Aditia Purnomo



Boleh dibilang bulan April ini adalah bulannya Samsung. Ketika merek lain jamak memperkenalkan satu atau dua ponsel dalam sekali peluncuran, Samsung justru memperkenalkan 5 produk kelas menengah terbarunya. Kelima gawai tersebut diperkenalkan dalam sebuah acara bertajuk ‘A Galaxy Event’ yang berlangsung di Bangkok, Thailand.

Acara yang berlangsung selama dua hari itu turut memperkenalkan 3 seri tablet terbaru mereka. Pertama adalah Galaxy Tab S5e yang memiliki spesifikasi paling tinggi. Ini adalah tablet berlayar AMOLED berukuran 10,5″ yang merupakan kakak dari Galaxy Tab S4. Bedanya, Galaxy Tab S5e menggunakan chipset berjenis Snapdragon 670. Meski akan dijual dengan harga Rp 7,5 juta, tablet ini cuma bisa masuk kelas mid-end dengan prosesor sekelas itu.

Selain itu, Samsung juga merilis dua tablet lain yang sama-sama menggunakan chipset Exynos 7904 dan berlayar IPS yakni Galaxy Tab A10 yang berukuran 10″ dan Galaxy Tab A with S-Pen yang berukuran 8″. Selain soal ukuran dan ketersediaan S-Pen, keduanya hampir tidak memiliki perbedaan. Keduanya sama-sama dibekali RAM 3 GB serta penyimpanan internal 32 GB.

Sehari setelah peluncuran tiga tablet itu, Samsung memperkenalkan dua ponsel andalan mereka untuk lini seri A yakni Galaxy A70 dan Galaxy A80. Ini menandakan tongkat estafet seri Galaxy A entry-level sebelumnya, Galaxy A10 dan Galaxy A20, segera bersambut dengan hadirnya Galaxy A70 dan A80 untuk kelas menengah.

Pada Galaxy A70, Samsung menggunakan chipset Snapdragon 675 lengkap dengan GPU Adreno 670. Dibekali dengan kapasitas RAM 6/8GB dan penyimpanan 128 GB yang memanjakan penggunanya tanpa perlu khawatir kapasitasnya bakal penuh dan bikin ponsel jadi letoy. Ponsel ini tampil dengan layar Super AMOLED berukuran 6,7″ dengan poni waterdrop yang membuat layar ponsel tampil semakin hemat bezel penuh.

Seakan menjadi sebuah hal yang melekat dengan ponsel kelas menengah ke atas ala Samsung, konfigurasi tiga kamera menjadi salah satu andalan A70. Susunan kamera belakangnya terdiri dari kamera utama 32 MP f/1.7, kamera ultrawide 8 MP f/2.2, dan kamera depth sensor 5MP f/2.2. Sementara di bagian kamera selfienya memiliki kekuatan 32 MP f/2.0.

Bagi saya, dengan spesifikasi seperti di atas, Galaxy A70 adalah ponsel yang bagus di kelasnya. Dengan harga sekitar Rp 5,8 juta, agaknya Samsung akan menjadikan ponsel ini sebagai lawan tanding dari Vivo V15 Pro. Namun, tetap saja Galaxy A80 yang diluncurkan bersamaan dengan Galaxy A70 ini memiliki potensi yang lebih layak beli karena hadir dengan tampilan layar penuh.

Well, akhirnya Samsung punya ponsel pintar berlayar penuh: tanpa poni, tanpa tompel, dan tanpa dagu sekaligus. Galaxy A80 adalah hal menyenangkan yang akhirnya ditawarkan Samsung untuk konsumennya. Apalagi, ponsel ini juga dibekali layar Super AMOLED berukuran 6,7″. Sudah layarnya penuh, pakai AMOLED pula, super oke untuk menopang kebutuhan multimedia.

Galaxy A80 menggunakan chipset baru Snapdragon 730 dengan dukungan 8 GB RAM dan penyimpanan internal sebesar 128 GB. Asal tahu saja, chipset terbaru dari Snapdragon ini terbilang tangguh karena memiliki performa yang sama seperti chipset ala flagship yang rilis dua tahun lalu, misalnya Snapdragon 835. Lewat nilai Antutu yang mencapai 200.000, ponsel ini sanggup melibas segala game kelas berat.

