Aditia Purnomo

Satu hal negatif yang kerap diasosiasikan dengan gerakan literasi adalah kebiasaan meminta-minta. Tentu saja kabiasan ini bukan hanya persoalan gerakan iterasi, tetapi juga banyak gerakan lainnya. Hal yang kemudian dianggap lumrah sebagai kebiasaan masyarakat kita.
Akibat kebiasaan semacam ini, harkat dan martabat kemudian menjadi turun. Apalagi, jika kelompok tersebut terbiasa mendapatkan bantuan (dana dan yang lainnya) dari pemerintah. Mengingat bantuan yang selama ini mereka nikmati, hampir pasti, mereka tidak bisa mendorong kebijakan ataupun sekadar mengkritik pemerintah.
Hal seperti itulah yang coba diberantas gerakan hari ini. Gerakan, literasi ataupun yang lain, harus bisa berjalan secara mandiri. Bukannya tidak boleh mendapat bantuan, tapi jika mengharapkan, tentu saja itu adalah hal yang tidak baik. Karena, bagi pimpinan Pustaka Bergerak Indonesia Nirwan Ahmad Arsuka, mengharap bantuan pada pemerintah sama saja dengan mengharapkan kematian bagi gerakan literasi.
“Jangan pernah berharap bantuan pada pemerintah, karena itu mematikan,” ujar Nirwan dalam Pidato Kebudayaan di Penutupan Festival Literasi Tangsel 2018.
Pada pidato kebudayaan tersebut, Nirwan menyampaikan satu gagasan yang sebenarnya sederhana, tapi sebenarnya begitu fundamental. Bagaimana maksud baik membangun satu gerakan literasi harusnya dibarengi dengan upaya yang baik juga dalam menghidupi gerakan. Jangan sampai, seperti kata WS Rendra, maksud baik tidak selalu berguna.
Gerakan literasi harus mandiri, harus mampu menghidupi gerakannya agar kemudian tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun. Apalagi, kebiasaan mengharap bantuan itu hanya akan menjadi satu hal yang bakal memecah kelompok literasi. Karena, nantinya satu kelompok bakal saling sikut dalam kompetisi untuk mendapatkan bantuan pemerintah yang (sebenarnya) jumlahnya tidak seberapa itu.
Jika sesama kelompok literasi sudah saling sikut demi bantuan, tentunya bakal ada preseden yang buruk bagi gerakan. Apalagi, sebagai sesama pegiat, harusnya solidaritas dan kerja sama adalah hal yang lebih diutamakan. Saling bantu dan menghidupi akan menjadi hal yang lebih penting ketimbang bantuan dana (sesaat) yang diberikan dengan memakan bangkai saudara sendiri.
Karenanya, gerakan literasi harus dibangun secara mandiri. Manfaatkan segala hal yang kita miliki untuk bergerak. Kalau punya perahu, gunakan untuk literasi. Kalau punya motor, gunakan untuk literasi. Kalau punya sepeda, gunakan untuk literasi. Kalau tidak punya apa-apa, gunakan tenaga dan pikiran kita untuk membantu gerakan yang sudah ada.
Bangun unit usaha berbasis keterampilan yang dimiliki anggota kelompok. Kalau bisa menulis, buat naskah bagus hingga bisa dijual ke media. Kalau punya kemampuan fotografi atau editing video, gunakan demi kepentingan kelompok juga. Jangan cuma mau dapat ilmu di gerakan literasi, tapi tidak mau ikut menghidupi komunitas dari kemampuan kita sendiri.
Dengan kemandirian, gerakan bisa berjalan dengan nafas yang lebih panjang. Tak perlu lagi mengharapkan bantuan. Karena gerakan yang baik itu tidak pernah meminta bantuan. Justru akibat gerakan yang kiita lakukanlah, bantuan bakal datang kepada kita. Setidaknya, dari masyarakat sekitar yang benar-benar merasakan manfaat dari keberadaan gerakan ini.
Berdasar pengalaman para simpul Pustaka Bergerak, bantuan dari masyarakat adalah hal nyata yang dapat kita rasakan. Misalkan teman-teman Motor Pustaka yang tidak diperbolehkan membayar bensin oleh pengusaha bahan bakar setelah bertugas. Atau anggota gerakan yang tidak diizinkan membayar makan di warung setelah membuka lapak. Tanpa diminta pun, masyarakat bakal ikhlas membantu selama gerakan itu nyata dirasakan mereka.
Pun kalau gerakan sudah bagus, bisa jadi pemerintah malah mau memberikan bantuan kepada kita tanpa diminta atau diharapkan. Toh dengan kerja organisasi yang baik, saya kira pantas saja ada gerakan yang mendapat bantuan. Tapi ingat, jangan sampai gerakan dibangun dengan angan dan harap mendapat bantuan. Anggap saja, kalau dapat bantuan pemerintah, itu adalah bonus dari kerja keras kita.
