Negara Prostitusi
Bersatulah pelacur-pelacur kota Jakarta, sebuah sajak dari WS Rendra yang menggambarkan kehidupan pelacur. Ia menjadi bagian dari libido kekuasaan, melayani sebagai abdi kuasa yang butuh makan. Masyarakat mengutuk keberadaanmu wahai pelacur, namun lapar tetap lapar, kau dipaksa membunuh perasaanmu melayani para tuan karena sang tuan tak mampu memberimu pekerjaan.
Ya, kalian para wanita, dipaksa melacurkan harga diri dan tubuh kalian demi sesuap nasi. kalian melacurkan segala yang kalian punya demi mengisi perut anak-anakmu. Tak peduli apa kata mereka, asal bisa makan itu saja sudah cukup.
Tapi, seperti kata Rendra, kini datanglah giliran kalian. Bukan lagi untuk membela diri melulu, tapi kini untuk melancarkan serangan.
Katakanlah dengan lantang pada masyarakat, bukankah mereka juga melacurkan diri. Mereka juga melacurkan segala yang mereka punya untuk apa yang kau butuhkan juga, uang dan makan. Coba saja tengok para politisi di gedung parlemen sana, mereka melacurkan status mereka sebagai perwakilan rakyat demi meraup pundi-pundi dari hasil lobi-lobi dengan kekuasaan.
Atau tanyakan saja pada penguasa, berapa banyak duit yang mereka rampas dari hak-hak rakyat. Bahkan mereka melacurkan kekuasaan mereka kepada kepentingan asing hanya demi sebuah gelar “sir”. Pelacur macam apa mereka? Melacur buat gelar, lebih baik kalian melacur buat makan.
Atau kita tengok adik-adik mahasiswa di kampus sana. Apa yang mereka lacurkan? Gila! Mereka melacurkan idealisme dan intelektualitas mereka. Asu Kabeh! Mereka belajar dari diktat-diktat yang diimpor, selalu berbicara sok intelek. Tapi apa, mereka hanya jadi pelacur intelek. Bergaya sok keren biar dapet “gawean”.
Gila lagi mereka yang melacurkan idealisme. Turun ke jalan raya, orasi di depan istana, tapi mereka tak tahu untuk apa mereka aksi. Jancuk! Pulangnya, mereka dipanggil oleh kordinator untuk diberi uang saku Rp. 50.000. Jancuk mereka! Idealisme dilacurkan, berbicara kepentingan rakyat demi selembar uang berwarna biru. Asu!
Sudah puaskah kalian mengutuki para pelacur? Ternyata belum. Masih ada cerita pelacur yang lebih keren. Dibalik setelan sok suci, masih ada yang berani melacurkan daging sapi. Gila, daging buat makan orang kaya pun dilacurkan dulu oleh ustad. Ustad yang harusnya menjadi penjaga gawang moral masyarakat justru ikut-ikutan melacur. Supaya bisa makan mungkin.
Jangan-jangan, karena para ustad ikut-ikutan melacur, para hakim tak mau dengan pelacur lain. Tak tanggung-tanggung, ini bukan hakim sembarang hakim, hakim konstitusi akhirnya ketahuan ikut melacur di negeri ini. Gila. Konstitusi, dasar hukum dan landasan Negara dilacurkan. Ternyata, selama ini sang hakim mangkal di tempat yang tergolong aman, di Gedung Mahkamah Konstitusi. Edan Cuk!
Mungkin Kali Jodoh tempat kalian para wanita yang dibilang tuna susila sudah tak cukup lagi menampung para pelacur sehingga para pelacur sok keren itu memilih mangkal di tempat lain. ada yang namanya Kampus Prostitusi, tempat mangkalnya ayam kampus beserta pelacur idealisme dan pelacur intelektual. Ada juga Istana Prostitusi dan Parlemen Prostitusu, tempat penguasa dan legislator melacurkan kekuasaan dan nama rakyat.
Kini, muncul lagi tempat baru buat mangkal pelacur elit. Setelah tertangkapnya pelacur konstitusi di dekat Istana sana, terungkap pula nama Mahkamah Prostitusi tempat mangkal para pelacur Konstitusi. Lalu bolehkah kita sebut negeri ini Negara Prostitusi, Negara dimana pelacur segala kelas ada?
Terinspirasi puisi WS Rendra ‘Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta’
Keren puisinya.
BalasHapusPemilihan kosakata 'jancuk' dan 'asu' pas sekali dengan tema yang benar2 kotor ini.
Asu!
terima kasih atas apresiasinya, salam :)
BalasHapusini puisi ya. kirain artikel biasa. tapi bagus.
BalasHapusgua setuju nih. banyak banget yang sok suci di negara ini. menganggap dirinya lebih benar dari orang lain. padahal lebih hina.
Ini essay biasa kok, trims.
BalasHapusBenar, lebih baik apa adanya daripada ada apanya
asik baget gue bacanya.. :)
BalasHapustrims komennya :)
BalasHapus