adalah, sepak bola Tangerang telah pulang ke rumah. Persita tak lagi perlu berlaga di kota orang, para pendukung pun tidak perlu takut mendukung tim kesayangannya. Kini, kita sudah bermain di rumah sendiri, kini kita bisa bergembira di rumah sendiri. Semoga dengan hal ini kejadian yang menimpa Banu tidak lagi terulang. Dan yang sama pentingnya, semoga Persita bisa lolos ke Liga 1 walau tentu saja, tim harus segera berbenah jika memang mau berharap promosi.
Pertama terbit di Baca Tangerang

Dari belasan ponsel flagship yang telah diluncurkan di sepanjang 2018, saya kira Samsung Galaxy Note 9 adalah yang terbaik. Tidak hanya mengandalkan spesifikasi gahar, ponsel ini juga memberikan berbagai macam fitur dan kemampuan yang paling lengkap dari semua flagship yang pernah ada. Setidaknya hal itu berlaku hingga Huawei meluncurkan ponsel flagship paling anyarnya, Huawei Mate 20 Pro.



Ponsel flagship anyar Huawei ini baru saja diluncurkan di London, Inggris. Meski belum keluar ke pasar, apalagi pasar (resmi) Indonesia, dari acara peluncurannya Mate 20 Pro ini memiliki beragam potensi yang bakal menjadikannya ponsel terbaik pada tahun ini.



Sebenarnya tahun ini Huawei telah mengeluarkan sebuah flagship yaitu Huawei P20 Pro. Ketika diluncurkan, flagship ini banjir pujian dan mendapatkan respon yang cukup bagus dari pasar. Mungkin, dengan meluncurkan dua seri flagship dalam satu tahun, Huawei tengah melancarkan perang urat syaraf kepada Samsung. “Hei, kami juga sanggup bikin hape flagship setahun dua kali.”



Samsung sendiri setiap tahunnya mengeluarkan dua jenis ponsel flagship dengan seri S dan Note. S9 diluncurkan di awal tahun, dan Note 9 menyempurnakan kelas flasghip dari Samsung. Asal tahu saja, sepanjang 2 pekan saya gunakan, saya kira Note 9 adalah ponsel flagship dengan kemampuan paling lengkap yang pernah ada. Setidaknya begitu pandangan saya sebelum mencoba iPhone XS dan mendengar kabar soal Mate 20 Pro ini.



Dari segi tampilan, buat saya dan banyak penggemar gawai lainnya, iPhone XS menjadi satu dari sedikit ponsel dengan kemampuan menaikkan tingkat kekerenan si pemilik. Prosesor A12 Bionic juga terlalu overkill jika kita mengacu pada skor antutu pada banyak review. Tapi dengan keluarnnya Mate 20 Pro, saya dunia ponsel bakal cenderung memilih Mate 20 Pro sebagai flagship yang paling mendekati sempurna. 



Paket lengkap, inilah yang membuat ponsel ini menjadi hampir sempurna. Mulai dari fitur Fitur IP68 yang membuatnya tahan debu dan air. Tampilan keren  dan layar dengan kualitas QHD ala-ala flagship Samsung dengan layar melengkung. Pemindai sidik jari dalam layar yang hanya ada di Mi 8 Explorer dalam kelas flagship.



Tidak hanya itu, Mate 20 Pro juga memiliki kemampuan Augmented Reality serta sensor pemindai wajah dengan kemampuan 3D seperti iPhone X. Baterai dengan kapasitas besar seperti Note 9. Memiliki NFC. Juga desain orisinil seperti yang dilakukan Oppo Find X tahun ini.



Yap, desain model baru yang ditampilkan Mate 20 Pro ini dapat terlihat pada peletakan 3 kamera + 1 lampu flash yang tidak berjejer ke bawah atau ke samping, tapi dengan tampilan mengotak seperti mata dadu. Sebuah desain yang katanya dibuat mirip dengan desain lampu mobil Porsche. Tapi yang lebih penting, kualitas kameranya tentu tidak bakal kalah dengan saudaranya si P20 Pro.



Dengan mengandalkan kamera utama beresolusi 40MP dengan sensor optik F1.8, kamera ultra wide angle 20MP, serta kamera tele 8MP dengan kemampuan tiga kali optical zoom. Sementara kamera depannya memililiki resolusi 24MP. Kualitas yang kira-kira sama dengan P20 Pro, hanya beda di desainnya saja.



Kemudian yang menarik lagi, ponsel ini memiliki fitur wireless charging dengan kemampuan tidak biasa. Bukan cuma bisa diisi dayanya, tapi Mate 20 Pro juga bisa mengisi daya ponsel lain dengan kemampuan wireless charging­-nya. Tentunya, hal ini didukung dengan baterai 4200 mAh yang mengalahkan Note 9 sebagai flagship dengan kapasitas baterai paling besar.



Untuk spesifikasi, tentu saja sebagai ponsel kelas flagship Mate 20 Pro memiliki jeroan-jeroan terbaik. Mulai dari prosesor Kirin 980, Ram 6 GB, memori internal 128 BG, serta layar OLED. Ya standar lah, standarnya flagship.



Satu lagi asyik lainnya, Mate 20 Pro sudah dipastikan bakal menjadi salah satu ponsel pertama yang menjalankan Android 9 atau Android Pie. Kepastian ini diberikan langsung oleh Wakil DIrektur Marketing Google pada saat peluncurannya kemarin. Benar-benar ponsel dengan paket yang paling lengkap. (Mendekati) sempurna lah.



