Sejak lama, saya terpikat dengan gagasan dan tulisan Soe Hok
Gie. Saya memiliki beberapa judul buku dan membaca banyak esai yang ditulisnya.
Saat duduk di bangku sekolah menengah atas, saya sudah membaca Catatan Seorang
Demonstran yang sedang hits setelah difilmkan oleh Riri Riza dan Mira Lesmana.
Buku ini, kemudian, menjadi salah satu fondasi pemikiran saya tentang kehidupan
kampus dan mahasiswa.
Saya akui, tulisan ini begitu terinspirasi dari salah satu
tulisan Gie di buku kumpulan esai Issue dan Igauan dari Salemba. Malah, saya
sengaja mengambil judul yang sama dengan tulisan Gie di buku itu, Mimpi-mimpi Terakhir
Seorang Mahasiswa Tua. Bukan bermaksud mengikuti atau apa, tapi saya merasa
gagasan dalam tulisan Gie ini harus disebarkan.
Saya pertama kali membaca tulisan ini sekitar tiga tahun
lalu. Ketika itu, saya mendapatkan buku ini dari teman perempuan yang sengaja
membelikannya di kios buku stasiun UI (yang sekkarang sudah digusur, terima
kasih Pak Jonan). Setelah membacanya sampai habis, saya terkesan dengan dua
tulisan Gie yakni Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua dan Kenang-kenangan
Bekas Mahasiswa: Dosen-dosen juga perlu dikontrol.
Dari kedua tulisan itu (tentu juga dari CSD), saya belajar
banyak mengenai arti menjadi mahasiswa yang sebenar-benarnya. Tentu bukan soal
mahasiswa idealis atau mahasiswa yang senang berhura-hura, tapi bagaimana
seorang mahasiswa mampu tumbuh secara normal dan biasa saja.
Kalau kita ingat pada sebuah adegan di film Gie, ada
percakapan antara Gie (Nicholas Saputra) dan Herman Lantang (Lukman Sardi)
ketika Herman diminta mencalonkan diri menjadi ketua Senat Fakultas Sastra. Pada
scene itu, Gie mengatakan “Kita isi agenda-agenda senat dengan kegiatan yang
menyenangkan, musik, nonton film, naik gunung. Tapi sekali-kali kita harus
pemerintah tentunya.”
Menurutnya, mahasiswa tidak boleh khitahnya untuk belajar di
kampus. Mereka perlu datang ke kelas, mendengarkan ceramah dosen walau kadang
membosankan. Serius menghadapi diskusi-diskusi di kelas maupun forum. Juga
menghadapi ujian dengan serius.
Meski begitu, sebagai manusia, mereka juga perlu kegiatan
lain. Ketawa-tiwi, nongkrong dan jajan di kantin. Minum kopi juga menghisap
kretek. Datang ke konser-konser musik dan pementasan teater. Dan yang penting,
jangan lupa pacaran.
Tidak perlu sloganistis dan kekiri-kirian (apalagi
kekanan-kananan), mahasiswa hanya perlu tumbuh sebagai seorang biasa. Tak perlu
berlebih. Melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, tapi jangan lupa ikut
dalam gerakan sosial melawan kebijakan yang tidak pro rakyat. Sesederhana itu.
Kalaupun mau sloganistis, pakailah slogan anak UI (dulu)
yang merepresentasikan kehidupan mahasiswa yang tumbuh sebagai manusia yang
biasa. Bukan melulu mengurus perkara politik beserta aktivismenya, tak melulu
diskusi dan baca buku, tapi juga menikmati masa mudanya dalam slogan Buku,
Pesta, dan Cinta.
Ketika menuliskan ini, kurang lebih, kondisi saya sama
dengan keadaan Gie saat menulis artikel tersebut. Sudah berada di penghujung
masa kuliah. Dalam usia yang tak lagi muda, serta mengalami berbagai keadaan
saat terlibat dalam aktivisme mahasiswa, saya sadar bahwa apa yang saya lakukan
bukanlah sesuatu yang melulu baik. Malah, bisa dibilang saya tidak bisa menjadi
mahasiswa yang ada dalam cita-cita Gie.
Pada masa awal kuliah, saya sama seperti aktivis mahasiswa
kebanyakan. Lugu, tidak banyak tahu, terjebak dalam romantisme gerakan beserta
dongeng-dongeng soal kehebatannya. Tumbuh sebagai mahasiswa yang selalu
berdebat dengan dosen, menentang arogansi dosen, dan banyak meninggalkan
pelajaran dengan dalih ikut gerakan. Padahal, ya tidak semua yang saya lakukan
melulu soal gerakan.
Bermacam aksi saya ikuti, mulai dari dipukuli polisi sampai
balik memukul pernah saya jalani. Hampir setiap minggu jadwal aktifitas saya
adalah diskusi, teklap, aksi, evaluasi. Apa saja dibuat aksi, dari yang
benar-benar fundamental sampai yang iseng-iseng pernah dilakoni.
Namun ujung dari semua itu adalah kegagalan. Hampir tidak
ada kemenangan yang diraih gerakan yang saya ikuti. Padahal semua sudah
dilakoni, berdarah-darah. Tapi tetap saja hasilnya nihil. Kehebatan gerakan mahasiswa
hanya ada pada dongeng-dongeng, hanya mitos.
Akhirnya, kegagalan tidak hanya berlaku pada gerakan dan
organisasi mahasiswa. kuliah saya ikut berantakan. Kisah cinta pun tinggal
kenangan.
Tidak-tidak, saya bukan menyesali keterlibatan saya dalam aktivisme
mahasiswa. Banyak hal yang saya pelajari di sana, dan segala perkembangan yang
saya alami sedikit-banyak dipengaruhi keterlibatan saya. Hanya saja, ada
beberapa hal yang mengganjal dan baru saya pahami ketika berada di luar
lingkaran tersebut.
Soal gerakan mahasiswa, akhirnya saya sadar satu hal kenapa
mereka (termasuk saya) selalu gagal, bahwa gerakan hari ini tidak adaptif.
Setelah banyak bermain di luar lingkaran mahasiswa, saya bertemu berbagai orang
yang juga pernah aktif di gerakan mahasiswa. Kini, kebanyakan mereka adalah
penulis dan peneliti.
Dari berbagai obrolan bersama mereka, juga belajar langsung
dalam beberapa agenda, saya menyadari kalau gerakan mahasiswa tidak adaptif.
Gerakan, bukan lagi soal ide dan aksi, tapi hanya melulu aksi dan aksi. Pada
tataran ide, terlalu banyak anak gerakan yang bahkan tidak suka baca buku.
Padahal mereka dengan lantangnya menolak kebijakan-kebijakan pemerintah tapi
(lagi-lagi) tidak banyak mengetahui persoalan yang mereka lawan dan lawan itu.
Bukan berarti semua mahasiswa tidak suka baca buku dan
terlibat dalam aksi yang mereka sendiri tidak banyak tahu. Saya tidak mau
mengeralisir mereka. Tapi, dalam jumlah yang sedikit itu, populasi mahasiswa
yang gemar aksi tapi tidak suka baca itu sangat besar. Mungkin mencapai 50%-60%
dari total mereka yang ada di gerakan.
Persoalannya adalah, ketika mereka tidak mau membaca
bagaimana mereka bisa memahami apa yang mereka lawan, mereka tolak? Saya pun
dulu gemar melakukan aksi. Siapa sih anak gerakan yang tidak menganggap ikut
aksi itu keren? Sangat jarang. Tapi perkara mendasar kenapa mereka aksi dan
wacana soal isu yang diangkat saja banyak yang tidak tahu. Akhirnya aksi
mahasiswa hanya menjadi agenda rutin tanpa (banyak) makna seperti perayaan
saja.
