Aditia Purnomo


Saya kira ponsel dengan konfigurasi kamera sempurna itu hanyalah mitos belaka. Dan yang namanya mitos, seringkali mustahil untuk dihancurkan. Ternyata, ponsel baru keluaran Huawei berhasil menghancurkan mitos tersebut. Huawei belum lama ini memperkenalkan seri P30 Pro yang memiliki konfigurasi 4 kamera lengkap dengan kamera teleskopnya.

Memang bajingan betul Huawei ini. Belum habis euforia Mate 20 Pro yang masih menjadi ponsel berbasis Android terbaik saat ini, eh mereka mengeluarkan ponsel baru di lini seri spesialis kamera, yaitu P30 Pro. Dengan dipersenjatai fitur yang nggak jauh-jauh amat di sektor jeroan dan antarmuka, P30 Pro tampil jauh lebih perkasa pada sektor kamera ketimbang seluruh kompetitornya. Bahkan untuk sekelas Samsung Galaxy S10 Plus yang memiliki fitur Super Steady sekalipun.

Huawei Mate 20 Pro dan P30 Pro ini sebetulnya sangat mirip secara spesifikasi. Keduanya sama-sama mengandalkan chipset Kirin 980 dan pemroses grafis GPU Mali-G76, menggunakan layar OLED, baterai berkapasitas 4.200 mAh, serta pilihan RAM 6 GB / 8 GB dengan penyimpanan 128 GB / 256 GB.

Secara penampilan, kedua ponsel ini boleh dibilang memiliki perbedaan yang cukup signifikan dari sisi penempatan kamera belakang dan bentuk poni (notch) yang berbeda. Pada P30 Pro, Anda akan menemukan konfigurasi 4 kamera dengan model berjejer ke bawah ditambah kamera teleskop dan flashlight yang ada di sampingnya. Sementara bentuk poninya menggunakan model waterdrop yang cuma secuil itu.

Untuk urusan performa, ponsel ini memang tergolong ‘biasa saja’ untuk kategori flagship. Bermodal skor Antutu di angka 280 ribuan, P30 Pro masih kalah kuat dibandingkan dengan Galaxy S10 Plus yang memiliki skor 320 ribuan dan atau iPhone XS dengan skor 350 ribuan. Jadi, bagaimana bisa P30 Pro yang ‘kalah’ secara performa ini dibilang lebih unggul ketimbang Samsung dan iPhone? Tentu saja melalui konfigurasi kamera yang dimilikinya.

Ya, saya tidak akan ragu menyebut P30 Pro sebagai ponsel dengan konfigurasi kamera terbaik saat ini. Bukan karena mereka memiliki 4 kamera di belakang, tapi lebih karena terdiri dari 4 jenis kamera sekaligus yang mampu memberikan hasil gambar yang amat luar biasa. Jadi tidak usah meragukan angka DxOMark pada Huawei P30 Pro yang memiliki skor 112, dengan rincian 119 untuk foto, 97 untuk video, dan 89 untuk selfie.

Dengan modal kamera utama beresolusi 40 MP, Ultra Wide 20 MP, kamera ‘periskop’ 8 MP, serta kamera Time of Flight (ToF) untuk 3D depth scanning, boleh dibilang ini adalah konfigurasi kamera paling lengkap yang ada di ponsel pintar saat ini. Belum lagi kamera depannya juga memiliki resolusi 32 MP, sangat pantas jika ponsel ini disebut sebagai biangnya kamera kualitas tinggi.

Bagian yang paling mengesankan adalah saat pengambilan gambar pada mode malam dan kualitas zoom-nya yang membuat saya ingin berkata bangsat itu. Dengan keberadaan kamera ‘teleskop’, P30 Pro mampu memberikan 5X optical zoom, 10X hybrid (gabungan optical dan digital), serta 50X digital zoom. Jika kalian melihat hasil pengambilan gambarnya, ponsel ini mampu mengambil objek pada jarak jauh dengan sangat detail serta menghasilkan kualitas gambar yang amat baik.

