Aditia Purnomo



Sepanjang tahun ini bergulir, setidaknya sudah ada puluhan ponsel baru yang dirilis secara resmi di Indonesia. Dari kelas entry level hingga flagship, dari yang ‘murah’ macam Redmi dan Realme hingga yang ‘berkelas’ macam Samsung atau Huawei. Ya memang sih, perkara murah dan mahal dalam urusan harga seringkali menyesuaikan spesifikasi dan fitur yang dibawa.

Tapi dari semua ponsel itu, saya berani memberi pernyataan kalau tidak ada ponsel yang sempurna. Dari ponsel flagship-nya Xiaomi, Samsung, Huawei, bahkan iPhone pun masih tidak ada yang sempurna. Kalau cuma urusan paling lengkap sih masih bisa ditemukan, tapi kalau urusan ‘sempurna’ itu memang hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa.

Untuk urusan ini memang kita hanya bisa menemukan ponsel yang ‘sempurna’ pada satu (atau dua) sisi kemampuan saja. Entah itu dari sisi kamera, performa, sistem antarmuka, atau yang lainnya. Berikut ini akan saya berikan daftar serba terbaik untuk ponsel yang ada di pasaran saat ini berdasarkan kriteria-kriteria tersebut.

Fotografi
Soal kemampuan fotografi, kita perlu memisahkan dulu antara kemampuan foto dan video yang terbaik. Karena memang, Huawei P30 Pro yang pantas dinobatkan sebagai ponsel dengan kemampuan fotografi terbaik justru tidak memiliki kualitas videografi yang sempurna. Masih ada merek lain yang lebih pantas untuk itu.

Nah, di sektor fotografi ini, P30 Pro sudah dilengkapi 4 kamera super oke yang mampu menyempurnakan apapun kebutuhan pengambilan gambarmu. Ponsel ini juga dibekali lensa utama 40 MP yang mampu memberikan kualitas luar biasa pada objek-objek yang sederhana.

Selain itu, perangkat ini juga dipersenjatai kamera Ultra Wide 20 MP yang bisa memberikan dimensi pengambilan gambar lebih luas, serta kamera ‘periskop’ 8 MP yang mampu memberikan optical zoom hingga 5x, hybrid zoom hingga 10x, dan digital zoom hingga 50x. Wow!

Kalau ada kamera yang mampu memberikan kualitas terbaik untuk foto ketombe milikmu, maka hanya P30 Pro-lah yang bisa melakukannya.

Videografi
Tanpa berpikir keras, saya langsung memilih iPhone XS sebagai jawara di sektor videografi. Tentu alasan ini bukan semata karena ponsel ini daily driver saya. Tapi ya memang belum ada saja ponsel dengan kualitas video sebaik hape ini. Jernih, stabil, kemampuan menangkap gambar yang detail, serta minim noise ketika merekam gambar dalam keadaan gelap.

Memang sih sudah banyak ponsel yang juga menawarkan hal sama dengan iPhone XS. Hanya saja, untuk perkara kualitas, saya kira belum ada yang lebih baik dari itu. Pada perangkat P30 Pro, sang jawara DxOMark saja, perekaman gambar pada kualitas 4K masih terasa tidak halus saat kamera ditenteng sambil berjalan. Di posisi ini, iPhone XS memberikan kualitas yang lebih baik bahkan ketika merekam gambar dengan posisi kamera terus bergerak.

Layar
Soal ukuran, kita bisa berdebat ponsel macam apa yang lebih enak saat digenggam. Tapi kalau untuk urusan layar, Samsung Galaxy S10 adalah juaranya. Keberhasilan perusahaan ini menciptakan layar Oled (di ponsel Samsung disebut Amoled) adalah sebuah keuntungan tersendiri bagi mereka. Mengingat layar-layar yang digunakan merek ponsel lain pun banyak yang menggunakan layar buatan mereka.

