Rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta, melalui Dinas
Perhubungan untuk melarang pedagang asongan menjual rokok di area terminal
sekali lagi menunjukan lemahnya kemanusiaan yang dimiliki oleh pejabat negeri
ini. Rencana ini tentu saja mengancam ribuan pedagang asongan yang mencari
hidup dari berjualan rokok di terminal.
Pemerintah menggunakan dalih pengendalian pencemaran udara di terminal untuk memberantas kretekus dari terminal. Menurut mereka, penjualan rokok di terminal lah yang menyebabkan banyak orang merokok sembarangan. Merasa kurang dengan dalih pengendalian diatas, Dishub merasa perlu mengaitkannya dengan peraturan tentang kawasan tanpa rokok.
Bila dipahami dengan baik dan benar, landasan hukum yang
digunakan keduanya tidak mempunyai kekuatan untuk melarang penjualan rokok di
terminal. Pasalnya, jika mengacu pada Pergub Nomor 75 Tahun 2005 dan Pergub
Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok, jelas tidak ada pasal
yang melarang penjualan rokok.
Lebih lanjut, keputusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan
penyediaan ruang khusus merokok di tempat umum, misalnya terminal, harusnya
dipahami pemprov Jakarta dengan menyediakan ruang merokok yang layak agar tidak
lagi terlihat orang merokok sembarangan. Coba pelajari lagi UU No 36 Tahun 2009.
Selain itu, tentu tak elok pikiran jika menyamakan dampak
asap rokok dan asap knalpot kendaraan, apalagi bila berpikir bahwa asap rokok
jauh lebih membahayakan terminal ketimbang asap hitam yang ngebul dari banyak
knalpot bis usang. Jika begitu, tak layak Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005
tentang Pengendalian Pencemaran Udara dijadikan alasan.
Semestinya, pejabat pemerintah provinsi, khususnya kepala
Dishub DKI kembali mempelajari kembali peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku di republik ini sebelum mengeluarkan rencana yang sesat pikir.
Pemerintah juga perlu mengasah kembali empati kepada rakyat kecil yang
sehari-hari berjualan rokok, dan jangan sampai lagi merencanakan kebijakan yang
mematikan kehidupan rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar