Aditia Purnomo

Belum bisa menyelesikan studi, meski telah 6 tahun duduk di bangku kuliah memang menyesakkan. Terlalu lama membuang waktu dan semakin lama membahagiakan orang tua. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan.

Gagal dalam organisasi memang menyedihkan. Selalu berkoar mengejar idealisme, ujung-ujungnya kalah oleh realitas yang dijunjung teman-teman. Akhirnya tersingkir dari perdebatan. Tapi bukan itu yang paling menyedihkan.

Memiliki perasaan terhadap seseorang, tapi perasaanmu tidak terbalas memang menyakitkan. Apalagi tidak menyatakan perasaan saja tidak berani, hanya memendam rasa yang berujung perih dalam diam. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan.

Merasa hebat, memiliki kemampuan, namun urung berhasil dalam berbagai hal memang menyedihkan. Apalagi ketika tahu kemampuanmu hanya segitu saja, hanya seadanya saja.

Menyadari bahwa keberadaanmu tiada lagi berguna bagi lingkunganmu memang menyedihkan. Menyadari kehidupanmu tiada berguna bagi orang lain. Hanya besar mulut tapi selalu gagal teruji.

Melihat begitu banyak ketidakadilan di sekelilingmu namun kamu hanya bisa diam. Karena diam adalah emas, lebih baik diam daripada berbicara namun tidak bisa melakukan apa-apa. Ya, pada akhirnya kamu memang tidak punya kekuatan, tidak memiliki kemampuan.

Begitulah hal paling menyakitkan, menyadari dirimu semakin tumpul namun tidak mau belajar. Menyadari bahwa kemampuan, imajinasi, daya juang, dan perasaanmu semakin tumpul namun kamu tidak melakukan apa-apa. Tidak mau belajar, tidak mengasah diri kembali agar menjadi tajam. 

Sumber gambar: Imgrum


Sejak lama, saya terpikat dengan gagasan dan tulisan Soe Hok Gie. Saya memiliki beberapa judul buku dan membaca banyak esai yang ditulisnya. Saat duduk di bangku sekolah menengah atas, saya sudah membaca Catatan Seorang Demonstran yang sedang hits setelah difilmkan oleh Riri Riza dan Mira Lesmana. Buku ini, kemudian, menjadi salah satu fondasi pemikiran saya tentang kehidupan kampus dan mahasiswa.

Saya akui, tulisan ini begitu terinspirasi dari salah satu tulisan Gie di buku kumpulan esai Issue dan Igauan dari Salemba. Malah, saya sengaja mengambil judul yang sama dengan tulisan Gie di buku itu, Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Bukan bermaksud mengikuti atau apa, tapi saya merasa gagasan dalam tulisan Gie ini harus disebarkan.

Saya pertama kali membaca tulisan ini sekitar tiga tahun lalu. Ketika itu, saya mendapatkan buku ini dari teman perempuan yang sengaja membelikannya di kios buku stasiun UI (yang sekkarang sudah digusur, terima kasih Pak Jonan). Setelah membacanya sampai habis, saya terkesan dengan dua tulisan Gie yakni Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua dan Kenang-kenangan Bekas Mahasiswa: Dosen-dosen juga perlu dikontrol.

Dari kedua tulisan itu (tentu juga dari CSD), saya belajar banyak mengenai arti menjadi mahasiswa yang sebenar-benarnya. Tentu bukan soal mahasiswa idealis atau mahasiswa yang senang berhura-hura, tapi bagaimana seorang mahasiswa mampu tumbuh secara normal dan biasa saja.

Kalau kita ingat pada sebuah adegan di film Gie, ada percakapan antara Gie (Nicholas Saputra) dan Herman Lantang (Lukman Sardi) ketika Herman diminta mencalonkan diri menjadi ketua Senat Fakultas Sastra. Pada scene itu, Gie mengatakan “Kita isi agenda-agenda senat dengan kegiatan yang menyenangkan, musik, nonton film, naik gunung. Tapi sekali-kali kita harus pemerintah tentunya.”

Menurutnya, mahasiswa tidak boleh khitahnya untuk belajar di kampus. Mereka perlu datang ke kelas, mendengarkan ceramah dosen walau kadang membosankan. Serius menghadapi diskusi-diskusi di kelas maupun forum. Juga menghadapi ujian dengan serius.