Mode malam pada kamera ini pun sungguh-sungguh anjay. Dengan sensitivitas ISO yang mencapai 409600, P30 Pro berhasil mengejek Samsung Galaxy S10 Plus dan iPhone XS Max yang gagal mengambil gambar dengan baik pada keadaan super gelap. Tanpa perlu panjang lebar, berikut ini adalah contoh pengambilan gambar mode malam yang diambil dari peluncuran P30 Pro.
Perbandingan ISO kamera Huawei P30 Pro dibandingkan smartphone lain.
Perbandingan ISO kamera Huawei P30 Pro dibandingkan smartphone lain.
Perbandingan hasil kamera mode gelap Huawei P30 Pro dibandingkan smartphone lain (1)
Perbandingan hasil kamera mode gelap Huawei P30 Pro dibandingkan smartphone lain (1)
Perbandingan hasil kamera mode gelap Huawei P30 Pro dibandingkan smartphone lain (2)
Perbandingan hasil kamera mode gelap Huawei P30 Pro dibandingkan smartphone lain (2)
Ah satu lagi, fitur ToF yang ada di P30 Pro ini mampu memberikan 3D hingga dapat mengukur jarak, panjang, luas, dan sudut objek yang ditangkap sensornya. Kalau masih bingung, ini seperti fitur yang ada pada aplikasi Measure di iPhone XS. Jadi, P30 Pro sudah kompatibel untuk beragam aplikasi yang memanfaatkan Augmented Reality berbasis kamera.

Sudah puas dengan semua yang ditawarkan P30 Pro tadi? Berikut akan saya tambah satu hal menggembirakan dari peluncuran ponsel ini. Untuk harga jualnya di Eropa, P30 Pro menawarkan harga 999 Euro atau sekitar Rp 16 juta. Ponsel ini terdiri dari beberapa pilihan warna, diantaranya Aurora, Amber Sunrise, Breathing Crystal, Black, dan Pearl White.

Yang perlu diingat, harga Mate 20 Pro saat pertama kali dirilis pun berada di angka 849 Euro atau Rp 14,8 juta, tapi nyatanya harga jualnya di Indonesia hanya ada di kisaran Rp 11.999.999. Jadi, bisa saja harga jual di Indonesia untuk ponsel ini berada cukup jauh di bawah harga pasar Eropa-nya. Mungkin sekitar Rp 13 jutaan, semoga saja!

Buat kalian yang berminat, ponsel Huawei satu ini sudah bisa dipesan secara pre-order di Indonesia mulai tanggal 12 April mendatang. Ini juga termasuk satu kabar bagus yang ditawarkan Huawei untuk pasar Indonesia mengingat biasanya harus menunggu cukup lama sampai berbulan-bulan sebelum ponsel mereka resmi masuk ke Indonesia.


Ponsel pintar bagi sebagian orang telah menjadi bagian dari alat produksi. Apalagi di zaman yang serba digital ini, penggunaan aplikasi-aplikasi berbasis mobile dan internet menjadi penunjang penting dalam aktivitas sehari-hari. Pesan ojek, pakai hape. Beli baju, pakai hape. Ngurus kerjaan, pakai hape. Cari kabar mantan, juga pakai hape.

Nah, saking pentingnya hape dan internet, urusan pulsa dan paket data semakin diperhitungkan sebagai salah satu komponen hidup layak yang posisinya kira-kira sama dengan pangan, papan, dan sandang. Oleh sebab itu, mau semiskin apapun kamu, setidaknya kamu pasti pernah melirik dan berangan-angan punya ponsel yang selalu kekinian, baik dari spesifikasi maupun gaya. Toh sekarang semakin banyak hape berkualitas dengan harga ‘murah’.

Agar tidak kebingungan, berikut akan saya rekomendasikan hape-hape terbaik dari setiap rentang harga untuk Anda. Penting untuk diingat, membeli hape itu bukan seperti membeli permen, kalau tidak suka bisa langsung buang. Harus ada perhitungan khusus. Dari soal menilai kebutuhan sampai budget yang kita punya, sebelum akhirnya memutuskan mau membeli yang mana.