Jika ada hal yang kiranya menjadi kekurangan dari ponsel ini, mungkin hanya soal harga dan brand yang mengeluarkannya. Untuk harga, ponsel ini dijual pada kisaran harga Rp 18-19 juta di pasar Eropa. Di Indonesia sendiri, belum ketahuan kapan bakal dijual resmi. Tapi, jika mengacu nilai tukar mata uang dan pajak yang berlaku, kemungkinan Mate 20 Pro bakal dijual dengan harga yang (sedikit) lebih murah. Bisa jadi ada di angka Rp 16 jutaan.



Meski bakal lebih murah sekitar Rp 2 juta dari harga Eropa, tetap saja dengan label Huawei harga segini bakal dirasa mahal oleh publik. Walau ya kualitas hapenya bagus, tapi secara merek, Huawei masih kalah dengan Samsung dan Apple. Kalau iPhone XS Max sih, biar kata harganya Rp 26 juta, orang-orang masih pada mau beli. Lah ini, Huawei.



Dan soal yang terakhir ini, ya gimana ya. Seandainya Samsung Note 9 memiliki kemampuan selengkap Mate 20 Pro, sudah pasti produk itu bakal jadi yang paling laris. Ponsel hebat dengan brand engagement yang tinggi, perpaduan yang bakal membuat ponsel (khayalan) tersebut menjadi sempurna. Kalau sudah begitu, siapa yang tidak tertarik buat membeli.



Tapi ya Huawei tidak boleh berkecil hati. Siapa tahu dengan P20 Pro dan Mate 20 Pro, brand Huawei menjadi makin terangkat dan nantinya mampu mengalahkan Samsung. Yang pasti, persaingan bakal semakin ketat dan mengasyikkan.
Minat baca di Indonesia rendah. Setidaknya, begitulah laporan dari studi study “Most Literred Nation in the world 2016”.Dalam studi itu, Indonesia dikatakan menempati urutan ke 60 dari 61 negara yang dijadikan objek studi. Artinya, Indonesia menempati juara dua dari belakang jika berbicara soal literasi dan minat baca.
Menanggapi data tersebut, para pejabat pun prihatin. Dibuatlah beragam agenda literasi untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap literasi. Tidak kalah dengan pemerintah, elemen masyarakat yang sejak lama telah memperjuangkan literasi pun menggalakkan beragam taman baca untuk masyarakat. Terakhir, kedua elemen ini (pemerintah dan masyarakat) berkolaborasi dalam program pengiriman buku gratis via PT Pos Indonesia.
Apakah hal tersebut mencukupi kebutuhan masyarakat akan literasi? Tentu saja belum. Masalah rendahnya minat baca dan minimnya aktivitas literasi masyarakat tidak melulu perkara ketidaktersediaan rumah baca atau aktivitas literasi. Tapi lebih dari itu, ada budaya yang tidak dibiasakan dengan kehidupan literasi. Apalagi, orientasi sekolah berbasis nilai memaksa para pelajar untuk mengejar nilai tinggi. Dan hal itu tidak melekatkan mereka dengan kultur literasi.
Selain itu, salah satu masalah terbesar yang membuat orang jadi malas membaca adalah kurang terjangkaunya harga buku bagi kantong masyarakat. Rerata, harga buku di Indonesia hari ini berkisar di antara Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu bergantung pada kualitas buku dan isinya. Semakin bagus isi dan kualitas si buku, tentu saja harganya akan makin tidak terjangkau bagi sebagian besar pelajar dan mahasiswa kita.
Mari kita ambil contoh, harga buku tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer di toko buku berada di kisaran harga Rp 135 ribu hingga Rp 150 ribu. Bagi beberapa mahasiswa kenalan saya yang kebetulan suka membaca, membeli keempat buku tersebut sama saja dengan tindakan bunuh diri. Membayarkan uang Rp 600 ribu untuk sekali belanja buku sama saja menghabiskan uang bulanan yang besarnya ada di kisaran angka tersebut.
Atau kita ambil dua buku terbitan Banana, Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi yang ada di kisaran angka Rp 120 ribu dan Kura-kura Berjenggot yang harganya Rp 200 ribu. Kedua buku ini merupakan salah satu novel terbaik yang ada pada tahun terbitnya. Keduanya juga menjadi lima besar nominasi Kusala Sastra Kathulistiwa. Raden Mandasia bahkan menjadi juara pada tahun lalu.
Namun, apakah buku yang menang anugerah sastra paling bergengsi di Indonesai tersebut menjadi buku yang laris? Tidak juga. Raden Mandasia memang telah cetak ulang beberapa kali. Setidaknya tiga kali, dengan tiga cover yang berbeda pula. Namun jika ditanya berapa jumlah buku yang telah dicetak, saya kira masih belum bisa menembus angka 10 ribu eksemplar.
Ada beberapa hal yang menjadikan buku ini ‘tidak masuk’ kategori terlaris di Indonesia. Pertama, buku ini tidak dicetak dalam jumlah yang besar. Sekali cetak mungkin hanya ada di kisaran 3000 eksemplar. Kedua, harga bukunya yang, meski buku bagus, tetap kurang terjangkau bagi mahasiswa kita. Dan masalah kedua ini menjadi kompleks mengingat harga tersebut adalah harga yang paling masuk akal bagi penerbit untuk meneruskan perjuangannya mencetak buku berkualitas.
Sebenarnya pemerintah kita bisa mencontoh Venezuela yang telah sejak lama memberikan subsidi buku agi rakyatnya. Jauh sebelum negeri itu masuk dalam krisis, sejak zaman Presiden Hugo Chavez telah menjadikan subsidi buat buku sebagai salah satu program utama pemerintahannya. Tujuannya, tentu saja agar para pelajarnya dapat membeli buku berkualitas dengna harga yang miring.
Jikalau Venezuela dianggap sebagai negeri asing yang terlalu jauh dan sekarang ada dalam masa krisis, tidak perlu jauh-jauh, cukup contoh Malaysia yang juga memberi diskon buku bagi para pelajar di sana. Dalihnya, harga kebutuhan hidup yang lain sudah terlampau tinggi, maka dibuatkan sebuah program diskon untuk para pelajar (juga mahasiswa) agar tidak kesulitan mempertahankan studinya. Malah, diskon yang diberikan tidak hanya untuk buku. Tapi juga untuk sewa tempat tinggal dan transportasi.
Seandainya saja, pemerintah kita mau memberikan subsidi untuk buku bagi para pelajar dan mahasiswa, saya kira persoalan minimnya kemampuan literasi kita bisa sedikit dikurangi. Sebenarnya sih di Jakarta sudah ada Kartu Jakarta Pintar yang memberi subsidi bagi pelajar dalam urusan belanja seragam dan alat tulis. Sayangnya, untuk buku-buku bacaan, pemerintah kita masih terlalu acuh untuk memikirkannya.
Mungkin buat pemerintah, dikasih sekolah saja sudah bagus. Jangan minta nambah dengan minta subsidi buku. Sekolah saja yang betul, dapat nilai bagus, dan jadi pekerja di pabrik-pabrik yang membutuhkan. Sudah itu saja.
Pertama terbit di Baca Tangerang 

Puthut EA adalah seorang pencatat (tentu juga penulis) yang baik. Ia mencatat apa saja yang Ia inginkan, menuliskannya dengan cepat melalui ponsel layar sentuh dan kemudian diunggah ke dinding facebook-nya. Dari aktivitas ini, Ia melahirkan beragam karya, dan buku Dunia Kali ini adalah salah satunya.
Ini adalah buku ke sekian yang dituliskan Puthut melalui ponsel. Menurut pengakuannya sih, sudah sekitar 5 tahun Ia tidak menggunakan laptop untuk bekerja. Paling, Macbook Air yang pernah saya tawar itu, digunakannya tiga atau empat kali selama rentang waktu itu. Itu pun digunakannya ketika mengasuh Kali, anaknya yang kini berusia 6 tahun. Sosok utama dari buku yang menceritakan hubungan orang tua dan anak sejak Ia berusia 3 tahun.
Sebagian besar polah dan laku anak yang diceritakan dengan baik ini banyak membuat saya tertawa. Tingkah Kali bukan hanya lucu, tapi juga cerdas dan menggemaskan dengan ragam pertanyaan yang diajukan pada bapaknya. Misal ketika Kali dibuatkan teh hangat oleh bapaknya, dan diminta menunggu tehnya dingin sebelum diminum. Dengan polos Ia mempertanyakan, “Bapak, kalau memang diminum saat dingin, kenapa tadi tidak dibuat dengan air dingin saja?”
Atau ketika Kali menyembunyikan muka sembari malu saat melihat anak-anak berseragam ketika Ia bolos sekolah. Bapaknya yang menggoda Kali agar tidak bolos sekolah lagi jika malu malah dihajar pertanyaan: “Kalau gak malu berarti besok boleh bolos sekolah lagi?”. Pertanyaan cerdas yang bahkan tidak pernah terpikir oleh saya ketika sekolah dulu.
Dialog orang tua anak di buku Dunia Kali memberikan gambaran tentang bagaimana hubungan orang tua dan anak bisa dibangun dengan baik. Bagaimana seorang anak dapat mengajukan keberatan pada bapaknya, pun sebaliknya, agar tercapai satu kerjasama yang baik antara mereka ketika hendak melakukan sesuatu. Juga agar Kali dapat belajar, tidak semua keinginannya dapat terpenuhi.
Kurang lebih, buku ini merupakan cerita seorang bapak tentang anaknya yang tumbuh dengan cepat. Seiring pertumbuhan anaknya, Puthut menaruh harapan pada Kali agar kelak, buku ini bisa menjadi pengingat tentang segala cerita yang pernah mereka lalui bersama. Pun agar buku dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi orang tua lainnya.
Meski memang dalam pengantar, Roem Topatimasang yang merupakan mentor sekaligus guru bagi Puthut menyatakan, buku Dunia Kali bukanlah sebuah pedoman untuk mendidik anak. Puthut hanya ingin berbagi pengalaman dan perasaannya tatkala momen itu terjadi untuknya. Tanpa bermaksud menggurui, buku ini memang tidak dimaksudkan untuk menjadi pedoman mendidik anak dengan baik.
Toh saya sepakat, buku ini tidak baik dijadikan pedoman. Lihat saja bagaimana persekongkolan demi persekongkolan bapak anak ketika sang ibu pergi. Mulai dari makan Indomie, sampai makan Indomie. Semua dilakukan karena sebagai bapak, rasa sayang Puthut pada Kali membuatnya tidak bisa menolak sebagian permintaan Kali. Terutama pada urusan Indomie.
Lihat saja, karena hal ini, Indomie masuk sebagai salah satu indikator sekolah idaman versi Kali. Sebuah angan luar biasa untuk mengharapkan sekolah yang membolehkan para murid untuk makan Indomie setiap hari. Hebat, Kali. Om bangga padamu.
Pertama terbit di Baca Tangerang 
Drama itu akhirnya berakhir. Ya, drama pencalonan pasangan presiden dan wakilnya untuk Pilpres 2019 telah berakhir dengan (tidak) menggembirakan. Setelah pada rabu malam nama Sandiaga Uno santer dibincangkan menjadi calon wakil presiden Prabowo, Presiden Petahana Jokowi pun telah menjatuhkan pilihan cawapresnya: Ma’ruf Amin.
Sayangnya, segala drama itu berakhir antiklimaks. Setidaknya buat saya. Ramai diperbincangkan bakal menggaet mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Presiden Jokowi malah memilih seorang KH Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya. Sebuah dagelan (lagi) mengingat munculnya nama Sandiaga Uno saja telah membuat kita (hampir) tak percaya.
