Aditia Purnomo



Gudang Sarinah begitu panas semalam. Bukan saja karena memang tempat yang pengap dan kurang sirkulasi udara, tapi juga karena sebuah penampilan yang membara. Sekitar 300 pengunjung datang, berdesakan, antre, dan bersemangat untuk menyaksikan penampilan Barasuara dalam konser penutup tur albumnya, Taifun Tour 2016.

Sebelumnya, band yang terdiri dari Iga Massardi (vokalis/gitaris), Marco Steffiano (drummer), Gerald Situmorang (bassist), TJ Kusuma (gitaris), Puti Chitara (vokalis), dan Asteriska (vokalis) ini telah menggelar konser di lima kota sebagai bagian dari tur promo albumnya. Membuka tur mereka di Yogyakarta, lalu mereka melanjutkan perjalanannya ke Malang, Surabaya, Solo, dan Bandung. Dan konser di Jakarta ini menjadi penutup manis untuk tur 6 kota mereka.

Jika mengikuti jadwal, gate harusnya sudah dibuka sejak jam 6 sore. Namun hingga jam 7 lewat, kami masih harus menunggu antrean yang mengular begitu panjang. Beberapa orang mulai duduk di jalan, awalnya. Hingga kemudian semakin banyak yang ikut duduk menanti gate dibuka. Sayang memang, untuk sebuah konser yang ditunggu banyak orang, keterlambatan seperti ini jadi awal yang kurang baik.

Menjelang jam 8 malam, hampir seluruh penonton telah masuk ke gudang. Yap, seperti namanya, tempat ini memanglah gudang dalam artian sebenarnya. Gudang ini sebelumnya merupakan tempat penyimpanan barang bagi pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat. Tempat ini sempat terbengkalai sebelum akhirnya ‘dihidupkan’ kembali setelah penyelenggaraan Jakarta Bienalle 2015. Kini, Gudang Sarinah menjadi semacam wahana baru bagi penyelenggaraan kegiatan seni, seperti konser atau pameran.

Suasana di dalam gudang begitu panas sedari awal. Memang terdapat beberapa pendingin ruangan, tapi tetap saja tidak bisa menyejukkan suasana di dalam ruangan. Apalagi ruang pertunjukkan dipenuhi oleh ratusan orang, bisa dibayangkan bagaimana derasnya keringat mengalir. Karena hal itulah, sedari awal saya dan teman memilih untuk berdiri di dekat pendingin ruangan ketimbang harus banyak berkeringat sebelum konser dimulai.

Sepuluh menit menunggu, konser akhirnya dimulai. Dibuka dengan tabuhan drum oleh Marco Steffiano, para personel segera mengambil posisi di atas panggung dan memulai konser dengan lagu Hagia. Duet Vokal Asteriska dan Puti Chitara seperti memandu para penonton untuk menyanyikan lagu ini bersama-sama. Ah iya, jangan lupakan Iga Massardi sang vokalis merangkap gitaris yang berhasil memandu gemuruh penonton pada dua lagu pertama.

Setelahnya, saya tidak ingat persis urutan setlist yang mereka bawakan. Pun saya tidak banyak memperhatikan sekitar karena gemuruh dan suasana di dalam gudang semakin membara ketika lagu Tarintih dimainkan. Gerrald Situmorang sang basis bermain penuh energi, menyambangi para penonton di baris depan dan membuat suasana semakin meriah.

Suasana agak cair ketika mereka mengatakan akan membawakan lagu baru yang dibuat spesial untuk tur kali ini, Samara. Iga lantas memanggil tiga ‘tentara bayaran’ untuk membantu mengisi melodi dengan tiupan saxophone dan terompet. Penonton kembali bergemuruh bersama permainan liar para peniup yang menampilkan permainan luar biasa. Bahkan salah satu dari mereka dengan semangat melemparkan bajunya ke arah penonton dan tetap bermain dengan tampilan badan one pack yang membuat penonton bergembira.

Semua kami bergelora pada konser ini. Di dekat saya, ada mbak-mbak hijabers yang melulu berjingkrak mengikuti alunan lagu yang dimainkan Iga dan kawan-kawan. Bahkan Iga juga membakar gairah penonton untuk tidak malu melompat, bernyanyi, dan berjoged seliar-liarnya sepanjang konser berjalan.

Pada konser ini, Barasuara menampilkan para pemain yang berganti posisi pada beberapa lagu yang ditampilkan. Saat memainkan Mengunci Ingatan, misalnya. Marco mengisi posisi bass sementara Gerrald bermain dengan gitar. Lalu siapa yang bermain drum? Ternyata adik Marco, Enrico Oktaviano membantu kakaknya dengan menabuh drum di beberapa lagu. Tak hanya itu, Puti Chitara juga sempat memainkan bass kala Gerrald mesti mengisi posisi gitar saat lagu Taifun dimainkan.

Dari semua personel Barasuara, saya harus memberi acungan jempol kepada Asteriska yang tampil begitu enerjik dan suara yang aduhaiii. Melihatnya diatas panggung dengan suara merdu serta hampir selalu berjoged di sepanjang konser membuat suasana ruangan semakin bergairah, dan panas.