Dan inilah hape-hape yang saya rekomendasikan:

Kisaran Harga 1 Jutaan
Pada kisaran harga sejutaan ini ada beberapa ponsel yang (masih) layak dijadikan pasangan. Jika budgetmu ada di bawah sejutaa dan butuh ponsel sekadar untuk melancarkan komunikasi, kalian bisa membeli Redmi Go yang harganya 899 ribu rupiah. Hape ini adalah keluaran Redmi yang mengandalkan Android Go dengan ragam aplikasi yang lebih enteng. Mohon maklum, dengan memori internal 8GB dan RAM 1 GB, setidaknya hape ini bisa mengenalkan smartphone dengan performa enteng kepada penggunanya.

Jika budgetmu ada di atas 1 jutaan, saya tidak ragu untuk memilih Realme 3 dengan harga Rp 1.799.000. Bermodal chipset Helio P60 dan GPU ARM Mali-G72, serta RAM 3 GB sekaligus penyimpanan 32 GB, inilah ponsel yang memiliki skor 130-ribuan di Antutu Benchmark. Soal performa, jangan ragukan kemampuan hape ini. Dilengkapi baterai 4.230 mAh, dual kamera 13 MP plus 2 MP, serta telah beroperasi dengan Android 9.0 Pie, saya kira ponsel ini telah mampu bersaing dengan ponsel di kelas harga 2 jutaan.

Kisaran Harga 2 Jutaan
Tanpa ragu saya akan merekomendasikan ponsel yang baru saja diluncurkan di Indonesia ini: Redmi Note 7. Memang sih masih ada Samsung Galaxy M20 yang kualitasnya juga oke, tapi dari segi performa hape ini tidak ada lawan di kelas harga 2 jutaan. Bermodal skor Antutu di kisaran 140-ribuan, Redmi Note 7 bahkan mengalahkan Realme 2 Pro dan Asus Zenfone Max Pro M2 yang sama-sama menggunakan Snapdragon 660 dengan RAM 4 GB dan penyimpanan 64 GB.

Nilai tambah dari hape ini tentu saja ada di keputusan Redmi menggunakan USB Type C pada I/O port-nya. Hal ini membuat pengisian daya dan perpindahan data bakal lebih ngebut ketimbang USB B yang biasa. Selain itu, ponsel ini dilengkapi fitur night mode pada kamera depannya yang beresolusi 48 MP + 5 MP. Redmi Note 7 menggunakan bahan kaca pada body belakangnya.

Dan yang paling penting, harga Redmi Note 7 ini hanya ada di angka Rp 2.599.000, jauh di bawah Realme 2 Pro dan Asus Zenfone Max Pro M2. Tak salah lagi, memang hape ini paling ngehe untuk urusan price to performance.

Coba, sebutkan lawan yang lebih baik dari Redmi Note 7 yang hadir tahun ini?

Kisaran Harga 3 Jutaan
Sebenarnya pada rentang harga ini saya tak ingin merekomendasikan hape apapun. Kebanyakan hape di kelas ini menggunakan prosesor sekelas Snapdragon 660, yang sudah bisa dibeli di harga 2 jutaan seperti rekomendasi di atas. Lebih baik, beli Redmi Note 7 yang masih dapat kembalian untuk beli data internet atau uangnya ditabung lagi biar bisa masuk di kategori 4 jutaan.

Kisaran Harga 4 Jutaan
Menurut saya hanya ada dua ponsel yang layak dipertimbangkan untuk dipilih pada kategori ini: Pocophone F1 atau Honor Play. Kedua ponsel ini sudah menggunakan SOC (system-on-a-chip) terbaik di tahun 2018, Snapdragon 845 pada Poco dan Kirin 970 pada Honor Play. Tapi, berhubung Honor Play tidak masuk resmi ke Indonesia, pilihan saya jatuh pada Pocophone F1 mengingat price to performance-nya yang paling oke sejauh ini.

