Aditia Purnomo

Bagi para pecinta cerutu, Kota Deli di Sumatera Utara adalah sebuah tempat yang tak asing bagi mereka. Sekalipun belum pernah ke sana, mereka biasanya mengetahui Deli karena kota ini adalah salah satu penghasil tembakau Na oogst terbaik di dunia yang digunakan untuk produksi cerutu. Belum lagi, sejarah panjang tembakau dan cerutu Deli yang mendunia membuat para pecinta cerutu hampir pasti mengenal tempat ini.

Kisah antara Deli dan tembakau bermula sejak pemerintahan kolonial menerapkan tanam paksa kepada petani di Nusantara. Ketika itu, Deli dikenal salah satunya berkat perkebunan tembakau, yang dirintis oleh pebisnis Belanda yang kelak mendirikan Deli Maatschappij. Sejak saat itu, perkebunan tembakau di Deli mulai berkembang.

Pada masa itu, Deli Maatschappij bisa mengekspor tembakau sekurangnya 207 kg karena izin konsesi penguasaan lahan oleh perusahaan swasta asing. Kebijakan inio dikeluarkan untuk mendorong produksi komoditas yang diserap oleh pasar global. Hingga akhirnya, Pada awal abad ke-20 perusahaan itu merajai pasar, tembakau Deli dikenal sebagai bahan pembungkus cerutu (wraffer) terbaik dunia.

Perkembangan ini turut mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kota Medan (saat itu Deli termasuk dalam wilayah Medan) pun berkembang sebagai sebagai pusat perdagangan dan pusat pemerintahan di wilayah itu. Tenaga kerja dari Tiongkok, India, dan Jawa pun didatangkan untuk menyokong perusahaan.

Pada buku berjudul Menjinakkan Sang Kuli, Jan Breman menulis pada 1873 jumlah kebun tembakau baru 13 dan pada 1876 menjadi 40 kebun. Lalu dalam buku Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979, Ann Laura Stoler  melaporkan sudah ada 179 kebun tembakau besar dan kecil tumbuh di Sumatera Timur pada tahun 1889.

Namun memasuki abad 20, perkembangan industri tembakau di Deli mulai merosot. Sejak tahun 1930an sudah banyak perusahaan yang beralih ke tanaman lain, dan hal ini menyebabkan produksi tembakau di Deli jadi berkurang. Pada tahun 1950an, Deli Maatschappij dinasionalisasi oleh pemerintah Republik. Namun, saat itu perusahaan perkebunan tembakau hanya menyisakan tiga perkebunan yang masih beroperasi. Kemudian ketiganya beroperasi di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.


Meski telah melewati masa jayanya, tembakau Deli masih menjadi salah satu yang terbaik untuk cerutu. Permintaan pasar dunia terhadap tembakau ini masih tinggi, meski Deli sendiri belum bisa memenuhi permintaan pasar tersebut. Kini Deli masih menjadi satu dari tiga penghasil tembakau untuk pasar cerutu dunia, selain di Jember dan Klaten.

Pernah terbit di Komunitaskretek.or.id
Sebuah mobil berhenti mendadak di pelataran pusat kegiatan mahasiswa kampus UIN Jakarta. Sang empunya mobil, turun tergesa, langsung menuju lantai tiga. Sedatangnya, Ia menggebrak pintu sebuah sekretariat Pers Mahasiswa, dan dengan nada tinggi membentak penghuninya. “Apa maksud tulisan ini?!!!”

Adegan di atas bukanlah rekayasa, apalagi khayalan. Adegan diatas adalah kejadian yang cukup sering terjadi pada pers mahasiswa, bukan hanya di UIN. Si empunya mobil yang dikenal sebagai pimpinan Lembaga Pengabdian Masyarakat, marah karena sebuah pemberitaan yang dilakukan INSTITUT, pers mahasiswa kampus UIN, yang mengangkat laporan terkait kuliah kerja mahasiswa yang di bawahi oleh lembaga pengabdian masyarakat kampus.

Kejadian macam ini tidak hanya terjadi sekali. Pernah suatu ketika, datang memo dari pembantu rektor bidang kemahasiswaan terhadap pimpinan Institut karena opini yang dimuat di tabloid Institut dianggapnya tendensius. Ia pun menunut Institut untuk melakukan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka. Jika tidak, ancaman pembantu rektor kala itu, pimpinan Institut akan diberi skorsing 1-2 semester.

***

Pasca reformasi, media arus utama yang sebelumya tertekan oleh rezim orde baru mengambil kembali posisi mereka sebagai referensi utama masyarakat. Mereka yang sebelumnya tidak berani mengkritik pemerintahan, karena takut diberedel, menjadi bersemangat meluapkan kegelisahan mereka pada negara setelah puluhan tahun dibungkam. Tidak hanya itu, kemudian dibuat peraturan-peraturan yang meminimalisir “kriminalisasi” media oleh siapapun yang hendak membungkam pers.

