Aditia Purnomo


Apa yang membuat saya bangga menjadi fans Liverpool? Bukan, bukan karena deretan gelar yang mereka miliki pada masa lalu. Bukan juga karena semangat pantang padam yang mereka tunjukan manakala mendukung tim yang tertinggal 0-3 dari AC Milan pada 2005 silam. Bukan karena itu.

Semangat pantang padam itu memang yang saya banggakan. Tapi semangat mereka manakala memperjuangkan keadilan bagi 96 korban Tragedi Hillsbrorough. Tragedi yang terjadi jelang pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest itu membuat pendukung The Reds menjadi korban, sekaligus kambing hitam.

Menurut The Sun, tragedi ini terjadi akibat pendukung Liverpool memaksa masuk ke dalam stadion. Kebohongan tersebut dipertegas oleh laporan resmi kepolisian yang menyebut bahwa banyak pendukung Liverpool yang mabuk dan berbuat onar. Klaim bohong ini jelas ditentang oleh Kopites.

Sejak pemberitaan itu, para pendukung Liverpool memboikot The Sun. Mereka juga menuntut pemerintah Inggris mengungkap kebenaran tragedi ini. Sepanjang 23 tahun, pendukung Liverpool dicap sebagai biang keladi tragedi itu.

Selama itu juga, mereka tak lelah berjuang menuntut keadilan. Setiap tahunnya, setelah tahun 1989, mereka mengenang tragedi tersebut untuk menghormati 96 korban dan meminta keadilan untuk mereka.

Kerja keras memang tak pernah berbohong. Tak ada perjuangan yang sia-sia. Pada tahun 2012, pemerintah Inggris, diwakili Perdana Menteri David Cameron, mengungkap kebenaran tragedi. Pihak pemerintah menyatakan bahwa pendukung Liverpool tidak bersalah, dan negara meminta maaf kepada semua korban dan keluarga yang dirugikan selama itu.

Lewat penyelidikan, diketahui bahwa pihak kepolisian dengan sengaja (malah) membuka gerbang stadion meski kondisi di dalam sudah penuh penonton.

Kebenaran ini diketahui berdasar rekaman CCTV yang menampilkan perintah membuka pintu stadion dilakukan oleh kepala polisi South Yorkshire, David Duckenfield. Kebenaran telah diungkap, nama baik para korban telah direhabilitasi.

Kesalahan yang selama ini ditumpahkan pada para Kopites, telah terbukti tidak benar. Tragedi ini terjadi karena kelalaian pihak penyelenggara dan kepolisian. Seandainya jumlah penonton yang masuk ke stadion benar-benar diatur dan pengendalian massa bisa dilakukan dengan baik, tragedi ini tak perlu terjadi.

Namun tragedi telah terjadi, korban yang telah tiada pun tak akan bisa hidup kembali. Apa yang diperjuangkan oleh pendukung Liverpool selama ini adalah sebuah upaya untuk mengungkapkan kebenaran. Nama baik para korban dan pendukung Liverpool yang selama ini ditumbalkan harus diperbaiki. Penyebab sebenarnya dari tragedi tersebut harus diungkap.

Walau pemerintah Inggris hanya mengucap maaf atas kesalahan mereka, bagi korban itu sudah lebih baik. Mengemban dosa yang tak pernah kita lakukan adalah hal buruk yang tak pantas dijalani. Hanya pengungkapan kebenaran dan ucapan maaf yang mampu mengubah nasib tersebut. Itu saja sudah cukup.

Di Indonesia, upaya pengungkapan tragedi masa lalu hampir selalu berujung buntu. Ketika penyelesaian satu tragedi masa lalu hendak diangkat, pemerintah selalu membungkam upaya ini dengan berbagai cara. Bagi pemerintah, upaya menyelesaikan tragedi masa lalu hanya akan membuka lama. Sebaiknya luka itu ditutup saja, dilupakan saja.

