Aditia Purnomo



Seandainya penyesalan tidak hadir di akhir, mungkin orang-orang bodoh macam saya bisa saja berbahagia. Sebagai mahasiswa, saya terbilang cukup bodoh, tentu kalau nga mau disebut benar-benar bodoh. Saya masuk UIN Jakarta 6 tahun lalu dan masih belum keluar (baca: lulus) hingga saat ini.

Menjadi mahasiswa fakultas dakwah adalah sebuah jaminan untuk lulus cepat, begitu kata teman-teman. Minimal, perkara kuliah tidak akan menjadi polemik karena tinggal masuk, duduk manis, angguk-angguk, dan ikut ujian nilai baik sudah menanti. Maka bodohlah mereka yang kuliahnya tidak benar di fakultas itu.

Untuk urusan ini saya terdapat pada golongan orang-orang bodoh. Sudah 6 tahun kuliah, masih menyisakan 40-an sks yang harus diselesaikan. Sementara rata-rata mahasiswa dakwah bisa lulus di semester 9.

Tapi ya mau gimana lagi, menyesal pun percuma. Mau menyerah ya sayang. Eh, sayang. Ya akan saya berjuang di tahun terakhir ini.

Walaupun bodoh, setidaknya saya mau masih mau belajar. Sejak sekolah dasar, saya suka belajar sejarah. Alasannya, nga ada alasan. Suka mah suka aja, sayang mah sayang aja (oke ini nga nyambung).

Membaca cerita perjuangan para pejuang yang menginginkan kemerdekaan tentu mengobarkan semangat muda (siap, Tan). Dari sekian banyak pemuda itu, kisah Wage adalah salah satu yang saya suka.

Wage, mungkin manteman lebih kenal nama W.R Supratman, adalah anak muda hebat yang memilih pergi dari hidupnya yang nyaman bersama kakak iparnya yang orang belanda. Dari kakak iparnya pula Wage belajar memainkan biola.

Wage muda pernah dikeluarkan dari sekolah belanda karena ketahuan bukan keturunan asli belanda, Ia hanya mendapatkan tambahan nama Rudolf dan Supratman dari kakaknya sebagai akal-akalan agar bisa sekolah di sana. Namun Wage tak patah semangat, Ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru dan bisa menyelesaikannya seperti apa yang ingin saya selesaikan di UIN. Wage pun pernah ditinggal nikah teman wanita belandanya, yang meminta Wage memainkan biola pada resepsi pernikahannya.

Di Makasar, Ia tinggal bersama kakak iparnya di sana, Wage memiliki hidup yang begitu baik. Sebagai anggota klub band, Wage terkenal dan kerap manggung di berbagai acara. Sebagai adik ipar seorang belanda, hidupnya pun berkecukupan. Siapa yang tidak mau menikah dengannya, eh maksud saya siapa tidak mau hidup sepertinya.

Meski begitu, Wage muda merasa frustasi melihat kepincangan hidup orang-orang pribumi. Tulisan-tulisan aktivis pejuang kemerdekaan yang kerap dibacanya pun membuat Ia semakin tak nyaman dengan hidupnya saat itu. Akhirnya Wage memutuskan kembali ke Jawa, dan menjadi wartawan di sana.

Dari pekerjaan wartawannya itulah Wage mengenal beberapa aktivis pejuang kemerdekaan lainnya. Ia pun beberapa kali menulis artikel tentang ketidakadilan belanda pada pribumi. Karena itu pula Ia menjadi sorotan pihak belanda.

Kekesalannya pada belanda memuncak ketika roman yang Ia tulis dilarang beredar oleh pemerintah kolonial. Ia cukup frustasi akan hal itu hingga kesehatannya agak terganggu.

Beruntung, Ia mendengar kabar akan diselenggarakan sebuah kongres oleh pemuda. Pidato-pidato serta tulisan-tulisan mengenai kongres itu membuatnya merasa tertantang untuk berbuat sesuatu.

Disaat itulah Ia merasa gundah. Ada sesuatu yang ingin dilakukan tapi tidak berhasil Ia lakukan. Kegelisahan itu, berhasil Ia manfaatkan menjadi karya monumental bagi bangsa Indonesia dengan lagu ciptaannya, Indonesia Raya.