Bayangkan, ketika merek lain bikin hape dengan chipset Snapdragon 845 di kisaran harga 7 juta ke atas, eh ini merek malah cuma kasih harga di kisaran 4,5 jutaan. Sudah begitu, konfigurasi kamera 12 MP + 5MP yang dimiliki juga bajingan betul bagusnya. Kekurangannya ada pada body belakang yang cuma terbuat dari bahan plastik dan desainnya yang terlihat biasa-biasa aja.

Kisaran Harga 5-10 Jutaan
Masuk di rentang angka 5 juta, saya perlu untuk melebarkan batasan harganya. Setidaknya sampai 10 juta. Masalahnya di atas angka itu, kelas ponselnya sudah semakin berbeda. Ibarat kata, di rentang harga yang ini cuma kelasnya orang punya uang, tapi di atas 10 juta itu udah levelnya sultan. Titik.

Nah, ada banyak banget rekomendasi hape yang bisa kita pilih di kategori ini. Mulai dari Asus Zenfone 5z, Google Pixel 2 XL, iPhone 7 Plus, dan tentu saja Samsung S9 Plus (hape ini udah di bawah 10 juta, cuyyyy… ). Dan rekomendasi saya jatuh kepada Vivo V15 Pro yang baru saja dirilis.

Memang sih, secara performa hape-hape tadi bisa ngalahin Vivo V15 Pro. Apalagi yang pakai jeroan Snapdragon 845 lengkap dengan segambreng fitur macam Asus Zenfone 5z. Tapi ada dua hal yang tidak semua hape tadi punya dan menjadi andalan di V15 Pro: body depan bentuknya sudah layar semua (tanpa poni atau notch) dan fitur pemindai sidik jari di dalam layar (on-screen).

Dua fitur ini layak menjadikan V15 Pro dengan banderol Rp 5.699.000 sebagai ponsel yang lebih pantas dimiliki ketimbang semua ponsel lain di kategori ini yang kebanyakan masih bergaya old-school. Apalagi, prosesor Snapdragon 675 serta RAM 6 GB dan penyimpanan internal 128 GB mampu memberikan skor Antutu hingga 179-ribuan yang tidak kalah dengan para ‘mantan’ flagship tersebut.

Perkara kameranya, Vivo V15 Pro nggak usah ditanya lagi. Malah menurut saya ini salah satu ponsel dengan konfigurasi mode malam terbaik yang ada saat ini.

Kisaran Harga di Atas 10 Jutaan
Nah, kategori terakhir ini hape-hape dengan harga di atas 10 juta alias level sultan. Ada beberapa yang layak banget direkomendasikan, mulai dari Samsung Galaxy S10 series, iPhone XR dan XS series, Huawei Mate 20 Pro, dan Google Pixel 3 XL. Kalau di level ini sih, hape manapun yang dipilih nggak bakal mengecewakan dari segi apapun, kecuali mahalnya. Tapi jika boleh kasih rekomendasi, saya lebih memilih iPhone XR untuk preferensi iOs atau Huawei Mate 20 Pro untuk pengguna Android.

Meskipun harganya disunat, tapi performa iPhone XR sama bajingan dengan yang lebih mahal. Konfigurasi kameranya juga sama bagus, cuma beda di jumlah kamera saja. Sisanya, ente-ente bakal merasakan performa hape seharga 20 jutaan yang bisa ditebus dengan harga 15 jutaan.

Nah kalau perkara Android, emang sih Pixel masih menjadi hape Android dengan konfigurasi kamera terbaik. Tapi, dengan fitur yang lebih lengkap (pemindai sidik jari dalam layar, NFC, Reverse Wireless Charging, IP68, dan Supercharge yang bisa nampung daya sampai 40watt), saya kira Huawei Mate 20 Pro masih menjadi opsi terbaik untuk hape Android level sultan.

Memang sih secara performa keseluruhan Samsung Galaxy S10 juga bagusnya minta ampun. Namun, kalau hanya ingin kamera yang lebih baik (dan harga yang lebih murah), Huawei Mate 20 Pro adalah jawabannya. Harga Huawei Mate 20 Pro adalah yang paling murah dari semua ponsel sultan yang sudah disebut. Cuma dibanderol seharga Rp 11.999.000 kok, nggak ada apa-apanya buat sultan mah…



Ketika berita tabrakan dua kereta pada uji coba MRT di laman Facebook saya muncul beberapa waktu lalu, saya merasa bingung harus menanggapi kesuraman bangsa ini dengan cara bagaimana lagi.

