Kebijakan kawasan tanpa rokok akhirnya memakan korban. Seorang satpam stasiun bernama Muhammad Iqbal, dipukul penumpang setelah melarangnya merokok di kawasan stasiun. Kini, Iqbal masih dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo karena luka yang dideritanya. Inilah dampak yang paling ditakutkan akibat tidak disediakannya ruang merokok di tempat umum.
Dalam pemberitaan di media, Ketua Yayasan Kawasan Tanpa
Rokok DR. Rohani Budi Prihatin, atau kita sebut saja Prihatin agar lebih
ringkas, mengutuk keras peristiwa ini. Ia meminta aparat penegak hukum mengusut
kasus pemukulan ini. Prihatin juga memuji keberanian satpam tersebut karena
dianggap telah menegakkan ketentuan hukum.
Mengikuti apa yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi,
penyediaan ruang merokok di tempat umum adalah sebuah kewajiban. Stasiun Pondok
Jati, tempat peristiwa itu terjadi, adalah tempat umum. Maka adalah keharusan
untuk stasiun menyediakan ruang tersebut. Persoalannya adalah, dimana ruang
merokok di stasiun tersebut?
Ketidaktersediaan ruang merokok bukan hanya terjadi di
stasiun Pondok Jati. Sebagai salah satu pengguna Commuterline, saya hampir
tidak menemukan ruang merokok di stasiun jika bukan karena keberadaannya di
Stasiun Senen. Padahal setiap harinya penumpang Commuterline mencapai ratusan
ribu, jika diasumsikan penumpang yang merokok ada 10%, maka ada sekitar 10 ribu
penumpang yang dirampas haknya karena ketiadaan ruang merokok.
Bayangkan, seorang penumpang dari Tangerang harus menahan
kebutuhannya untuk merokok karena tidak disediakannya ruang merokok. Padahal,
dari Tangerang, penumpang harus transit di Stasiun Duri dan menunggu kereta
untuk melanjutkan perjalanan. Waktu menunggu kereta selanjutnya memakan waktu
cukup lama, kadang disebabkan gerbong penuh atau lebih sering karena
keterlambatan. Dan selama itu juga
penumpang dipaksa menahan diri untuk tidak merokok.
Padahal kalau stasiun menyediakan Ruang Merokok, saya yakin
tidak akan ada teguran pada Fajar Arif, yang kemudian berlanjut pada saling
dorong dan berakhir pada sebuah pukulan. Hal itu tidak perlu terjadi seandainya
amanat Undang-undang dipenuhi, seperti pernyataan Prihatin. Seandainya konsep
berbagi ruang dipenuhi, yang merokok diberi ruang sebagaimana yang tidak
merokok mendapatkan ruang, peristiwa ini tidak akan terjadi.
Kasus Fajar Arif ini hanyalah sebuah ‘pemberontakan’ kecil
yang dilakukan seorang penumpang karena haknya dirampas. Tak berani saya
membayangkan para penumpang Commuterline yang merokok, melakukan pemberontakan
karena hak-hak mereka dirampas oleh aparat negara yang tidak mematuhi aturan
hukum. Ingat, setiap orang waras akan berontak kalau terus ditindas.
Peristiwa ini harus dijadikan pelajaran berharga, agar
kedepannya tidak ada lagi konflik horizontal di tengah masyarakat karena tidak
adanya ruang merokok. Bagaimanapun, konflik seperti ini akan terus terjadi
selama pemerintah masih tidak mampu melakukan pekerjaannya untuk mengakomodasi
kebutuhan masyarakatnya.
0 komentar:
Posting Komentar