Negara harus berpihak pada petani, begitulah seruan nyata Iwan Fals dalam lagu Desa miliknya. Petani sebagai sumber penghidupan bangsa yang memberikan jiwa raganya untuk menyediakan pangan pada masyarakat. Tapi apalah daya, mungkin pemerintah terlalu sibuk sehingga tak sempat meluangkan waktu untuk mendengar seruan tadi.
Kini, petani yang harusnya perkasa dibuat sempoyongan dengan berbagai macam cobaan dari Negara. Bagaimana tidak, lihat saja arus impor yang begitu besar melanda pasar Indonesia. Mulai dari beras, kedelai, cabai, daging, dan banyak lagi membuat para petani lokal kelimpungan. Kebutuhan pangan masyarakat yang begitu tinggi disertai kurang memadainya ketersediaan pangan dari petani dijadikan dalih pemerintah untuk memainkan kebijakan impor di Indonesia.
Bagi pemerintah, kebijakan impor merupakan "jalan keluar" mengatasi permasalahan pangan dan pertanian di Indonesia. ketidakmampuan pemerintah menyediakan kebutuhan pangan untuk masyarakat. Hal ini mengindakasikan pemerintah telah menganak tirikan petani dalam urusan pangan.
Jika saja pemerintah sedikit peka, maka persolan gagal panen merupakan bencana bangsa. Namun, pemerintah memandang permasalahan tersebut sepele dan mampu diselesaikan secara praktis.
Gagal panen memang membuat ketersediaan pangan tergoncang, namun bagi pemerintah, "jalan praktis bernama impor mampu menyelesaikannya. Penyelesaian sederhana yang membuat permasalahan pangan selalu terulang. Gagal panen, ketidaktersediaan pangan, impor, gagal panen, ketidaktersediaan pangan, impor, dan begitu terus sampai akhir jaman.
Bukankah pemerintah terdiri para ahli dengan segala macam gelar yang sudah barang tentu dapat menyelesaikan masalah sepele dalam sekejap mata. Lantas mengapa persoalan pangan terus berulang?
Harusnya dengan gelar yang didapat, mereka pastinya dapat mengkaji dan menyelesaikan masalah pangan, yakni dari sektor pertanian bukan malah impor. Penyelesaian masalah langsung dari sektor pertanian tidak hanya akan membuat masalah pangan selesai, tapi juga membuat para petani mendapatkan hidup yang lebih layak.
Dengan begitu para petani tak lagi perlu pusing soal siapa yang akan membeli hasil tani karena pasar lokal akan menyerapnya dengan kebutuhan masyarakat yang luar biasa. Tanpa impor, petani tak lagi perlu pusing akan persaingan harga yang tak masuk akal akibat produk murah rendah kualitas hasil impor dari negeri tetangga karena hasil tani bumi nusantara jauh lebih berkualitas.
Pada kenyataanya hingga saat ini pemerintah masih takluk pada kepentingan pasar internasional yang dibekingi negara besar. Pemerintah, seperti kata Efek Rumah Kaca dalam lagunya, masih menganggap semua yang mengatasnamakan pasar sebagai sesuatu yang benar. Ya, sepertinya masih sulit membuat "seandainya" menjadi sesuatu yang nyata ketika pemerintah sendiri gagal berdaulat di bidang politik.
Semoga saja, seperti doa Ratna Sarumpaet pada saat deklarasi Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia, Tuhan segera menyadarkan pemerintah agar tak lagi bodoh dan lebih berpihak pada para petani. Sebab, buat apa punya pemerintah kalau hidup terus-terusan susah, sekali lagi mengutip lagi Iwan Fals. Dan jangan sampai, karena petani dirampas tanahnya, (terinspirasi dari lagu Marjinal) negeri subur kami ini yang tinggal hanyalah cerita.
0 komentar:
Posting Komentar