Organisasi-organisasi pers dibentuk, salah satunya untuk melakukan advokasi jikalau ada wartawan dikriminalisasi, ada media hendak diberedel. Karena itu, media (arus utama) tidak lagi perlu takut terhadap negara. Selama menjujung tinggi etika jurnalistik dan membuat berita benar, perkara framing atau yang lain tak perlu dikhawatirkan. Mereka nggak bakal diberedel.

Tapi hal berkebalikan terjadi pada pers mahasiswa. Selama media arus utama dibungkam, mereka tampil sebagai penyambung lidah rakyat. Misal, ketika media utama bungkam soal kasus tegalboto, mereka justu mengangkatnya sebagai headline dan topik utama. Inilah masa-masa jaya persma ketika mereka bisa tampil di depan media arus utama. Setelah reformasi, ya persma balik lagi ke kampus, kalah saing dengan media utama.

Bukan Cuma kalah saing, persma pun tidak memiliki tempat dalam peraturan dan organisasi-organisasi pers tadi. Jika dalam undang-undang, jelas dinyatakan kalau seorang jurnalis dilindungi saat meliput, bagaimana dengan jurnalis persma, apa perlakuan undang-undang sama terhadapnya?

Ini adalah perbincangan panjang, yang sampai saya tak lagi aktif di persma, belum terjawab dengan baik. Aliansi Jurnalis Independen, sebagai salah satu organisasi pers terdepan dalam melakukan advokasi pada jurnalis, pernah bilang kalau hak persma sama dengan pers utama. Tapi ya itu hanya sebatas omongan, tetap saja perlakuan terhadap persma tak semewah perlakuan pada pers utama.

Pada kasus Lentera, Pers Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, beredel yang dilakukan terhadapnya jadi booming karena kebetulan mereka mengangkat pemberitaan soal tragedi 1965. Apalagi, bulan-bulan ini memang sedang ramai pembicaraan soal 65. Seandainya tidak, saya yakin kalau beredel yang dilakukan terhadap Lentera tidak akan menjadi apa-apa, sama seperti kasus-kasus yang terjadi pada persma pada umumnya.

Kalau tidak percaya, coba kita lihat pada kasus yang terjadi pada LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta. Berapa banyak orang yang tahu kalau reporter Didaktika dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh salah satu dosen UNJ? Palingan hanya Forum Pers Mahasiswa Jakarta.

Sebagai orang yang terdidik dalam kultur persma, saya yakin kalau (hampir) semua anggota persma juga terdidik untuk siap menghadapi resiko-resiko seperti ini. Resiko yang didapat karena pemberitaan yang tidak mampu menyenangkan semua pihak, apalagi kalau memang pihak tersebut terindikasi melakukan kesalahan.

Sebenarnya, akar masalah dalam perkara ini adalah cara pikir orbaisme yang masih dimiliki oleh pejabat-pejabat kampus dan dosen-dosennya. Mereka masih saja berpikir, kalau mahasiswa pada umumnya (termasuk persma), adalah anak ingusan yang tidak paham apa-apa. Jadi apapun yang hendak dilakukan mahasiswa, harus disetujui oleh mereka.

Padahal, kalau kita tarik dalam konteks jurnalistik, hal-hal macam itu adalah sebuah upaya sensor yang selalu ditolak oleh pers manapun hari ini. Bayangkan, mau angkat berita soal korupsi kampus dilarang oleh rektorat. Mau beritakan kinerja dosen yang jelek, dilarang. Mau beritakan buruknya fasilitas kampus juga dilarang. Yang boleh diberitakan cuma yang bagus-bagus, yang baik-baik. Memangnya persma itu humas kampus? Digaji kagak, minta duit juga susah, Pret.


Hal-hal macam tadilah yang harusnya jadi fokus utama pembahasan beredel oleh pihak kampus. Mau itu pemberitaan soal 65 ataupun buruknya fasilitas kampus, semua harus punya porsi sama. Tidak peduli seksi atau tidaknya isu itu, beredel adalah beredel. Jelas, yang perlu dilawan adalah perlakuan sewenang-wenang pihak kampus, entah rektorat ataupun dosennya, terhadap Lentera, Didaktika, Institut, dan persma lainnya.

Pagi itu, saya tengah berada di Kalibata City untuk sebuah urusan, ketika saya mendapatkan kabar bahwa terjadi aksi massa yang mengatasnamakan seluruh masyarakat muslim komplek perumahan Keroncong Permai di Kota Tangerang. Massa, menuntut agar sebuah rumah peribadatan milik Huria Batak Kristen Protestan (HKBP) Keroncong Permai segera ditutup karena meresahkan masyarakat. Aksi ini, adalah buntut dari polemik yang sudah lama terjadi.

Perlu diketahui, bahwa rumah peribadatan yang dimaksud massa bukanlah gereja. Tempat ini hanyalah sebuah rumah yang dijadikan tempat peribadatan sementara karena proses pembangunan gereja milik jemaat HKBP Keroncong yang mandek pada perkara perizinan. Ya, soal taah dan anggaran mereka sudah punya, hanya perkara izin yang belum pernah mereka miliki.

