Aditia Purnomo

Ada hal yang agaknya kurang berkenan dalam hati saya tatkala Kota Tangerang merayakan ulang tahunnya yang ke 25. Tidak seperti Kabupaten Tangerang yang kemarin merayakan ulang tahun dengan pesta rakyat penuh kemeriahan, agaknya pesta ulang tahun dari kota ini tidak banyak memberikan kemeriahan. Tentu saja kemeriahan dalam arti yang sebenarnya.
Boleh jadi, demi menjalankan konsep kota akhlakul karimah, Kota Tangerang memilih untuk tidak merayakan HUT-nya dengan penuh kemewahan. Pemerintah bisa saja mengambil perayaan yang lebih sunyi dan sederhana, yang penting pelayanan dan kenyamanan masyrakat telah terjamin. Saya kira itu bukanlah suatu persoalan yang berarti.
Namun, dengan diadakan beberapa rangkaian acara peringatan ulang tahun, saya kira pemerintah kota dapat melakukan hal yang lebih daripada semua yang dilakukan sekarang. Tangerang Expo yang diadakan di bekas Terminal Cibodas saya pikir tidaklah merepresentasikan apa yang telah digalakkan kota ini. Hanya berisikan bazar UMKM, sebenarnya memang bukan sebuah kesalahan, Tangerang Expo tidak layak merepresentasikan expo-nya Kota Tangerang.
Jika mau dibandingkan dengan Tangerang Youth Fest, satu agenda yang menjadi rangkaian acara peringatan HUT Kabupaten, agenda ini nampak kurang sebanding.
Seandainya pemerintah kota memilih untuk menjalankan bazar sembako murah, buku murah, atau hal lain yang lebih dibutuhkan masyarakat, di samping keberadaan bazar UMKM, saya kira Tangerang Expo cukup pantas disebut sebagai sebuah Expo. Bukannya meremehkan keberadaan booth UMKM dan dinas-dinas yang ada di sana, tapi saya kira bakal lebih menarik minat masyarakat untuk datang apabila di sana terdapat hal-hal yang masyarakat butuhkan.
Memang, dalam rangkaian acara perayaan ulang tahun terdapat satu agenda yang layak disebut sebagai perayaan, yakni Tangerang Culinary Night pada malam minggu pekan lalu. Tapi perlu diingat, tanpa momen ulang tahun pun acara ini telah memiliki magnet bagi masyarakat. Apalagi pada perayaannya, acara ini cuma mengundang sebuah band yang nggak papan atas banget.
Sebagai sebuah kota yang masih bertumbuh di usianya yang ke seperempat abad, agaknya Kota Tangerang lebih banyak fokus pada pembangunan infrastruktur semata. Pembangunan dalam tataran itu memang diperlukan. Namun, menurut saya, pembangunan mental dan jiwa masyarakat tidak kalah pentingnya dari itu semua.
Karenanya, satu-satunya pembangunan infrastruktur yang saya rasa patut diapresiasi adalah berdirinya ratusan taman dengan beragam tema di Kota Tangerang. Meski masih ada beberapa tempat yang kurang termanajerial dengan baik, saya kira keberadaan banyak ruang publik dapat menjadi sarana yang baik bagi jiwa masyarakat.
Ada beberapa taman yang saya kira benar-benar mampu menjadi sarana kebahagiaan masyarakat, dengan diurus cukup baik dan benar. Taman Gajah dan Taman Potret. Kedua taman ini saya kira benar-benar menjadi alternatif bagi masyarakat yang butuh hiburan di kota yang begini-begini saja. Apalagi, di dua taman ini, ada banyak tempat teduh yang begitu asyik dijadikan tempat membaca buku.
Karenanya, sebagai sebuah bentuk perayaan ulang tahun yang (harusnya) meriah, saya kira tahun depan pemerintah Kota Tangerang lebih baik mengadakan sebuah festival buku dengan segala hal yang memeriahkannya. Apalagi sejauh ini Kota Tangerang belum memiliki sebuah festival atau bazar buku yang berkualitas. Memang sih kadang ada festival buku Islam, tapi ya kurang mampu merangkul seluruh elemen masyarakat.
Jika dibandingkan dengan Pesta Sejuta Buku Malang atau Kampung Buku Jogja, saya kira apa yang dilakukan di Tangerang belum ada apa-apanya. Mengingat tidak banyak penulis hebat yang diundang serta tidak banyak diskusi tentang literasi yang digalakkan. Tapi yang paling utama, tentu saja, bazar yang digelar tidak mampu merangkul banyak masyarakat karena harga buku yang dijual kurang terjangkau.
