Siang hari yang terik pada April 2010, empat orang mahasiswa dari ciputat, menggelar sebuah aksi yang tak lazim. Mereka, dengan kostum rok mini berumbai dan penutup bagian dada dari plastik kresek hitam, melakukan tarian dengan mempertontonkan perut mereka sebagai protes kepada anggota dewan yang terlalu sering studi banding ke luar negeri.
Salah satu dari empat peserta itu, mendapatkan perhatian yang lebih dari media. Sebagai peserta dengan perut paling menonjol, Doci, begitu Ia akrab disapa, dengan bergairah terus menggoyang tubuhnya. Sebagai aktivis, kredebilitas dan militansinya tak bisa diragukan.
Dalam sebuah aksi yang berbeda,
Doci melakukan aksi mogok makan. Kali ini Ia berada di garda depan untuk
menyelamatkan KPK dari kriminalisasi terhadapnya. Perjuangaannya kali ini
memaksanya untuk terkulai lemas dan jatuh pingsan. Meski begitu, hal ini tidak
menyurutkan semangatnya untuk terus melakukan protesnya.
Di kali lain, Ia bersama
rekan-rekannya, berkarnaval dari kota ke kota di pulau jawa menuju pulau
dewata. Karnaval ini bukan dalam rangka senang-senang, karena bagi Doci, tak
boleh ada waktu untuk berleha-leha, semua waktu harus dimaksimalkan untuk
perjuangan. Agenda ini adalah bagian dari aksi besar, menolak konferensi World
Trade Organization.
Di beberapa kota besar yang
disinggahinya, Doci bersama rombongan mengadakan diskusi dan kajian, mengapa
mereka menolak konferensi WTO. Tentu tak lupa mereka turun ke jalan di masing-masing
kota untuk menggalang opini masyarakat. Sungguh aksi besar yang memakan waktu
dan tenaga.
Di Bali, Doci bersama rekan-rekan
dari penjuru dunia, menunaikan ibadah aksi mereka. mereka, dengan berbagai
cara, mencoba menggagalkan acara para pejabat berdasi itu. Para aktivis,
memblokir pelabuhan, jalan, hingga mencoba menerobos masuk ke tempat pertemuan.
Sayangnya, konferensi itu tetap berjalan dan para aktivis terus dipukul mundur
aparat.
Sudah selesaikah perjuangan Doci?
Tentu saja tidak. Ingat, militansinya tanpa batas. Tak ada satupun yang sanggup
menghentikannya ketika Ia sudah berjuang. Dalam hal apapun. Meski kembali
disayangkan, Doci masih memiliki keberuntungan yang buruk dalam berjuang.
Sial memang. Sudah banyak tidak
beruntung dalam perjuangan soal negara, nasibnya dalam perjuangan cinta pun tak
berbeda. Dan militansinya dalam perjuangan pun tak beda. Lama menjomblo, Ia
memutuskan suatu hal yang tak pernah di duga, mencintai dan mengadvokasi grup
idola JKT48. Sebuah pilihan yang tak masuk akal di lingkungannya, para aktivis
gahar yang menantang rezim di tengah maut.
Namun, begitulah kehidupan Doci,
mahasiswa tingkat akhir yang tuna cinta. Begitu besar cintanya yang tak mampu
tersalurkan, akhirnya ia mendalami ajaran cinta transit dan mulai menggemari
JKT48. Pernah suatu waktu, dalam event salaman berbayar Doci memberikan sebuah
kitab luhur karya Tan Malaka pada member yang lebih terkenal dari JKT48
sendiri.
Entah apa motivasinya memberikan
kitab kajian yang belum tentu mahasiswa mampu membacanya pada seorang gadis
SMP, namun satu yang pasti, cintanya yang besar membuat nalarnya tak berfungsi
dengan baik. Lho, jelas lah, mana kuat bocah SMP baca buku Madilog Tan Malaka.
Jangan sinting deh.
Tak puas dengan konsep cinta
transit, Doci akhirnya menemukan wanita yang pantas dijadikan tambatan hatinya.
Sebut saja gadis tak beruntung itu dengan nama Tiktik.
Pernah, Doci dengan begitu
bersemangat menyiapkan hadiah kejutan buat ulang tahun Tiktik. Tak
tanggung-tanggung, Ia menyiapkan 300 lembar kartu ucapan selamat yang diisi
oleh 300 orang yang dipilih secara acak tanpa bermaksud mewakili rakyat
Indonesia. 300 kartu ucapan selamat ulang tahun yang diharap mewakili
perasaannya kepada Tiktik.
Tak cuma itu, Doci pun pernah
dengan bangga, menunjukkan surat cinta yang Ia tulis tangan untuk Tiktik. Surat
ajakan ketemuan agar Doci bisa menyampaikan perasaannya. “Kalau nggak ditulis
tangan, nggak ada perjuangannya,” ungkap Doci kala itu.
Sayang, beberapa hari kemudian
Doci datang ke kontrakan dengan lesu. Sambil menenggak “salak”, Ia pun curhat
tentang penolakan Tiktik terhadapnya. Tapi dasar mental pejuang, masih sambil
menenggak “salak”, Doci menyatakan tak menyerah mengejar Tiktik. “Minimal saya
telah berjuang,” tegasnya.
Baginya, mencintai seseorang
perlu pengorbanan yang sepadan. Karena itu, mencintai Tiktik tak serendah
komplikasi cinta transitnya pada Frieska JKT48. Dan sumpahnya pada Tiktik
semegah sumpah solidaritas yang Ia ucapkan ada setiap aksinya. Tapi, bung,
pesanku cuma satu, coba “Pikir-pikir lagi”.
Perjuangan bukanlah permainan,
Bung. Perjuangan perlu rencana dan strategi aksi yang matang. Jangan sampai
kehilangan nalar karena cinta yang menggebu ketika berjuang. Selain itu,
perjuangan juga penuh resiko, dalam hal cinta ialah penolakan. Maka, Bung,
terimalah resiko itu, jangan memungkirinya.
0 komentar:
Posting Komentar