Ya, mohon maklum, saya adalah warga yang mengharapkan negara ini bubar saja karena hampir pasti tidak punya masa depan kalau masyarakatnya benar-benar wagu todemax dalam memamah segala macam informasi.

Hedeh, perpecahan antar golongan/kelompok di negara ini sudah masuk dalam taraf yang amat memuakkan, dan menurut saya hampir mustahil untuk diselamatkan. Ibarat ada batasan tolol, nah yang beginian ini tololnya sudah sampai makrifat.

Iblis yang godain Nabi Adam pasti malu ternyata kita jauh lebih jago ketimbang dia. Udah lah, Blis, mending segera ajuin surat pensiun dini aja elu.

Jika tak percaya, coba saja lihat pada berita di soal kecelakaan MRT itu. Pada publikasi berita di lamannya, tertulis kepsyen yang menunjukkan bahwa kecelakaan tersebut terjadi di Hongkong. Sementara di preview image, dituliskan dengan provokatif: “Duh, Dua Kereta MRT Tabrakan Saat Uji Coba.”

Lalu seperti yang sudah diduga, pada kolom komentar, bakal dengan mudah kita temukan tanggapan model begini: “Wah, ini mah jelas salah Jokowi terlalu memaksakan kehendak buat pencitraan, makan tuh infrastruktur bodong.”

Omaigaaat.

Membaca komen model begitu kok saya mendadak jadi pengen segera nyemplung ke Kawah Candradimuka biar jadi Gatotkaca lalu mengacak-acak khayangan biar jadi muridnya Biksu Tong. Habis itu dapat kitab suci di Barat, bikin agama penyembah ubur-ubur, terus kiamat. Kelar deh Galaksi Bima Sakti.

Lha gimana saya nggak gemes-gemes tai ayam? Pada level kayak begini, saya sebenarnya bingung siapa yang patut dipersalahkan. Media yang bikin judul klikbet, netizen yang malas baca, politik yang bangsat, masyarakat yang sok benar, atau yang nulis ini?

Halah, embuh.

Memang semua punya porsi untuk disalahkan. Media yang memberitakan kejadian itu memiliki peran cukup besar untuk mengecoh publik dengan tidak menampilkan lokasi kecelakaan hingga membuat orang-orang mengira hal tersebut terjadi pada uji coba MRT di Jakarta.

Hal ini kemudian tersinkronasi dengan sangat manis, sehingga menjadikan ketololan yang harmonis karena bersetubuh dengan kemalasan membaca para inlander-inlander gagap teknologi. Lalu terpercik lah reaksi kimia yang menciptakan bahan bakar keributan. Terbakar, terbakar, lalu yang tadinya hangat lama-lama jadi panas.

Uniknya, ketika keadaan udah panas gitu, ada saja orang-orang jahat yang doyan dengan keributan. Mencari area-area panas di media sosial. Lalu bersolek mempertontokan Kegoblokan 4.0-nya di sana tanpa malu-malu. Seperti menikmati adanya perpecahan, perkelahian, maki-makian, lalu merayakan terbelahnya kehidupan masyarakat.

Sama kayak efek Pilpres 2019 hari ini yang benar-benar membelah kehidupan masyarakat jadi tiga. Kalau bukan cebong, kampret, ya faksi golput. Hal ini diperburuk dengan keyakinan setiap kubu bahwa pilihan mereka paling benar yang di level tertentu menjadi amat menyebalkan. Jangan salah, ini termasuk yang golput loh ya?

Dulu sih saya punya keyakinan bahwa politik identitas yang diciptakan oleh media dan elite adalah biang keladi dari semua kesuraman ini. Apalagi belakangan Pilpres 2019 ini makin kelihatan bangsatnya karena atmosfer yang tercipta bikin perih di mata.

Walau kemudian, keyakinan itu makin terkikis dengan kesadaran bahwa… Halah! Memang kita saja yang masih menikmati segala macam konflik.