Jelang pengumungan cawapres Jokowi, Mahfud sebenarnya telah bersiap. Menurutnya, Ia telah dihubungi pihak istana untuk mempersiapkan diri. Tapi, karena dorongan partai koalisi, duet maut di pilpres nanti urung terwujud. Mahfud balik kanan, Jokowi ditemani Bunda Mega dan Papa Paloh mendeklarasikan duetnya bersama Ma’ruf Amin. Di sisi lain, Prabowo pun resmi meminang Sandiaga untuk bertarung. Suram nian nasib pilpres bangsa nantinya.
Ma’ruf Amin memang bukan nama sembarangan. Ia adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ia pun pernah menjadi Anggota DPR dan MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Tidak hanya itu, Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ada cukup banyak lagi sih rekam jejaknya dalam berbagai organisasi, tapi ya sepertinya tidak perlu-perlu amat untuk dijabarkan. Ia sudah kenyang pada urusan itu. Namun, dalam urusan menjalankan pemerintahan, agaknya keputusan menjadikannya cawapres cukup menakutkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, rekam jejaknya terkait HAM cukup tidak baik. Sebagai Ketua Fatwa MUI, Ia pernah mengharamkan sekularisme dan pluralisme. Pandangannya terhadap Ahmadiyah juga Syiah juga terbilang keras. Dan terkait LGBT, Ia pernah memprotes putusan MK yang tidak memasukkan persoalan ini dalam delik pidana. Ya itu baru sebagian sisinya yang orang tidak tahu.
Hal paling jelas dan nyata dari kengerian saya terhadap caranya memandang sesuatu adalah ketika bersaksi dalam perkara mantan Gubernur Jakarta Ahok. Kala itu, Ia menyatakan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama karena ucapannya di Kepulauan Seribu. Tidak hanya itu, Ia juga menjadi salah satu aktor penggerak massa 212 yang kini memecah belah banyak hal dengan sudut pandang keagamaan. Dirinya adalah Konservatif sejati.
Selain segala kengerian tadi, satu hal yang patut digarisbawahi terkait pencalonan dirinya adalah usia. Ya, usianya tahun ini menginjak 75, angka yang terlalu tinggi untuk mendapuk jabatan publik sepenting wakil presiden. Dan hal ini kiranya menunjukkan inkonsistensi Jokowi sebagai pemimpin yang mengaku memiliki semangat anak muda.
Sebagai kontestan Pilpres yang ingin menang, saya memaklumi betapa keputusan memilih  Ma’ruf Amin didorong keberadaannya sebagai representasi umat Islam. Jabatan Ketua MUI, Rais Aam PBNU, serta Penggerak massa 212 tentu bakal menghindari Jokowi dari sentimen sara yang selama ini kerap menyerangnya. Tapi saya kira, penunjukan Ma’rif Amin lebih condong pada kepentingan partai pendukung.
Jika saja Jokowi jadi memilih Mahfud MD, maka nama terakhir bakal menjadi calon kuat presiden di tahun 2024. Hal ini tentu saja tidak diinginkan para partai pengusung. Mengingat mereka juga punya nama-nama yang ingin mendapatkan jatah untuk terlibat di kontestasi ini, maka Ma’ruf Amin yang sudah tua menjadi jawaban atas kepentingan mereka.
Jujur saja, kekecewaan saya terkait hal ini lebih kepada minimnya calon yang segar untuk ajang penting buat bangsa kita. Masa, cawapres yang ditawarkan dua pihak jadinya antiklimaks. Nama-nama mentereng seperti Mahfud MD, Susi Pujiastuti, Sri Mulyani, atau Anies Baswedan malah tenggelam. Ya ampun, saya tidak mampu membayangkan sosok Sandiaga yang nganu jadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Yawla….
Paling, satu-satunya hal yang masih membuat saya (amat) sedikit senang fakta bahwa ada orang Tangerang yang maju di Pilpres ini. Sekadar info, Kiai Ma’ruf Amin itu kelahiran Tangerang loh. Urang Tangerang. Jadi, ya lumayan lah masih ada yang bisa dibangga-banggain (walau maksa) ketika bahas capres-capresan ini sama teman.
Meski kemudian, saya juga sadar, kalaupun Jokowi-Ma’ruf Amin menang, ya nggak bakal membawa keuntungan apa-apa buat Tangerang. Kota ini bakal tetap jadi daerah pinggiran ibukota yang gitu-gitu aja. Yang tetap terkena dampak tidak enak dari segala kebijakan terkait Jakarta. Suram banget ya nasib aing.
Pertama terbit di Baca Tangerang
Inilah ponsel pintar terbaik di tahun 2018. Begitu sih klaim sebagian pihak setelah
peluncuran perdana Samsung Galaxy Note 9 di New York, Amerika Serikat. Atau setidaknya,
inilah klaim yang bisa diandalkan Samsung hingga nantinya Apple mengeluarkan seri iPhone
terbarunya.

