Dalam sejarah perjalanan bangsa, perkembangan organisasi
islam yang turut memberi sumbangsih pada perjuangan pra kemerdekaan bangkit
diawal abad 20. Di jawa, perkembangan ini ditandai dengan lahirnya Sarekat
Dagang Islam pada 1911 dan lebih dikenal dengan Sarekat Islam (SI). Berdirinya
organisasi ini, selain karena situsi perdagangan dan situasi islam pada saat
itu, juga karena pengaruh gerakan Pam Islamisme.
Selain karena urusan perdagangan, munculnya organisasi islam
pada awal abad tersebut juga dipengaruhi faktor kolonialisme yang melahirkan
penderitaan bagi masyarakat. Karena itu, muncul organisasi baru seperti
Muhammadiyah yang bergerak di bidang kesehatan dan pendidikan yang saat itu
begitu diperlukan oleh masyarakat.
Pada tahun 1926, lahir sebuah organisasi islam yang memiliki
hubungan erat dengan kebudayaan lokal dan memang menjadi sebuah alat
pelembagaan tradisi bagi pengikutnya, yakni Nahdlatul Ulama (NU) yang berarti
kebangkitan ulama. Kelahiran NU sendiri tak
lepas dari keinginan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan umat
islam.
Secara tidak langsung, tujuan menumbuhkan rasa nasionalisme
dimaksudkan untuk menekan pemerintah kolonial belanda. Pada saat itu,
perlawanan rakyat terhadap belanda sedang gencar-gencarnya. Dan dalam
perlawanan ini, peran para pemimpin agama cukup besar.
Tapi, diluar tujuan diatas, tujuan utama NU sebagaimana
bebera[a organisasi islam lainnya adalah sosial keagamaan. Penganut Ahlussunah
Wal-Jamaah ini memiliki paham yang bersumber pada Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma,
dan Al-Qiyas. Namun, ajaran Ahlussunah Wal-Jamaah yang dipegang NU berbeda
dengan beberapa organisasi islam lainnya. Kaena dalam hal ini, NU memasukan
konteks kebudayaan masyarakat. Akulturasi ini dipraktekan dengan kehidupan
kultural rakyat Indonesia.
Paham keulamaan NU sendiri terlaksana atas konsekuensi
ajaran mereka. Penghormatan yang tinggi kepada para ulama, ini merupakan
releksi dari tradisi berpikir yang menggunakan mazhab. Bagi NU, bermazhab
adalah hal yang mutlak. Selain itu, kebudayaan masyarakat NU yang berbasis
pesantren juga memperkuat paham keulamaan NU.
Meski begitu, NU juga ikut turut ambil bagian dalam perpolitikan Indonesia. Dalam hal ini,
kebanyakan orang melihat visi berpolitik NU dimulai ketika bergabung dengan
Masyumi pasca dikeluarkannya Maklumat Pemerinth 3 November 1945. Namun, hal ini
tidak sepernuhnya tepat. Apalagi jika kita mampu melihat aktivitas politik NU
memang sudah dilakukan sejak ia berdiri.
Meski memang, pada awal berdirinya NU lebih sering berbicara
soal sosial keagamaan, dan kepolitikannya pun masih belum jelas. Apalagi saat
itu SI lebih sering tampil sebagai organisasi islm yang begitu aktif dalam
politik. Namun, NU tetap memiliki sikap politik terhadap belanda, yakni NU
bersifat nonkooperatif terhadap kebijakan pemerintah kolonial.
Pada masa fasisme jepang, aktivitas NU di dunia politik kian
jelas. Dalam pembentukan Pembela Tanah Air (Peta) misalnya, KH Wahid Hasyim
dapat meminta jepang untuk melibatkan para santri sehingga lahirlah Hizbullah.
Dari lembaga inilah NU mengnal kemiliteran dan berinteraksi dengan militer pda
awal-awal kemerdekaan.
Namun ketika Masyumi dibentuk, NU beserta beberapa
organisasi lainnya ikut bergabung dengannya. Meski hl ini tidak berlangsung
lama. Keutuhan Masyumi mulai retak ketika masa kabinet Amir Syarifudin
terbentuk partai politik islam lainnya, Partai Sarekat Islam Indonesia.
Keputusan SI untuk membentuk partai politik senidiri ini, diikuti NU beberapa
tahun kemudian dengan terlebih dulu memutuskan untuk menarik diri dari Masyumi.
Keluarnya NU dari Masyumi merupakan produk akumulatif dan
kekecewaan NU terhadap dialektika perkembangan mayumi dan kekecewaan terhadap
intelektual Masyumi yang melokasikan ulama NU hanya dalam urusan agama belaka.
