Aditia Purnomo

Sejak versi tampilan layar 18,5:9 tenar tahun lalu, berbagai perusahaan ponsel pintar berjibaku membuktikan diri bahwa layar mereka adalah yang paling minim bezel. Dua yang mendahului adalah iPhone X dengan layar poni (notch) dan Samsung dengan infinity display-nya. Kemudian beragam ponsel hadir dengan ikut-ikutan gaya kedua merek tadi.



Namun kini, di tahun 2018, Vivo menjadi ‘pendahulu tren’ dengan Vivo Nex-nya yang berlayar hampir penuh berkat 91% screen to body ratio yang dimilikinya. Diluncurkan pada 12 Juni lalu di Shanghai China, Nex sedikit lebih tua ketimbang Find X yang meluncur seminggu setelahnya . Satu hal yang menarik dari ponsel ini adalah, rasio layarnya yang mencapai 91% itu dihadirkan tanpa notch yang dianggap sebagian orang mengganggu.



Fungsi notch pada bezel bagian atas adalah untuk menghadirkan kamera depan dan beragam sensor agar pemindaian sidik wajah dapat dilakukan. Atau jika tidak ingin menampilkan notch, ponsel dapat menampilkan bezel atas yang masih lebar untuk mengakalinya, seperti yang masih ada pada ponsel-ponsel Samsung.



Maka tampilan tanpa notch dan bezel tipis di layar atas menjadi satu alasan baik mengapa Vivo Nex pantas disebut sebagai rujukan ponsel masa depan. Apalagi, konsep layar seperti ini agaknya bakal menjadi tren setelah Oppo melancarkan ponsel pintar serupa tapi tak sama yang memiliki screen to body ratio hingga 93,8% bernama Find X. Unggul sedikit dari Vivo Nex yang sisi dagunya lebih lebar.  



Kedua ponsel ini mengandalkan segala hal yang diperlukan ponsel masa depan. Jeroan kelas wahid, kamera berkualitas tinggi, dan desain futuristik dengan layar hampir penuh. Ya, agar mendapatkan rasio layar sebesar itu, mereka harus mengakali pemosisian kamera depan yang tentu saja memakan ruang paling besar di layar atas ponsel lainnya. Dan kedua ponsel ini punya cara yang serupa tapi berbeda dalam mengakalinya.



Kedua ponsel ini hadir dengan desain motorik pada kameranya yang disembunyikan di dalam body ponsel. Bedanya, Vivo Nex hanya menongolkan kamera depan sementara di Oppo Find X yang mengandalkan fitur Stealth 3D Camera bisa menyembunyikan baik kamera depan ataupun belakang. Tidak hanya itu, konfigurasi kamera tersembunyi keduanya juga membuat tampilan belakang body menjadi polos tanpa tambahan pemindai sidik jari di sana.



Secara tampilan, Oppo Find X akan lebih unggul dengan varian warnanya yang berkilau; Bordeaux Red dan Glacier Blue. Dua varian warna ini membuatnya begitu berkilau dan amat cantik apalagi ditambah dengan fitur Panoramic Screen yang melengkung di kedua sisinya. Sementara Vivo Nex mengandalkan Diamond Black dan Ruby Red yang lebih tegas. Meski begitu, tampilan belakang Vivo Nex tetap cantik dengan sentuhan kilau pelangi ketika tersorot cahaya.



Layar ‘penuh’ yang ditampilkan kedua ponsel ini juga tidak main-main dalam urusan kualitas. Keduanya berukuran( di kisaran 6,5 inch) menggunakan layar super AMOLED beresolusi Full HD Plus (2316 x 1080 piksel). Body belakangnya berbahan metal dengan sentuhan kaca dengan build quality yang mantap dan enak digenggam. 



Pada segi performa, seperti sudah dikatakan di atas, kedua ponsel ada di kelas atas berkat chipset Snapdragon 845 dengan kemampuan AI Engine, GPU Adreno 630, Ram 8gb, dan penyimpanan internal raksasa; 256gb. Bedanya hanya ada di kapasitas baterai 3730mAh Find X yang sedikit di bawah 4000mAh Nex.



Untuk kameranya, kedua merek sama sekali tidak menyembunyikan kapasitas mereka dalam memberikan segala kecanggihan pada sektor ini. Oppo Find X mengandalkan 2 kamera belakang beresolusi 20MP + 16MP. Yang keren lagi, kamera depannya seperti hape Oppo yang lain, menggunakan resolusi ‘besar’ dengan 25MP. Sementara Vivo Nex, mengandalkan dua kamera 12 MP + 5 MP dan kamera depan yang ‘hanya’ beresolusi 8MP.