Hal ini sama seperti keberadaan kelompok mahasiswa yang
membuat koperasi di kampus tapi mereka saja tidak paham soal tujuh prinsip
dasar koperasi. Padahal ya, prinsip dasar adalah hal yang sangat fundamental.
Tidak bisa ditawar, tidak boleh dilanggar. Namun hal macam itu masih saja
terjadi, terbiasa, dan terus berulang.
Kebiasaan ini terjadi akibat buruknya sistem kaderisasi yang
dijalankan gerakan mahasiswa. Kurikulum dan diktat-diktat yang dipakai entah
sudah berapa puluh tahun digunakan. Hal-hal baru yang berlaku di masyarakat
tidak banyak dipelajari. Kaderisasi yang melulu slogan dan apa saja yang
penting lawan.
Harusnya, kebiasaan seperti ini harus diubah. Bagaimana
mungkin gerakan sosial tidak adaptif menghadapi keadaan zaman? Adaptif ini
tentu saja melakukan perubahan-perubahan dalam metode, bukan pada tataran
nilai. Nilai memang harus dijaga, kesaradaran harus dipupuk, tapi siasat tidak
boleh kaku.
Karena itulah, saya kira, gerakan mahasiswa harus mulai
belajar untuk tidak menyombongkan diri. Bagaimanapun, kesombongan gerakan bakal
terus terpupuk apabila masih saja tidak mau membaca dan tetap terus belajar.
Dan yang paling penting tentu saja adalah soal belajar untuk menjadi manusia
biasa.
Ya, inilah poin penting yang harus segera diperbaikin
gerakan mahasiswa. Selama ini gerakan mahasiswa sama sekali tidak bersentuhan
dengan rakyat. Jangankan bersentuhan, semua yang dilakukan pasti berbau momen
dan incidental. Jarang sekali mahasiswa mau turun ke kehidupan masyarakat,
mendengarkan persoalan yang mereka hadapi, juga menjalani kehidupan yang mereka
jalani. Karena itulah gerakan hari ini banyak tidak diapresiasi oleh
masyarakat.
Oh ya, jangankan untuk diapresiasi masyarakat, bahkan untuk
mendapatkan simpati dari teman-teman kampus saja gerakan mahasiswa sudah
kelimpungan (kalau tidak mau dikata gagal). Anak gerakan sangat jarang
bersentuhan dengan yang bukan anak gerakan. Tentu saja dalam artian mereka
(kebanyakan) hanya nongkrong dengan yang satu golongan. Pantas saja kalau
gagal, turba (turun ke bawah) pun jarang dilakukan. Gerakan hari ini sudah
terlalu lama hidup dalam menara gading.
Pada akhirnya, saya pun tidak berhasil menjadi aktivis
mahasiswa yang baik. Dalam perkara-perkara yang dimiliki oleh gerakan hari ini,
saya pun terlibat di dalamnya. Memiliki semacam tanggung jawab yang tak kasat
mata tapi membuat hati merana.
Karena itulah, dalam banyak pertemuan serta diskusi dengan
para mahasiswa di bawah angkatan saya, saya hanya bisa menyarankan dan
memberikan sedikit yang saya pahami soal persoalan gerakan mahasiswa. Saya
hanya bilang kalau mereka tidak perlu tumbuh sebagai orang yang sempurna, tapi
jadilah seorang mahasiswa yang memiliki kepribadian.
Menjadi Mahasiswa (apalagi aktivis gerakan) yang baik dan
benar bukan cuma soal bisa orasi dan sering ditangkap polisi. Menjadi
Mahasiswa, dengan M besar, adalah adalah soal kepribadian, soal mental yang
tidak lagi sok-sokan. Menjadi Mahasiswa bukanlah perkara teriak-teriak soal
moral dan tanggung jawab sosial tapi di kampus hanya menjadi tukang bolos dan
tukang nyontek. Semoga kita semua masih mau terus belajar.