Dibentuknya NU sebagai partai politik merupakan sebuah babak
baru. Meskipun ia belajar politik dari Masyumi, tetapi langkahnya ini akan
membawa peran baru. Para kiai yang telah lama hilang dalam percaturan politik,
mulai saat itu terlibat langsung dalam permainan politik. Orang-orang berkopiah
dan bersarung serta bersandal saat itu harus bergelut langsung dengan persoalan
kekuasaan. Kejadian inilah yang menandai kepolitikan pesantren, karena NU
memang berbasis pada pesantren.
Tak lama setelah mendeklarasikan untuk aktif berpolitik, NU
langsung menghadapi pesta demokrasi rakyat, yakni pemilu 1955. Hal ini membuat
kesiapan NU dalam menghadapi pemilu sedikit kurang. Namun, bagi NU sendiri,
pemilu pertama ini sangat penting untuk menunjukan bahwa dirinya besar,
terutama kepada masyumi.
Di pihak lain, lewat pemilu ini pula NU akan mendudukan
orang-orangnya untuk duduk di Konstituante, yang dimana dalam wadah para wakil
rakyat itu, akan diperbindangkan masalah mendasar bagi bangsa, soal dasar
negara.
Dan pemilu pertama telah menjadi alat pembuktian NU. Dalam
pemilu ini, NU menempati posisi ketiga, atau masuk kedalam 4 besar bersama PNI,
masyumi, dan PKI. Jika sebelumnya di parlemen NU hanya mendapatkan jatah 8
kursi, kini NU dapat menaruhkan 45 perwakilan di parlemen.
Tugas awal NU pasca pemilu pun cukup berat. Beserta anggota
parlemen lainnya, Konstituante bertugas untuk menentukan dasar negara. Bagi
para kalangan nasionalis seperti PNI dan fraksi lain non islam, mereka
mendukung Pancasila menjdi dasar negara. Sedangkan nU beserta kalangan
Pan-Islamis laninya mendukung Islam untuk menjadi dasar negara. Dan yang
terakhir, paham sosial ekonomi yang didukung prtai Murba dan Partai Buruh.
Namun, disaat perdebatan mengenai hal ini belum selesai,
Presiden Soekarno atas desakan militer mengeluarkan Dekrit yang memberlakukan
kembali UUD 1945, yang didalamnya terdapat pancasila, dan membubarkan majelis
Konstituante. Dengan demikian tertutuplah keinginan kelompok islam untuk
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Kemudian, suatu babak baru
muncul dalam kepolitikan Indonesia. Presiden Soekarno memperkenalkan
Demokrasi Terpimpin sebagai sebuah sistem pemerintahan yang baru. Dan
menghadapi babak baru ini, kekuatan politik islm terpecah menjadi dua. Yang
satu mendukung, yakni NU, PSII, dan Perti. Dan yang menolak yakni Masyumi. Bagi
NU sendiri, mendukung Demokrasi Terpimpin ini lebih didasari pada dasar mufakat
yang mendasari Demokrasi Terpimpin.
Meski begitu, dalam dialektikanya, poros utama Demokrasi Terpimpin terfokus pada tiga titk,
yakni PKI, Soekarno, dan Militer. Ketegangan politik yang terjadi antara
PKI-Militer, dinaungi oleh poros Soekarno sebagai Presiden. Namun, segitiga
kekuasaan ini semakin lama semakin panas hingga terjadi aksi G30S yang membuat
Soekarno digantikan oleh Soeharto.
Dan kepolitikan NU berlanjut pada masa orde baru. Dalam rangka restrukturisasi dan penyederhanaan
partai politik pada tahun 1970an, Presiden Soeharto menyerukan perlunya
dipkirkan pengelompokan partai-partai kedalam kelompok material dan spiritual
disamping Golkar tentunya. Sistem kepartaian yang diinginkan Soeharto ini mirip
dengan apa yang disebut Giovani Sartori sebagai sistem kepartaian pulralisme
sederhana.
Dan karena itulah, NU bersama parpol Islam lainnya
dipaksakan bersatu dibawah bendera
Partai Persatuan Pembangunan. Partai ini melengkapi tiga kelompok lainnya,
yakni Partai demokrasi Indonesia, Golkar, dan Abri didalam fraksi di DPR.
Meski begitu, NU bukan hanya diam dalam menghadapi pemaksaan
ini. Seperti PSII yang menolak fusi partai, NU lewat Muktamar ke 25 Desember
1971 juga menyatakan penolakannya terhadap fusi partai islam menjadi satu.