Polemik ini saya ketahui dua tahun lalu, ketika seorang teman dan tetangga rumah saya, Jonathan Alfrendi menceritakan persoalan yang dialami jemaatnya kepada saya di kampus. Kebetulan, Jonathan dan saya memang kuliah di kampus yang sama, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam ceritanya, persoalan pembangunan gereja ini sudah terjadi puluhan tahun. Saya agak lupa ceritanya, yang jelas mereka sudah memiliki sebidang tanah untuk pembangunan gereja, tapi izin dari masyarakat tak pernah mereka dapatkan. Sementara izin tak mereka dapatkan, tanah tersebut jsutru dialihfungsikan sebagai lapangan badminton oleh warga. Tentu tanpa izin dari pemilik tanah.

Sementara gereja tak bisa dibangun, ritual ibadah harus tetap berjalan. Kalau cuma ibadah harian mungkin jemaat HKBP Keroncong tak perlu ambil pusing. Mereka bisa menggilir rumah para jemaat untuk dijadikan tempat beribadah. Ya, kayak ibu-ibu pengajian yang rumahnya digilir setiap malam jum’at untuk mengaji bersama. Itu kalau ibadah harian ya.

Nah persoalannya, kalau lagi ibadah akbar saat Misa Natal, tidak mungkin mereka menggunakan rumah jemaat dengan luas ruangan yang tidak memadai. Akhirnya, jemaat HKBP Keroncong memutuskan untuk menggunakan Gedung Pertemuan agar ibadah tetap berjalan meski rumah ibadah tak ada. Tapi ya namanya jalan keluar sementara, masalah pun hanya selesai sementara.

Menggunakan gedung pertemuan boleh jadi membuat jemaat bisa beribadah dengan nyaman dan khusuyuk, tapi persoalan baru soal membengkaknya anggaran jelas tak bisa dianggap sepele. Dalam setahun, ada tiga ibadah raya yang dilaksanakan, yakni Paskah, Natal, dan Kenaikan Isa Almasih. Misalkan, gedung pertemuan tersebut memiliki tarif sebesar 20 juta untuk setiap ibadah raya, bisa dibayangkan berapa besar uang yang harus dikeluarkan jemaat.

Itu belum ditambah ibadah minggu, yang juga mesti dilaksanakan di gedung pertemuan.  Mungkin untuk ibadah minggu, dana yang dikeluarkan tak sebesar itu. Tapi kalau harus dikalikan 52 minggu dalam setahun, ya besar juga duit yang harus dikeluarkan.

Hal inilah yang kemudian membuat jemaat memutuskan untuk membuat satu rumah huni sebagai tempat peribadatan. Ilegal, tidak memenuhi izin, ya memang. Jika mengacu pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, izin untuk rumah hunian dan rumah ibadah jelas berbeda. Juga jika mengacu pada Surat Keputusan Bersama dua Menteri tahun 2006. Karena itu, menggunakan rumah hunian sebagai rumah ibadah adalah sebuah kesalahan.

Tapi, bukan hal itu yang perlu kita kedepankan. Persoalan paling mendasar dari masalah ini adalah bagaimana negara menjamin kebebasan warganya untuk beribadah. Mau menggunakan landasan hukum apapun, jika sudah bertentangan dengan Undang-undang Dasar, sebagai landasan konstitusi negara ini, harusnya hal-hal seperti itu menjadi tidak berlaku.

Lagipula, semua masalah tadi bermula dari ketidakmauan warga memberikan izin pada jemaat HKBP Keroncong untuk membangun gereja sebagai tempat ibadah mereka. Jika saja warga memberikan izin, tentu saja tidak bakal ada pelanggaran apalagi konflik yang terjadi pada masyarakat. lagipula, apa memiliki gereja sebagai tempat ibadah menjadikan mereka sebagai pengganggu ketertiban?

Jika masyarakat hanya bisa menolak tanpa mau berdialog, tentu persoalan ini tidak akan pernah selesai bahkan sampai kiamat datang. Percayalah. Atau mungkin, karena masyarakat islam mayoritas belum pernah merasakan bagaimana rasanya dilempari batu ketika sedang khusyuk beribadah di masjid. Lucunya, masyarakat begitu heboh ketika kolom agama di ktp hendak dihapus, tapi masih saja tidak membolehkan umat agama lain untuk beribadah.

Dalam persoalan ini, keberpihakan saya jelas pada soal kemanusiaan. Bagaimana negara, yang memaksa warganya untuk beragama tidak mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi mereka yang hendak beribadah. Mengutip kalimat Pram, “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.”

Memang, kejadian di Tangerang ini hanyalah sebuah permasalahan yang sangat kecil dari ratusan kasus pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia. Bukan kejadian yang memakan korban seperti yang terjadi di Papua, Aceh, atau yang dialami jemaat Ahmadiyah. Tapi, jika masalah yang sangat kecil ini tidak bisa diselesaikan masyarakat dan aparat negara, bagaimana nasib kasus-kasus lain yang skalanya lebih besar?



Dalam sejarah, Indonesia punya berbagai persoalan kemanusiaan yang tidak terbahas oleh dunia literasi. Ada banyak tindakan pelanggaran HAM yang melibatkan negara dan masyarakat yang bahkan tidak dimasukkan ke dalam buku-buku pelajaran sejarah yang dipakai oleh sistem pendidikan kita. Karena itulah, kebutuhan akan buku-buku alternatif yang mencoba membahas persoalan yang tidak terungkap tadi menjadi penting.

Sebagai contoh, pada masa orde baru, banyak buku-buku alternatif terkait peristiwa kejahatan kemanusiaan yang kemudian dilarang oleh kejaksaan. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suhartos Coup in Indonesia karya John Roosa, misalnya, adalah salah satu buku yang dilarang oleh rezim orde baru.

Buku John Roosa ini adalah salah satu buku yang membahas peristiwa 65 dengan perspektif yang berbeda dengan sejarah versi militer/pemerintah dan menjadi buku pertama yang tidak menggunakan idiom G30S tanpa melibatkan PKI di belakangnya.

Tentu bukan hanya buku ini yang pernah dilarang pemerintah. Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer juga menjadi salah satu buku yang dilarang pada masa orde baru. Buku karya Pram yang mengangkat alur perjuangan seorang anak pribumi yang melawan kolonialisme belanda dengan menggunakan organisasi ini juga memberi perspektif berbeda dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.

Jika selama orde baru, perjuangan kemerdekaan Indonesia didominasi oleh kisah-kisah perlawanan militer, maka buku ini memberi perspektif berbeda. Bahwa, perjuangan yang paling ampuh adalah dengan menggerakan massa melalui organisasi. Sayangnya, buku ini dilarang hanya karena Pram dicap komunis oleh pemerintah.

Kehidupan dunia perbukuan kembali bergairah pada awal masa reformasi. Setelah Soeharto jatuh dari kekuasaanya, banyak buku-buku yang sebelumnya dilarang kemudian diterbitkan oleh penerbit-penerbit indie di Jogjakarta. Des Kapital karya Karl Marx, Tetralogi Buruh Pram, juga buku-buku soal marxisme yang pada masa orba sangat tabu dicetak oleh mereka.

Lantas, bagaimana kehidupan buku-buku alternatif sekarang?

Tumbuhnya industri perbukuan yang menggunakan akumulasi kampital yang besar kemudian membuat penerbit-penerbit tadi menjadi gulung tikar. Selain karena ketidakmampuan melawan kekuatan kapital yang besar, pangsa pasar yang disasar oleh buku-buku alternatif tadi sangat kecil. Masih sebatas mahasiswa dan akademisi, itu pun tidak dalam jumlah besar.

Kehidupan dunia buku hari ini dikuasai oleh pasar buku populer justru cukup menyingkirkan keberadaan buku-buku alternatif yang memberikan perspektif sejarah/keilmuan yang jarang diterima masyarakat Indonesia. Keberadaan Gagas Media dengan pasar pembaca teenlitnya semakin mematikan budaya membaca buku serius. Anak muda kini lebih memilih membaca buku yang ringan.

Padahal, pengungkapan sejarah kemanusiaan Indonesia yang kelam sangat penting untuk diketahui publik. Tak sekadar persoalan luka lama diungkap kembali, tapi pengungkapan ini lebih menitikberatkan kepada sejarah sebuah bangsa yang harus berani diterima. Dan buku-buku yang membahas soal ini tidak banyak ditemukan di toko-toko buku besar macam Gramedia.

Karena itulah, keberadaan penerbit-penerbit indie seperti Marjin Kiri, Ultimus, atau Komunitas Bambu menjadi penting. Buku-buku yang dicetak oleh penerbit tadi tidak sekadar membahas soal sejarah yang tak terungkap, tapi juga mengetuk kemanusiaan sebuah bangsa. Mengingat, perjuangan yang dilakukan para kru penerbitan tadi juga luar biasa beratnya.

Penerbit Ultimus misalnya, tahun 2006 penerbit yang bermarkas di Bandung ini pernah diserbu oleh gerombolan massa dengan dalih pembasmian komunis. Acara diskusi yang saat itu digelar Ultimus harus terhenti di tengah jalan. Beberapa peserta diskusi dibawa ke kantor polisi, markas Ultimus ditutup, disegel, dan dilintangi garis batas polisi berwarna kuning.

Dengan semangat tinggi untuk menawarkan publik kepada sebuah wacana alternatif, yang kebanyakan bersebrangan dengan kekuasaan militer dan negara, penerbit alternatif seperti Ultimus harus hidup dalam beban berat. Sudah dihajar oleh sistem sosial yang menolak wacana alternatif, apalagi soal kiri, pasar buku juga tidak terlalu bersahabat. 

