"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat"
Pada masa kolonial, masalah Agraria seperti Land Rent
merupakan musuh utama Pribumi Indonesia. Pada saat itu, lahan dikuasai
pemerintah, lalu Pribumi, dalam hal ini kepala desa harus membayar pajak dengan
kisaran 50%. Karena hal itulah, para tani di desa kerap melakukan perlawanan
kepada pemerintah meski hampir selalu berakhir dengan kekalahan.
Meski masih banyak alasan kenapa Indonesia harus merdeka,
tapi alasan agraria ini menjadi salah satu alasan perjuangan kemerdekaan yang
dilakukan para petani. Demi memiliki tanah yang cukup dan tidak lagi diperas
dengan pajak yang tinggi, akhirnya petani angkat senjata mendukung perjuangan
kemerdekaan.
Namun, pasca kemerdekaan, masalah agraria tidak pernah
selesai. Jika dulu bangsa asing yang menindas, kini penindas kaum tani adalah
pemerintah, baik pusat atau daerah. Itu pun belum ditambah tengkulak dan lintah
darat lainnya. Dan hal ini telah berlangsung dari jaman penjajahan, Orde lama,
Orde baru, hingga kini, orde yang paling baru.
Pada masa Orba, atas nama pembangunan, masyarakat dapat
digusur dari tempat tinggalnya. Tanahnya dibeli setengah harga, bahkan lebih
kecil. Jika menolak, tekanan dan teror menjadi senjata guna memuluskan jalan
demi pembagunan. Sekali lagi, dengan dalih pembangunan.
Kasus Mesuji atau Lapindo bisa menjadi contoh kasus di mana
pemerintah lebih berpihak pada perusahaan dan pemilik modal ketimbang
masyarakat, terlebih lagi petani. Bahkan, hingga kini ada sekitar 7000 kasus
agraria yang belum terselesaikan di bumi nusantara.
Regulasi yang mengatur agraria pun hanya sedikit yang pro
rakyat. Sebagai contoh, dari 17 UU yang berkaitan dengan tanah, hanya satu yang
pro rakyat, yakni UU tahun 1960. Ini dapat menjadi bukti jika dalam urusan
tanah, rakyat masih tertindas.
Selain itu, pada
tahun lalu terjadi peningkatan yang signifikan ihwal konflik agraria yang
terjadi di Indonesia. Jika pada 2010 terjadi sekitar 22 kasus dalam kurun waktu
satu tahun, pada 2011 terjadi sekitar 120 konflik agraria dalam kurun waktu
yang sama.
Umumnya, konflik ini terjadi antara petani dengan perusahaan
swasta yang bergerak di bidang perkebunan, pertambangan, AMDK (air minum dalam
kemasan), juga dengan BUMN. Dan jika konflik ini terus dibiarkan
berlarut-larut, maka petani akan terus dirugikan.
Dalam konflik ini, petani tidak hanya dihadapkan dengan
penangkapan, penggusuran, penembakan, serta berbagai bentuk kekerasan
kriminalisasi, konflik ini juga menghadapkan petani pada kerugian finansial.
Tentu bisa dibayangkan berapa besar kerugian petani jika tanah yang harusnya
ditanami tidak dapat dipakai dan kerugian mereka saat gagal panen.
Padahal, UUPA tahun 1960 menjamin hak petani atas tanah yang
merupakan implementasi dari pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Oleh karena itu, penggunaan tanah haruslah untuk kepentingan
rakyat, bukan sekadar keuntungan para pemodal, baik asing ataupun pribumi.
Regulasi yang dibuat haruslah dijadikan sebagai alat penyelesaian konflik,
bukan malah menimbulkan konflik baru yang kebanyakan merugikan petani. Jika
tidak, bisa jadi akan selamanya Indonesia dirundung masalah agraria.
0 komentar:
Posting Komentar