Pada Kongres Pemuda kedua, Wage memukau para pemuda dengan memainkan lagu ini bersama biolanya. Semua orang khidmat mendengarkan, sama seperti saya yang tergetar jika mendengarnya.

Dua hari lalu, pada malam minggu yang melelahkan, pembukaan Belok Kiri. Fest memainkan Indonesia Raya dalam tiga stanza seperti lirik asli ciptaan Wage. Kami bernyanyi dengan khidmat, dan bergelora mengucap lirik yang menyayat nasionalisme kami. Pada stanza terakhir, kami bertambah semangat dan menyanyikan Indonesia Raya dengan semua ekspresi yang bisa kami tampilkan.

Video adegan tadi, kemudian cepat menyebar di linimasa media sosial. Maklum, acaranya sendiri sempat menjadi trending topiq setelah beberapa kelompok dede-dede mahasiswa fakifaki dan faksi-faksian antianti melakukan demonstrasi menolak acara ini. Acara sendiri batal digelar di galeri cipta 2 TIM, tapi panitia dengan cepat memindahkan acara ke kantor LBH Jakarta yang hanya sepenggal jarak dari cikini.

Dari banyaknya sebaran video itu, muncul tanggapan negatif yang menganggap kami menghina lagu kebangsaan dengan menyanyikannya mengikuti tiga stanza a la Wage. Mereka bilang kami menyanyikan lagu ini dengan cara yang aneh. Sungguh sebuah kebodohan berkomentar tanpa memahami latar sejarah dari lagu Indonesia Raya.

Saya, sekalipun bodoh, alhamdulillah mengetahui cerita Wage karena mau belajar dari sejarah dan buku-buku alternatif yang tidak bisa saya dapatkan dari negara. Sedangkan mereka yang menolak Belok Kiri. Fest dan mengatakan kami melecehkan Indonesia Raya karena menyanyikannya dengan aneh tentu tidak pernah belajar itu.

Seandainya dede-dede haemi fakifaki juga kelompok lain mau ikut diskusi yang diselenggarakan panitia, bisa jadi kebutaan mereka tentang gerakan kiri agak tercerahkan. Minimal, dengan diskusi ada wacana alternatif yang bisa mereka ketahui.

Karena sebaran info dan kejadian-kejadian belakangan ini saya jadi mudah emosi. Sejak pulang kehujanan semalam saya marah-marah melulu, apalagi pas liat Liverpool kalah adu pinalti. Untungnya saya mahasiswa yang baik, nga berani marah-marah sekalipun dicuekin birokrasi kampus saat mau ngurus kuliah. Semoga saja, esok hari membuat kampus menjadi lebih bersahabat pada saya yang kehabisan celana panjang karena kehukanan sepanjang jalan saat pulang tadi.


Saya mengenal Dolorosa Sinaga kira-kira tiga tahun yang lalu. Pertemuan pertama dan terlama terjadi di rumah sakit Fatmawati ketika Martin Aleida mengalami kecelakaan. Waktu itu, pak martin baru saja meninggalkan lokasi acara Haul Pramoedya yang saya dan teman-teman ciputat adakan.

Menjelang akhir acara haul, saya dapat kabar kalau pak Martin kecelakaan dan dilarikan ke RS Fatmawati. Daripada simpang siur, saya diutus rekan panitia mengecek ke sana, dan nyatanya pak martin terbaring di ranjang dekat pintu masuk ugd. Aduh, pak Martin sengaja ditabrak ini. Begitu pikiran saya ketika tiba.

Kondisi pak Martin cukup parah, kaki kanannya patah. Jelas saya panik, untuk acara saja kami tidak ada uang apalagi untuk rumah sakit. Beruntung, begitu selesai acara Hilmar Farid datang ke rumah sakit dan mengurus beberapa hal terkait administrasi. Kemudian banyak orang datang ke rumah sakit, melihat kondisi pak martin hingga pak Martin diistirahatkan di ruang ugd semalaman.