Meski begitu, hidup melawan arus pemikiran masyarakat yang bertolak belakang dengan gagasan yang ingin disampaikan penerbit alternatif sudah menjadi nilai lebih yang dimiliki. Apalagi, menghidupi penerbit alternatif bukanlah melulu soal mencari uang, tapi lebih kepada penyebaran gagasan yang dibungkam. Sebuah usaha untuk melawan lupa, sebuah usaha untuk memanusiakan manusia.

Bagi saya, menunggu adalah sebuah pekerjaan melelahkan sekaligus mengasyikan. Dalam prosesnya, menunggu bisa membuat hati berdebar, membikin kepala penuh praduga dan bayangan-bayangan yang akan terjadi. Itulah yang saya rasakan saat menunggu Efek Rumah Kaca merilis karya terbarunya, Pasar Bisa Dicitakan.

Pertemuan pertama saya dengan ERK terjadi sekitar 8 tahun silam, ketika masih duduk di bangku sekolah. Kala itu, saya datang untuk bukan untuk menyaksikan ERK bermain, karena saya pun belum mengenal ERK. Kalau tidak salah, waktu itu saya menunggu penampilan band lain yang saya lupa apa. Maklum, saya pelupa yang baik dalam hal macam ini.

Menjadi penggemar ERK bukanlah keinginan saya, karena semuanya terjadi begitu saja. Saya datang ke acara pentas seni sebuah sekolah, tanpa sengaja menyaksikan mereka tampil di panggung, dan jatuh cinta pada musik dan lirik lagu mereka. Kalaupun anda tak mempercayai pertemuan ini telah ditakdirkan, mempercayainya sebagai sebuah kebetulan tak apa. Karena ini kebetulan yang menyenangkan.

Saat itu mereka mendendangkan beberapa lagu, tapi yang begitu membekas di benak saya adalah lagu Debu-debu Berterbangan dan Di Udara. Entah kenapa, saya merasa kedua lagu itu sangat cerdas dan membangkitkan gairah saya.

Selepas acara itu, saya mulai mencari tahu soal ERK lewat internet. Mulai mengulik karya-karya pada album pertama mereka, dan memantapkan diri untuk jatuh cinta pada karyanya. Sungguh, lirik mereka cerdas dan membantu anak muda macam saya (kala itu) belajar mengenal permasalahan sosial. Mohon dimaklumi, anak muda sepantaran saya waktu itu lebih banyak bergulat soal cinta dan masa remaja yang indah.

Dari lagu Di Udara saya mengenal Munir lebih dalam. Pada lagu Jalang saya memaknai sulitnya hidup sebagai minoritas. Sungguh, album ini membuat masa remaja saya jadi lebih berwana ketimbang hidup anak muda yang terbuai oleh fashion dan menyanyikan lagu cinta melulu. Ah, mungkin karena ERK juga saya jadi susah dapat pacar.

Tapi album keduanya adalah album yang sangat membekas pada benak saya. Keluarnya album Kamar Gelap akhir tahun 2008 mengantarkan masa remaja saya pada titik baru dalam kehidupan sosial saya. Album penuh dengan kritik sosial yang tersirat dalam makna setiap lagunya memiliki peran penting bagi saya untuk lebih mengenal keadaan negara ini.

Mendengar album ini membantu saya melihat dunia dalam sudut pandang yang lebih luas. Melodi manis disertai lirik yang kuat dan cerdas membuat album ini memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penikmatnya. Membawa karya mereka menjadi pengantar kesadaran sosial bagi anak muda macam saya.

Sayangnya, album ketiga yang lama dinanti-nanti sedikit terhambat oleh beberapa hal yang membuat ERK vakum agak lama. Pertama tentunya kesehatan sang bassis Adrian yang terganggu dan berangkatnya Cholil, sang vokalis untuk melanjutkan studi di luar negeri. Untungnya, rasa rindu melihat ERK tampil sedikit terobati dengan band side project mereka, Pandai Besi.

Proses rekaman album ketiga sendiri telah mereka mulai sejak tahun 2010. Dalam beberapa wawancara di media, mereka menjelaskan kalau album ketiga bakal sedikit berbeda dari album-album sebelumnya. Aransemen, materi, dan eksperimen-eksperimen baru dilakukan untuk menyempurnakan album ini. Ya meski sayang, penyelesaian album ini banyak mengalami hambatan teknis yang tidak bisa dielakkan.

Tapi ya, perjuangan tidak pernah membohongi proses. Seperti nyanyian dedek-dedek JKT48, usaha keras itu tak akan mengkhianati. Setelah lama ditunggu, akhirnya ERK kembali mengeluarkan single anyar bertajuk Pasar Bisa Diciptakan. Lagu ini, adalah proses elaborasi lebih lanjut dari lagu Cinta Melulu, yang membawa kegelisahan ERK tentang posisinya atas karya dan pasarnya.

