Nasionalisme, tidak perduli dengan aneka ragam wujud
penampilannya, pada awalnya adalah gagasan mengenai kesatuan kebangsaan dalam
suatu wilayah politik kenegaraan. Nasionalisme merupakan nilai rohaniah yang
mendorong kehendak untuk hidup sebagai satu bangsa serta mempertahankan
kelangsungan hidup kebangsaannya itu. Maka tidak aneh jika nasionalisme
dijadikan alat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Soekarno pernah mengajarkan bahwa nasionalisme harus
dibangun atas dasar prinsip kemanusiaan. Dia juga mengingatkan bangsa ini akan
bahaya nasionalisme yang tumbuh diluar prinsip kemanusiaan. Nasionalisme
demikian adalah nasionalisme yang chauvinis, nasionalisme yang sempit, yang
“Deutschland Alles” seperti terjadi di Jerman pada masa Adolf Hitler.
Nasionalisme Indonesia harus tumbuh diatas taman yang mampu mempersatukan
keragaman suku, budaya, dan agama dalam horizon persatuan umat manusia yang
hakiki.
Faktual, kini nasionalisme yang pernah mengantarkan bangsa
Indonesia dalam meraih harkat dan martabatnya (kemerdekaan), hanya menjadi
bunyi-bunyian tanpa makna. Ditengah dinamika kekuatan ekonomi-politik global
yang didominasi oleh kekuatan pasar bebas menjadikan batas-batas teritorial
suatu negara menjadi kian tak jelas dan kedaulatan negara-bangsa semakin tak
berarti.
Kapitalisme kini menjelma menjadi sebuah mighty power yang
berwujud dalam korporasi multi-nasional yang kekuasaanya melebihi kedaulatan
Negara-bangsa. Bahkan kekayaan sebuah megakorporasi ditengarai melampaui
pendapatan kotor domestic (GDP) Negara-negara berkembang yang ada.
Pemberian hak operatorship blok cepu kepada Exxon Mobil merupakan contoh aktual dari kekuatan korporasi global untuk mengeksploitasi
dan mendikte kebijakan ekonomi Indonesia. Bahkan mantan menteri kesehatan, Siti
Fadilah Supari membeberkan pola pendiktean yang dilakukan oleh negara adigdaya
sekelas Amerika Serikat. Dalam biografinya dituliskan bahwa Kemenkes “dipaksa”
membeli vaksin buatan AS yang jika tidak dipenuhi, maka AS akan menyebarkan
virus yang hanya dapat diatasi oleh vaksin tersebut.
Keadaan ini menunjukan dengan jelas ketidakberdayaan para
pemimpin bangsa yang rela didikte guna melayani agen-agen pembangunan. Sikap
demikian jelas akan merugikan kepentingan ekonomi dan politik nasional dalam
jangka panjang dan membuat bangsa ini mandul dalam segala aspekm utamanya
menyangkut kapasitas kebijakan para elit dalam memanage kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara dalam menghadapi berbagai permasalahan yang kian kompleks
dan kian rumit ke depan.
Melihat kenyataan diatas, pertanyaan yang muncul adalah
masih pentingkah nasionalisme untuk bangsa Indonesia saat ini? Bila masih
penting, nasionalisme yang bagaimanakah yang harus diwujudkan? Kepadamu aku
bertanya.
0 komentar:
Posting Komentar