Galaxy S10 menggunakan layar paling mutakhir yang dikembangkan Samsung, yakni Dynamic Amoled. Layar ini memiliki response time yang lebih baik dan memiliki hingga 1 miliar kombinasi warna berkat fitur HDR10+ yang ditanamkan pada layar ini. Untuk kebutuhan multimedia sehari-hari, layar ini udah TOPBGT-lah. Kemampuan layar saat menampilkan gambar di bawah cahaya yang amat terang menjadikannya yang terbaik dari performa layar ponsel saat ini.

Antarmuka
Bisa dibilang satu-satunya interface (antarmuka) dari Android yang layak disebut bagus ya cuma One UI punyanya Samsung. Antarmuka lain macam ColorOS milik Oppo, Funtouch OS milik Vivo, ZenUI milik Asus, MIUI-nya Xioami, atau EMUI Huawei masih jauh dari kata bagus jika harus dibandingkan dengan antarmuka yang dikembangkan oleh Samsung itu.

Mungkin bagi sebagian besar orang, antarmuka bukanlah sesuatu yang penting untuk dimasukkan dalam daftar penilaian ponsel terbaik. Namun, perlu dicatat bila kinerja ponsel itu dapat berjalan optimal karena dua hal, yakni spesifikasi dan antarmuka. Tanpa antarmuka yang baik dan optimal, sebagus apapun spesifikasi sebuah ponsel tidak bakal memberikan pengalaman pengguna yang lebih baik.

Baterai
Soal baterai, ini penilaian paling subjektif yang saya berikan pada edisi serba terbaik ini. Jadi, saya punya Huawei Mate 20 Pro sebagai ponsel Android utama. Kapasitas baterainya besar, agak awet untuk ukuran flagship, dan punya kemampuan pengisian daya yang luar biasa. Karena pandangan itulah, saya menjadikan hape ini sebagai yang terbaik dalam urusan baterai.

iPhone XS, Galaxy S10, atau MI9 sebagai ponsel flagship belum mampu menyamai kemampun Mate 20 Pro untuk urusan di atas. P30 Pro, saya belum pernah coba, dan detail spesifikasinya kurang lebih sama dengan hape ini. Tapi ya karena saya punya Mate 20 Pro, saya jelas pilih yang sudah pernah saya coba ketimbang yang belum.

Untuk hape lain, kalau cuma mau bandingkan lama-lamaan ketahanan baterai tanpa mempertimbangkan kualitas jeroan dan banyaknya fitur, yang bakal menang ya Nokia 3310. Nggak ada lawan deh soal tahan-tahanan ini, mah.

Performa
Pada sektor ini, saya akan mengkategorikannya ke dalam dua kelas: Android dan iOs. Kenapa? Kalau tidak begitu yang menang ya iPhone XS. Ingat, performa itu tidak hanya dinilai dengan spesifikasi dan skor benchmark Antutu ya.

Nah, iPhone XS ini menjadi juara karena spesifikasi dan jeroan yang mantap, ditambah iOs yang super efisien. Sejauh penggunaan, XS Max yang saya gunakan belum pernah kena lag kecuali pas baterainya sisa 5%.

Nah di kelas Android, yang saya kira pantas menang adalah Samsung Galaxy S10. Pada ponsel inilah pertama kalinya Samsung berhasil membuat chipset Exynos buatan mereka jadi sebanding dengan Snapdragon. Skor Antutunya pun mencengangkan, ada di kisaran 350 ribu.

Dengan semua hal tadi, mereka bisa memenangkan sektor performa di kelas Android berkat kemampuan antarmuka mereka yang oke punya. Jadi, meski MI 9 menjadi jawara Antutu, tapi kalau mau performa mereka jadi lebih oke, penyempurnaan antarmuka harus jadi prioritas jika mau mengalahkan Samsung atau iPhone.

Value for Money
Nah untuk urusan ini, mungkin banyak yang mengira kalau hape-hape macam Redmi Note 7 atau Realme 3 Pro bakal menjadi yang terbaik. Padahal ya, Pocophone F1 masih jauh lebih baik dalam urusan ini ketimbang 2 merek tadi. Meski begitu, sejauh penilaian saya, yang pantas disebut sebagai ponsel dengan value for money terbaik ya harus diberikan pada Vivo V15 Pro.