Sambutan yang luar biasa diterima flagship baru ini, bahkan lebih tinggi dari sambutan yang
diterima saudaranya, Galaxy S9 yang diluncurkan pada awal tahun lalu. Memang, seri Note
milik Samsung punya keunggulan tersendiri yang selalu ditunggu-tunggu oleh khalayaknya
yakni S-Pen. Apalagi sejak awal S-Pen di Note 9 digadang-gadang menjadi keunggulan utama
dari ponsel ini.

Soal spesifikasi, kurang lebih ponsel ini hampir sama seperti Samsung S9 Plus. Baik dari
jeroan, kamera, layar, juga ukuran layarnya. Paling hanya di urusan baterai saja yang
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dari dan 3500 mAh di S9 Plus, menjadi 4000
mAh di Note 9. Selain itu, tiada perbedaan yang berarti dari kedua ponsel ini.

Pada jeroannya, Note 9 masih mengandalkan Exynos 9810 atau Snapdragon 845 (hanya
untuk pasar Amerika Serikat) yang sama dengan S9 Plus. GPU-nya Mali-G72 MP18, sama
seperti S9 Plus. Hanya RAM dan penyimpanan internal saja yang meningkat, yakni
6gb/128gb atau 8gb/512gb pada seri Note 9.

Hal ini menjadikan Note 9 sebagai salah satu ponsel dengan penyimpanan terbesar, karena
kapasitas itu masih bisa ditambah oleh kartu SD hingga ukuran 512gb. Ukuran yang
terbilang sangat besar untuk ukuran ponsel mengingat kapasitas penyimpanan laptop saya
saja masih 512gb. Malah, karena urusan ini, Note 9 cukup bisa disebut sebagai harddisk
portable berbasis multimedia. Jadi kalian nggak perlu takut penyimpanan penuh buat
nyimpen serial drakor di ponsel ini.

Sedikit peningkatan juga dilakukan pada kamera yang ada di Note 9. Sama-sama memiliki
lensa 12MP di dual kameranya dan 8MP pada kamera depan, tambahan fitur AI yang bisa
mendeteksi 20 jenis objek di kamera Note 9 lah yang menjadi pembeda. Karena fitur Dual
Aperture yang bisa menyesuaikan bukaan lensa bergantung cahaya atau super slow-motion
juga sudah ada di S9 Plus. Selebihnya, sama saja.

Pada kualitas layar pun begitu, tidak beda jauh. Hanya pada ukuran layar saja yang sedikit
bertambah, dari 6,2’ di S9 Plus jadi 6,4’ di Note 9. Sisanya, masih menggunakan layar Super
Amoled dengan rasio 18,5:9 serta resolusi layar QHD (2960 X 1440 pixel). Ya bukan
persoalan sih, karena pada urusan ini Samsung masih menjadi yang terbaik pada urusan
grafis layarnya.

Hal utama yang amat saya sayangkan dari dari ponsel ini adalah ketiadaan in display
fingerprint. Mengingat salah satu hal yang paling menyebalkan dari flagship Samsung adalah
kemampuan pemindaian wajahnya yang buruk, dan pemindai sidik jadi di body belakang
yang saya rasa kurang praktis, fitur ini benar-benar saya nantikan sejak mendengar isu Note
9 bakal menggunakannya. Sayang, Note 9 gagal mewujudkannya. Jadi, lebih baik menunggu
ponsel baru keluaran Apple kalau mau ganti ponsel.

Memang, membandingkan ponsel-ponsel kelas flagship tidak bisa hanya diukur dari jeroan
atau kamera belaka. Karena pada level ini, semua ponsel yang hadir dengan spesifikasi kelas
wahid yang sesuai dengan harganya. Jadi kalau ada ponsel flagship yang kerap mengalami
lag atau lamban ketika proses multitasking, ada baiknya ponsel tersebut dibawa ke servis
center karena ada kemungkinan kalau barangnya rusak.

Kalau begitu, apa hal yang bisa membedakan ponsel satu dengan lainnya di level ini?
Jawabannya adalah fitur. Yap, fitur. Misal triple kamera belakang di Huawei 20 Pro yang
keren banget, fitur super slow motion dan super amoled dengan resolusi QHD di Samsung
S9, atau tingkat kekerenan yang bakal meningkat kalau kamu pegang iPhone x. Dan fitur
pemindai sidik jari di dalam layar adalah yang paling saya nantikan.

Sayangnya, fitur yang paling diandalkan di Note 9 ini hanyalah S-Pen. Tapi ingat, ini S-Pen
bukan sembarang S-Pen. Ini S-Pen yang telah ditingkatkan, dengan bluetooth. Hasilnya, S-
Pen ini bisa dijadikan remot kontrol untuk aplikasi di ponsel ini seperti kamera, perekam
suara, musik, pun bisa digunakan untuk presentasi.

Kalau hal ini dirasa kurang berguna buat Anda, ada satu lagi hal yang menjadi andalan
Samsung Galaxy Note 9 ini. Ya, Smart TV sebagai bonus pembelian pre ordernya. Para
pembeli bisa mendapatkan bonus TV 32” untuk ponsel berkapasitas 128gb, dan TV 40”
untuk yang berkapasistas 512gb.