Di saat-saat itulah saya berjumpa bu dolo. Ia bersama suaminya, Arjuna Hutagalung hampir tiap hari datang ke rumah sakit menengok pak Martin. Setiap datang, ia membawa dan mengecek kebutuhan pak Martin, istrinya, serta teman-teman yang menemani jaga di rumah sakit.

Waktu itu saya berpikir, orang ini kuat juga. Hampir tiap hari datang ke rumah sakit setelah menjalani aktivitas yang cukup padat, dan harus pulang ke daerah Pinang Ranti yang searah dengan pondok gede. Bayangkan, rumah sakit ini ada di ujung barat daya Jakarta harus pulang ke ujing timur jakarta yang jaraknya malas saya bayangkan. Apalagi waktu itu bu Dolo harus disibukkan dengan persiapan pamerannya sendiri.

Sungguh luar biasa, mengingat saya dan kawan Jong saja yang bergiliran menemani di rumah sakit tetap merasa lelah meski hanya perlu pulang ke ciputat yang hanya sepenggal jarak.

Dan pada persiapan Belok Kiri. Fest ini, saya kembali bertemu bu Dolo dengan pandangan yang tidak berubah. Ia masih sigap pergi ke sana - sini mengurus berbagai hal untuk kesiapan acara. Seperti tak kenal lelah, mobilitasnya untuk Belok Kiri. Fest ini sangat perlu diacungi dua jempol.

Kemarin, saat dede-dede mahasiswa dari haemi dan beberapa faksi lain datang ke TIM untuk mendemo acara, bu Dolo dengan lantang mempertanyakan kenapa TIM harus kalah dengan gerombolan macam itu. Dengan kesedihan yang terpancar, Ia terus memaksa pengelola agar mengizinkan panitia menyelenggarakan konpers yang sedianya dilakukan di galeri cipta 2.

Sayang, sejak orde baru berkuasa, takut menjadi kosakata paling digemari oleh pejabat pemerintahan. Pengelola TIM bergeming takkan memberi ruang bagi panitia untuk sekadar konpers saja. Mereka takut massa akan meringsek masuk sekalipun gerombolan yang datang dan pergi itu sudah hampir seluruhnya pulang untuk makan jatah nasi bungkusnya.

Dengan amarah tertahan, bu Dolo meninggalkan pengelola bernama Imam siapalah itu. Seorang polisi juga memaksa teman-teman yang ada di depan galcip agar segera pergi biar keadaan kondusif. Brengsek betul aparat ini.

Akhirnya bu Dolo pergi dan mengupayakan agar bisa dapat tempat untuk melakukan konpers dan menyampaikan pernyataan sikap panitia perihal kronologi dan digagalkannya acara Belok Kiri. Fest ini. Sayang, setelah nego sana-sini tempat tetap tak bisa didapat. Akhirnya semua disampaikan di depan kawasan warung tenda secara terbuka.

Pernyataan sikap panitia dan kronologi bisa anda lihat di
#‎BelokKiriFest - Kronologi Tentang Pelarangan 
#BelokKiriFest - Siaran Pers Tentang Pelarangan 
#BelokKiriFest - PERNYATAAN SIKAP 

Pernyataan sikap selesai, acara pun dipindah ke LBH Jakarta. Bagaimanapun, kami tidak boleh kalah oleh ancaman dan larangan penguasa. Antusiasme dan dukungan yang ada dari teman-teman yang hadir mendukung acara ini menghidupkan kembali semangat yang dicampur dengan kekesalan.

Pembukaan acara dimulai kira-kira jam setengah 8, agak ngaret dari jadwal. Maklum, segala persiapan yang dadakan harus membuat panitia agak kerepotan. Tapi panitia sudah berjuang sekuat tenaga agar bisa membalas respon manteman yang telah hadir.

Sepanjang pembukaan, saya seperti menemukan kembali semangat kebangsaan yang lama hilang dan hanya menjadi formalitas anak bangsa. Kami belajar kembali menyanyikan Indonesia Raya dalam tiga babak (entah apa istilahnya) seperti lirik yang dibuat oleh Bung Wage. Kami pun bergembira dan menyanyikan beberapa lagu lainnya yang menggelorakan semangat kami.