Meski begitu, sebagai manusia, mereka juga perlu kegiatan lain. Ketawa-tiwi, nongkrong dan jajan di kantin. Minum kopi juga menghisap kretek. Datang ke konser-konser musik dan pementasan teater. Dan yang penting, jangan lupa pacaran.

Tidak perlu sloganistis dan kekiri-kirian (apalagi kekanan-kananan), mahasiswa hanya perlu tumbuh sebagai seorang biasa. Tak perlu berlebih. Melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, tapi jangan lupa ikut dalam gerakan sosial melawan kebijakan yang tidak pro rakyat. Sesederhana itu.

Kalaupun mau sloganistis, pakailah slogan anak UI (dulu) yang merepresentasikan kehidupan mahasiswa yang tumbuh sebagai manusia yang biasa. Bukan melulu mengurus perkara politik beserta aktivismenya, tak melulu diskusi dan baca buku, tapi juga menikmati masa mudanya dalam slogan Buku, Pesta, dan Cinta.

Ketika menuliskan ini, kurang lebih, kondisi saya sama dengan keadaan Gie saat menulis artikel tersebut. Sudah berada di penghujung masa kuliah. Dalam usia yang tak lagi muda, serta mengalami berbagai keadaan saat terlibat dalam aktivisme mahasiswa, saya sadar bahwa apa yang saya lakukan bukanlah sesuatu yang melulu baik. Malah, bisa dibilang saya tidak bisa menjadi mahasiswa yang ada dalam cita-cita Gie.

Pada masa awal kuliah, saya sama seperti aktivis mahasiswa kebanyakan. Lugu, tidak banyak tahu, terjebak dalam romantisme gerakan beserta dongeng-dongeng soal kehebatannya. Tumbuh sebagai mahasiswa yang selalu berdebat dengan dosen, menentang arogansi dosen, dan banyak meninggalkan pelajaran dengan dalih ikut gerakan. Padahal, ya tidak semua yang saya lakukan melulu soal gerakan.

Bermacam aksi saya ikuti, mulai dari dipukuli polisi sampai balik memukul pernah saya jalani. Hampir setiap minggu jadwal aktifitas saya adalah diskusi, teklap, aksi, evaluasi. Apa saja dibuat aksi, dari yang benar-benar fundamental sampai yang iseng-iseng pernah dilakoni.

Namun ujung dari semua itu adalah kegagalan. Hampir tidak ada kemenangan yang diraih gerakan yang saya ikuti. Padahal semua sudah dilakoni, berdarah-darah. Tapi tetap saja hasilnya nihil. Kehebatan gerakan mahasiswa hanya ada pada dongeng-dongeng, hanya mitos.

Akhirnya, kegagalan tidak hanya berlaku pada gerakan dan organisasi mahasiswa. kuliah saya ikut berantakan. Kisah cinta pun tinggal kenangan.

Tidak-tidak, saya bukan menyesali keterlibatan saya dalam aktivisme mahasiswa. Banyak hal yang saya pelajari di sana, dan segala perkembangan yang saya alami sedikit-banyak dipengaruhi keterlibatan saya. Hanya saja, ada beberapa hal yang mengganjal dan baru saya pahami ketika berada di luar lingkaran tersebut.

Soal gerakan mahasiswa, akhirnya saya sadar satu hal kenapa mereka (termasuk saya) selalu gagal, bahwa gerakan hari ini tidak adaptif. Setelah banyak bermain di luar lingkaran mahasiswa, saya bertemu berbagai orang yang juga pernah aktif di gerakan mahasiswa. Kini, kebanyakan mereka adalah penulis dan peneliti.

Dari berbagai obrolan bersama mereka, juga belajar langsung dalam beberapa agenda, saya menyadari kalau gerakan mahasiswa tidak adaptif. Gerakan, bukan lagi soal ide dan aksi, tapi hanya melulu aksi dan aksi. Pada tataran ide, terlalu banyak anak gerakan yang bahkan tidak suka baca buku. Padahal mereka dengan lantangnya menolak kebijakan-kebijakan pemerintah tapi (lagi-lagi) tidak banyak mengetahui persoalan yang mereka lawan dan lawan itu.

Bukan berarti semua mahasiswa tidak suka baca buku dan terlibat dalam aksi yang mereka sendiri tidak banyak tahu. Saya tidak mau mengeralisir mereka. Tapi, dalam jumlah yang sedikit itu, populasi mahasiswa yang gemar aksi tapi tidak suka baca itu sangat besar. Mungkin mencapai 50%-60% dari total mereka yang ada di gerakan.