Ini adalah ponsel kelas menengah dengan fitur paling lengkap dan inovasi yang luar biasa. Meski sekarang sudah banyak hape 4-5 jutaan yang menggunakan pemindai sidik jari dalam layar, hape ini tidak mau kalah saing dengan menghadirkan layar penuh tanpa bezel dan moda kamera pop up yang sebanding dengan kualitasnya.

Vivo V15 Pro punya spesifikasi yang mumpuni untuk ponsel kelas menengah. Snapdragon 675 dan Antutu yang ada di angka 170 ribuan menjadi bukti. Sudah kaya fitur, ponsel ini performanya juga sangat mumpuni. Sekali lagi, dengan pertimbangan atas hal itulah saya menjadikan Vivo V15 Pro sebagai ponsel dengan value for money terbaik saat ini.

Itulah beberapa ponsel serba terbaik yang ada saat ini. Meski kita belum bisa mendapatkan ponsel yang benar-benar sempurna, semoga ke depan kemajuan teknologi mampu menghadirkan ponsel yang ‘benar-benar’ sempurna ke tangan kita. Setidaknya ya, yang punya teknologi kamera di bawah layar sehingga kita nggak lagi terganggu dengan desain ponsel yang macam-macam karena ingin punya layar full tanpa bezel.

Pertama terbit di Mojok



Kerusuhan yang terjadi sebagai bagian dari aksi penolakan hasil pemilu sudah masuk dalam tahap yang mengkhawatirkan. Bukan hanya perkara kekerasan yang terjadi di lapangan, baik yang dilakukan oleh aparat atau massa aksi, tetapi juga dampak terhadap banyak masyarakat lainnya. Terutama, dampak atas akses informasi masyarakat yang ‘dibatasi’ negara demi menghadang hoax terkait peristiwa tadi.

Kebijakan ini diambil oleh Menteri Kordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto sebagai langkah paling mudah yang bisa dilakukan pemerintah. Katanya sih, dalam tiga hari ke depan akses internet bakal dibatasi demi meminimalisir persebaran hoax. Dengar-dengar sih, hal ini dilakukan agar kerusuhan tidak meluas dan masyarakat mampu bersikap tenang menghadapi kelompok yang bikin repot ini.

Kalau mau dibaca sederhana, mungkin langkah ini bisa dianggap sebagai solusi bijak pemerintah. Daripada terjadi pertumpahan darah, lebih baik batasi akses informasi sementara hingga keadaan kondusif. Namun, kalau mau benar-benar jujur, langkah ini sebenarnya hanya alasan pemerintah karena malas memikirkan cara yang lebih efektif untuk menghadapi permasalahan tadi.

Satu hal yang harus dipahami, pembatasan terhadap akses informasi harus dimaknai sebagai kemunduran dalam demokrasi. Apapun alasan dan tujuannya, pembatasan persebaran informasi berseberangan dengan semangat demokrasi dan reformasi yang dulu diperjuangkan. Apalagi, pembatasan informasi yang kini dilakukan hanya karena kerusuhan akibat buruknya cara berpolitik masyarakat.

Bahwa kekerasan dan kerusuhan yang terjadi harus segera dihentikan, saya sepakat. Hal-hal yang terjadi ini tidak boleh ditolerir karena memang bukan sebuah perilaku yang mampu diterima masyarakat. Namun, sekali lagi, membatasi akses internet dan informasi karena hal ini juga bukan solusi yang tepat.

Karena pembatasan ini, ada banyak kawan-kawan saya yang berjualan dan mengandalkan internet tidak berhasil menjual dagangannya. Banyak juga kawan-kawan yang kesulitan bekerja karena terbatasinya akses internet. Di titik ini, ketidaknyamanan dan gangguan dirasakan oleh masyarakat karena kegagalan pemerintah mengatasi hoax.

