Aditia Purnomo

Lima tahun sebelum Bung Karno menyampaikan pledoinya yang fenomenal, Indonesia Menggugat, ada seorang Minang yang terlebih dulu menggunakan istilah Indonesia dalam konteks penyebutan atas nama sebuah bangsa. Pada masa itu, nama Indonesia bukanlah hal yang umum didengar. Karena memang, Indonesia sebagai sebuah negara belum lahir. Dan sebagai gagasan, Ia masihlah bahasan eksklusif para elit perjuangan.
Satu hal yang menarik terkait ini adalah, nama Indonesia pertama kali digunakan oleh sebuah perhimpunan, yang kemudian berubah menjadi partai, dengan anak-anak muda penuh gairah dan keberanian. Menyematkan nama Indonesia di belakang namanya, adalah Partai Komunis (yang kini terlarang dan telah mati itu) menjadi pelopor penggunaan penyebutan Indonesia sebagai sebuah identitas.
Satu dari sekian pegiat pertama partai tersebut, adalah si Minang yang menelurkan naskah Naarde Republiek Indonesia. Karena gagasan dan tulisannya, terkait politik dan kemerdekaan, Soekarno bahkan mengakuinya sebagai seorang pemikir hebat. Bahkan Bung Karno memasukkan namanya sebagai salah satu pewaris kuasa apabila Ia dan Hatta ditangkap saat agresi militer yang pertama.
Namanya memang hampir tidak pernah dibahas dalam buku sejarah. Statusnya sebagai pahlawan nasional tenggelam karena rekam jejaknya sebagai mantan petinggi PKI, meski kemudian juga banyak bersitegang dengan pengurus partai setelah Ia tak lagi menjabat. Mati di tangan serdadu bangsa sendiri, Ia adalah seorang pejuang ulung yang menjadi pelarian di hampir separuh hidupnya. Dialah Ibrahim, dengan gelar Datuk, dan dikenal sebagai seorang Tan Malaka.
Gambaran singkat di atas adalah sebagian kisah dari Tan Malaka yang terdapat dalam Buku Seri Tempo: Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan. Ada banyak sekali hal baru, bagi saya tentu saja, ketika membaca buku ini untuk pertama kalinya sekitar 6 tahun lalu. Mulai dari kisah pelariannya, mengorganisir massa dari bawah tanah, juga tentang gagasan politiknya untuk bangsa ini, semua terangkum dalam buku ini.
Bagi saya, Tan adalah sebuah bukti bahwa komunis di Indonesia hidup bersama kearifan yang ada. Tan Malaka adalah seorang Islam yang taat, sama seperti para pelopor di PKI macam Haji Misbah atau Semaun. Ketika hadir di Kongres Komunis Internasional ke-4, Tan bahkan menyerukan agar Komunisme dan Pan-Islamisme bersatu dalam perjuangan melawan kolonialisme.
Satu hal menarik tentang Tan yang tertulis dalam buku ini adalah, pertemuannya dengan Semaun di Kongres Sarekat Islam membuatnya menggagas pembangunan sekolah rakyat bagi calon pemimpin revolusioner. Gagasan Tan tentang pendidikan berkisar pada pandangannya tentang tujuan sekolah yang harusnya, bukan mencetak juru tulis seperti tujuan sekolah pemerintah. Namun, lebih dari itu, keberadaan sekolah juga harus membantu rakyat dalam pergerakannya untuk merdeka.
“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kemauan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.”
Ketertarikan Tan pada dunia pendidikan bermula dari pekerjaannya, setelah Ia pulang dari Belanda, sebagai seorang guru di perkebunan Belanda. Dari pekerjaannya inilah Ia melihat keadaan nyata yang dihadapi anak-anak para kuli: mereka tidak dibolehkan sekolah dengan anggapan hanya akan membuang-buang anggaran semata. Keadaan inilah yang membuatnya mundur dari pekerjaannya dan berangkat ke Jawa hingga bertemu dengan para pejuang di sana.
Kemesraan Tan dengan PKI, partai yang turut dibesarkannya, akhirnya memudar tatkala pemimpin baru partai seperti Musso memilih jalur kekerasan dalam merebut kemenangan. Kala itu Tan telah dibuang dari Hindia Belanda karena aktivitas politiknya. Musso, mewakili partai meminta restu pada Tan agar dibiarkan mengangkat senjata melawan kolonial.
Mendengar hal ini, Tan menolak memberi dukungan dan meminta partai untuk tidak menjalankan rencananya. Bagi Tan, massa rakyat belum siap untuk menghadapi kolonial dengan jalur konfrontasi. Akhirnya pemberontakan tetal dilakukan, dan rakyat gagal menang. Para petinggi partai (kembali) dibuang, lalu partai dibubarkan paksa dan terlarang di masa kolonial.
Sebagai seorang pelarian politik yang dikejar-kejar aparat dari berbagai negara, Tan dikenal lihai menghindari penangkapan. Dalam satu bagian di buku ini, Tan dikenal sebagai orang yang punya seribu muka untuk menghindari penangkapan. Pengalamannya sebagai orang yang diburu membuatnya amat waspada. Bahkan, Ia diceritakan membuang semua catatannya ketika harus menghadapi pemeriksaan agar tidak teridentifikasi sebagai Tan Malaka.
Gagasannya yang tertuang dalam berbagai buku seperti Masa Aksi, Merdeka 100%, Gerilya Politik dan Ekonomi, otobiografinya yang berjudul Dari Penjara ke Penjara, hingga karya monumentalnya Materialisme Dialektika dan Logika (sebenarnya) masih bisa diakses hingga saat ini. Ada cukup banyak penerbit alternatif yang dengan senang hati menerbitkan gagasan brilian darinya. Sayang, hingga hari ini, seperti yang diceritakan di buku ini, nama Tan Malaka seperti sebuah mitos. Ia ada, tapi seperti tidak pernah ada.