Kembali pada konfigurasi motoriknya, Find X memiliki desain yang lebih elegan ketimbang Nex yang terlalu simpel dan kaku. Vivo Nex memang hanya memberikan tampilan kotak sederhana pada kamera depannya. Tidak ada sensor-sensor lain yang disediakan pada motorik ini juga membuatnya tidak memiliki pemindai wajah. Satu minus buat ponsel seambisius Nex.



Sementara itu, pada Stealth 3D Camera Oppo FInd X kita dapat menemukan beragam sensor seperti Flood Illuminator, Ranging Sensor, Receiver, Dot Projector, dan Kamera Inframerah yang membuatnya memiliki kemampuan pemindaian sidik wajah secara 3 dimensi. Tingkat akurasi dan kecepatannya juga luar biasa. Jadi, ketiadaan pemindai sidik jari yang menjadi minus ponsel ini bisa teratasi.



Sebaliknya, di Vivo Nex kita dapat menemukan pemindai sidik jari di dalam layar (In Display FIngerprint) yang juga akurat dan cepat. Berbanding terbalik dengan Find X yang mengandalkan sensor-sensor di konfigurasi motorik kamera depan, Nex justru mengandalkan segala sistem dibalik layarnya. Selain memiliki pemindai sidik jari idaman saya, Nex juga menghadirkan speaker dibalik layar bernama Screen SoundCasting untuk menggantikan earpiece di bagian layar atas.



Sebenarnya, kedua ponsel ambisius ini berhasil membuat saya kagum dengan kenekatannya yang menampilkan format baru dalam mendesain ponsel. Sayangnya, mereka tetap memiliki kelemahan yang cukup mengganggu. Mulai dari desain kamera motorik Vivo Nex hingga ketiadaan pemindai sidik jadi dalam layar di Oppo Find X. Dengan kekurangan itu, kedua ponsel gagal menjadi flagship yang sempurna.



Seandainya saja Find X mau berbaik hati memberikan fitur In DIsplay Fingerprint, saya bakal dengan percaya diri merekomendasikan ponsel ini untuk kalian beli. Tentu kehadiran fitur itu bakal menjadikan Find X sebagai Flagship yang lengkap. Layar penuh, desain cantik, jeroan mantap, semua sensor pembuka kunci, dan pastinya tanpa Notch seperti Mi8 Explorer yang sebenarnya sudah memiliki semua hal yang saya sebut di atas.



Jadi, mending tunggu saja ponsel flagship yang memadukan desain dan kekerenan Find X dan segala kecanggihan juga fitur In DIsplay Fingerprint di Mi8 Explorer. Nabung dulu, bos.



Rilisnya Huawei P20 Pro ke pasaran membawa sebuah kekecewaan besar bagi saya. Meski kehadirannya berhasil menghebohkan dunia gajet, Huawei P20 Pro tetap memiliki satu kekurangan: belum menggunakan teknologi pemindai sidik jadi di dalam layar (on screen fingerprint). Beberapa ponsel anyar yang sudah menggunakan teknologi tersebut termasuk Vivo Nex dan Xiaomi Mi 8 Explorer.

Huawei P20 Pro menempatkan pemindai sidik jarinya pada bagian dagu sehingga menyisakan sedikit ruang di bagian bawah muka ponsel. Andai saja Huawei menggunakan teknologi pemindai sidik jari di dalam layar gajet ini, kemungkinan besar saya bakal melepas Samsung Galaxy S9+ yang saya miliki untuk digantikan oleh ponsel ini.

Meskipun demikian, flagship-nya Huawei ini disambut dengan cukup antusias oleh pasar. Dengan menawarkan spek gahar dan harga yang sedikit lebih murah dari ponsel flagship lain semisal Samsung Galaxy S9+, P20 mendapat popularitas yang cukup tinggi seperti halnya Xiaomi Redmi Note 5 atau Asus Zenfone Max Pro yang terkenal dengan aroma gaibnya itu. Apalagi ponsel ini telah masuk secara resmi ke Indonesia setelah lolos uji TKDN yang membuatnya bisa dibanderol lebih murah ketimbang kalau gajet itu masuk lewat jalur impor.

Dari banyak review yang beredar, ponsel Huawei P20 Pro memperoleh nilai yang lebih tinggi daripada Samsung S9+. Kesalahan-kesahalan fatal yang ada di Samsung S9+ berhasil dimaksimalkan oleh P20 Pro. Misalnya pada sektor face unlock yang begitu menyebalkan di Samsung S9+.