Harusnya, sudah sedari dulu negara memberikan perhatian lebih pada hoax. Jangan karena kerusuhan terjadi barulah negara panik dan membuat kebijakan yang tidak tepat sasaran. Sekali lagi, mungkin niatnya baik agar kerusuhan dan kepanikan tidak menyebar. Hanya saja, kebijakan yang macam begini bakal menjadi senjata makan tuan bagi pemerintah. Sudah dianggap tidak benar dan dzolim oleh mereka yang membuat kerusuhan, dikeluhkan juga oleh kebanyakan masyarakat lain yang membutuhkan akses informasi dan internet untuk menjalani hidupnya.

Di posisi ini, harusnya sedari dulu pemerintah menggalakkan pemberantasan hoax dengan meningkatkan kapasitas literasi digital masyarakat. Memberi sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar tidak mudah mempercayai sebuah kabar yang beredar, dan mengajak masyarakat untuk sama-sama memberantas hoax.

Sebenarnya, pembatasan akses internet yang dilakukan ini adalah tindakan yang hampir sia-sia. Ada banyak aplikasi pihak ketiga yang memberikan Virtual Private Network dari negara lain agar kita bisa membuka pembatasan akses tersebut. Foto-foto, video, dan banyak hal yang dikhawatirkan membuat kepanikan juga masih bersebaran di media sosial. Malah, Wakil Ketua DPR kita yang terhornat dengan asyik justru terlibat dalam penyebaran informasi (saya yakin itu hoax) yang berpotensi menimbulkan hoax.

Asal tahu saja, ketakutan akan terjadinya gelombang kerusuhan seperti tahun 1999 tidak bakal 
terwujud. Sejauh pengalaman saya terkait aksi dan massa, kelompok pembuat ricuh tidak mendapatkan dukungan dari elemen lain seperti mahasiswa atau masyarakat. Jadi, terlalu jauh membayangkan bakal terjadi Kerusuhan Mei jilid 2 sebesar apapun massa yang dimobilisasi untuk membuat kerusuhan.

Walau, tetap saja, peristiwa ini patut dikhwatirkan bakal mengulang sesuatu yang buruk di masa lalu. Apa itu, tentu saja upaya pemberangusan informasi oleh negara. Ingat, dengan legitimasi kerusuhan yang dibuat-buat ini justru membuat pemerintah memiliki dalih untuk membatasi akses informasi. Dan hal ini, ke depannya, dapat terulang lagi selama pemerintah memiliki dalih “menjaga keamanan dan ketertiban negara’.

Kalau sudah begini, tidak berguna kalian berkoar-kora seperti apa. Karena, ke depannya kita bakal kembali ke zaman dimana informasi dipilah-pilah mana yang baik dan patut diberikan ke masyarakat. Jika tidak, bahkan dalam arti tidak menguntungkan pemerintah, ya jangan diberikan ke masyarakat. Batasi akses informasi dan internet, seperti yang hari ini dilakukan pemerintah.


Selama ini Eka Kurniawan dianggap sebagai penulis/sastrawan berbakat yang bisa mengimbangi kehebatan Pramoedya di mata dunia. Novel dan kumpulan cerpen yang diterbitkannya mendapatkan sambutan baik dari publik pembaca, buku-buku itu diulas dan didebat sebagaimana karya berkualitas lain. Dengan segala torehan itulah, boleh dibilang, Eka Kurniawan mulai dianggap seperti setengah dewa buat sebagian orang.

Namun, setelah membaca Senyap yang Lebih Nyaring, kumpulan tulisan di blognya yang kemudian dibukukan, saya menemukan gambaran berbeda dari kebanyakan imaji atas Eka yang muncul lewat karya-karyanya. Di buku ini, saya melihat Eka sebagaimana saya melihat manusia lain. Punya idola, gagasan, dan cara pandang yang sebenarnya; sederhana. Sesederhana tulisan-tulisan yang ada di buku ini.

Kumpulan tulisan di buku ini memang sederhana, hanya terdiri dari sekian ratus kata per tulisan, tapi memberikan satu hal yang jarang diberikan penulis lain kepada pembacanya, yakni keseharian. Ya, membaca ini bisa membuat saya membayangkan buku-buku apa yang Eka baca, penulis-penulis mana yang Eka gemari karyanya, dan keseharian aktifitas apa saja yang dapat membuatnya bisa berkembang hingga seperti sekarang.

