“Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.
Kesedihan hanya tontonan, bagi mereka yang diperbudak jabatan”
Begitulah kira-kira jika negeri
ini tidak memiliki cinta. Secara sederhana, Virgiawan Listianto atau yang lebih
akrab dipanggil Iwan Fals menggambarkan, bagaimana jika masyarakat sudah
kehilangan cinta, perkara kemanusiaan pun menjadi soal urusan belakangan.
Inilah yang kemudian mulai mewabah dalam kehidupan masyarakat kita.
Dewasa kini, masalah percintaan
di Indonesia semakin kronis. Perkara cinta hari ini tereduksi pemaknaannya
hingga tataran cabe-cabean, jomblo ngenes, dan pernikahan mewah.
Bagaimana tidak, pergaulan anak
bangsa hari ini semakin mengkhawatirkan. Tanpa bermaksud meniru gaya dakwah
Felix Siauw dan aktivis Lembaga Dakwah Kampus, pemaknaan cinta bagi anak muda
memang jauh tereduksi dan mengarah ke kos-kosan. Ini tentu gawat. Karena makna
cinta terbatasi pada ranjang dan pacaran. Meski kemudian, kritik harus
diberikan pada sang Ustadz yang kembali mereduksi perkara cinta dengan seruan
“Udah, Putusin Aja”.
Seruan itu justru memperparah
pemaknaan pada cinta dengan membuat populasi jomblo di Indonesia semakin
meningkat. Kenapa begitu? Jelas saja apa yang dilakukan ustad ini memperburuk
keadaan. Karena apa yang dihasilkan ustadz felix justru dimanfaatkan para
komedian berdiri untuk menjadi komoditi ejekan mereka. Akhirnya, stigma jomblo
menjadi buruk, bahkan hampir seburuk stigma komunis.
Lantas, pemaknaan cinta pun
semakin dangkal. Karena, segala daya dan upaya Ustadz Felix justru membuat
makna cinta terbatas pada cara agar tidak dibilang jomblo.
Dan pemaknaan cinta memasuki fase
terburuk setelah pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina terjadi. Tanpa
bermaksud mengurangi makna pernikahan, dan juga tidak bermaksud mengatakan jika
pernikahan mereka adalah sebuah kesalahan, tapi disiarkannya pernikahan mereka
ke seluruh penjuru tanah air membuat bangsa Indonesia mengalami dekadensi cinta
yang paling parah.
Coba lihat, bagaimana paradigma
masyarakat kemudian dikonstruk oleh beberapa stasiun televisi hingga terbentuk
sebuah konsensus dikalangan calon mertua bahwa pernikahan ideal itu seperti
pernikahan Raffi-Nagita. Bahwa pernikahan itu harus dengan mas kawin yang mahal
dan pesta yang megah. Dan sekali lagi, bukan hanya mereduksi arti pernikahan,
tapi juga membuat cinta jatuh pada jurang makna yang paling dalam. Cinta
dimaknai hanya soal harta dan kekuasaan.
Padahal, kehancuran makna tentang
cinta ini sama saja dengan hilangnya cinta dari peradaban. Hari ini, terlalu
banyak hal soal cinta yang menjadi delusi. Bangsa kita hari ini terlalu sibuk
dengan urusan harus punyapacar, mahar pernikahan, teman tidur diranjang, dan
segala delusi tentang cinta.
Hal inilah yang kemudian,
menghadirkan sosok-sosok haus kekuasaan yang mampu berbuat apa saja demi
mendapatkan atau mengamankan kekuasaan. Dan keadaan seperti inilah yang
menciptakan jenis manusia yang hanya peduli pada kepentingannya sendiri.
Bentuk paling nyata hilangnya
cinta di negeri ini adalah ketika sesama saudara ribut dan bertengkar hanya
karena perbedaan calon presiden yang didukung. Negara ini, menghadapi keadaan
darurat cinta karena konflik horizontal terjadi di masyarakat yang geger
setelah elit politik masih saja berkelahi di senayan sana.
Maka jangan salahkan, bila hadir
orang-orang yang kehilangan akal sehatnya demi mewujudkan apa yang diinginkan.
Dan jangan heran bila kemudian harga manusia semakin murah dan nantinya
ketidakadilan semakin merajalela. Yang miskin semakin miskin, karena yang kaya
akan terus beruoaya kaya biar bisa menikahkan anaknya secara ideal.
Bila sudah begini, haruskah cinta
yang mesti kita salahkan?
0 komentar:
Posting Komentar