Hingga akhirnya, diri ini menemukan sumber permasalahan yang memang tidak bisa diselesaikan: kita saja yang senang ribut dan menikmati kalau ada musuh.

Konon sejarah sih manusia memang begitu akrab dengan keributan. Di zamannya Gajah Mada, masing-masing kerajaan yang ada fokus membangun kekuatan militer untuk merebut wilayah kerajaan lainnya.

Pakai cara apa? Ribut dong. Perang.

Di masanya penjajahan, ketamakkan Portugis, Belanda, Jepang, dan teman-temannya membangkitkan perlawanan masyarakat Nusantara. Ya, kesatuan dan persatuan yang dulu pernah kita punya memang hanya untuk bertarung bersama melawan kelompok yang lebih kuat.

Pakai cara apa? Ribut lagi dong. Masa iya merdeka gara-gara menang turnamen karambol? Kan nggak.

Makanya, di zaman yang katanya damai dan tenteram ini, opsi keributan yang bisa kita ciptakan hanyalah melalui politik (kadang juga bisa lewat bola dan agama sih) yang kebetulan sedang ada hajatannya dalam bentuk Pilpres 2019 ini.

Kesenangan untuk menyalah-nyalahkan orang lain, melihat orang lain tertindas dan kalah, seolah dapat area bermainnya. Seolah kita disediakan Colosseum untuk jadi gladiator-gladiator keributan yang semakin memanaskan negeri ini.

Pada akhirnya menyalahkan politik dan hajatan Pilpres 2019 atau keberadaan Jokowi dan Prabowo itu cuma alasan aja. Kesuraman bangsa ini lahir ya karena kita emang gemar dan doyan ribut. Kalau nggak ribut rasanya bisa sakaw gitu. Macam udah jadi kebutuhan primer.

Sandang, pangan, dan keributan.

Papan mah nggak penting. Lagian buat apaan sih rumah yang bisa menaungi panas dan hujan kalau nggak ada keributan? Ya nggak?




Tahun 2015 adalah kali pertama saya mendengar kasus penggusuran di Kampung Baru Dadap, Kabupaten Tangerang. Dan kini, setelah hampir 4 tahun berlalu, persoalan ini tak kunjung usai. Tentu saja bukan belum selesai dalam arti pembangunannya, tetapi yang belum selesai adalah perjuangan masyarakat untuk mempertahankan hak hidupnya.

Sepanjang pemahaman saya, perjuangan masyarakat Dadap bermula tatkala wacana ‘pembangunan’ bertajuk penataan ulang Kampung Dadap Baru dihembuskan. Pembangunan ini dirasa perlu untuk terwujud pasalnya bukan karena kampung ini dianggap kumuh. Melainkan karena kampung ini dikenal sebagai kawasan prostitusi yang penuh dosa.

Setelahnya, masyarakat memutuskan untuk menutup sendiri aktivitas prostitusi di kampungnya. Ketika datang ke sana sekitar tahun 2016, saya melihat sendiri bagaimana bekas-bekas kafe tempat prostitusi telah roboh. Lebih tepatnya telah dirobohkan oleh masyarakat sendiri. Tujuannya jelas, membuktikan kepada pemerintah bahwa kampung ini tidak perlu digusur, hanya cukup memberantas prostitusi.

Sayang, tujuan pembangunan yang hendak dilakukan pemerintah memang bukan semata untuk memberantas maksiat. Pasca penutupan prostitusi, warga masih saja diminta untuk segera pindah karena kampung tersebut harus ditata ulang. Kali ini, alasan kumuh mulai digunakan. Meski kemudian, kita akhirnya sama-sama tahu tujuan sebenarnya dari pembangunan ini tidak lain adalah untuk mendukung pembangunan reklamasi.