Jika boleh menyimpulkan, Senyap yang Lebih Nyaring bisa dibilang seperti Cerita Dibalik Dapur Tempo yang memberikan gambaran bagaimana proses kreatif/jurnalistik bekerja. Meskipun tidak sampai menyeluruh, tapi akhirnya saya tahu bagaimana Eka belajar dan bereksperimen melalui cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi untuk mendaur ulang cerita penulis lain sebagai kisah baru yang memikat.

Atau, bagaimana cerita Eka ketika memulai karirnya sebagai penulis (pemula) dan bagaimana cara Ia mampu menembus meja redaksi/penerbit. Hal ini Ia tuliskan hanya untuk menanggapi pertanyaan: bagaimana caranya penulis pemula bisa mendapatkan tempat di hadapan penerbit/redaksi. Serta ada banyak tulisan-tulisan lainnya yang bisa kita temukan di buku ini, yang didasarkan dengan sebuah pertanyaan.

Tulisan-tulisan di buku Senyap yang Lebih Nyaring dikategorikan berdasar tahun pembuatannya. Jadi, Anda dapat membaca bagaimana tulisan Eka Kurniawan pada tahun 2012 hingga 2014. Saya agak heran sih, kenapa hanya dibatasi hingga tahun 2014. Apakah karena itu adalah tahun politik yang memecah belah kehidupan bernegara masyarakat kita? Saya langsung membuang jauh pikiran itu ketika ingat, lantaran hampir tidak ada tulisan tentang politik di buku ini, kecuali pilihan/gagasan politik para penulis yang Ia ceritakan di buku ini.

Dari 107 tulisan yang ada di buku Senyap yang Lebih Nyaring, ada beberapa tulisan yang menjadi favorit saya. Pertama adalah Es Krim, tulisan yang menceritakan dengan sangat sederhana bagaimana hierarki pengetahuan dan relasi kuasa bekerja melalui perbedaan pandangan orangtua dan anak tentang es krim. Sungguh isu yang ‘berat’ tapi bisa dibahas dengan amat sederhana.

Kemudian ada Pesan Moral yang menggambarkan bagaimana setiap orang di dunia ini memiliki ukuran nilai/moral berbeda dan tak bisa dipaksakan sama. Dan kegilaan seseorang untuk melulu menampilkan pesan moral dalam setiap karya tak ubahnya menjadikan para “penulis bertabiat ugal-ugalan seperti sopir angkutan umum di Jakarta” yang hanya kejar setoran saja. Begitu kira-kira interpretasinya.

Ada banyak tulisan menyenangkan di buku ini, walau ya ada juga yang biasa saja. Karena memang seperti yang sudah saya katakan di atas, membaca buku ini seperti melihat keseharian penulis. Kadang ada hal yang mendebarkan, kadang ada juga yang biasa saja. Dan memang seperti itulah hidup berjalan. Tidak bisa seseorang menuntut orang lain untuk terus berlaku sempurna.

Mungkin, dengan buku inilah, Eka Kurniawan mencoba menjawab segala pertanyaan tentang bagaimana proses kreatif yang dilalui serta perjalanan karirnya. Meski memang tidak ditulis dengan benar-benar sistematis, mungkin memang dengan cara seperti itulah kita mampu belajar dari Eka Kurniawan dengan sederhana-sederhana saja.



Bandara Soekarno Hatta (Soetta) memang tak ramah buat warga Tangerang. Atau setidaknya, warga Tangerang yang hendak bepergian dengan pesawat di bandara internasional ini. Semua terjadi akibat penutupan pintu M1 yang menjadi gerbang utama bagi warga Tangerang untuk tiba di bandara. Semua terjadi karena pembangunan kereta bandara yang hampir sama sekali tidak bermanfaat bagi warga Tangerang.