Pemerintah selalu berkata, “Lupakan kejadian masa lalu, mari kita membangun masa depan.” Tapi, bagaimana cara kita membangun masa depan jika masih ada korban-korban kejahatan HAM tak bisa mendapat keadilan? Masa depan macam apa yang dibangun di atas matinya keadilan?

Saya belajar amat banyak dari perjuangan para pendukung Liverpool dalam Tragedi Hillsborough. Walau berat, keadilan harus diperjuangkan. Kebohongan yang mengorbankan hidup dan nama baik para korban tak boleh diteruskan.

Meski kebenaran itu terasa begitu pahit, negara harus mau mengakui kesalahan. Dari sana, kehidupan para korban baru bisa dilanjutkan.


Karena itu, bagaimanapun bentuknya, tragedi masa lalu harus diselesaikan. Perjuangan untuk itu harus terus dilakukan, karena rekonsiliasi tak akan pernah tercapai jika kebenaran tidak diungkap. Dan luka atas tragedi tidak akan terobati tanpa adanya kata maaf.

Kinerja bulan ini amat buruk. Ada proposal yang harusnya kelar akhir bulan maret belum dikerjakan hingga hari ini. Ada juga dua laporan yang belum tersentuh padahal sudah lewat tenggat. Meski jadwal di bulan ini memang padat merayap, tanggung jawab yang tak terselesaikan tetaplah masalah besar.

Alasan hanyalah alasan. Sibuk tak boleh jadi pembenaran kerja-kerja yang belum diselesaikan. Jujur saja, ini cuma persoalan kemalasan yang melanda. Apalagi dua minggu ini. Wabah malas membuat banyak hal tak berjalan sesuai rencana.

Jika semua terus berlarut, rencana kerja yang telah disepakati tak bakal terealisasi. Target-target tidak tercapai, kepercayaan terhadap tim semakin menurun. Untuk menghindari itu, persoalan malas ini harus segera terselesaikan.

Membangun semangat kerja harus dimulai dengan kegembiraan. Apapun bentuknya. Apapun kerjaan tak dilakukan dengan bergembira, niscaya pekerjaan hanya akan membuatmu terbebani dan tak bakal membuatmu berkembang.

Area kerja telah dibuat semenarik mungkin. Setidaknya mata bisa terhibur dengan kehadiran mainan-mainan yang membahagiakan. Satu dua kali pertandinggan sepak bola digital boleh dilakukan. Tentu buat menentukan siapa yang mau jalan beli rokok dan minuman.


Dan yang paling utama, stok Indomie goreng di dapur harus terjamin. Mengingat fungsi utama dapur adalah penjaga gawang kebahagiaan seseorang, kalau tak mampu menjamin isi perut masyarakat saya rasa tak ada guna keberadaan dapur itu. Karena banyak-banyak makan makan adalah kunci. Soalnya, pura-pura bahagia itu butuh banyak tenaga.

Menjadi warga pinggiran ibu kota itu tidak mengenakkan. Sudah kota tempat saya tinggal jarang dilirik oleh media, sekalinya dibicarakan, eh persoalan enggak ngenakin. Beberapa waktu lalu, pemberitaan soal sopir angkutan kota yang tabrak pengemudi ojek online hingga jadi kericuhan. Eh kemarin, kota saya yang akhlakul karimah ini bikin heboh karena ada polisi yang menampar demonstran.

Sungguh, itu perbuatan yang memalukan. Bukan saja karena yang ditampar adalah seorang perempuan, tapi juga karena yang menampar adalah seorang Kepala Satuan Intelijen Polres Tangerang. Dia bukanlah polisi kelas teri yang baru keluar dari pendidikan. Ia adalah seorang pejabat kepolisian yang katanya harus mengayomi masyarakat.

Sementara itu, Amelia Yanti buruh perempuan yang ditampar itu,  adalah orang yang telah berjuang lebih dari lima tahun untuk menuntut penyelesaian kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap 1300 orang buruh oleh PT. Panarub Dwikarya. Lima tahun berjuang, tak dipedulikan nasibnya, tak dibayarkan hak-haknya, kini malah dipukul dan dilarang memperjuangkan nasib buruh.

