Tahun 2013 adalah tahun politik, tahun yang menunjang pesta
demokrasi 2014. Tahun dimana para politisi berebut tampil ke depan publik untuk
mencari jalan menuju Senayan. Ada yang buat posko bantuan bencana, ada yang
ikutan blusukan, buat spanduk di banyak tempat, hingga ada yang pindah partai.
Ke-ngebetan politisi untuk menuju Senayan tentu
memprihatinkan, mengingat mereka bisa melakukan apa saja untuk keinginannya.
Entah pendidikan politik apa yang mereka dapat, tapi melakukan hal seperti
pindah partai tentu menjadi sebuah kecacatan dalam pendidikan politik itu
sendiri.
Semakin menjamurnya kader-kader karbitan dan kutu
loncat menjelang pesta demokrasi ini
mungkin tak pernah terjadi pada masa Repubik ini belum menemui masa kelam Orde
Baru. Pada masa itu, tak pernah terdengar ada seorang anggota partai yang
hijrah ke lain partai hanya demi jabatan. Karena pada masa itu setiap anggota
partai adalah orang yang memiliki ideologi yang sama dengan partai.
Tak pernah terdengar ada seorang kader PKI yang pindah ke
Masyumi hanya untuk mengejar posisi. Bandingkan dengan sekarang dimana PKS
sebagai partai yang katanya berideologi Islam menjaring kader meskipun tak
beragama Islam. Begitu juga pindahnya politisi seperti Akbar Faisal yang
katanya cinta Hanura tapi memilih berbagung dengan Nasdem.
Melihat kejadian tadi tentunya miris jika mengingat Tan
Malaka menjadikan parpol sebagai alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.
Tentu juga semakin miris ketika mengingat ribuan politisi yang berjuang demi
kemerdekaan yang dibuang ke Boven Digul akibat perjuangan mereka.
Ditambah semakin banyaknya politisi yang pergi dari Senayan
menuju hotel prodeo akibat banyak kasus seperti korupsi, tentu sangat berbeda
dengan politisi dulu yang berangkat dari perlawanan hingga mendekam di balik
jeruji sebelum berangkat menuju Senayan. Mungkin karena memang hanya sedikit
politisi sekarang yang berangkat ke Senayan untuk berjuang.
Seandainya pendidikan poltik dilakukan secara benar sehingga
ideologi tak bisa digadaikan hanya demi jabatan. Jika saja ideologi yang
menjadi acuan tak sekadar ucapan belaka tapi menjadi sebuah ketetapan hati,
mungkin dunia politik tak terlalu banyak dibenci orang. Entah kapan kita bisa
mendengar lagi orang bangga dengan politik dan berani berkata lantang “saya
kader PKI” dengan bangga.
0 komentar:
Posting Komentar