Sama seperti Galaxy A80, Galaxy A70 juga dibekali tiga sensor kamera. Galaxy A80  hanya memiliki 3 kamera belakang dengan resolusi 48 MP f/2.0 untuk kamera utama, 8 MP f/2.2 untuk ultrawide, dan satu TOF 3D camera.

Tak seperti Galaxy A70, Galaxy A80 hadir tanpa kamera selfiie. Lho, kok bisa? Tenang dulu. Bukan berarti ponsel ini tak bisa mengambil foto dan video dengan mode selfie, lho ya.

Rahasianya ada pada fitur teknologi menarik di ponsel ini yang disebut sebagai Pop Up Rotating Camera. Istilah itu digunakan untuk menjelaskan cara kerja kamera yang ada di belakang ponsel akan terangkat ke atas dan bisa diputar ke arah depan sehingga bisa dimanfaatkan sebagai kamera selfie. Sungguh satu fitur asyik yang amat saya harapkan hadir juga di Galaxy Note 10 nanti.

Untuk urusan fitur, kedua ponsel ini cenderung mirip. Keduanya sama-sama memiliki pemindai sidik jari di dalam layar (under display, bye-bye rear-mounted fingerprint!), mendukung pengisian daya cepat (fast charging) hingga 25 Watt, dan tidak memiliki sertifikat IP68 (anti debu dan air).

Kelemahan dari Galaxy A80 yang patut disambati dibandingkan Galaxy A70 adalah soal baterainya yang hanya dibekali daya sebesar 3.700 mAh. Bandingkan dengan Galaxy A70 yang dipersenjatai baterai ukuran jumbo sebesar 4.500 mAh.

Selain itu, ketersediaan jack 3,5 mm juga dihilangkan pada Galaxy A80. Di satu sisi ketersediaan jack tersebut masih bisa diperdebatkan, apakah termasuk kelemahan atau keuntungan. Jika dianggap jack 3,5 mm adalah kelemahan, toh pengguna masih bisa mendengarkan audio dan musik lewat headset/earphone nirkabel (bluetooth) yang semakin hari semakin murah harganya, sejurus dengan kualitasnya yang semakin bagus.

Apakah kalian sudah puas dengan spesifikasi yang ditawarkan Galaxy A80? Jangan dulu. Mengingat harga jualnya yang belum ketahuan dan potensi mahalnya harga ponsel ini. Biasanya sih, ponsel kelas menengah Samsung macam begini bakal dijual dengan harga mahal, setidaknya sedikit lebih mahal dari sesama kompetitor untuk spesifikasi yang mirip.

Bisa jadi, rentang harga yang ditawarkan Galaxy A80 ini ada di angka Rp 7-8 juta seperti Galaxy A8 dan A8+. Kalau sudah masuk di angka Rp 8 juta, ada baiknya kalian sekalian saja membeli Galaxy S10e yang harganya hanya Rp 10,5 jutaan. Ya hitung-hitung nambah dua juta untuk spesifikasi dan kualitas kamera yang lumayan jauh lebih baik.

Ingat selalu, ada harga, ada rupa!





Saya sepakat dengan larangan merokok saat berkendara. Namun, ketika Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat (Permenhub 12/2019) keluar, jujur saja, saya tidak sepakat-sepakat amat. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari regulasi ini, terutama, terkait maksud dan tujuannya.

Alasan utama dibuatnya aturan ini adalah untuk menghindari kecelakaan akibat hilangnya konsentrasi karena pengemudi kendaraan merokok. Ya, tujuannya seperti itu. Sekilas, memang tampak mulia. Tapi yang perlu diingat. Kebanyakan orang yang merokok saat berkendara justru melakukan aktivitas tersebut agar tidak mengantuk, agar konsentrasinya meningkat tatkala mengemudi.

Jadi, perintah pasal 6 regulasi tersebut yang berbunyi: “Pengemudi dilarang merokok dan melakukan aktifitas lain yang mengganggu konsentrasi ketika sedang mengendarai sepeda motor”, sebenarnya tidak teat-tepat amat untuk menjadi alasan agar para pengemudi kendaraan bermotor berhenti melakukan aktivitas itu.