Sungguh sebuah tawaran yang menggiurkan untuk membeli ponsel seharga Rp 13,5 juta
dengan bonus senilai Rp 3 juta. Jadi, jika kamu merasa tawaran spek dan fitur dari Note 9
masih terkesan biasa, maka TV yang ditawarkan ini bisa membuatmu menjadi tertarik. Atau
malah, bonus TV ini malah yang menjadi daya tarik utama? Bisa jadi sih.
Bertahun-tahun lalu, ketika masih berstatus mahasiswa, saya pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sebagai seorang mahasiswa yang jarang ikut kelas, KKN bisa jadi salah satu dari sedikit beban kuliah yang saya ikuti. Dan boleh jadi, KKN juga yang membuat saya punya sedikit kenangan bagus soal mata kuliah.
Satu prasyarat penting dari mata kuliah bidang pengabdian masyarakat ini adalah program kerja. Ada yang membuat program penyuluhan atau lokakarya tentang budidaya tanaman atau pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat. Ada yang mengajar di sekolah-sekolah. Ada juga yang membangun jamban. Setidaknya itu sih program-program yang biasa ada di KKN.
Ah iya, satu lagi program andalan mahasiswa di ajang ini: pengadaan buku untuk taman baca masyarakat.
Program yang satu ini memang seakan keren, mungkin juga berguna dan bermanfaat. Memberikan sumbangan ratusan buku pada sebuah desa, diberikan di taman baca atau perpustakaan sekolah, dan kemudian meninggalkan semua itu tanpa jejak. Iya, tanpa jejak.
Ketika melakukan aktivitas yang sama dulu, ada satu hal yang membuat saya sadar: pengadaan buku dari mahasiswa KKN tidak bakal berarti apa-apa, tidak akan menjadi apa-apa. Karena fokus dan tujuan dari program ini hanyalah pengadaan buku, bukan pembangunan budaya membaca serta pola pengelolaan taman baca.
Mungkin, selama satu bulan taman baca itu bakal berjalan. Meski ya tidak bakal efektif-efektif amat. Anak-anak akan datang ke perpustakaan sekolah atau taman baca, bergantung mana yang diberi buku, karena keberadaan orang asing yang menyediakan buku. Rasa penasaran mereka terhadap mahasiswa menjadi dorongan pertama untuk datang, setelahnya, tergantung buku-buku yang disediakan menarik atau tidak.
Tapi ya itu, setelah satu bulan berjalan, mahasiswa akan kembali ke kelas yang begitu-begitu saja. Kewajiban mereka telah tuntas. Hal-hal yang dilakukan di desa bakal segera terlupakan, dan terbengkalai.
Saya kira kesalahan cara berpikir menjadi faktor kunci dari kegagalan kebanyakan taman baca yang dibangun saat KKN. Umumnya, para mahasiswa datang ke desa dengan pandangan yang “ngota”. Mereka berpikir bahwa desa membutuhkan bantuan sarana dan prasarana. Padahal, hal yang dibutuhkan desa adalah pikiran cerdas untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di sana.
Mereka pikir, dengan memberi bantuan buku anak-anak bakal jadi senang membaca. Padahal, berdasar pengalaman KKN dulu, perpustakaan sekolah di desa memiliki begitu banyak buku-buku bagus. Ensiklopedia, dan beragam buku pengetahuan untuk anak-anak tersedia dengan lengkap di sana. Masalahnya, perpustakaan tersebut tidak diurus. Dan guru-gurunya, tidak tahu bagaimana cara mengurus perpustakaan.
Hal inilah yang tidak banyak dipahami para mahasiswa, termasuk saya waktu itu. Jika orang-orang desa telah memiliki kemampuan pengelolaan pustaka yang mumpuni, mereka tidak akan memerlukan bantuan dari para mahasiswa. Toh jika bisa mengelola pustaka, mereka bakal tahu cara mencari donasi buku tanpa bantuan mahasiswa.
Karenanya, membangun sistem dan pola pengelolaan taman baca akan jauh lebih bermanfaat ketimbang pengadaan buku belaka. Memang, ketersediaan buku itu penting. Tapi tanpa adanya pengelola, buku-buku yang banyak itu bakal terbengkalai. Seperti yang terjadi di perpustakaan kecamatan yang ada di Tangerang.
Tanpa adanya pengelolaan yang baik, sebuah taman baca juga perpustakaan bakal sepi belaka. Tanpa kegiatan, orang-orang mungkin tidak akan tahu bahwa taman baca itu ada. Dan tanpa jadwal buka yang sistematis, orang-orang bakal dikecewakan dengan sering tutupnya taman baca yang telah mereka datangi.
Mungkin karena pengalaman inilah, sebagai Koordinator Komunitas Baca Tangerang, saya menolak segala permintaan donasi buku yang dilakukan mahasiswa KKN tahun ini. Buat saya, buku-buku itu bakal lebih berguna jika kami donasikan untuk simpul-simpul pustaka bergerak. Ketimbang sia-sia di desa, seperti yang dulu pernah saya alami.
Boleh jadi, cara pandang saya tentang hal ini keliru. Bisa saja kan. Tapi, jika ada mahasiswa yang bisa menawarkan ide bagus untuk mengatasi persoalan ini, kami bersedia membantu pencarian buku untuk didonasikan kepada desa tempat kalian harus mengabdi.
Pertama terbit di Baca Tangerang 
Sejak versi tampilan layar 18,5:9 tenar tahun lalu, berbagai perusahaan ponsel pintar berjibaku membuktikan diri bahwa layar mereka adalah yang paling minim bezel. Dua yang mendahului adalah iPhone X dengan layar poni (notch) dan Samsung dengan infinity display-nya. Kemudian beragam ponsel hadir dengan ikut-ikutan gaya kedua merek tadi.



Namun kini, di tahun 2018, Vivo menjadi ‘pendahulu tren’ dengan Vivo Nex-nya yang berlayar hampir penuh berkat 91% screen to body ratio yang dimilikinya. Diluncurkan pada 12 Juni lalu di Shanghai China, Nex sedikit lebih tua ketimbang Find X yang meluncur seminggu setelahnya . Satu hal yang menarik dari ponsel ini adalah, rasio layarnya yang mencapai 91% itu dihadirkan tanpa notch yang dianggap sebagian orang mengganggu.



Fungsi notch pada bezel bagian atas adalah untuk menghadirkan kamera depan dan beragam sensor agar pemindaian sidik wajah dapat dilakukan. Atau jika tidak ingin menampilkan notch, ponsel dapat menampilkan bezel atas yang masih lebar untuk mengakalinya, seperti yang masih ada pada ponsel-ponsel Samsung.



Maka tampilan tanpa notch dan bezel tipis di layar atas menjadi satu alasan baik mengapa Vivo Nex pantas disebut sebagai rujukan ponsel masa depan. Apalagi, konsep layar seperti ini agaknya bakal menjadi tren setelah Oppo melancarkan ponsel pintar serupa tapi tak sama yang memiliki screen to body ratio hingga 93,8% bernama Find X. Unggul sedikit dari Vivo Nex yang sisi dagunya lebih lebar.  



