Carut-marut dunia politik Indonesia semakin brengsek saja. Bagaimana tidak, dalam pemilihan calon pimpinan KPK saja, lobi politik lebih diutamakan ketimbang memilih siapa yang terbaik. Hal tersebut pada akhirnya membuat masyarakat berpendapat bahwa pimpinan KPK dipilih untuk membentengi para politisi korup.
Ada beberapa hal yang menarik dalam pemilihan tersebut. Namun, yang paling menarik (bagi saya) tentu saja argumentasi dari fraksi PKS DPR RI yang mengatakan bahwa salah satu capim, yakni Abdullah Hehamahuwa terlalu bersih dan lebih cocok sebagai penasihat KPK.
Mungkin, masih banyak hal lain dalam pemilihan itu yang mendapat perhatian lebih. Namun, pernyataan Fraksi PKS tersebut layak untuk dicermati pula.
Hal pertama dan yang paling utama yang akan dicermati adalah pernyataan bahwa seorang Abdullah terlalu bersih untuk menjadi seorang pimpinan KPK. Kata “terlalu bersih” ini menjadi begitu sakral apabila dikaitkan kepada lembaga penegak hukum, apalagi yang konsen dimasalah pemberantasan korupsi ini.
Bagaimana lembaga pemberantas korupsi bisa memberantas hal-hal yang direpresentasikan kotor selayaknya korupsi, apabila manusia yang terlibat di dalamnya tidak bersih. Apakah para wakil rakyat yang tergabung di komisi 3 DPR ini lebih memilih orang yang tidak bersih guna memanfaatkan ketidakbersihannya kemudian?
Kedua, seharusnya para pemilik suara dalam pemilihan pimpinan KPK tersebut mampu memahami kebutuhan rakyat akan seorang pimpinan KPK yang mampu menjadi satria piningit dalam pemberantasan koruptor di Indonesia. Namun, perkumpulan seperti setgab parpol koalisi lebih terlihat sebagai perkumpulan calo untuk memenangkan suatu hal yang menguntungkan perkumpulan tersebut.
Padahal para wakil rakyat semestinya mampu menjadi representasi dari 230 juta rakyat. Namun segala intrik yang digunakan dalam kegiatan politik Indonesia, pada akhirnya gagal menjadikan politik, sebagai sebuah alat untuk memerdekakan 230 juta rakyat Indonesia sebagaimana dicita-citakan Tan Malaka.
0 komentar:
Posting Komentar