Tentunya, yang paling menggembirakan, kami bisa menyaksikan Bung Besar Bilven Sandalista menyampaikan pidato yang menggetarkan jiwa. "Sudah terlalu lama bangsa ini diadu domba. Kekayaan alam dikeruk, dan akibatnya beginilah wajah Indonesia hari ini," seru Bung Bilven membakar semangat kuliah saya.

Rasanya saya mau menolak wisuda dan terus berjuang di jalan rakyat. Buat apa kuliah kalau hanya memperpanjang barisan ketakutan. Tapi pikiran itu buru-buru saya hapus sebelum dikomen mas Puthut Ea.

Acara di LBH ini adalah sebuah perlawanan sederhana yang bisa dilakukan teman-teman panitia atas kesewenang-wenangan faksi anti-antian dan ketakutan para birokrat akan keramaian. Ini adalah sebuah pembuktian bahwa suara itu tak pernah bisa dipenjarakan, seperti kata Wiji.

"suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakkan!"


Kemarin malam, menjelang dini hari, seorang kawan mengirim pesan bbm terkait isu pelarangan acara Belok Kiri. Fest. Ia menanyakan, apa teman-teman penyelenggara akan terus melanjutkan acara, atau membatalkan sama sekali. Saya jawab saja kita tunggu besok, tapi perjuangan harus tetap berlanjut.

Kawan ini, seorang aktivis mahasiswa dari Serang, menyatakan wajar kalau acara seperti Belok Kiri. Fest dihajar oleh faksi dan organisasi anti-antian. "Kalau nggak mau dibubarin mah bikin seminar nasional bela negara aja, sob," ujarnya sambil bercanda. Saya hanya bisa tertawa membaca pesan tersebut.

Setelahnya, kabar muncul dari akun twitter resmi Belok Kiri. Fest yang menyatakan akan segera memberi kabar lebih lanjut terkait kesimpangsiuran informasi yang beredar soal surat larangan dari UPT TIM terhadap acara ini.

Lelah menunggu, nyatanya saya tertidur, bukan ketiduran, dan terbangun menjelang adzan subuh berkumandang. Sial. Langsung mengecek beberapa pesan di grup watsap juga japrian. Buka twitter, lalu memaki bangsat.

Acara di TIM dibatalkan, dengan alasan izin polisi tidak keluar. Lalu diumumkan kalau akan ada konpers pada sore hari di tempat yang sedianya akan dijadikan lokasi acara. Saya diminta datang siang hari untuk membantu persiapan konpers di sana.

Selain itu, beredar kabar kalau poster-poster yang terpajang di ruang pameran diminta paksa untuk dibereskan oleh polisi dan keamanan TIM. Bangsat mereka. Belum puas, polisi juga menunjukan surat pemberitahuan aksi dari beberapa ormas untuk mendemo acara ini.

Akhirnya, pagi-pagi sekali saya menyambangi kediaman kawan Jong di Ciputat untuk menculiknya, eh mengajaknya ke TIM buat persiapan konpers. Sampai ciputat, saya kontak beberapa orang terkait persiapan acara dan beberapa pekerjaan lain yang harus diselesaikan hari itu juga.

Menjelang siang, sepeda motor saya pacu agak kencang demi mengejar waktu. Pukul satu siang, saya harus berada di galeri cipta 2 taman ismail marzuki untuk melihat kondisi kontra revolusioner dari naqanaq cinta-cintaan dan bela-belaan tanah air.

Sambil ngudud, saya melihat kapolsek bolak-balik di depan galeri cipta 2 dan beberapa kali menyahut panggilan dari HT (bukan hari tanoe).

Saya memutuskan untuk keliling TIM dan melihat kurang lebih 4 kompi aparat kepolisian lengkap dengan beberapa motor pengejar. Wiii, siap ngadepin faksi anti-antian itu.

Pukul setengah dua siang, sekelompok (belasan orang doang) anak haemi datang lengkap dengan bendera yang banyak (yang penting logo haemi tampil) dan spanduk yang menentang acara Belok Kiri. Fest.

