Mereka tidak serius mendorong FCTC. Selama ini, saya kira,
semangat mereka menggalang wacana di sosial media akan membuat acara itu
menarik. Mereka yang selama ini senang gelut, senggol sana-sini, banci tampil,
ternyata tidasegarang itu di dunia nyata. Pada acara pagi itu, semua
yang terjadi sangat tidak sesuai dengan poster dan standar acara mahasiswa UIN.
Minggu, 7 Juni lalu, saya sengaja datang pagi. Mengingat di
poster tidak ada jam berapa acara dimulai, saya menanyakannya pada panitia
melalui pesan singkat. “Jam 8 kak,” begitu balasan yang saya terima dari panitia
bernama Rafida.
Rasa kantuk harus saya tahan, harapan Luis Suarez mencetak
gol di final liga champions membuat saya bergadang hingga pagi. Alhamdulillah,
harapan saya terwujud. Suarez mencetak satu gol, berselebrasi di hadapan
Patrice Evra. Dendam telah dibayar tuntas.
Setelahnya, saya berupaya untuk tidak kesiangan. 10 alarm
saya setel dengan nada maksimum. Biasanya, acara di Auditorium Utama Harun
Nasution selalu tepat waktu, ramai, dan tidak sebercanda apa yang dilakukan
panitia diskusi ini.
Bangun jam 7 pagi, saya merasa masih sempat membuat kopi. Sambil
menunggu tubuh terbiasa dengan suhu, segelas kopi hitam dan sebatang kretek
saya nikmati. Setelah mandi dan merapikan diri, 15 menit sebelum acara dimulai
saya berangkat dari kosan yang tak jauh dari kampus.
Sesampainya di depan Auditorium, suasana sepi. Tidak seperti
biasanya. Tapi saya tidak peduli, sambil terkantuk, saya masuk setelah membayar
uang registrasi sebesar dua puluh lima ribu rupiah. Sebuah angka yang besar
untuk mahasiswa UIN.
Suasana di dalam gedung masih sepi. Tidak terlihat aktifitas
berarti. Saya lihat handphone, masih jam 8 lewat 4. Mungkin telat. Setengah jam
sudah biasa. Saya pun duduk sambil membuka koran pagi. Daripada bosan menunggu,
lebih baik baca berita pikir saya. Namun, belum sehalaman koran saya baca, rasa
kantuk saya kembali datang. Tak lama setelah itu, saya terlelap. Cukup lama
saya rasa, karena begitu terjaga, Hakim Sorimuda Pohan sudah berbicara.
Kembali saya melihat jam. Sudah jam 11, wah lama sekali saya
tidur. Sial. Segera saya tanya ke orang di samping saya, sudah berapa lama
acara dimulai. “Baru dimulai, Kak,” jelasnya. Duh, lewat dua jam acara baru
mulai, lebih lama dari lamanya kereta terlambatnya Iwan Fals. Segera saya ke kamar mandi, cuci muka untuk
menyegarkan diri.
Kembali ke ruangan, saya pilih duduk paling belakang. Mengamati
diskusi dari belakang, memperhatikan semua yang ada di diskusi. Sambil mencoba fokus,
saya mendengarkan ceramah Dokter Hakim. Entah kenapa, saya merasa tidak
tertarik dengan apa yang dia sampaikan.
Dari depan, Ia bilang berbicara dengan kubu pro tembakau tak
ubahnya berbicara dengan burung beo. Kalau sudah diajarkan jawab selamat pagi,
apapun pertanyaannya akan dijawab seperti itu. Jadi tak ada gunanya, kata dia.
Belum lagi caranya menyampaikan ceramah. Dari sekian banyak
diskusi yang pernah saya ikuti, baru kali ini saya melihat seorang pembicara
menyampaikan materinya seperti seorang guru mengajarkan anak TK. Seperti seorang
kakek bercerita pada cucunya, seperti berbicara pada orang yang kelwat bodoh. Jelas
saya tak senang dengan itu.
Pembicara setelahnya, Theresia Sandra Diah Ratih dari
Kasubdit Pengendalian Penyakit Kronis dan Degeneratif Kemenkes hanya
menyampaikan hal-hal normatif soal FCTC. Tak banyak hal penting (buat saya). Ketika
pembicara terakhir, diskusi mulai berjalan menarik.
Jalal, nama pembicara terakhir, menyampaikan kalau menyebut
bahwa hanya Indonesia sebagai negara besar yang hingga saat ini belum mengaksesi
FCTC. Belum lagi impor tembakau yang dilakukan Indonesia mencapai 70%.
Entah, memang lupa atau tidak, Jalal tidak menyampaikan kalau negara besar seperti Swiss,
Amerika, Kuba,
juga Argentina belum melakukan aksesi FCTC. Jadi omong kosong kalau selama ini
Indonesia disamakan dengan Somalia karena tidak mengaksesi FCTC.
Lalu soal impor tembakau, entah data darimana, Jalal bisa
berbicara seperti itu. Mengingat 96% kebutuhan tembakau di Indonesia diserap
dari pertanian lokal. Dan tembakau impor hanya digunakan untuk beberapa jenis
rokok putih yang jumlahnya pun tidak besar.
Sambil menanti sesi pertanyaan, saya melihat jam sudah
menunjukkan hampir setengah satu siang. Wah, sudah jam segini. Telat sekali
acara ini. Saya mulai berpikir kalau sesi tanya jawab tak akan panjang, karena
waktu sudah lewat terlalu jauh dari jadwal semula. Benar saja, baru 4 penanya
moderator sudah menghentikan acara.
Sial betul, saya kira acara ini akan jadi diskusi menarik
mengingat nama mentereng yang ada di
poster. Akan jadi diskusi menarik
mengingat yang mengadakan acara adalah Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran
Indonesia. Tapi nyatanya, semua yang
terjadi betul-betul membuat saya merasa sial telah datang ke acara ini.
Sudah telat 2 jam, acara terlalu sepi, pembicara yang hadir
sama sekali tak sesuai, juga tidak ada kesempatan untuk bertanya buat saya. Sambil
sedikit kesal saya tinggalkan ruangan sebelum acara selesai. Sambil jalan ke
rumah makan di samping kampus, saya berpikir untuk menemui Tulus Abadi,
moderator acara sekaligus Ketua Harian YLKI.
Niatnya, saya ingin bertanya, “Apa YLKI bisa mengadvokasi
ketidakpuasan saya terhadap acara ini seperti seriusnya YLKI melakukan kampanye
anti rokok?” Tapi saya urungkan niat itu. Setelah melihat acara tadi, saya
mulai berpikir, mereka tak seserius itu.
0 komentar:
Posting Komentar