Asal tahu saja, kereta bandara tersebut memang diperuntukkan bagi warga Jakarta (juga kota lainnya) agar lebih mudah mencapai Soetta. Untuk warga Tangerang, ya kurang sepadan mengingat harga naik kereta bandara dari Stasiun Batu Ceper ada di angka Rp 35 ribu. Angka yang lumayan tinggi mengingat jarak tempuh yang tidak seberapa jauh.

Moda transportasi publik lainnya yang dapat digunakan warga adalah Damri. Baik dari Karawaci, Serpong, maupun Citra Raya. Kalau dari Serpong atau Citra Raya, ya masih layak digunakan lah. Mengingat jarak dan harganya yang ada di angka Rp 40 ribu. Tapi kalau untuk Karawaci, ya lumayan juga harus mengeluarkan uang Rp 50 ribu dengan jarak tempuh yang tidak begitu jauh. Paling enak ya naik taksi atau mobil pribadi.

Masalahnya, warga Tangerang yang hendak menuju bandara harus melalui jalan memutar. Baik dengan memutar perjalanan ke Jakarta terlebih dulu, atau memang memutar secara harfiah dengan memutari bandara. Setelah penutupan pintu M1, Jalan Parimeter Utara dan Selatan menjadi alternatif akses masuk bagi warga Tangerang.

Sialnya, jalan parimeter ini busuk, eh buruk maksudnya. Banyak lubang menganga di aspalnya, bahkan juga memakan korban kecelakaan. Malah Jalan Parimeter Selatan sudah ditutup sekitar setahun karena pernah mengalami longsor akibat salah konstruksi di Underpass Soetta. Padahal ya, jalan ini lebih praktis dilalui daripada Parimeter Utara karena tidak perlu memutar terlalu jauh melalui Rawa Bokor terlebih dulu.

Bagi saya, warga Tangerang pengguna rutin penerbangan Soetta, akses menuju bandara atau sebaliknya adalah neraka. Lewat parimeter jalan rusak dan harus memutar, lewat Jalan Juanda juga sama rusaknya, sementara lewat tol diancam macet dan tarif lewat yang lumayan tinggi. Semua itu menjadi perhitungan jika saya mau menggunakan taksi daring maupun konvensional. Itu pun dengan catatan: naik taksi daring berisiko kena operasi petugas bandara.

Janji memperbaiki jalan parimeter yang rusak dulu pernah terdengar. Namun hingga saat ini janji tersebut masih belum terealisasi. Belum genap satu janji terabaikan, muncul kabar kalau pihak otoritas bandara bakal membangun jalur baru yang lebih ‘manusiawi’ bagi masyarakat Tangerang. Sayangnya, kabar atau janji semacam ini kalaupun terealisasi ya bakal memakan waktu pengerjaan yang cukup lama.

Pun dengan Jalan Juanda yang banyak berlubang disertai jarak tempuh lumayan. Sudah sejak lama katanya jalan ini mau diperbaiki. Hanya saja, perbaikan jalan ini ya hanya sebatas mitos atau memang tidak benar-benar mau diperbaiki. Mungkin begini anggapannya: biar saja kalian lewat jalan rusak, yang penting masih bisa lewat. Atau: kalau mau bangun, ya buat warga daerah lain saja yang lebih jauh. Warga Tangerang mah gampang, belakangan saja.

Hal semacam inilah yang membuat saya sebenarnya lebih mengharapkan kesempatan pulang pergi Jogja-Tangerang dengan kereta api di setiap bulan. Namun, jadwal saya yang padat kan tidak bisa diprediksi. Ada beberapa kesempatan saya harus memaksimalkan waktu dengan naik pesawat.

Jika hal ini terjadi, ya siklus siksaan seperti di atas menjadi bagian dari perjalanan saya di hampir setiap bulannya. Mau naik taksi mahal, taksi daring harus siap risiko digerebek petugas, naik Damri mahal, kereta bandara pun begitu. Kemudian, mau lewat tol dengan tambahan biaya atau jalan-jalan busuk yang tak pernah selesai diperbaiki. Ya terus begitu saja sampai akses jalan baru selesai dibangun.


Pertama terbit di Baca Tangerang