Saran saya, tahun depan pemerintah Kota Tangerang lebih baik mengadakan satu festival buku murah yang dapat dijangkau seluruh masyarakat Tangerang. Dengan memberi subsidi pada banyak buku, agar banyak buku berkualitas tapi mahal bisa dibeli oleh masyarakat Tangerang. Tentu agenda ini dilengkapi dengan kehadiran para penulis hebat dalam diskusi-diskusi yang berkualitas. Kalau acara macam begini digelar, saya jamin ulang tahun Kota Tangerang bakal lebih bermanfaat.
Karena, membangun Kota Tangerang sama artinya dengan membangun kualitas masyarakatnya. Sudah saatnya, acara semacam ini menjadi agenda rutin untuk mengisi kehidupan masyarakat. Itu pun kalau memang pemerintah Kota Tangerang mau terlibat dalam pembangunan watak masyarakat sih.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Setelah dibuai kisah PDKT dua anak remaja pada buku pertama, kisah Dilan dan Milea berlanjut cerita indah pada awalnya dan tragis pada akhirnya. Boleh dibilang memang para pembaca Dilan dikejutkan dengan keberadaan buku kedua ini. Apalagi, segala angan indah yang tergambar di buku pertama harus lebur oleh kejadian yang sama sekali di luar dugaan. Tapi ya tetap saja, penuh romantik walau berakhir tengik.
Segala kisah perih pada buku ini dimulai dengan putusan DO yang keluar terhadap Dilan (welcome to the club, dude). Berhubung perkelahian berujung jadian dilakukan pada jam sekolah, serta segala perilaku Dilan yang bukan jagoan tapi petakilan, Dilan dan Anhar dipecat dari sekolah.
Seperti biasa, isi cerita ini didominasi cerita Milea dan pandangannya terhadap kasih sayang dan pergaulan Dilan. Milea sayang Dilan, begitu pun sebaliknya. Tapi rasa sayang dari Milea ini kemudian berubah menjadi sikap yang berlebihan tatkala berurusan dengan aktivitas dan teman-temannya.
Dilan, sang panglima tempur yang takut terhadap pacar ini kemudian dikritik teman-temannya karena terkekang Milea dalam urusan asmara. Jabatan panglima tempur tentu bukan jabatan yang sembarangan, apalagi jabatan ini berada dalam struktur geng motor yang (ceritanya) terkenal di Bandung.
Sikap Milea dan kebimbangan Dilan dalam memilih antara pacar dan teman turut diperburuk dengan kematian seorang teman Dilan karena kasus pembunuhan. Sebenarnya perkara inilah yang  menjadi momentum dari perpisahan mereka. Dilan, sebagai panglima tempur, tentu merasa bersedih serta bertanggungjawab atas nama geng motor dan solidaritas. Sementara itu, Milea semakin paranoid terhadap kehidupan geng motor setelah kematian tersebut.
Mereka akhirnya putus setelah Dilan dan gengnya menyerang kelompok yang dianggap bertanggungjawab atas kematian sang rekan. Dalam pelarian setelah sempat dipenjara dan diusir orangtua, Dilan mendapati keadaan bahwa Ia diputus sang pacar karena solidaritasnya itu. Meski kemudian Milea menyesal dan mencari cara agar bisa berhubungan kembali dengan Dilan, patah hati membawa sang panglima tempur untuk pergi dari kehidupan pujaan hati.
Sebenarnya kualitas cerita dan drama yang dihadirkan di buku kedua ini terlalu biasa sehingga membuat saya, sebagai pembaca Dilan, kecewa terhadap buku ini. Meski harus putus, sebaiknya kisah mereka berdua ditulis dalam drama yang lebih menarik. Bukannya cuma persoalan anak SMA biasa yang begitu-begitu saja.
Penyesalan Milea dan dalamnya patah hati Dilan, menggambarkan sebuah kebodohan hakiki dalam urusan percintaan. Memang gengsi dan cinta itu cuma beda tipis. Tapi sebagai lelaki yang lihai merayu perempuan, saya kira Dilan terlalu lemah karena tidak mau memperjuangkan cintanya.