Barasuara berhasil memainkan tempo gairah penonton dengan setlist yang semakin lama semakin membara. Pada beberapa kesempatan, Iga dan personel lainnya ngobrol sebentar sambil menurunkan tempo sedikit sebelum kembali menghentak dengan lagu lainnya.

Dan pada lagu Api dan Lentera, semua gairah yang membara di ruangan menampakkan klimaksnya dengan penampakan seluruh penonton berjingkrak dan melompat serta berteriak menyanyikan lagu ini. Seluruh penonton seakan lupa dengan suasana pengap yang melanda seisi ruangan dan tetap bergerak liar mengikuti alunan lagu hingga keringat bercucuran.


Saya, setelah lagu ini selesai dimainkan, harus terengah-engah mengambil napas karena terbawa suasana konser yang begitu membara. Sembari menarik napas, para penonton meminta mereka untuk memainkan satu lagi sebagai penutup. Dan begitu napas selesai ditarik, dimainkanlah Bahas Bahasa sebagai penutup konser yang membara bersama Barasuara ini.


Sebagai anak yang lahir di generasi kartun Jepang, saya tidak begitu mengenal Unyil. Menjadi kanak-kanak pada akhir 90an, saya lebih banyak melihat Son goku atau Pikachu di televisi. Bahkan saya lebih dulu mengenal demontrasi ketimbang si Unyil ini. Sekeras apapun mengingat masa kecil, tak tampak wajah Unyil dan Pak Ogah dalam benak saya.

Maka ketika mendengar kabar sakitnya Pak Raden pada 2012 lalu, saya merasa biasa saja. Tidak emosional. Bagi saya, kala itu, Pak Raden adalah satu dari sekian banyak seniman yang nelangsa di masa tua karena tak diperhatikan pemerintah. Ini masalah, ya ini masalah. Tapi bukan hal yang membuat saya begitu emosional, mengingat tak banyak persinggungan hidup saya bersama Pak Raden maupun karyanya.

Namun, ketidaktahuan saya soal Pak Raden jelas tidak berarti apa-apa. Seniman dengan nama asli Drs Suyudi ini tetaplah idola bagi banyak orang, khususnya generasi satu dekade di atas saya.

Mendengar kabar Pak Raden sakit, banyak orang yang datang membantunya. Namanya yang telah lama tenggelam kembali menghiasi media, bersama gerakan moral untuk membantunya memperjuangkan karya dan ciptanya. Apalagi dalam kondisi sakitnya Ia tak sedikitpun dibantu Unyil, tokoh yang diciptakannya.

Maka, ada 14 April 2012, bersama beberapa anak muda, Pak Raden mengadakan acara penggalangan dana dengan tajuk “Pak Raden Mengamen”. Bersama beberapa artis yang bolak-balik nongol di layar kaca, Pak Raden berhasil mengumpulkan uang untuk hidup dan memperjuangkan hak cipta Si Unyil.

Kenapa mereka membantu Pak Raden, tentu karena Pak Raden adalah idola masa muda mereka. Setelah berselancar di internet dan tanya sana-sini, Pak Raden dan Unyil adalah kesatuan yang tak terpisahkan (sampai terjadi konflik hak cipta). Generasi 80an adalah penonton setia Unyil, Usro, Pak Ogah, dan Pak Raden. Mungkin tanpa Unyil, mereka tak punya hiburan yang menyenangkan dari televisi.

Pada generasi saya, hari minggu adalah hari yang menyenangkan. Saban pagi sampai siang, kami menyaksikan tokoh-tokoh kartun berjejalan di televisi. Nikmatnya minggu kala itu cuma bisa diimbangi oleh kolom sastra di koran hari minggu yang sekarang saya baca sambil minum kopi dan menghisap kretek.

Sementara itu, apa yang bisa disaksikan generasi 80an sangatlah terbatas. Karenanya, kehadiran Unyil ciptaan Pak Raden ini adalah sebuah kebahagiaan tersendiri yang agaknya sulit terhapus dari memori mereka. Unyil bagi mereka adalah teman bermain dan besar bersama.

Kini, Pak Raden telah tiada. Dan sekali lagi, saya tak merasa begitu emosional. Tapi tetap saja Indonesia kehilangan seniman besar yang mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak. Seniman besar yang tidak dirawat negara, yang kehilangan hak cipta atas karyanya.

Namun, setidaknya, Pak Raden tak pernah sendirian. Ia tidak pernah dilupakan, apalagi ditinggalkan oleh generasi yang merasa telah berutang hiburan dan inspirasi padanya. Memang, mati takkan berarti bagi seorang yang berjasa besar. Mereka akan tetap ada dan berlipat ganda dalam diri anak muda yang terus berjuang, dalam hal ini, memperjuangkan hiburan mendidik bagi anak bangsa.


Selamat jalan Pak Raden.

Pertama kali dimuat di Mahasiswa Bicara