Berawal dari dibacakannya teks Proklamasi oleh Bung Karno
dan Bung Hatta di Jakarta, bangsa Indonesia menyuarakan kepada dunia akan
kemerdekaannya. Kemerdekaan yang diraih setelah para pejuang pergerakan nasional,
baik yang bersikap kooperatif maupun nonkooperatif, dengan berani menghadapi
para penjajah demi keberhasilan merebut kedaulatan Indonesia. Namun kemerdekaan
yang diperjuangkan oleh para pejuang pergerakan nasional belum dapat dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan, rakyat belum dapat menikmati
euforia kemerdekaan karena kedatangan kembali belanda ke Nusantara untuk
menjajah kembali bangsa ini. Pemerintah orde lama pimpinan Bung Karno juga
memfokuskan diri dalam mempertahankan kedaulatan Negara yang terus digempur
belanda. Fokus dalam revolusi
kemerdekaan dengan mengangkat senjata dan menjalin perjanjian-perjanjian demi
mengusir belanda yang ingin kembali mengakuisi bangsa ini yang juga membuat
ekonomi Negara dan rakyat kempat-kempot.
Berlanjut pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah
lagi-lagi tidak focus pada bidang-bidang kerakyatan, seperti ekonomi,
pendidikan, dan kesehatan. Naiknya harga BBM dan Sembako juga dirasa sangat
membebani rakyat. Pemerintahan B.K saat
itu juga terlihat lebih memperhatikan bidang politik dengan begitu maraknya
pembubaran parpol dan panasnya suhu politik hingga meletusnya G30S pada tahun
1965.
Masih di kisaran tahun yang sama, “pembantaian” masal
orang-orang komunis dan yang diduga komunis oleh militer dan beberapa ormas
islam juga menguatkan bahwa kepemimpinan Founding Father memang belum mampu
membawa kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.
Melanjutkan kehidupan Negara di zaman orde baru,
kepemimpinan Soeharto mendapat dukungan bagi berbagai macam lapisan masyarakat.
Kekuasaan Soeharto yang mengusung progam pembangunan berjangka yang menggerakan
geliat pertanian dan industri di bumi Indonesia agar lebih bergairah.
Namun pada akhirnya, pembangunan hanya dijadikan kata sakti
mandra guna untuk mengadem-ayemkan rakyat agar tetap tenang dan menuruti
kemauan dan jalan yang ditunjukkan rezim. Proses korupsi dan kawan-kawannya
telah menggerogoti lumbung kekayaan Negara, hingga akhirnya Negara meminjam
dana talangan untuk menyelamatkan program pembangunan. Hasil daripada itu
sendiri, berdampak langsung pada rakyat. Inflasi yang signifikan mampu membuat
rakyat megap-megap untuk meneruskan hidupnya. Jargon “Yang kaya tambah kaya dan
yang miskin tambah miskin” menjadi trendsetter kehidupan bermasyarakat.
Keadaan yang semakin darurat membuat Negara, melalui
Soeharto terus menerus melakukan peminjaman yang puncaknya, saat terjadi krisis
moneter di Asia Tenggara yang membuat masyarakat masih tidak dapat menikmati
kemerdekaan negaranya. Penjarahan dan penyerangan kepada golongan tionghoa
merajalela hingga membuat mahasiswa kembali turun ke jalan-jalan untuk
menggulingkan Soeharto dari singgasana kursi presiden yang dipegangnya selama
32 tahun.
Dan kini pada masa
reformasi yang diwarnai 4 kali pergantian presiden, rakyat masih belum
mendapatkan kemerdekaan yang sebagai mana diamanatkan oleh konstitusi. Pada
rezim yang kini dipimpin oleh seorang purnawirawan militer (pula), rakyat hanya
diberikan penjelasan tentang angka kemiskinan dan utang luar negeri yang
semakin berkurang. Pemerintah juga mensosialisasikan bahwa pertumbuhan ekonomi
berjalan dengan cukup pesat. Namun bagi rakyat, semua itu belumlah cukup.
Kini, rakyat membutuhkan pendidikan, pengajaran dan ilmu
pengetahuan. Rakyat tidak boleh terus dibodohi oleh ahli yang kerjanya hanya
menjabarkan dan menderetkan angka-angka. Rakyat butuh lapangan pekerjaan yang
dapat mendukung eksistensi kehidupannya, bukan hanya mendapatkan kontrak agar
mati kemudian. Kini rakyat membutuhkan jaminan kesehatan, kehidupan, dan segala
hal yang menuntut kemerdekaan yang 100%.
Janganlah kita anggap Negara ini sudah merdeka, bila rakyat
masih saja terjajah dan tersisihkan dirumah sendiri. Bukan masalah siapa yang
lebih kejam dalam menjajah. Bukan masalah belanda, inggris, ataupun jepang.
Tapi siapapun dan apapun jenisnya, penjajah tetaplah penjajah. Termasuk pula
golongan pribumi penjilat pantat pemerintah dan para koruptor, mereka juga
dikategorikan sebagai penjajah spesies baru. Oleh karena itu, bila kita
menginginkan kemerdekaan yang 100% layaknya yang dikonsepkan Tan Malaka, maka
hal pertama yang harus kita lakukan adalah memerdekakan diri sendiri dari
kebodohan-kebodohan milik penjajah.
0 komentar:
Posting Komentar