Komunis masih menjadi bahaya laten buat kekuasaan. Segala bentuk perlawanan terhadap kekuasaan akan diidentikan dengan komunis. Begitulah historiografi bangsa ini dibentuk oleh penguasa. Sejarah dibentuk berdasarkan kepentingan dan kebutuhan penguasa.
Demi melanggengkan kekuasaannya, penguasa Orba menanamkan nilai-nilai yang harus diadopsi oleh masyarakat tanpa ada pertanyaan. Semua harus diikuti, kalau tidak ikut, pasti disebut komunis. Kebenaran adalah nilai yang dikonstruk oleh penguasa sebagaimana manya penguasa.
Sebagai contoh, selama puluhan tahun film “Pengkhianatan G30S/PKI” selalu diasupkan kepada masyarakat hingga terbentuk suatu nilai jika PKI melakukan pembunuhan sadis kepada para perwira Angkatan Darat sambil berjoged-joged menikmati lagu gendjer-gendjer. Padahal, dalam laporan tim forensik yang melakukan otopsi terhadap jenazah mereka tidak menyebutkan adanya penyiksaan seperti yang tergambar di film tersebut.
Tak hanya film, media massa saat itu, terutama Koran turut dijadikan alat propaganda rezim militer untuk menghasut masyarakat agar marah terhadap PKI dengan memuat laporan dipotongnya “kontol” para perwira tadi. Padahal, masih menurut laporan tim forensik, tidak terjadi pemotongan tersebut. Jelas ini menjadi sebuah pembohongan publik, meski saat itu banyak orang yang terhasut.
Akhirnya, PKI dibubarkan, Soekarno jatuh, dan Soeharto menjadi Presiden. Benar-benar propaganda yang berhasil menipu masyarakat.
Setelahnya, tak jauh beda. Rezim tetap memainkan propaganda ala mereka untuk mengamankan jalannya pemerintahan. Yang berani melawan, akan dituduh subversif, pilihannya hanya ditahan atau mati. Begitu terus sampai rezim ini tumbang.
Bagi rezim, memainkan isu “komunis bahaya laten” tentu menjadi sebuah hal yang menguntungkan mengingat banyak pihak yang membenci komunis. Lihat saja ketika jutaan orang mati akibat dibantai saudara sebangsa sendiri, militer tak perlu turun tangan penuh karena masyarakat anti komunis begitu mudah dihasut. Termasuk santri, kiai, dan mereka yang benci komunis.
Jika dilihat dari perspektif komunikasi politik, propaganda yang dilakukan oleh rezim Soeharto terhitung berhasil karena mampu menghasut masyarakat untuk membantai anggota dan simpatisan PKI. Begitu seterusnya karena mereka juga berhasil membungkam mulut-mulut yang kritis dan mendambakan perubahan dengan cara yang sama, propaganda yang tersistematis.
Propaganda sendiri, menurut Herbert Blumer. Adalah sebuah kmpanye politik yang disengaja mengajak dan membimbing untuk memengaruhi, membujuk, atau merayu banyak orang guna menerima suatu pandangan, ideologi, atau nilai.
Sementara di Indonesia, istilah propaganda antara lain diartikan sebagai penyampaian pesan benar atau salah dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau suatu tindakan tertentu (Arifin: 2010, 227-228).
Propaganda sendiri memiliki banyak tipe, diantaranya propaganda politik, propagamda non politis, bahkan ada propaganda antipolitik, meski pada akhirnya menghasilkan konsekuensi politis (Cangara, 2009: 333).
Menurut Leonard W Dobb (1966), di Negara yang menganut sistem demokratis, kegiatan dipahami sebagai usaha individu atau idividu-individu yang berkepentingan mengontrol sikap krlompok individu lainnya dengan jalan menggunakan sugesti. Itu tandanya propaganda politik akan mempengaruhi opini publik.