Tentu saja merokok berbeda dengan menggunakan ponsel pintar ketika berkendara. Penggunaan ponsel tatkala itu memang menyita konsentrasi. Sementara merokok, justru dianggap meningkatkan konsentrasi. Jadi, ya aturan semacam ini justru bakal menimbulkan resistensi dari para pengemudi kendaraan karena landasan berpikirnya kurang tepat.

Oh ya, ada satu hal lagi yang perlu diluruskan dari Permenhub ini. Asal tahu saja, dalam aturan ini sama sekali tidak disebutkan sanksi atau denda Rp 750 ribu pada para pelanggarnya. Asumsi denda sebesar tadi didasarkan pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Di pasal 283 UU LLAJ disebutkan bahwa bagi pengemudi yang melanggar, terdapat ancaman hukuman penjara maksimal 3 bulan dan denda paling banyak Rp 750 ribu.

Saya tidak tahu bagaimana implementasi hukum yang bakal diterapkan. Namun, jika ancaman hukumannya adalah Rp 750 ribu, hukuman pada para pelanggar aturan ini juga tidak masuk akal. Okelah kalau memang aturan ini mau diterapkan, tapi besaran denda yang diberikan itu agak keterlaluan. Apalagi sosialisasi sebelum atuan ini diterapkan juga tidak masif-masif amat.

Sekali lagi saya katakan, saya sangat sepakat pada larangan merokok saat berkendara. Hanya saja yang harus dipahami oleh para pengemudi bukannya persoalan mengganggu konsentasi, tetapi mengganggu para pengemudi lain dan masyarakat. Ingat, merokok ketika berkendara punya potensi membahayakan orang lain. Misalnya, ketika bara api dari rokok terkena pengemudi lain dan terjadi kecelakaan padanya. Dan hal seperti inilah yang harusnya jadi landasaan pikiran regulasi tadi.

Merokok, tidak hanya pada saat berkendara, punya potensi mengganggu kenyamanan orang lain. Karena itu, para perokok harus diberikan pemahaman agar tidak lagi merokok sembarangan. Termasuk saat berkendara. Sayangnya, hal seperti ini tidak banyak dilakukan. Dan yang banyak dilakukan justru membuat aturan seperti Permenhub ini, dengan potensi resistensi yang juga cukup tinggi.

Kalau memang pemerintah mau menertibkan para perokok, saya kira negara (juga daerah) harus terlibat dalam kampanye edukasi pada para perokok. Jangan cuma dilarang-larang, tapi beri mereka pemahaman agar tidak mengganggu orang lain. Selain itu, pastikan juga ketersediaan ruang merokok di tempat umum agar mereka tidak lagi merokok sembarangan.

Balik lagi ke persoalan merokok saat berkendara. Jika memang kita mengantuk dan ingin lebih berkonsentrasi saat berkendara, dan kemudian ingin merokok agar kedua hal tadi terwujud, lebih baik kita berhenti sejenak di pinggir jalan atau warung kopi untuk merokok. Percayalah, merokok saat berkendara itu nggak enak. Rokok cepat habis kena angin, ya enakan sambil ngopi di warung pinggir jalan. Sudah aman tidak terancam hukuman, kita juga membuktikan pada masyarakat bahwa perokok santun itu ada dan berlipat ganda.


Pertama terbit untuk Komunitas Kretek


Akhir pekan kemarin saya berkesempatan mengunjungi Kabupaten Kebumen, salah satu daerah yang memiliki area perkebunan tembakau. Kedatangan saya ke sini memang tidak dalam rangka melihat kesiapan musim tanam di perkebunan, tapi karena sebuah undangan dari kelompok masyarakat yang menamakan diri mereka Laskar Kretek. Ya, saya diminta untuk berbagi pengalaman advokasi kretek yang selama ini dilakukan Komunitas Kretek.

Ada banyak hal yang kiranya saya sampaikan ketika berada di forum. Namun, ada satu bahasan yang kiranya menarik perhatian saya saat berbincang dengan teman-teman di sana. Kira-kira, begini pokok bahasannya: kenapa anak muda sekarang malu atau tidak lagi mau mengisap sigaret kretek tangan?

Kalau dipikir-pikir, saya sendiri selama ini secara selang-seling mengisap Djarum MLD, Djarum Super, atau Dji Sam Soe Premium. Meski yang menjadi andalan adalah LA Lights, sajian utama ketika ingin mengisap kretek. Apakah pola konsumsi kretek saya membenarkan anggapan seperti di atas? Kurang lebih begini jawaban saya.