Memang, di satu sisi kedalaman rasa sayang Dilan terhadap Milea dapat terlihat dari sikapnya yang menjauhi mantan pacarnya yang gagal Ia bahagiakan. Sebagai seorang lelaki, saya paham apa yang dia rasakan. Tapi ya tetap saja, putus karena hal bodoh semacam ini bikin kesel para pembaca.
Sepertinya, satu pelajaran penting yang dapat kita petik dari buku kedua ini adalah: seindah-indahnya kisah cinta yang dituliskan di dalam novel ataupun film, hal tersebut tetaplah fiksi belaka. Karenanya, jangan pernah mempercayai kisah romantik seperti di buku pertama bakal terjadi dalam kehidupanmu. Apalagi setelah buku kedua hadir, kita semua jadi sama-sama tahu bahwa kisah paling romantik pun dapat berakhir dengan tragis.
Pertama terbit di Baca Tangerang
Tangerang adalah kota sejuta taman. Oke deh, tidak sampai sejuta juga taman yang ada di Tangerang. Namun setidaknya Tangerang memiliki sekitar 150-an taman yang dapat dijadikan sebagai tempat bertamasya bagi masyarakatnya.
Memang dalam beberapa tahun terakhir, Waklikota Tangerang Arief R Wismansyah telah membangun dan merenovasi puluhan taman dengan beragam tema. Mulai dari Taman Nobar, Taman Bambu, Taman Potret, atau yang termutakhir adalah Taman Gajah. Dengan beragam tema dan pilihan, masyarakat khususnya yang memiliki anak dimanjakan dengan banyaknya tempat yang bisa dijadikan tempat hiburan keluarga.
Tingginya animo masyarakat terhadap taman turut mengajak masyarakat yang juga merokok untuk ikut menikmatinya. Tentu tidak ada masalah apabila setiap orang mau menikmati taman di Tangerang. Yang kemudian menjadi masalah adalah, bagaimana jika nantinya orang yang merokok ini mengganggu masyarakat lainnya?
Beruntung, Walikota Tangerang punya solusi jitu untuk menyelesaikan permasalahan tadi. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakatnya dari paparan asap rokok, di taman-taman tadi disediakan beberapa pojok merokok untuk para penikmat kretek. Hal ini dilakukan tentu dengan tujuan utama: menjaga hak semua masyarakat yang ada di Tangerang.
Bapak Walikota yang satu ini memang berani dan beda. Ia memilih jalan untuk melawan ketidakadilan yang biasa dilakukan kepala daerah lain dengan menyediakan pojok merokok di taman-taman. Jika kita mau membandingkannya dengan daerah lain, yang jangankan ada ruang merokok, orang baru bawa bungkus rokok saja sudah dihukum, tentu Walikota Tangerang sudah sangat berbeda dan tidak diskriminatif.
Bahwa kemudian dia dengan tegas menyatakan bakal menghukum siapa saja yang merokok sembarangan, itu pun sudah tepat. Karena memang Ia telah menyediakan pojok merokok agar hak masyarakat yang merokok tetap terjamin. Untuk itu, masyarakat Tangerang yang merokok, ayo kita buktikan pada pak Walikota bahwa kita para perokok mampu taat asas dan ruang.
Penyediaan pojok merokok dan ruang merokok lain di Tangerang adalah sebuah upaya dari Walikota Tangerang untuk melindungi masyarakatnya. Untuk yang merokok, mereka diberikan tempat untuk melakukan aktivitas legalnya. Bagi yang tidak merokok, mereka diberikan jaminan agar tidak lagi terganggu paparan asap rokok dari para perokok sembarang.
Memang, belum di semua taman tersedia pojok merokok. Namun dengan ketersediaan pojok merokok di beberapa taman, Walikota telah membuktikan keseriusannya untuk melindungi hak masyarakat. Dan dengan penyediaan tadi, Ia juga telah berupaya untuk menjalankan aturan soal KTR dengan benar.