Kalau sudah mandiri, gerakan literasi bakal memiliki strata atau kelas sosial yang tidak berbeda dengan pemerintah. Hingga nantinya, kita sebagai bagian dari gerakan bisa mendorong kebijakan atau mengkritik kerja pemerintah yang tidak tepat dalam urusan literasi. Dengan tidak meminta bantuan, gerakan literasi telah melakukan upaya untuk menyetarakan status mereka dengan pemerintah.
Kalaupun mendapat bantuan, itu tidak bakal mengubah posisi dan status kita di hadapan pemerintah. Lagipula, dengan organisasi yang mandiri, bantuan pemerintah bukanlah hal genting yang perlu kita dapatkan. Apalagi, bantuan pemerintah itu selalu ada batasnya. Kalaupun saat ini ada bantuan datang, belum tentu kemudian bantuan bakal hadir di tahun depan atau depannya lagi. Ingat, bantuan itu fana, semangat juang dan solidaritaslah yang abadi.
Kalau boleh jujur, kekalahan dari Persiraja Banda Aceh membuat kemungkinan lolos Persita semakin mendekati nol. Ya, saat ini, saya kira kemungkinan lolosnya Persita ke Liga 1 tinggal 10%. Itu pun kalau hari minggu nanti Persita bisa mengalahkan Persiraja di kandang sendiri.
Di atas kertas, boleh jadi Persita diunggulkan. Tampil di hadapan pendukung sendiri membuat semangat tim sepak bola Indonesia meningkat. Hal lain yang terdukung, kemungkinan wasit untuk lebih menguntungkan tim tuan rumah masih biasa terjadi di liga Indonesia. Kalau tidak percaya, silakan tanya pada pelatih klub yang kerap protes wasit (hampir) selalu menguntungkan tuan rumah.
Dari rekam pertemuan dengan Persiraja musim ini, Persita boleh jadi bakal kalah pada hari minggu nanti. Mengingat pada Babak Wilayah Liga 2 Persita hanya bisa mendapat satu poin hasil seri ketika bermain di kandang. Lagipula, pada laga minggu nanti ada beberapa pemain yang diragukan tampil seperti Ledi Utomo dan Egi Melgiyansah karena cedera.
Tapi, persoalan yang ada di atas bukan menjadi faktor kunci buruknya performa tim ini. Ketika berhadapan dengan PSS Sleman akhir Oktober lalu, Ledi Utomo kerap melakukan kesalahan yang membahayakan gawang Persita. Kemudian, kiper Yogi Triyana juga melakukan satu kesalahan fatal yang berakhir bobolnya gawang Persita.
Memang sih, Ledi adalah pemain penting di lini belakang. Ia menjadi andalan tim dalam menghadapi bola-bola udara. Sementara Yogi kerap melakukan penyelamatan yang krusial. Sayangnya, konsistensi adalah musuh keduanya. Ledi semakin lambat bergerak, sementara Yogi beberapa kali kedapatan blunder. Itu belum ditambah kurang padunya Ledi dengan Rio Ramandika yang kerap membahayakan gawang sendiri.
Maju ke lini tengah tim Persita, Egi yang menjadi kapten telah kehilangan sebagian besar kemampuan. Badannya semakin besar, larinya semakin pelan. Saat pertandingan melawan Perserang Serang di laga pamungkas Babak Wilayah, Ia terlihat kepayahan mengejar pemain lawan. Sementara Adit Gigis juga tidak punya visi membangun serangan yang baik. Ade Jantra, kadang bermain bagus kadang ya kita sama-sama tahu. Kurang daya gedor untuk menyuplai bola ke depan.
Jika ada pemain yang paling konsisten di Persita, mungkin hanya Diego Banowo yang mampu melakukannya. Visi bermainnya baik, secara posisi juga teknik. Ketika suplai bola kurang, Ia tak ragu bermain melebar agar bisa mendapatkan bola. Sayangnya, sepak bola bukanlah permainan satu orang. Butuh satu tim yang padu agar dapat menaikan performa klub.
Hal ini menjadi faktor utama kenapa potensi lolos ke Liga 1 bagi Persita boleh dikata hanpir mustahil. Apalagi, dari sisa tiga laga, dua pertandingan harus dilakoni secara tandang. Jadi, kalau pun lolos dari sergapan Persiraja di kandang, kemungkinan besar Persita bakal dikalahkan dua tim unggulan; PSS Sleman dan Madura FC pada laga tandang. Mungkin hanya keberuntungan yang bisa membuat Persita lolos ke Semifinal, itu pun bakal langsung keok.
Semua prediksi tadi bakal terwujud apabila Persita gagal memperbaiki performanya. Selama lini belakang masih mudah kocar-kacir dan gampang ditembus lawan, lini tengah melulu gagal menahan gempuran serta sulit membangun serangan, kemudian lini depan ya begitu-begitu saja, tidak ada kreasi dalam merobek jala lawan.  Agaknya mimpi lolos Liga 1 masih terlalu jauh untuk dicapai.