Persoalannya adalah, ketika mereka tidak mau membaca bagaimana mereka bisa memahami apa yang mereka lawan, mereka tolak? Saya pun dulu gemar melakukan aksi. Siapa sih anak gerakan yang tidak menganggap ikut aksi itu keren? Sangat jarang. Tapi perkara mendasar kenapa mereka aksi dan wacana soal isu yang diangkat saja banyak yang tidak tahu. Akhirnya aksi mahasiswa hanya menjadi agenda rutin tanpa (banyak) makna seperti perayaan saja.

Hal ini sama seperti keberadaan kelompok mahasiswa yang membuat koperasi di kampus tapi mereka saja tidak paham soal tujuh prinsip dasar koperasi. Padahal ya, prinsip dasar adalah hal yang sangat fundamental. Tidak bisa ditawar, tidak boleh dilanggar. Namun hal macam itu masih saja terjadi, terbiasa, dan terus berulang.

Kebiasaan ini terjadi akibat buruknya sistem kaderisasi yang dijalankan gerakan mahasiswa. Kurikulum dan diktat-diktat yang dipakai entah sudah berapa puluh tahun digunakan. Hal-hal baru yang berlaku di masyarakat tidak banyak dipelajari. Kaderisasi yang melulu slogan dan apa saja yang penting lawan.

Harusnya, kebiasaan seperti ini harus diubah. Bagaimana mungkin gerakan sosial tidak adaptif menghadapi keadaan zaman? Adaptif ini tentu saja melakukan perubahan-perubahan dalam metode, bukan pada tataran nilai. Nilai memang harus dijaga, kesaradaran harus dipupuk, tapi siasat tidak boleh kaku.

Karena itulah, saya kira, gerakan mahasiswa harus mulai belajar untuk tidak menyombongkan diri. Bagaimanapun, kesombongan gerakan bakal terus terpupuk apabila masih saja tidak mau membaca dan tetap terus belajar. Dan yang paling penting tentu saja adalah soal belajar untuk menjadi manusia biasa.

Ya, inilah poin penting yang harus segera diperbaikin gerakan mahasiswa. Selama ini gerakan mahasiswa sama sekali tidak bersentuhan dengan rakyat. Jangankan bersentuhan, semua yang dilakukan pasti berbau momen dan incidental. Jarang sekali mahasiswa mau turun ke kehidupan masyarakat, mendengarkan persoalan yang mereka hadapi, juga menjalani kehidupan yang mereka jalani. Karena itulah gerakan hari ini banyak tidak diapresiasi oleh masyarakat.

Oh ya, jangankan untuk diapresiasi masyarakat, bahkan untuk mendapatkan simpati dari teman-teman kampus saja gerakan mahasiswa sudah kelimpungan (kalau tidak mau dikata gagal). Anak gerakan sangat jarang bersentuhan dengan yang bukan anak gerakan. Tentu saja dalam artian mereka (kebanyakan) hanya nongkrong dengan yang satu golongan. Pantas saja kalau gagal, turba (turun ke bawah) pun jarang dilakukan. Gerakan hari ini sudah terlalu lama hidup dalam menara gading.

Pada akhirnya, saya pun tidak berhasil menjadi aktivis mahasiswa yang baik. Dalam perkara-perkara yang dimiliki oleh gerakan hari ini, saya pun terlibat di dalamnya. Memiliki semacam tanggung jawab yang tak kasat mata tapi membuat hati merana.

Karena itulah, dalam banyak pertemuan serta diskusi dengan para mahasiswa di bawah angkatan saya, saya hanya bisa menyarankan dan memberikan sedikit yang saya pahami soal persoalan gerakan mahasiswa. Saya hanya bilang kalau mereka tidak perlu tumbuh sebagai orang yang sempurna, tapi jadilah seorang mahasiswa yang memiliki kepribadian.


Menjadi Mahasiswa (apalagi aktivis gerakan) yang baik dan benar bukan cuma soal bisa orasi dan sering ditangkap polisi. Menjadi Mahasiswa, dengan M besar, adalah adalah soal kepribadian, soal mental yang tidak lagi sok-sokan. Menjadi Mahasiswa bukanlah perkara teriak-teriak soal moral dan tanggung jawab sosial tapi di kampus hanya menjadi tukang bolos dan tukang nyontek. Semoga kita semua masih mau terus belajar.
Hai, maaf ya.