Dibawakan dengan lebih kalem, ERK kemudian merilis fragmen selanjutnya yang dengan tajuk Cipta Bisa Dipasarkan, yang masih membawa semangat dan optimisme mendapatkan pasar bagi karyanya. Sebuah karya yang menolak takluk pada kekuatan pasar dengan karya-karya yang tidak hanya lezat tapi juga begizi.

Pemberontakan yang tidak meledak-ledak ini, membawa ERK pada tahap kedewasaan dalam bermusik yang tidak hanya bergairah dalam berkarya, tapi juga tidak tergesa-gesa dan lebih matang. Layaknya menjadi lelaki matang yang diidamkan para wanita. Dan kematangan inilah yang membuat kita jatuh cinta lagi pada Efek Rumah Kaca. 

Semoga saja, virus optimisme ini tidak hanya bersifat berkata pada diri sendiri, tapi juga mampu menciptakan dialog kepada para penggemarnya agar lebih optimis menghadapi hidup di era ini. Dan semoga saja, bukan cuma ERK yang optimis menciptakan pasar atas karyanya, tapi juga saya yang harus optimis untuk mendapatkan pacar. Yakinlah, pacar bisa diciptakan.

Sebagian penikmat kretek mungkin tahu kalau yang menciptakan inovasi tembakau dan cengkeh yang dilinting bersama itu adalah H. Djamhari. Saat itu, Djamhari yang tengah mengalami sesak mencoba-coba membakar tembakau dengan cengkeh, dan hal itu membuat dadanya yang sakit jadi membaik. Kemudian, Ia temuannya itu dinamakan Kretek karena bunyinya yang khas ketika dibakar.

Itu baru soal H. Djamhari sang penemu kretek. Tentunya sebuah temuan tidak akan menjadi terkenal kalau tidak ada orang yang menyebarluaskannya. Dan temuan ini, kemudian menjadi barang yang dikenal masyarakat setelah kretek kemudian diproduksi secara massal oleh Nitisemito beserta istrinya, Nasilah.

Ketika muda, Nitisemito banyak merintis bisnis. Mulai jadi pengusaha pakaian hingga membuka usaha pembuatan minyak kelapa. Sayangnya, semua usaha yang dirintis kemudian bangkrut hinghga Nitisemito memilih untuk menjadi kusir Dokar dan berjualan tembakau. ketika itulah, Ia mengenal Nasilah dan menikahinya.

Boleh dibilang, kalimat “Dibalik kesuksesan seorang pria, pasti ada wanita hebat di belakangnya” sangatlah cocok disematkan pada diri Nitisemito. Kretek yang dijual Nasilah di warungnya disukai oleh para pelanggannya. Campuran irisan tembakau dan cengkeh kemudian di bungkus dalam kulit jagung kering yang dikeringkan, lalu diikat dengan tali dari benang buatan Nasilah ini mendatangkan banyak pelanggan ke warungnya.

Dari keberhasilan inilah, kemudian Nitisemito memberi nama produk rokok kreteknya ini Kodok Nguntal Ulo. Namun karena tidak dirasa membawa keberuntungan, bahkan dijadikan bahan tertawaan, Ia kemudian menggantinya menjadi Tjap Bal Tiga. Dari sinilah kisah sukses Nitisemito dimulai.

Setelah 10 tahun beroperasi, Ia kemudian membuat hak paten nama produknya dan membuat sebuah pabrik rokok seluas 6 hektar pada tahun 1914. Dengan memperkerjakan sekitar 15 ribu pekerja, pabriknya mampu memproduksi sebanyak 10 juta batang dalam sehari. Dengan intuisi bisnisnya, Nitisemito mampu menjadikan usaha rumahan miliknya sebagai sebuah industri yang mampu mempekerjakan banyak orang.

Dalam hal ini, Nitisemito punya cerita sendiri mengapa Ia mempekerjakan begitu banyak pekerja. Pada beberapa literasi, dengan semangat nasionalismenya Ia mempekerjakan banyak orang agar mereka tidak lagi bekerja pada oarng-orang belanda.

Sayangnya kemudian, usaha yang dirintisnya mengalami masa surut pada akhir tahun 1930an. Lalu masuknya Jepang dan Perang Dunia 2 semakin memperburuk keuangan perusahaan hingga pabriknya dinyatakan pailit di awal tahun 1950an. 

Mungkin kisah Tjap Bal Tiga telah berakhir, tapi sebagai sebuah perusahaan, Tjap Bal Tiga dan Nitisemito merupakan katalisator, pembuka zaman bagi industri kretek Indonesia. Kini, telah banyak perusahaan dan raja-raja baru dalam industri kretek yang memberikan pemasukan besar bagi kas negara.