Kasus pemukulan ini bermula ketika aksi kawan-kawan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) hendak dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian dan pamong praja. Aksi mereka dinilai melanggar peraturan walikota yang melarang dilakukannya demonstrasi dan penyampaian pendapat di muka umum pada hari Sabtu dan Minggu. Merasa hal tersebut melanggar prinsip demokrasi, juga melihat pembiaran polisi terhadap pawai yang dilakukan pada saat yang sama, Amelia menyampaikan protes kepada aparat.

Sayangnya, protes tersebut ditanggapi dengan keras oleh aparat. Cacian keluar dari mulut para aparat. Suasana berlangsung panas hingga sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Amelia. Plak. Dengan enaknya seorang aparat memukul masyarakat.

Perlu diketahui, aksi yang dilakukan oleh kawan-kawan GSBI ini telah dilakukan sejak lama. Bukan baru sekali dua kali mereka melakukan aksi mingguan di Tugu Adipura Tangerang. Hanya saja, karena peraturan keblinger dari Walikota Tangerang insiden memalukan ini terjadi.

Sebagai warga Tangerang yang rajin membayar pajak, saya menjadi orang yang amat malu pada insiden ini. Pertama larangan aksi pada hari Sabtu dan Minggu tentu adalah sebuah pelanggaran hak asasi. Apa pun alasannya, larangan seperti ini adalah pelanggaran demokrasi. Apalagi jika alasannya hanya untuk meliburkan aparatur daerah pada akhir pekan dan hari libur nasional. Buat apa bayar pajak kalau aparatur daerah tak mau bekerja untuk masyarakat.

Aksi mingguan kawan-kawan GSBI ini memang biasa dilakukan pada akhir pekan di kala mereka mendapatkan jatah libur dari pabriknya. Mereka merelakan hari liburnya yang berharga demi menuntut kejelasan bagi kasus-kasus perburuhan yang tak pernah selesai di Kota Tangerang.

Dan sekarang, Walikota yang tak punya kemauan untuk menyelesaikan persoalan tersebut malah mengeluarkan aturan keblinger yang membuat suara para buruh kian terbungkam. Sungguh prestasi yang membanggakan, Pak Wali. Sepertinya Anda berniat mengejar prestasi Ganjar Pranowo yang tak peduli nasib rakyatnya.

Kebijakan keblinger yang merugikan buruh semacam ini juga pernah dibuat oleh pendahulu Pak Wali. Dulu ada peraturan daerah yang melarang perempuan di Tangerang keluar malam. Aturan ini dibuat oleh mentor politik Anda. Yap betul, orang yang sekarang mencalonkan diri jadi gubernur bareng anaknya ratu korup di Banten itu.

Peraturan ini pernah membuat buruh-buruh perempuan yang pulang malam karena shift dua harus berurusan dengan satpol PP. Mereka dituduh jalang karena ada di luar rumah saat malam hari. Padahal, mereka ada di luar rumah setelah diperas keringatnya oleh perusahaan dan demi menghidupi keluarga. Sungguh aturan keblinger dari mentor keblinger yang diikuti dengan sama keblingernya.

Karenanya, kemarahan publik pada kasus pemukulan ini harus dijadikan pelajaran oleh Pak Walikota. Pak Walikota perlu tahu bahwa memimpin sebuah kota tak cukup hanya dengan membangun banyak taman. Berbicara demokrasi tak bisa selesai dengan keberadaan ruang publik tempat masyarakat bisa foto-foto.


Jika memang Walikota Tangerang adalah pemimpin yang baik, Anda harusnya merasa tamparan kasat intel tersebut harusnya telak mendarat di muka bapak. Bukan saja karena kejadian memalukan ini membuat nama kota menjadi semakin buruk. Tapi juga karena kebijakan ngaco yang Anda buat telah merampas kebebasan warga Anda untuk menyampaikan pendapat. Anda harusnya malu, Pak Wali.

Pertama terbit di Mahasiswa Bicara