Kedua ponsel ini mengandalkan segala hal yang diperlukan ponsel masa depan. Jeroan kelas wahid, kamera berkualitas tinggi, dan desain futuristik dengan layar hampir penuh. Ya, agar mendapatkan rasio layar sebesar itu, mereka harus mengakali pemosisian kamera depan yang tentu saja memakan ruang paling besar di layar atas ponsel lainnya. Dan kedua ponsel ini punya cara yang serupa tapi berbeda dalam mengakalinya.



Kedua ponsel ini hadir dengan desain motorik pada kameranya yang disembunyikan di dalam body ponsel. Bedanya, Vivo Nex hanya menongolkan kamera depan sementara di Oppo Find X yang mengandalkan fitur Stealth 3D Camera bisa menyembunyikan baik kamera depan ataupun belakang. Tidak hanya itu, konfigurasi kamera tersembunyi keduanya juga membuat tampilan belakang body menjadi polos tanpa tambahan pemindai sidik jari di sana.



Secara tampilan, Oppo Find X akan lebih unggul dengan varian warnanya yang berkilau; Bordeaux Red dan Glacier Blue. Dua varian warna ini membuatnya begitu berkilau dan amat cantik apalagi ditambah dengan fitur Panoramic Screen yang melengkung di kedua sisinya. Sementara Vivo Nex mengandalkan Diamond Black dan Ruby Red yang lebih tegas. Meski begitu, tampilan belakang Vivo Nex tetap cantik dengan sentuhan kilau pelangi ketika tersorot cahaya.



Layar ‘penuh’ yang ditampilkan kedua ponsel ini juga tidak main-main dalam urusan kualitas. Keduanya berukuran( di kisaran 6,5 inch) menggunakan layar super AMOLED beresolusi Full HD Plus (2316 x 1080 piksel). Body belakangnya berbahan metal dengan sentuhan kaca dengan build quality yang mantap dan enak digenggam. 



Pada segi performa, seperti sudah dikatakan di atas, kedua ponsel ada di kelas atas berkat chipset Snapdragon 845 dengan kemampuan AI Engine, GPU Adreno 630, Ram 8gb, dan penyimpanan internal raksasa; 256gb. Bedanya hanya ada di kapasitas baterai 3730mAh Find X yang sedikit di bawah 4000mAh Nex.



Untuk kameranya, kedua merek sama sekali tidak menyembunyikan kapasitas mereka dalam memberikan segala kecanggihan pada sektor ini. Oppo Find X mengandalkan 2 kamera belakang beresolusi 20MP + 16MP. Yang keren lagi, kamera depannya seperti hape Oppo yang lain, menggunakan resolusi ‘besar’ dengan 25MP. Sementara Vivo Nex, mengandalkan dua kamera 12 MP + 5 MP dan kamera depan yang ‘hanya’ beresolusi 8MP.



Kembali pada konfigurasi motoriknya, Find X memiliki desain yang lebih elegan ketimbang Nex yang terlalu simpel dan kaku. Vivo Nex memang hanya memberikan tampilan kotak sederhana pada kamera depannya. Tidak ada sensor-sensor lain yang disediakan pada motorik ini juga membuatnya tidak memiliki pemindai wajah. Satu minus buat ponsel seambisius Nex.



Sementara itu, pada Stealth 3D Camera Oppo FInd X kita dapat menemukan beragam sensor seperti Flood Illuminator, Ranging Sensor, Receiver, Dot Projector, dan Kamera Inframerah yang membuatnya memiliki kemampuan pemindaian sidik wajah secara 3 dimensi. Tingkat akurasi dan kecepatannya juga luar biasa. Jadi, ketiadaan pemindai sidik jari yang menjadi minus ponsel ini bisa teratasi.



Sebaliknya, di Vivo Nex kita dapat menemukan pemindai sidik jari di dalam layar (In Display FIngerprint) yang juga akurat dan cepat. Berbanding terbalik dengan Find X yang mengandalkan sensor-sensor di konfigurasi motorik kamera depan, Nex justru mengandalkan segala sistem dibalik layarnya. Selain memiliki pemindai sidik jari idaman saya, Nex juga menghadirkan speaker dibalik layar bernama Screen SoundCasting untuk menggantikan earpiece di bagian layar atas.



Sebenarnya, kedua ponsel ambisius ini berhasil membuat saya kagum dengan kenekatannya yang menampilkan format baru dalam mendesain ponsel. Sayangnya, mereka tetap memiliki kelemahan yang cukup mengganggu. Mulai dari desain kamera motorik Vivo Nex hingga ketiadaan pemindai sidik jadi dalam layar di Oppo Find X. Dengan kekurangan itu, kedua ponsel gagal menjadi flagship yang sempurna.



Seandainya saja Find X mau berbaik hati memberikan fitur In DIsplay Fingerprint, saya bakal dengan percaya diri merekomendasikan ponsel ini untuk kalian beli. Tentu kehadiran fitur itu bakal menjadikan Find X sebagai Flagship yang lengkap. Layar penuh, desain cantik, jeroan mantap, semua sensor pembuka kunci, dan pastinya tanpa Notch seperti Mi8 Explorer yang sebenarnya sudah memiliki semua hal yang saya sebut di atas.



Jadi, mending tunggu saja ponsel flagship yang memadukan desain dan kekerenan Find X dan segala kecanggihan juga fitur In DIsplay Fingerprint di Mi8 Explorer. Nabung dulu, bos.



Rilisnya Huawei P20 Pro ke pasaran membawa sebuah kekecewaan besar bagi saya. Meski kehadirannya berhasil menghebohkan dunia gajet, Huawei P20 Pro tetap memiliki satu kekurangan: belum menggunakan teknologi pemindai sidik jadi di dalam layar (on screen fingerprint). Beberapa ponsel anyar yang sudah menggunakan teknologi tersebut termasuk Vivo Nex dan Xiaomi Mi 8 Explorer.

