Permintaan maaf hanyalah sebuah pengakuan dosa. Dan pengakuan dosa pada akhirnya hanyalah sebuah permohonan ampunan. Maka ketika muncul isu jika negara hendak meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM, banyak orang bereaksi.
Sebut saja pergulatan
yang dialami oleh Franz Magnis Suseno. Ketika ia mendengar isu tadi, ia
langsung menyampaikan
dukungannya di sebuah harian besar Indonesia. Ia meminta Presiden meminta maaf
kepada korban 65.
Beberapa
hari berselang, muncul Sulastomo, mantan ketua PB HMI yang menolak isu
tersebut. Ia menuntut. Jika ada permintaan maaf kepada para korban 65, lantas,
siapa yang harus minta maaf atas apa yang diperbuat PKI?
Melihat perdebatan ini, Martin Aleida, salah satu eks Tapol 65 ikut angkat bicara. “Apakah para korban pasca-G30S pernah menghamba untuk memperoleh permintaan maaf? Tak pernah saya dengar,” tegasnya.
Ya,
berbicara peristiwa 65 bukan lagi sekadar urusan permohonan maaf. Ini masalah
kemanusiaan. Masih teringat jelas ketika Gusdur meminta maaf secara langung
kepada Pramoedya Ananta Toer terkait peristiwa 65. Ketika itu Pram dengan tegas
mengatakan “gampang amat”. Karena bagi Pram, permintaan maaf dalam kasus ini
hanyalah sekadar basa-basi.
Dalam
hal ini, basa-basi tak lagi perlu. Republik Indonesia selalu mengaku sebagai
negara hukum, karena itu, usut sampai tuntas kasus ini lewat jalur hukum.
Pertanyaannya, apakah Presiden berani menyeret mertuanya dalam persoalan hukum?
Jika
saja kita bisa belajar dari negara tetangga bernama Timor Leste yang berani
menjadikan laporan penyelidikan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan rezim
orde baru sebagai dokumen resmi negara, mungkin nama Sarwo Edhie akan menjadi salah satu nama yang ada dalam
daftar penjahat HAM di Indonesia.
Tahun
lalu, Komnas HAM telah membuat rekomendasi terhadap Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono terkait pelanggaran HAM berat yang terjadi pada kasus 65. Namun,
hingga tulisan ini termuat, tidak ada langkah nyata dalam menindak lanjuti
laporan tersebut.
Permintaan
maaf bukannya tidak diperlukan dalam urusan ini. Namun sekali lagi, apakah
permintaan maaf ini hanya jadi basa-basi?
Seperti
kata Pram, basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi.
Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Minta maaf saja
tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum.
Karena itu, jika kita
harus kembali membuka borok sejarah yang sengaja ditutupi ini, permintaan maaf
bukanlah solusi. Karena seperti apa yang dikatakan Martin, tak pernah sekalipun
korban 65 menghamba meminta permohonan maaf. Tegakan hukum, tangkap dan adili
para penjahat HAM, dan berikan semua yang telah dirampas dari para korban.
Catatan: Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati 7 tahun kepergian Pramoedya Ananta Toer.
tulisannya bagus-bagus mas. salut :)
BalasHapusterima kasih mas, salam. tetap berkunjung ya
BalasHapus