Pertama terbit di Baca Tangerang
Perayaan Hari Buku Nasional 2017 merupakan salah satu sebuah kado indah bagi perjuangan pegiat literasi. Di hari itu, pemerintah Republik melalui PT Pos Indonesia, bekerja sama dengan Pustaka Bergerak, menggelar program pengiriman buku gratis dengan tajuk free cargo literacy. Program ini berlaku di tanggal 17 setiap bulannya, dan telah berjalan sekira 18 bulan.
Keberadaan program ini sendiri menjadi anugerah bagi para pegiat literasi. Menggratiskan pengiriman buku sama saja mengurangi beban biaya untuk mendistribusikan donasi buku ke berbagai pelosok nusantara. Betapa sangat terbantunya teman-teman pegiat di ujung nusantara yang bisa mendapatkan kiriman buku dari teman-teman pegiat yang lain. Betapa bahagianya anak-anak yang akhirnya bisa mendapatkan kesempatan untuk membaca.
Askses dan mahalnya biaya distribusi menjadi dua dari sekian persoalan para pegiat literasi di pelosok nusantara. Bagaimana, mereka dan taman bacaannya kekurangan buku dan fasilitas penunjang untuk mengajak anak-anak di tempat mereka gemar membaca. Bagaimana, mereka harus mengeluarkan biaya besar jika ingin mendatangkan buku-buku berkualitas dari pusat kekuasaan di Jawa sini.
Mungkin, hal semacam ini tidak pernah terbayangkan bagi masyarakat. Bagaimana teman-teman pegiat Taman Baca Masyarakat Bina Generasi di Cinangka Serang, Taman Bacaan Cinta Baca Masni di Papua Barat, Komunitas Rumah Relawan Remaja di Aceh, serta beragam TMB dan Rumah Baca lainnya akhirnya bisa mendapat bantuan buku dari masyarakat. Akhirnya, ada juga pihak yang mau memperhatikan kebutuhan banyak taman baca.
Sejauh ini, telah diterbangkan 289 ton buku ke seluruh penjuru nusantara. Dari ujung barat hingga timur Republik ini, dari utara hingga selatan semua akhirnya mendapatkan kesempatan dikirimi buku donasi. Dan hal ini hanya dapat terjadi karena PT Pos Indonesia mau menggratiskan pengiriman donasi buku bagi seluruh simpul Pustaka Bergerak.
Karenanya ketika PT Pos Indonesia mengeluarkan wacana untuk memberhentikan sementara program pengiriman buku gratis ini, seluruh pegiat literasi berteriak. Tidak, jangan, tolong teruskan. Begitu kira-kira suara yang disampaikan para pegiat literasi. Meski kemudian kita sama-sama tahu, PT Pos tidak salah, mengingat beban besar yang telah dikeluarkan selama ini hanya ditanggung mereka sendiri.
Awalnya, beban biaya pengiriman buku gratis ini bakal dibebankan pada beberapa pihak. Bukan hanya PT Pos semata. Sayangnya, hingga hari ini, bantuan terhadap PT Pos tak kunjung datang. Tak pernah ada bahasan dari pemerintah melalui Kementerian BUMN untuk membantu PT Pos agar terus menerbangkan donasi buku ke seluruh pelosok negeri.
Melihat hal ini, tentu saja, saya tidak bisa tidak marah kepada negara. Ternyata, kebijakan yang kiranya datang dari mereka justru dibebankan hanya kepada PT Pos. Tidak pernah ada bantuan, atau subsidi bagi PT Pos. Yang ada hanya pujian dan ucapan selamat, yang tentu saja, ke depannya terbebani hingga membuat buku-buku itu sulit terjangkau ke pelosok negeri.
Untuk mengatasi hal ini pemerintah jelas harus memberi subsidi melalui alokasi di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tanpa melakukan ini, tentu saja PT Pos bakal kesulitan meneruskan program yang amat berharga ini. Atau setidaknya, jika memang pemerintah tidak mau ‘membebani’ APBN dengan alokasi anggaran untuk hal ini, berikan perintah pada Kementerian BUMN agar memberi alokasi dana lebih untuk PT Pos guna melanjutkan pengiriman buku gratis ini.
Apabila tindakan seperti itu tidak dilakukan pemerintah, bisa jadi program Free Cargo Literacy tidak akan dilanjutkan oleh PT Pos Indonesia. Dan jika hal itu terjadi, gerakan literasi yang sepanjang dua tahun ini tumbuh subur mungkin bakal layu karena kurang kiriman buku. Dan jika hal ini terjadi, kita sama-sama tahu siapa yang menjadi dalang bagi upaya untuk mematikan gerakan literasi seperti sekarang.