Buat saya dan sebagian besar kretekus yang tinggal di kota besar, kemudian juga bekerja di gedung perkantoran, pilihan mengisap kretek mild menjadi solusi dari minimnya waktu yang bisa kami alokasikan kala penat menghadapi pekerjaan. Pada satu waktu, saya pernah harus beraktivitas di lantai 20-an sebuah perkantoran, yang di sana ya tidak tersedia ruang untuk merokok. Artinya, kalau mau ngudud, saya perlu turun dulu hanya untuk mengisap sebatang rokok.

Pada posisi seperti itulah, kemudian kretek mild adalah jawaban paling masuk akal dari permasalahan kami. Mengingat, waktu kami untuk merokok kala bekerja tidak banyak, kami butuh rokok yang lebih praktis untuk dikonsumsi. Karena rokok putih seperti Malboro bukan selera saya, maka LA Lights yang menjadi pilihan.

Hidup di ibukota, juga kawasan perkotaan, memaksa kami untuk bergerak dengan cepat ketika menjalani aktivitas harian. Kebanyakan orang harus bangun subuh untuk bisa mengejar kereta pagi atau mendahului kemacetan supaya tiba di kantor tepat waktu. Coba bayangkan, seandainya sebelum berangkat kami memilih mengisap Dji Sam Soe yang lebih padat, ya bisa-bisa telat datang ke kantor adalah hal yang biasa kami dapati.

Walau memang, tidak hanya karena faktor itu kretek mild jadi lebih digemari ketimbang kretek tangan. Ada faktor lain seperti mitos kesehatan yang melulu diserukan, sehingga pola konsumsi masyarakat menjadi berubah. Jika dulu lebih suka pada kretek tangan yang memiliki cita rasa kuat, lengkap dengan tar dan nikotin yang tinggi, maka sekarang kebanyakan orang memilih kretek mild yang lebih ringan kadar tar dan nikotinnya. Semua karena apa, ya karena mitos bahwa produk dengan tar dan nikotin yang lebih rendah tentu saja menjadi lebih sehat.

Mitos-mitos macam begini dulu menjadi hal yang amat dipertimbangkan oleh masyarakat. Walau hari ini hal seperti tadi sudah jarang didengar, tetapi kebiasaan konsumsi masyarakat telah berubah. Kretek mild sudah lebih digemari pasar, hingga akhirnya semakin menggeser posisi kretek tangan. Kurang lebih seperti itu.

Tetapi fenomena ini tidak berarti kretek tangan sama sekali tidak digemari, terutama oleh anak muda. Saya kira masih ada sebagian kawan-kawan saya yang mengonsumsi kretek tangan seperti Dji Sam Soe atau Gudang Garam Merah. Kalau kata mereka sih, kretek jenis ini lebih memiliki cita rasa yang kuat. Walau semua tetap bergantung pada selera dan kebiasaan konsumsi masing-masing.

Memang, kretek tangan adalah produk yang menyerap paling banyak tenaga kerja di sektor industri hasil tembakau. Dan kretek tangan adalah produk yang benar-benar khas buatan nusantara. Namun yang perlu diingat adalah, kepunahan kretek tangan hanya bakal terjadi ketika FCTC diadopsi dalam hukum di Indonesia, dan regulasi dibuat dengan tujuan untuk membatasi tar dan nikotin yang ada pada produk olehan tembakau. Kalau sudah yang seperti ini terjadi, ya jangankan kretek tangan, kretek secara keseluruhan bisa jadi bakal punah dihabisi produk alternatif tembakau yang ditawarkan oleh kelompok kesehatan.


Pertama terbit untuk Komunitas Kretek 


Kembali, sebuah postingan tentang perokok berengsek viral di media sosial. Kali ini adalah seorang perempuan mengeluhkan perilaku seorang perokok yang membuang bungkus rokokya sembarangan. Namun bukan itu yang membuatnya menjadi viral, melainkan cerita tentang kelakuannya setelah diingatkan oleh si pembuat postingan tersebut.

Ya, mau diakui atau tidak, masih ada banyak perokok yang berkelakuan berengsek. Misalnya, perokok yang satu ini. Pada kasus ini, setelah diperingati oleh orang lain, si perokok justru acuh dan tetap saja membuang bungkus rokoknya secara sembarangan. Asal lempar bodo amat mau dibuang kemana.

Narasi semacam ini tentu menjadi sasaran empuk bagi netizen. Entah mereka yang tidak suka atau tidak peduli dengan perkara rokok, kejadian tadi harus menjadi bahan perbincangan penuh moral. Biar bagaimanapun membuang sampah sembarangan adalah perilaku yang dibenci secara moral oleh masyarakat. Apalagi jika yang dibuang adalah bungkus rokok dan pelakunya perokok, tingkat moralitas yang disasar bakal menjadi semakin tinggi.

Saya sepakat bahwa apa yang dilakukan perokok itu adalah salah, malah dalam tahap ini, layak kita sebut berengsek. Sudah diingatkan untuk membuang sampah pada tempatnya, eh malah marah-marah. Sudah begitu, bungkus rokok yang dikembalikan si pemberi peringatan malah dibuang lagi secara sembarangan. Hadeeeeh, zaman batu banget ini orang.

Sialnya, memang beginilah kondisi kesadaran masyarakat kita. Terserah kita mau menerimanya atau tidak, tapi memang level kesadaran begitu banyak masyarakat kita masih ada di kategori rendah. Itu pun kalau tidak mau dibilang buruk.

Masih ingatkah kita tentang viral kejadian masyarakat yang menumpangi MRT dan melakukan perbuatan, yang hari ini kita sebut dengan kata ‘kampungan’? Mereka yang foto-foto sembari bergelantungan di pegangan gerbong, juga mereka yang membuang sampah bekas makanan dengan sembarangan? Ya sama seperti itulah kira-kira level kesadaran masyarakat kita.

Agak sulit memang untuk masyarakat berpikiran maju seperti kita melakukan upaya penyadaran moral kepada mereka. Namun, ya beginilah perjuangan, tidak bakal mudah untuk dilakukan. Kalau memang berjuang itu adalah perkara mudah, percayalah, dari dulu sudah bakal terjadi revolusi yang membuat keadaan masyarakat tanpa kelas.

Balik lagi ke perkara perokok berengsek itu, dulu saya pernah menyerukan agar kita yang punya kesadaran menjadi lebih berani untuk menegur pelaku perbuatan tidak bermoral seperti itu. Ya, teguran adalah langkah awal yang harus dilakukan kala berhadapan dengan perokok berengsek. Bukan hanya untuk mereka yang buang bungkus atau puntung rokok sembarangan, tetapi juga mereka yang merokok tidak pada tempatnya.

Kemudian, jika sudah ditegur malah balik memarahi kita, ya kita balik marahi. Kalau perlu, kita maki saja. Tidak perlu ragu, orang-orang seperti ini memang perlu diperlakukan dengan agak keras. Karena itulah saya mengapresiasi mbak-mbak yang viral di medsos ini, soalnya berani balik memarahi si perokok berengsek itu.

Terakhir, jika memang sudah mentok, saya kira lebih baik orang itu kita pukul atau kita laporkan pada pihak yang berwenang saja. Tentunya, sebelum itu kita harus mengamankan alat bukti dulu, yakni foto perbuatan dan pelakunya.

Namun, yang penting diingat, setelah difoto ya dilaporkan pada pihak berwenang. Langsung begitu terjadi peristiwanya. Jangan cuma diposting di medsos biar viral, soalnya yang beginian belum tentu mempan buat mereka. Toh kalaupun mereka main medsos nggak bakal follow orang-orang dengan tingkat kesadaran akan moral yang tinggi. Jadi, nggak bakal sampai itu foto buat jadi pembelajaran untuk mereka.

Meski begitu, ada satu lagi sih langkah yang jauh lebih penting ketimbang hal-hal di atas. Mau tahu apa? Sudah tahu? Yak, betul, mari kita kampanyekan dan beri edukasi kepada masyarakat. Tentu saja, salah satu yang penting adalah mengedukasi mereka agar menjadi perokok yang santun. Kalau hal kayak gini sering-sering dilakukan, sepertinya populasi perokok berengsek bakal jadi makin berkurang.

Pertama terbit untuk Komunitas Kretek