Karena itu, rezim orba lihai sekali memainkan isu dan opini public kea rah yang mereka inginkan melalui propagandanya yang luar biasa. Bagaimana tidak, jika menurut Gun Gun Heryanto dan Shulhan Rumaru dalam bukunya, propaganda melalui media massa lebih dititik beratkan pada nilai komunikatornya. Namun, orba tidak mengandalkan hal itu, mereka memainkan propaganda di media massa dengan gaya mereka, yakni sensor.
Ya, propaganda di media massa pada masa rezim orba memainkan pola sensor dan bredel. Jika ada berita yang mengancam stabilitas kekuasaan akan disensor, jika tidak bisa kena bredel. Inilah yang kemudian terjadi pada harian Indonesia Raya, Prioritas, Majalah Tempo, Detik, dan Editor yang dibredel akibat kebandelan mereka melawan rezim.
Ya, begitu sistem yang dimainkan orba. Saya rasa, para pemain kekuasaan orba benar-benar memahami teori ruang publiknya Jurgen Habermas dengan meminimalisir keberadaan ruang-ruang publik seperti taman untuk meminimalis pemberontak-pemberontak yang mengancam stabilitas pemerintahan.
Maka, pada masa-masa itu, komedi menjadi alternatif gerakan penyadaran melalui karya-karya warkop DKI juga panggung sastra yang diprovokasikan WS Rendra kepada anak-anak muda. Dan ingat, jangan lupakan Wiji Thukul yang memainkan propaganda perlawanan terhadap Orba. Ya, ketika Pers dibungkam sastralah yang berbicara, persis seperti kata Seno Gumira Ajidarma.
Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi alternatif perlawanan dengan turut bermain propaganda, meski tak sekuat orba. Ya, propaganda yang dimainkan Rendra, Thukul. Ataupun Warkop lebih kepada provokasi penyadaran kepada mereka yang ditindas dan diperlakukan secara sewenang-wenang oleh rezim. Karenanya tak jarang mereka dikejar-kejar aparat.
Propaganda orba sendiri tentu merupakan penyebaran nilai-nilai yang sesat jika kita menggunakan perspektif kemanusiaan. Karena banyak dari propaganda orba yang menghasut manusia untuk berbuat keji, betul-betul membuat manusia seperti bukan manusia. Betul-betul perbuatan yang merusak moral bangsa. Karena, mengutip kata-kata Sutan Sjahrir, kebangsaan kita hanya satu roman dari pembaktian kita kepada kemanusiaan.
Jika kemudain kita lihat, dalam melakukan propaganda orba berusaha lempar batu sembunyi tangan, mencoba melimpahkan kesalahan mereka kepada orang lain. Seperti pada peristiwa 27 juli 1996 yang dipropagandakan sebagai ulah Partai Rakyat Demokratik meski yang menyerang adalah massa dari PDI versi Soerjadi.
Begitulah permainan propaganda yang dilakukan orba, jika sebelum orde baru berkuasa mereka memainkan propaganda anti komunis, sampai tumbang pun mereka masih melakukan itu. Bahkan, hingga sekarang masih banyak anjing-anjing orde baru yang menganggap Komunis sebagai bahaya yang lebih berbahaya ketimbang korupsi yang dilakukan pejabat idola anjing-anjing orde baru.
Karena itu, sebagai kaum intelektual, kita harus mampu memilah mana nilai dan mencoba menyaring informasi yang ada. Jangan nantinya justru kaum intelektual menelan mentah-mentah informasi dari media yang menjadi lading bagi para penjahat berpropaganda. Ingat, propaganda pun ada yang anti politik, seperti yang dilakuakan Arief Budiman yang mempropagandakan isu “Golput” sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap pemilu.
Buat orde baru, propaganda mereka adalah yang utama demi stabilitas pemerintahan. Karenanya, meskipun begitu banyak kebobrokan yang terjadi, masyarakat (khusunya yang hidup dimasa itu) menganggap hidup di zaman orba lebih enak. Namun kita harus ingat, yang enak tak selamanya baik. Tak bisa kita membunuh orang dengan dalih orang itu akan merusak stabilitas. Karena itu kita harus melawan.
Jadi, maukah kita ikut berpropoganda untuk melawan penindasan?
0 komentar:
Posting Komentar