Meskipun diklaim Samsung bahwa penggunaan face unlock ini jauh lebih aman ketimbang metode unlock yang lain, proses pemindaian wajah dan retina berbasis intelligent scan pada S9+ ini terbilang lamban dan tidak efektif. Ini berbanding terbalik dengan pemindaian wajah pada P20 Pro yang berjalan dengan amat lancar.

Itulah alasan mengapa saya amat menantikan teknologi pemindaian sidik jari di dalam layar. Kerepotan yang hadir karena pemindai wajah yang harus presisi dan letaknya di body belakang bakal menghilang. Dengan teknologi itu pula dimensi layar gajet bakal semakin luas, sementara desain belakang bodi gajet jadi lebih simpel.

Soal kemampuan menjalankan aplikasi secara bersamaan, kedua ponsel terbilang imbang mengingat jeroan yang dimiliki sudah amat mumpuni. Keduanya memiliki prosesor terbaik karya vendor masing-masing plus disokong oleh kapasitas RAM jumbo yang mencapai 6GB.

Dari sisi performa, keduanya boleh dibilang terbaik. Huawei P20 Pro jadi sedikit lebih unggul karena memiliki baterai yang lebih besar dan awet dibanding Samsung Galaxy 9 Plus.

Sektor unggulan Huawei P20 Pro yang lain adalah dari sisi kameranya. Ponsel ini terdiri dari tiga jenis kamera belakang yang masing-masing mempunyai kemampuan yang berbeda. Dengan mengandalkan kamera utama beresolusi 40MP dengan sensor optik F1.7, kamera monokrom 20MP, serta kamera tele 8MP dengan kemampuan tiga kali optical zoom, ponsel ini berhasil mengalahkan kemampuan kamera Samsung S9+.

Samsung Galaxy S9+ hanya mampu melakukan dua kali optical zoom saja. Di luar itu, hasil tangkapan kedua kamera ponsel ini sama-sama bagus. Hanya saja, sistem pengolahan gambar pada Huawei P20 Pro bisa memberikan output saturasi warna yang lebih natural. Fitur Master AI yang mampu mengenali dan menyesuaikan reproduksi warna yang bergantung pada objek gambar menjadi nilai tambah yang lain. Mungkin inilah yang membuat hasil gambarnya menjadi lebih baik.

Jangan khawatir, Samsung Galaxy S9+ juga menawarkan fitur dual-aperture F/1.5 dan F/2.4 yang membuat kita mampu mengatur bukaan lensa bergantung pada kondisi cahaya saat mengambil gambar. Kamera depannya yang hanya sebesar 8 MP tidak ‘selebay’ pada Huawei P20 Pro yang mencapai 24 MP. Dua hal ini menjadi kemenangan Samsung S9+ atas Huawei P20 Pro pada sektor kamera.

Satu-satunya sektor yang dimenangkan telak oleh Samsung S9+ adalah dari sisi desain bodinya. Penempatan dual kamera belakang Samsung Galaxy S9+ yang disejajarkan dengan pemindai sidik jari membuatnya lebih sedap dipandang.

Samsung S9+ menggunakan layar infinity display dengan bentuk tepi melengkung. Tipe layarnya tentu saja masih jadi andalan Samsung, yakni Super Amoled beresolusi QHD+ 2960×1440 pixel. Coba bandingkan dengan desain layar kaku P20 Pro yang cuma bertipe Amoled dan punya resolusi lebih rendah, yakni 2244×1080 pixel.

Sementara itu, desain bodi belakang Huawei P20 Pro sebenarnya juga tidak kalah ciamik. Tampil polos tanpa pemindai sidik jari serta penempatan triple kamera di bagian sisi kiri atas, membuat warna twilight dari ponsel ini lebih kental. Hanya saja, tulisan Huawei di body belakang justru membuatnya jadi tidak lebih keren ketimbang Samsung Galaxy S9+.

Suka atau tidak, pandangan masyarakat soal ponsel keren masih berkutat pada merek-merek Samsung atau Apple. Meskipun sama-sama bagus, tingkat kebanggaan kala memegang Huawei P20 Pro bagi saya tetap tak bisa mengungguli kecantikan Samsung Galaxy S9+.

Lagian, buat apa sih kita beli hape flagship kalau tidak untuk pamer dan sok keren?

Pertama terbit di Mojok