Huawei P20 Pro menempatkan pemindai sidik jarinya pada bagian dagu sehingga menyisakan sedikit ruang di bagian bawah muka ponsel. Andai saja Huawei menggunakan teknologi pemindai sidik jari di dalam layar gajet ini, kemungkinan besar saya bakal melepas Samsung Galaxy S9+ yang saya miliki untuk digantikan oleh ponsel ini.

Meskipun demikian, flagship-nya Huawei ini disambut dengan cukup antusias oleh pasar. Dengan menawarkan spek gahar dan harga yang sedikit lebih murah dari ponsel flagship lain semisal Samsung Galaxy S9+, P20 mendapat popularitas yang cukup tinggi seperti halnya Xiaomi Redmi Note 5 atau Asus Zenfone Max Pro yang terkenal dengan aroma gaibnya itu. Apalagi ponsel ini telah masuk secara resmi ke Indonesia setelah lolos uji TKDN yang membuatnya bisa dibanderol lebih murah ketimbang kalau gajet itu masuk lewat jalur impor.

Dari banyak review yang beredar, ponsel Huawei P20 Pro memperoleh nilai yang lebih tinggi daripada Samsung S9+. Kesalahan-kesahalan fatal yang ada di Samsung S9+ berhasil dimaksimalkan oleh P20 Pro. Misalnya pada sektor face unlock yang begitu menyebalkan di Samsung S9+.

Meskipun diklaim Samsung bahwa penggunaan face unlock ini jauh lebih aman ketimbang metode unlock yang lain, proses pemindaian wajah dan retina berbasis intelligent scan pada S9+ ini terbilang lamban dan tidak efektif. Ini berbanding terbalik dengan pemindaian wajah pada P20 Pro yang berjalan dengan amat lancar.

Itulah alasan mengapa saya amat menantikan teknologi pemindaian sidik jari di dalam layar. Kerepotan yang hadir karena pemindai wajah yang harus presisi dan letaknya di body belakang bakal menghilang. Dengan teknologi itu pula dimensi layar gajet bakal semakin luas, sementara desain belakang bodi gajet jadi lebih simpel.

Soal kemampuan menjalankan aplikasi secara bersamaan, kedua ponsel terbilang imbang mengingat jeroan yang dimiliki sudah amat mumpuni. Keduanya memiliki prosesor terbaik karya vendor masing-masing plus disokong oleh kapasitas RAM jumbo yang mencapai 6GB.

Dari sisi performa, keduanya boleh dibilang terbaik. Huawei P20 Pro jadi sedikit lebih unggul karena memiliki baterai yang lebih besar dan awet dibanding Samsung Galaxy 9 Plus.

Sektor unggulan Huawei P20 Pro yang lain adalah dari sisi kameranya. Ponsel ini terdiri dari tiga jenis kamera belakang yang masing-masing mempunyai kemampuan yang berbeda. Dengan mengandalkan kamera utama beresolusi 40MP dengan sensor optik F1.7, kamera monokrom 20MP, serta kamera tele 8MP dengan kemampuan tiga kali optical zoom, ponsel ini berhasil mengalahkan kemampuan kamera Samsung S9+.

Samsung Galaxy S9+ hanya mampu melakukan dua kali optical zoom saja. Di luar itu, hasil tangkapan kedua kamera ponsel ini sama-sama bagus. Hanya saja, sistem pengolahan gambar pada Huawei P20 Pro bisa memberikan output saturasi warna yang lebih natural. Fitur Master AI yang mampu mengenali dan menyesuaikan reproduksi warna yang bergantung pada objek gambar menjadi nilai tambah yang lain. Mungkin inilah yang membuat hasil gambarnya menjadi lebih baik.

Jangan khawatir, Samsung Galaxy S9+ juga menawarkan fitur dual-aperture F/1.5 dan F/2.4 yang membuat kita mampu mengatur bukaan lensa bergantung pada kondisi cahaya saat mengambil gambar. Kamera depannya yang hanya sebesar 8 MP tidak ‘selebay’ pada Huawei P20 Pro yang mencapai 24 MP. Dua hal ini menjadi kemenangan Samsung S9+ atas Huawei P20 Pro pada sektor kamera.

Satu-satunya sektor yang dimenangkan telak oleh Samsung S9+ adalah dari sisi desain bodinya. Penempatan dual kamera belakang Samsung Galaxy S9+ yang disejajarkan dengan pemindai sidik jari membuatnya lebih sedap dipandang.

Samsung S9+ menggunakan layar infinity display dengan bentuk tepi melengkung. Tipe layarnya tentu saja masih jadi andalan Samsung, yakni Super Amoled beresolusi QHD+ 2960×1440 pixel. Coba bandingkan dengan desain layar kaku P20 Pro yang cuma bertipe Amoled dan punya resolusi lebih rendah, yakni 2244×1080 pixel.

Sementara itu, desain bodi belakang Huawei P20 Pro sebenarnya juga tidak kalah ciamik. Tampil polos tanpa pemindai sidik jari serta penempatan triple kamera di bagian sisi kiri atas, membuat warna twilight dari ponsel ini lebih kental. Hanya saja, tulisan Huawei di body belakang justru membuatnya jadi tidak lebih keren ketimbang Samsung Galaxy S9+.

Suka atau tidak, pandangan masyarakat soal ponsel keren masih berkutat pada merek-merek Samsung atau Apple. Meskipun sama-sama bagus, tingkat kebanggaan kala memegang Huawei P20 Pro bagi saya tetap tak bisa mengungguli kecantikan Samsung Galaxy S9+.

Lagian, buat apa sih kita beli hape flagship kalau tidak untuk pamer dan sok keren?

Pertama terbit di Mojok