Sungguh, masyarakat Indonesia ini hanyalah sekumpulan orang mudah heboh, apalagi medianya, gampang banget hebohan kalo ada yang rame di sosmed. Baru dengar kabar ada seorang petani mati di Lumajang saja langsung sok mengutuk tambang, sok mengutuk pembangunan. Memangnya mereka pikir, dari dulu hal-hal kayak gini nggak pernah terjadi. Lah wong sejarah orde baru aja dibangun melalui pembantaian kok.

Kasus di Lumajang ini cuma soal sepele, cuma satu yang mati, dan satu lagi kritis. Yang perlu kalian tahu, ini tuh cuma peringatan biar nggak ada lagi yang ganggu pertambangan. Nggak ada yang ganggu pembangunan. Lah wong tambang dan pembangunan itu yang bikin kalian hidup enak kayak sekarang, masa dihalang-halangi sama petani. Ya habisi saja, daripada investasi yang mati.

Toh yang dilakukan para jagal di Lumajang itu baru pembantaian skala kecil, kecil banget malah. Dulu, para jagal mah nggak bantai satu atau dua orang. Jutaan. Tiga juta malah kalau kata mertuanya SBY, komandan para jagal 65 itu. Lah kalau ini, cuma dua orang korbannya, ya nggak level lah.

Lagian, kenapa sih masyarakat itu gangguin penghidupan para jagal? Ini kan jalan hidup mereka, karena nggak punya kerjaan lain. Jadinya ya dipakai lah mereka sama pengusaha, sama orang yang punya kepentingan buat mengamankan pembangunan. Ingat loh, mengamankan pembangunan.

Kalau masyarakat mau menyalahkan orang, ya mbok pikir-pikir. Jangan 10 jagal yang ditangkap polisi itu yang disalahkan. Salahin lah Jokowi, gara-gara dia 10 orang yang nggak tahu mau kerja apa itu jadi jagal. Ya kan dia presiden, mau siapa lagi yang disalahin karena pengangguran? Masa nyalahin Jonru, dia mah selalu benar.

Toh kalau mau sok humanis, mencaci kelakuan para jagal ya jangan standar ganda. Giliran ada isu presiden mau minta maaf sama keluarga korban pembantaian 65 aja kalian mencak-mencak nggak terima. Padahal ya, Salim Kancil dan keluarga korban pembantaian 65 sama-sama korban para jagal. Kalaupun beda, ya cuma jumlah korban sama jumlah jagalnya. Tahun 65 itu, pembantaiannya dilakukan secara struktural, sistematis, dan masif.

Terus soal eksekusi di ruang publik, itu mah bukan hal baru dalam dunia perjagalan. Kalau kalian mau belajar sejarah, ya eksekusi publik itu hal yang biasa terjadi pas masa pembantaian 65. Kalau cuma digergaji ama disetrum doang mah biasa. Kalian nggak tahu sih kalau jagal 65 itu lebih sadis, dari ngubur korbannya hidup-hidup sampai pancung kepala mah hal biasa. Nggak tahu ya? Makanya belajar, jangan fesbukan dan ngeshare status Jonru mulu.

Lagian, para jagal itu udah mengingatkan pak Salim biar nggak melawan tambang, melawan pembangunan. Eh dia masih melawan, tahu sendiri kan akibatnya. Coba sekarang masih zamannya presiden jagal, nggak bakalan deh ada yang berani melawan pembangunan. Wong apa-apa murah, termasuk nyawa orang-orang kayak pak Salim itu.

Jadi, mohon ya, jangan ganggu mata pencarian orang lain. Kalau kalian nggak mau lihat ada orang-orang kayak jagal, ya kasih mereka pekerjaan. Jangan omong doang. Lagian kalau kalian mau dunia yang penuh kedamaian dan keamanan, jangan banyak berharap ama polisi. Dunia kayak gitu tuh cuma delusi, sama delusionalnya kayak wota yang berharap jadian ama member jeketi. Mimpi doang!!!

Kalau kalian mau dunia yang begitu, harusnya kalian berharap sama Agama, jangan polisi. Tapi ya susah juga, wong agama yang harusnya membawa perdamaian bagi umat manusia malah jadi alat perang. Ya kalaupun nggak perang senjata, minimal jadi bahan twitwar sama perang komen di pesbuk. Kalau nggak percaya coba tanya Om Jonru deh. 

Karena itu, daripada cuma bisa banyak mencemooh jagal, mending kalian kerjain skripsi yang nggak kelar-kelar itu deh. Toh, mau caci maki kayak gimana juga, kalian nggak mau ikutan aksi, kan? Mending ngerjain skripsi biar cepet lulus daripada onani sosial media deh. Serius. 

Menjadi perokok itu memang sebuah hal yang dipenuhi tanggung jawab. Mau melakukan hal yang dilindungi hukum dan legal saja harus menaati banyak aturan. Mending kalau cuma disuruh taat aturan, lah ini juga kerap diperlakukan diskriminatif dan sewenang-wenang. Baik oleh negara maupun masyarakat.