Melalui buku ini, Tan Malaka yang seperti mitos ini kemudian tampil apa adanya selayaknya manusia. Gagasan dan pikirannya yang terus dipelajari oleh anak bangsa, seakan terlengkapi dengan kisah soal perjalanan hidupnya yang menginspirasi. Saya kira, semangat juangnya untuk memerdekakan Indonesia 100% bakal tetap ada dan berlipat ganda di jiwa anak muda Indonesia yang senantiasa berjuang.
Tan Malaka, bagi saya, adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam hidup saya. Bahkan, dalam satu kesempatan, saya merasa Tan Malaka adalah sosok yang patut bertanggungjawab ketika saya harus berpisah dengan kekasih karena impian memerdekakan rakyat Indonesia dianggap mustahil olehnya.
Bisa jadi, (mantan) kekasih saya kala itu berpikir, daripada harus menunggu orang memperjuangkan rakyat Indonesia yang banyaknya minta ampun lebih baik Ia mencari orang yang mau memperjuangkannya dengan serius. Toh, setelah itu, kisah asmara saya agaknya bakal seperti Tan Malaka yang tetap sendiri hingga akhir hayatnya.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Menjadi Simpul dari Pustaka Bergerak Indonesia adalah sebuah kehormatan dan tanggungan bagi kami di Komunitas Baca Tangerang. Sebuah kehormatan karena kami dapat dilibatkan dalam sebuah gerakan skala nasional untuk urusan literasi, dan menjadi tanggungan agar kami bisa terus berkontribusi untuk literasi dan gerakan. Karenanya, dalam setiap bulan yang berlalu, kami selalu berupaya untuk berkontribusi dengan mengirimkan buku untuk beberapa simpul pustaka bergerak di pelosok nusantara.
Saya kira, inilah kunci gerakan. Membantu distribusi buku dan ilmu kepada kawan-kawan di pelosok nusantara. Memang, hal ini kemudian tidak menafikan kawan-kawan yang tidak berada di pelosok. Tapi tetap yang menjadi hal utama dalam gerakan adalah distribusi pustaka yang merata bagi seluruh daerah di Indonesia.
Karenanya, saya mengamini status dari Erin Cipta, salah satu pegiat literasi asal Cilacap di akun facebooknya. Ia menyebut “Kalau sudah daftar Simpul PBI, artinya Anda siap bergerak menjalankan pustaka. Bukan minta sumbangan”. Saya sepenuhnya sepakat dengan pandangan Erin dan menyayangkan sikap-sikap semacam itu, yang terjadi di grup Pustaka Bergerak Indonesia.
Hal ini menjadi semacam duri dalam daging tatkala seseorang bersama kelompoknya berupaya membangun sebuah taman bacaan. Tanpa persiapan dan kesiapan, mereka membangun taman baca dengan harapan bisa (melulu) mendapatkan donasi buku. Bukan suatu kesalahan, memang, ketika taman baca mendapatkan donasi buku. Tapi menjadi kesalahan saya kira, ketika taman baca tersebut hanya mengharapkan buku dari donasi tanpa sebuah usaha untuk terlibat dalam distribusi buku ke simpul-simpul yang ada di pelosok negeri.
Memang, ada beberapa lembaga atau personal yang bersedia dan konsisten menyumbangkan buku untuk taman-taman baca yang ada. Namun perlu diingat, biasanya mereka juga tidak menyumbangkan buku hanya kepada satu dua kelompok yang itu-itu saja. Jadi harus ada sebuah upaya lain dari simpul pustaka bergerak untuk mendapatkan bukunya sendiri.
Selain itu, satu persoalan yang jauh lebih penting adalah tidak adanya kesadaran bagi simpul-simpul semacam tadi untuk mendistribusikan buku-buku pada kelompok yang lain. Seakan, upaya membangun literasi hanya terjadi di tempatnya dan hanya di sanalah bantuan baiknya diberikan.
Seperti yang Erin katakan, menjadi simpul Pustaka Bergerak artinya siap bergerak untuk pustaka. Siap membantu untuk mewujudkan tujuan dari pustaka bergerak, dengan menyebarkan virus membaca kepada masyarakat. Bahwa betul, dengan membangun rumah baca, satu kelompok telah membantu menyebarkan virus membaca pada masyarakat sekitar. Tapi saya kira perlu upaya lebih dari kelompok yang ada untuk mendapatkan buku selain hanya mengharapkannya dari donasi.
Saya kira, sebuah taman baca ataupun komunitas serupa harus dibangun bukan dengan mental pengemis semacam tadi. Memang, setiap kelompok punya batasannya sendiri. Tapi bukan berarti keterbatasan itu menjadi alasan untuk mengiba. Lebih baik kelompok itu membangun rumah bacanya dalam lingkup yang paling kecil, namun memiliki gairah besar untuk terus menjalankan geraknya.
Kalaupun kelompok tersebut belum mampu berbagi buku kepada simpul pustaka bergerak yang lain, yang kiranya lebih membutuhkan donasi, ada baiknya kelompok tersebut menjalankan program-program sederhana yang tidak memakan banyak kebutuhan. Hal tersebut jauh lebih baik daripada sekadar mengiba buku tanpa kemudian diiringi dengan aktivitas-aktivitas yang dijalankan secara berkelanjutan. Karena, membangun literasi bukan cuma soal memiliki buku yang banyak untuk dibaca, tetapi juga kepada sejauh mana upaya untuk berusaha konsisten terhadap apa yang telah kita lakukan.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang