Dulu sekali, ada
seorang anak muda yang punya daya kritis tinggi. Pada masa sekolah, anak
ini sempat dipaksa tinggal kelas lantaran mengkritik seorang guru mata
pelajaran sastra. Merasa tak senang dengan kritik muridnya, sang guru memberi
pilihan pada anak itu, meminta maaf padanya atau tidak naik kelas.
Anak muda ini kemudian memilih untuk pindah sekolah. Ia
merasa memiliki pemahaman yang cukup dalam mata pelajaran sang guru untuk
sekadar naik kelas. Kejadian ini kemudian ia tulis pada buku harian pribadinya,
yang kelak diterbitkan sebagai sebuah buku yang cukup fenomenal. Salah satu
kutipan yang paling dikenal dari buku itu adalah, “Guru yang tak tahan kritik
boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan
kerbau”. Nama anak itu adalah Soe Hok Gie.
Pernah saat ia menjabat sebagai pimpinan eksekutif mahasiswa
di fakultasnya, Gie pernah membuat geger pihak dekanat dengan memajang daftar
nama dosen yang bermasalah. Nama-nama ini Ia peroleh lewat survei yang ia
lakukan terhadap mahasiswa dengan bahasan, kinerja dosen di Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (UI).
Bagi Gie, “Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas
diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya,
biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh dosen-dosen korup mereka.”
Bahkan, saat menjadi dosen di fakultas tersebut, Gie secara
blak-blakan mengungkap dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan
ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Oleh dosen itu, hasil
terjemahan mahasiswanya digunakan sebagai bahan pengajaran. Karena sang dosen
rupanya tak cakap berbahasa Inggris. Sungguh mati mahasiswa yang tak berani
melawan.
***
Kini, banyak yang bilang zaman sudah berbeda. Ini bukan
tahun 60-an, zaman Gie hidup. Internet sudah mengubah kondisi dunia begitu
rupa. Menjadi aktivis pun sudah tak lagi digandrungi karena orang-orang lebih
suka JKT48. Biaya kuliah semakin mahal. Namun dari semua perubahan itu, masih
banyak juga yang tidak berubah. Para pengajar yang korup salah satunya.
Di masa-masa awal semester, biasanya perkuliahan dimulai
dengan kontrak belajar. Di situ, dibahas indikator-indikator yang menentukan
kelulusan. Di situ juga dibahas berapa kali mahasiswa diperbolehkan tidak hadir
perkuliahan, jika lebih tentu tidak diizinkan untuk melanjutkan perkuliahan.
Semuanya dibahas. “Lebih dari tiga kali tidak hadir, anda tidak boleh ikut
UAS.”
Namun dari semua kontrak itu, jarang sekali dibahas hal-hal
yang harus dosen lakukan. Tidak pernah ada dalam kontrak misalnya, jika dosen
tidak hadir lebih dari tiga kali, maka dosen tidak boleh mengadakan UAS. Atau,
jika dosen terlambat lebih 15 menit, maka dosen tidak boleh memberi
perkuliahan. Hal-hal seperti itu, biasanya jarang terjadi.
Bukan cuma dosen yang jarang masuk dan sering telat, ada
juga dosen yang sepanjang mata kuliah cuma membebankan tugas, menyuruh
mahasiswnya hanya berdiskusi, kemudian memberi mereka nilai. Belum lagi
dosen-dosen yang mengganti jadwal kuliah dengan alasan sibuk. Memangnya cuma
dosen saja yang punya aktivitas lain.
Memang, tidak semua dosen berlaku seperti itu. Ada juga dosen
yang taat mengajar. Tapi jangan lupakan keberadaan dosen-dosen korup macam
tadi. Ingat, karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Jadi, jangan salahkan
mahasiswa menggosip di belakang jika masih ada dosen yang korup.
Permasalahannya, pihak kampus masih saja alpa dengan hal-hal
seperti ini. Ketimbang memperbaiki kualitas dosen, kampus lebih suka menggenjot
International Organization for Standardization (ISO) kampus agar masuk jajaran
kampus kelas dunia.
Ya, zaman memang sudah berubah. Sudah sangat jarang —atau
bahkan tak ada— mahasiswa macam Gie yang berani menentang dosen. Kebanyakan
mahasiswa lebih suka manut agar bisa lulus ketimbang mengomentari pendapat dosen dan tidak lagi
diperbolehkan masuk kelas. Ingat, sekarang kuliah cuma dibatasi 5 tahun, Soe
Hok Gie enak boleh lulus 7 tahun.
0 komentar:
Posting Komentar