Aditia Purnomo




Pemerintah harus mampu membuat lingkungan kerja yang tidak pragmatis sehingga berkecenderungan kapitalis.
Rancangan anggaran belanja negara belanja negara untuk tahun 2012 kembali disedot untuk pegawai negeri sipil (PNS). Namun, alokasi besar untuk belanja PNS tak mampu diimbangi dengan pelayanan masyarakat yang baik. Sedangkan yang terlihat justru  kualitas PNS yang memiliki mental malas bekerja dan kerap kali melakukan pelanggaran. Hal tersebut mempertegas bahwa buncitnya jumlah pegawai negeri tak mampu merubah sistem kerja yang telah masuk ke dalam lingkaran kerja yang pragmatis. 

Pemerintah sendiri tak mampu mengontrol ledakan PNS karena setiap tahunnya memang selalu diadakan tes untuk menjadi PNS. Padahal, jumlah PNS telah membengkak dan kualitas mental calon PNS sendiri jarang yang masuk kategori good employer karena kebanyakan mereka bekerja karena tergiur imbalan (gaji) besar dari pemerintah.  

Andai saja pemerintah mau melihat pola birokrasi yang ada dalam Keraton Yogyakarta, mungkin mereka dapat belajar sangat banyak dari para abdi dalam. Para abdi dalam yang hidup dan bekerja di lingkungan Keraton Yogyakarta yang memiliki komitmen dan kesetiaan dalam bekrja. Mereka juga mampu bekerja dengan upah yang minim karena mereka bekerja dengan hati, tidak karena uang. Mereka juga bekerja dengan rasa bangga karena mampu melayani dan membuat lingkungan kerja Keraton berjalan. 

Seharusnya pemerintah mampu meniru tata kepegawaian di Keraton Yogyakarta yang mampu menjalankan tugasnya. Seleksi calon PNS yang dilakukan pemerintah harus dapat memunculkan para abdi dalam yang bersedia bekerja demi terciptanya pelayanan yang baik terhadap masyarakat.

Pemerintah harus mampu membuat lingkungan kerja yang tidak pragmatis sehingga berkecenderungan kapitalis. Pemerintah harus mampu menampilkan PNS yang memiliki komitmen dan kesetiaannya dalam bekerja untuk bangsa dan negara. Pemerintah harus mampu mencari PNS yang selain tidak menguras anggaran dana yang berasal dari rakyat tapi juga menjadikan PNS segai pionir perbaikan birokrasi dan kehidupan negara.


Kisruh yang terjadi dalam pilkada Riau belakangan ini kembali menegaskan ketidakdewasaan para elit politik dalam memperbutkan kekuasaan. Parahnya kecurangan-kecurangan yang kerap dilakukan semakin memperkeruh suasana dengan banyaknya temuan di lapangan. Kondisi tersebut semakin menasbihkan ketidakmampuan dan kekacauan politik demokrasi di Indonesia.

Kekuatan uang memang kerap kali diandalkan dalam memobilisasi massa demi pemenangan di pemilihan langsung (Pemilu). Kemampuan berpikir mereka sepenuhnya diarahkan demi kemenangan, bukan demi kemajuan pembangunan. Belum lagi penggunaan kekuasaan yang dimiliki dijadikan salah satu senjata utama dalam pemilihan.

Selain itu pembangunan kekuatan politik yang sistematis di daerah tertentu menempatkan pola kekerabatan yang menguasai pemerintahan setempat. Ditambah dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi dari calon-calon yang merasa dirinya paling layak untuk memimpin hingga membuat pengedepanan egoisme tingkat tinggi mereka dibandingkan mendahulukan kepentingan masyarakat.

Karena egoisme itulah mungkin mereka lupa bahwa Pemilu bukanlah kompetisi. Pemilu memang sebuah ajang, namun bukan ajang untuk unjuk kekuatan demi kekuasaan. Pemilu ialah ajang untuk mempersatukan suara rakyat demi terpilihnya pemimpin yang cakap dan mampu membawa perubahan. Pemilu adalah sebuah momen untuk melakukan perubahan yang selalu diinginkan masyarakat.

Oleh karena itu, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan harus memiliki sikap. Janganlah masyarakat ikut terjebak dalam arus politik menyesatkan yang tengah marak di Negeri ini. Namun sikap acuh bukanlah jalan keluar terbaik dalam hal ini. Kita harus turut aktif dalam pembenahan dengan menunjukan kesadaran masyarakat yang anti pembodohan dengan tidak menjual suara kita. Mari lakukan pengawasan terhadap pesta demokrasi rakyat yang menjadi momentum untuk memperbaiki taraf kehidupan.