Bahwa betul orang-orang tidak lagi diperbolehkan merokok di sembarang tempat. Ruang untuk merokok dibatasi. Namun kita sebagai perokok harus sadar bahwa hal tersebut dilakukan agar kita tidak mengganggu orang lain dengan paparan asap rokok. Sebagai mahluk sosial, kita pun harusnya sadar jika kita harus bisa menghargai hak orang lain. Termasuk dengan tidak merokok sembarangan dan hanya merokok di ruang yang diperbolehkan. Seperti di pojok merokok yang disediakan di taman-taman di Tangerang.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Belakangan ini persoalan gizi buruk kembali merebak di Indonesia. Apalagi setelah kemarin mahasiswa Universitas Indonesia memberikan kartu kuning pada Presiden Joko Widodo, salah satunya karena terkait masalah gizi buruk di Asmat Papua sana. Merebaknya persoalan gizi buruk ini seolah membuka lembaran lama, betapa nasib banyak anak di Indonesia masih sama buruknya dengan upaya negara menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM.
Di Papua sendiri, presiden berkilah jika gizi buruk terjadi karena beratnya medan dan akses ke wilayah Asmat. Karenanya, pembangunan di Papua adalah harga mati, sebagaimana slogan NKRI harga mati terus berkumandang meski tiap harinya rakyat Papua harus mati menanggung nasib dijajah bangsa sendiri.
Tidak sedikit orang yang bersuara, meski sepertinya lebih banyak orang yang bungkam terkait persoalan gizi buruk di sana. Mungkin sebagian orang tadi beranggapan kalau Papua itu jauh dari ibukota, pembangunannya juga tertinggal dari daerah lain. Jadi, wajar saja terjadi gizi buruk di sana (begitu kiranya pikiran orang-orang tadi). Padahal ya, mau di Papua atau ibukota, gizi buruk ya jadi bukti kegagalan pemerintah menjamin nasib anak-anak di Indonesia.
Okelah kalau memang Papua dirasa jauh, juga terlalu tertinggal untuk menikmati nasib baik hidup di Indonesia. Cobalah tengok keberadaan puluhan anak yang menderita gizi buruk di Tangerang sini. Bukan sana ya, tapi sini karena jaraknya tidak seberapa jauh dari Ibukota.
Menurut kabar berita, ada sekitar 25 anak yang mengalami gizi buruk di daerah Kronjo, Kabupaten Tangerang. Persoalan gizi buruk ini terjadi karena (katanya) kurangnya nutrisi saat ibu hamil dan serta pola makan yang kurang baik. Kabar ini saya kutip adanya dari pernyataan Kepala Puskesmas Kronjo Kabupaten Tangerang.
Mendapat kabar macam begini, nyatanya hanya membuat kuping penguasa gerah. Mereka tidak suka dengan bahasa gizi buruk yang beredar di media. Lantas, Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar melakukan klarifikasi saat kunjungan lapangan bahwa yang terjadi di Kronjo hanyalah kekurangan gizi, bukan gizi buruk.
Dalam hal ini, saya tidak mengerti dimana batas seseorang dianggap kekurangan gizi atau mengidap gizi buruk, namun yang lebih buruk dari persoalan gizi buruk ini adalah sikap pemerintah Kabupaten Tangerang yang lebih mendahulukan klarifikasi dan nama baik ketimbang nasib warganya. Memang sih, anak-anak tersebut kini ditangani dan diawasi oleh Puskesmas setempat. Namun, senadainya tidak muncul pemberitaan soal gizi buruk tadi, bisa jadi nasib anak-anak tersebut tetap nahas karena tidak diurus oleh pemerintahnya.
Persoalan nama baik dan integritas memang selalu dianggap menjadi hal mutlak bagi seorang penguasa. Tidak salah memang jika pemerintah berusaha untuk menjaga nama baik, hanya saja dalam banyak kasus upaya menjaga nama baik malah menafikan kebenaran yang terjadi hingga terjadi upaya menutup-nutupi fakta.
Mungkin, yang terjadi di Kabupaten Tangerang adalah kekurangan gizi. Namun kebenaran yang tidak bisa dibantah adalah di daerah yang cuma sepelemparan batu dari Ibukota masih terjadi persoalan melalukan semacam ini. Bahwa anak-anak yang nasib dan gizinya terancam tidak hanya terjadi di Papua sana, tapi juga di Tangerang sini.
Sebuah daerah, yang bersebelahan dengan ibukota dan kerap mengklaim diri sebagai kawasan industri yang maju, masih memiliki persoalan terkait buruknya nasib gizi anak-anak. Sungguh sebuah hal memalukan yang makin memalukan tatkala pemerintahnya lebih sibuk melakukan klarifikasi dan menjaga nama baik ketimbang mengevaluasi diri agar kejadian serupa tidak lagi terjadi di Tangerang.
Pertama terbit di Baca Tangerang