Alasannya sederhana, NU takut menjadi inferior dan minoritas dalam partai baru
tersebut. Pasalnya, NU pada masa itu tengah berada didalam puncak
kepolitikannya setelah berdiri di posisi ke dua dalam perpolitikan Indonesia
setelah Golkar. Meski begitu, pada akhirnya NU tetap menandatangani Deklarasi
PPP.
Posisi NU cukup kuat dalam tubuh PPP, namun di dalam jabatan
pemerintahan, NU tidak lagi dilibatkan. Kalau pada kabinet pembangunan masih ada orang nu yang duduk sebagai
menteri, pada kabinet pembangunan 2, tak ada lagi orang NU yang dilibatkan. Hal
ini disebabkan rezim lebih memilih berkoalisi dengan para teknokrat dibanding
para politisi non-Golkar.
Pada akhirnya, unteraksi politik NU mentok di lembaga
legislatif saja. Maka, jalan yang paling strategis bagi parpol adalah meraih
suara sebanyak-banyaknya di setiap pemilu, agar dapat memiliki wakil yang duduk
di DPR/MPR. Namun begitu besarnya kekuatan Golkar membuat PPP selalu berada
dibawah Golkar.
Pada tahun 1984, NU memutuskan kelur dari PPP. Ini
deisebabkan dinamika politik orde baru yang cenderung otoriter. Apalagi setelah
rezim memasukan Pcenderung otoriter. Apalagi setelah rezim memasukan P4 kedalam
GBHN. P4 yang merupakan tafsiran pada pancasila dikhawatirkan dapat mengaburkan
Pancasila sendiri. Selain itu konflik internal terkait sikap PPP sendiri dan NU
juga membawa situsi kian rumit.
Akhirnya, setelah retrospeksi yang cukup panjang terhadap
pergulatan politik NU, NU memilih untuk kembali pada khittah 1926. Para
intelektual muda NU berpendapat, kembali ke khittah 1926 adalah keharusan, dan
oleh karena itu mereka pun meyakinkan para ulama tua untuk menyetujuinya.
Selain itu, para ulama non-politisi jug menyambut baik keinginan ini karena hal
ini dapat mengembalikan posisi ulama ke peran yang lebih besar lagi.
Sekalipun tidak lagi aktif dalam pergulatan politik
Indonesia, NU tetap memiliki aktifitas yang besar dalam kehidupan masyarakat.
Selain kembali menjadikan tujuan organisasi yang memang sebagai Jam’iyah
Dinniyah. Keputusan yang dibuat pasca kembali ke khittah 1926 juga mengharuskan
para pengurus NU untuk tidak aktif lagi di politik praktis. Hal ini tercermin
dari keputusan yang mentidakbolehkan seorang NU merangkap jabatan di organisasi
lain, apapun itu.
Kemana NU akan melangkah setelah kembali ke khittah 1926?
Sebagai organisasi social keagamaan yang sering dikatakan tradisional, secara
teoritis, ia mestinya rigit terhadap perubahan-perubahan lingkungannya. Baik
secara ekonomi, politik, mpun system-sistem lainnya. Namun kenyataannya tidak
demikian. NU justru mampu bertahan dan malahan berkembang sebagaimana
organisasi-organisasi modern.
Namun NU tidak sepenuhnya oportunistik sebagaimana
penyesuaian diri yang dilakukannya, karena NU pernah bersikap nonkooperatif dan
menjaga jarak dengan penguasa. Dan untuk memahami prilaku NU, tidak bias hanya
dengan kacamata organisasi saja, namun juga harus melalui perspektif
kebudayaan.
Sebagai penganut Ahlussunah Wal-Jamaah, NU menunjukan
sosoknya yang berbeda dengan penganut Ahlussunah Wal-Jamaah yang lainnya.
Karena ia bersikap terbuka dengan mengakulturasi kebudayaan local dan social
masyarakatnya. Hal ini tidak luput dari pemahaman agama NU, yakni islam sebagai
agama yang fithri, suatu agama yang menyempurnakan kebaikan yang sudah dimiliki
oleh manusia.
Oleh karena itu, Dewasa kini, NU tengah menapaki langkah
sebagai Jam’iyah Dinniyah saja. Meski NU kemudian mulai berbicara ekonomi, dan
muncul pertanyaan, apakah NU akan tetap selalu menggunakan pendekatan kultural
sebagaimana dikemukakan Abdurrahman Wahid, ataukah langkah-langkahnya itu lebih
ditentukan oleh struktur ekonomi dan bahkan stuktur politik yang melingkupinya.
0 komentar:
Posting Komentar