Sebagai contoh, stereotip masyarakat yang menganggap bahwa rokok adalah sumber utama dari segala jenis penyakit mematikan membuat kita, para perokok, kerap dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Bukan cuma itu, dalam beberapa formulir pendaftaran untuk masuk sebuah lembaga, entah kampus, kantor, ataupun yang lainnya, kita selalu dihadapkan pada pertanyaan: Apakah anda merokok?

Padahal, kalau kita mau berlaku adil sejak dalam pikiran, penyakit mematikan macam jantung atau  kanker juga disebabkan oleh faktor-faktor dan barang konsumsi lain. Banyak makan makanan berlemak dan kolesterol tinggi dan jarang berolahraga juga bisa menyebabkan orang menderita penyakit itu. Atau coba cek di google negara mana yang memiliki penderita kanker paling banyak, apa negara itu juga berada di urutan negara dengan jumlah perokok yang besar, jawabannya adalah tidak.

Sayangnya, cara berlaku masyarakat yang lebih sering termakan propaganda ketimbang berlaku adil sejak pikiran membuat mereka memandang rokok sebagai sesuatu yang jahat. Karena itu mereka yang merokok sudah pasti jahat. Paradigma macam ini mirip dengan cara masyarakat melihat orang yang memiliki tato adalah orang yang berbahaya, dekat dengan kriminal. Padahal, nggak semuanya begitu. Kalaupun ada, tentu tidak bisa digeneralkan.

Padahal, banyak orang yang memiliki tato ataupun perokok yang berlaku adil pada sekitarnya. Mereka yang tidak mau merokok di sembarang tempat, atau mereka yang  tidak merokok jika ada anak kecil. Ya, kalau kita mau berpikir dan memandang persoalan ini dengan jernih, kita bakal melihat bagaimana perokok sudah berupaya menjaga hak orang lain yang tidak merokok. Tapi ya itu, hak-hak bagi perokok sendiri tidak pernah diberikan, baik oleh negara maupun swasta.

Peraturan Rokok di Kampus

Sebagai contoh, belakangan di kampus UIN Jakarta mahasiswa yang merokok di areal taman dan basement Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Fakultas Ushuludin dikejar-kejar dan dimaki-maki oleh seorang dosen bergelar profesor. Dalihnya, menegakkan peraturan, karena pihak kampus sudah membuat peraturan tidak boleh merokok di seluruh areal kampus.

Padahal, jika kampus dan dosen itu mau adil, dan mau tahu soal peraturan tentang rokok, pada pasal 115 Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa tempat-tempat umum diwajibkan menyediakan ruang merokok. Kalau punya semangat menegakkan peraturan, mestinya juga disediakan ruang merokok seperti yang diperintahkan konstitusi.

Kalaupun mereka yang membuat peraturan mempermasalahkan bahwa kampus adalah lingkungan pendidikan, dan tempat macam ini harusnya bebas dari rokok, ini hanyalah persoalan yang debatable. Sederhana, kampus diisi oleh mahasiswa yang rata-rata usianya sudah diatas 18 tahun, sudah dewasa dan diperbolehkan undang-undang untuk merokok. Kalau lingkungan pendidikan sekolah yang isinya pelajar di bawah usia 18 tahun, ya nggak boleh lah. Gitu aja kok repot.

Saya melihat, dalam perkara kampus telah sengaja bertindak lalai dengan tidak menyediakan ruang merokok bagi sivitas akademika, tentunya bukan hanya mahasiswa tapi juga dosen dan pegawai yang merokok. Sebenarnya ruang merokok itu wajib disediakan sebagai upaya untuk melindungi orang yang tidak merokok dari paparan asap rokok. Ya kalau nggak disediakan, yang terjadi adalah tindakan otoriter dengan pelarangan tersebut.

Toh, mahasiswa dan dosen yang merokok sudah tidak merokok di tempat yang sembarangan, mereka merokok di ruang terbuka yang sirkulasi udaranya jelas terjadi. Sebenarnya, jika kampus sejak awal sudah menegaskan di mana tempat para perokok, baik mahasiswa, dosen, maupun pekerja, nggak bakal ada tindakan sewenang-wenang dari dosen cum-profesor yang seenaknya menindak mahasiswa yang merokok di taman dan basement. Jadi, minimal dikasih tahulah buat perokok tempat di mana mereka boleh merokok.

Sudah saatnya kampus berlaku adil bagi semua orang yang diasuhnya. Kalau mau buat peraturan, ya dilihat landasannya, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang. Karena, suka ataupun tidak, rokok adalah barang legal yang memberikan pemasukan besar bagi kas negara. Dan merokok, masihlah perbuatan yang tidak dilarang undang-undang.  Karena itulah, bagi para penguasa di rektorat dan dekanat sana, yang tentunya para intelektual yang tidak akan berkhianat pada hak-hak masyarakat, cobalah adil dan berikan hak perokok di kampus.

*Pertama terbit di Tabloid Institut edisi 38