Asal tahu saja, di utara kampung ini telah berbentuk beberapa pulau reklamasi yang siap dilanjutkan pembangunannya. Demi mewujudkan akses dari Tol Bandara menuju pulau reklamasi, Kampung Dadap Baru dipilih sebagai lokasi tepat untuk pembangunan jalan. Meski begitu, dalih yang digunakan pemerintah untuk menata kampung adalah pembangunan islamic center di kampung ini agar segera terlepas dari sisa kemaksiatan prostitusi. Tapi, ya, itu hanya kedok dari tujuan besar pembangunan jembatan penghubung ke pulau reklamasi.

Saya kira semua orang sepakat bahwa pembangunan adalah sesuatu yang harus dilakukan pemerintah demi kepentingan masyarakat. Terutama, untuk terwujudnya kesejahteraan merata. Sialnya, hal semacam ini jarang berlaku dalam pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kita. Kalaupun demi kepentingan masyarakat, kita sama-sama tahu masyarakat mana yang dipilih untuk diwujudkan kepentingannya.

Hal ini yang kemudian menjadi bahan bakar masyarakat Kampung Dadap untuk melakukan perlawanan. Pembangunan yang menggusur dan mematikan hidup mereka tentu akan dilawan sepenuhnya. Semua bukan lagi berbicara menanggung beban kerugian satu pihak, melainkan seluruh lapisam kalangan, dari yang muda hingga tua turut terseret imbasnya.  Sebab Ini menyangkut persoalan hidup masyarakat Kampung Dadap untuk mempertahankan hidup.

Tentu saja, ada sebagian yang sepakat bahwa kampung mereka perlu ditata. Hanya, mekanisme penggusuran bukanlah sesuatu yang solutif untuk hidup mereka. Memindahkan hidup manusia ke tempat baru, dengan segala pungutannya dan ketiadaan lapangan pekerjaan, sama saja dengan memasukkan mereka ke dalam penjara kemiskinan. Sudah hidup saja susah, malah ada pembangunan yang hampir mematikan hidup.

Selama ini nelayan Dadap dikenal dengan produk kerang hijau yang banyak dikonsumsi masyarakat. Dalam satu tahun bahkan mereka bisa memproduksi hingga 1,7 ton. Selain kerang hijau, tentu saja ada rajungan juga beragam ikan yang mereka hasilkan. Tetapi kemudian, semua berubah sejak pembangunan pulau reklamasi dilakukan.

Jika dulu mereka tidak perlu melaut hingga ke tengah untuk mendapatkan ikan, sekarang mereka harus bertarung di laut dalam untuk mendapatkan ikan. Tentu saja, dengan modal solar yang semakin bertambah seiring dengan jarak pelayaran yang mereka lakukan. Itu pun, ketika melaut hingga ke kisaran pulau reklamasi, mereka akan diusir dan harus melaut ke wilayah yang lebih jauh lagi.

Seandainya memang pemerintah daerah hendak memperbaiki hidup masyarakat Dadap, harusnya mereka fokus untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat yang dulunya bergantung pada bisnis prostitusi. Ketika masih ada prostitusi, bisnis dan usaha masyarakat berjalan baik seiring dengan banyaknya tamu yang datang. Kini, binis makanan hancur kekurangan pelanggan. Para pemilik dan pekerja di kafe jadi pengangguran. Jadi nelayan pun sama saja, habis dihajar pembangunan pulau reklamasi.

Maka dari itu, ketika mendengar kabar izin pembangunan jembatan menuju pulau reklamasi telah dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Tangerang, rasa kesal dan amarah yang bertumpah ruah menghampiri saya kembali. Apalagi, beberapa hari setelah izin dikeluarkan, Kang Isul (Waisul Kurniawan) selaku Ketua Forum Mayarakat Nelayan Dadap ditangkap karena mengkritik izin tersebut, semakinlah rasa amarah ini menjadi-jadi.

Pada akhirnya, kini kita hidup di masa pembangunan menjadi salah satu indikator kemiskinan masyarakat. Omong kosong pembangunan dengan segala pengharapannya buat masyarakat. Selama pembangunan masih merampas hidup sebagian masyarakat sebagai ganti kemudahan pada masyarakat lainnya, selama itu juga perlawanan akan terus subur di bumi nusantara. Untuk apa ada pembangunan jika hanya digunakan sebagai pembunuh kehidupan masyarakat kecil?