Mogok kerja adalah hak, itu yang dikatakan konstitusi. Namun
bagi perusahaan, mogok adalah momok yang tidak boleh terjadi. Bagi perusahaan,
mogok akan membuat proses produksi terhambat dan inilah yang ditakutkan
perusahaan. Karena itu ada saja perusahaan yang memecat buruhnya jika melakukan
mogok kerja.
Di Malang, puluhan buruh PT Indonesian Tobacco Malang
dipecat setelah melakukan mogok kerja. Tak hanya dipecat, mereka pun harus
dipusingkan dengan tuntutan dari bekas pabrik tempat mereka bekerja. Akibat
melakukan mogok kerja, 77 buruh itu dipecat dan dituntut ke pengadilan hubungan
industrial karena dianggap merugikan pabrik.
Sebenarnya perkara ini sudah lama diputus oleh Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI) setempat. Dalam putusannya, PHI memang memutuskan
buruh dipecat dan telah memerintahkan perusahaan membayar pesangon dan gaji
selama sengketa empat bulan. Namun bukannya membayar kewajiban tersebut
perusahaan malah menuntut balik buruh karena dianggap merugikan perusahaan
selama mogok. Tidak tanggung-tanggung, perusahaan ini menuntut buruhnya sebesar
2 miliar rupiah.
Persoalan semacam ini tak hanya terjadi pada buruh PT
Indonesian Tobacco, namun juga terjadi ribuan buruh di Indonesia. Tahun 2012
lalu misalnya, puluhan buruh di PT Mistuba Tangerang juga dipecat setelah melakukan
mogok kerja menjelang May Day. Ancaman pemecatan seperti ini memang menjadi
momok yang biasa dialami oleh buruh yang menuntut hak-hak mereka.
Perlakuan tiran perusahaan mulai terasa sejak pemerintahan
orde baru dimulai. Bukannya memperbaiki kualitas hidup buruh agar kerja mereka
maksimal dan tak banyak melayangkan tuntutan, perusahaan lebih suka memecat
buruh yang dianggap sebagai virus yang bisa mengajak buruh lain untuk berdemo.
Hal ini terjadi karena perusahaan menganggap buruh sebagai
pekerja rendahan yang mudah didapatkan penggantinya. Jadi daripada memenuhi hak
buruh yang nantinya akan mengurangi pendapatan perusahaan, lebih baik
menggantinya dengan orang yang butuh pekerjaan dan mudah dipaksa menuruti
kemauan perusahaan. Sebuah pemikiran tiran yang belum banyak berubah hingga
sekarang.
Dalam hal ini, seharusnya negara atau pemerintah daerah
harus campur tangan dalam menyelesaikan perkara hubungan industrial. Meski
membutuhkan investasi pengusaha untuk memajukan perekonomian, tapi pengusaha juga
tidak boleh dibiarkan semena-mena seperti ini. Bagaimanapun, hidup layak adalah
hak semua rakyat, termasuk buruh.
Tuntutan gila seperti yang dilakukan PT Indonesian Tobacco
Malang harusnya tidak boleh lagi terjadi. Menuntut miliaran rupiah pada buruh sementara
kewajiban pembayaran terhadap buruh tidak mereka lakukan. Kalau perusahaan
tidak mau merugi lantaran proses produksi terhambat, maka penuhilah hak-hak
buruh. Jangan hanya mengeruk keuntungan dari keringat buruh tapi tidak mau
membayar hak-hak mereka.
0 komentar:
Posting Komentar