Selang berapa menit, aksi menolak Belok Kiri. Fest dimulai, haemi ambil lapak pertama. Dengan menyebut nama Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang (tentu dengan bahasa arab) mereka mengutuk antek-antek komunis yang mau adu domba bangsa ini dengan acara festival belok kiri fest (yaela orasi nyebut nama aje belom becus). Lalu orasi dilanjut dengan membahas para bapak bangsa yang menentang komunisme (sejarahnya nga lulus, Soekarno itu banyak belajar dari komunis), dan pancasila harga matek. Pekoknya, eh pokoknya matek.

Gerombolan-gerombolan lain lalu datang dan pergi, mengisi kekosongan panggung anti komunis itu. Ada naqanaq pake seragam bertulis aswaja, ada yang nyebut kelompoknya aliansi mahasiswa jakarta, dan sebagainya. Orasinya, nga jauh beda. Pokoknya festival belok kiri fest itu kerjaannya komunis.

Sembari moto-moto, ngudud, dan ngemil gorengan, saya kontakan dengan beberapa teman yang sudah hadir di TIM untuk melakukan konpers. Menjelang jam 3, naqanak yang kontra revolusioner itu memaksa masuk areal TIM dan dibiarkan plokis untuk masuk ke galcip 2 buat liat ruangan. Mereka ingin membuktikan bahwa acara nga jadi diadakan di sana.

Kelar liat ruangan, mereka jabat tangan sama plokis yang senyam-senyum mulu di depan kamera dan minta foto bareng sambil gandengan biar keliatan mesra. Dengan senyum lebar, plokis bilang nga ada acara di sini. Satu kemenangan buat mereka.

Apakah manteman Belok Kiri. Fest kalah, tentu saja tidak. Perjuangan belum selesai, sayang kantuk tidak bisa ditahan jadi sisanya dilanjutin pagi saja. Selamat istirahat manteman, selamat tidur. Panjang umur perjuangan.


Ada sebuah narasi ‘kelam’ yang sengaja dikubur dalam-dalam oleh ingatan keluarga saya. Sebuah narasi tentang  kekejaman yang disaksikan dan dialami oleh kakek sebagai salah satu dari ratusan ribu korban politik lahirnya orde baru. Pada tragedi 1965, kakek ditahan oleh militer di Jepara. Bukan karena Ia komunis atau apa, tapi karena ada ‘jari-jari’ yang menunjuknya komunis.

Tahun 1965, Nenek tengah hamil tua. Ia mengandung ibu yang lahir sebulan setelah kakek ditangkap. Pontang-panting nenek mengurus kelahiran ibu di tengah histeria orang-orang di kamp militer kudus. Setelah ibu lahir, nenek menitipkannya pada kenalan di kudus. Ia sendiri pergi ke Jepara, mengupayakan agar kakek bisa keluar dari tahanan.

Narasi ini tidak akan saya ketahui andai saja saya tidak bersama nenek saat melihat berita soal Soeharto pada suatu waktu setelah kuliah. Soeharto bagi nenek, adalah orang yang telah merampas hidup yang dibangunnya bersama kakek. Penjahat yang merampas hak hidup banyak orang bersama tentara dan antek-anteknya dengan dalih menyelamatkan negara.

Jari telujuk, menurut nenek, adalah senjata yang lebih mematikan ketimbang pedang saat itu. Hanya berbekal telunjuk saja, nasib seseorang bisa ditentukan oleh aparat dan anggota militer. Melihat darah berlinang serta kepala yang hilang dari tubuhnnya adalah hal yang biasa terjadi pada masa itu. Jutaan orang mati, ratusan ribu lainnya menjadi korban kekerasan. Ribuan orang dibuang, serta puluhan ribu lainnya ditahan tanpa menjalani persidangan.

Dari narasi mengerikan inilah orde baru lahir dan berkuasa. Sepanjang 30 tahun lebih berkuasa, orde baru berhasil menancapkan kukunnya di palung terdalam ketakutan anak bangsa. Hanya dengan sebuah cap ‘kiri’, seseorang bisa dianggap tidak bersih lingkungan dan bakal menerima diskriminasi. Sepanjang itu pula, para tahanan politik yang dilepas dari tahanan mendapatkan stempel ET pada kartu identitasnya.

Menjadi kiri adalah dosa yang tak terampuni bagi orde baru. Melalui mitos-mitos yang diciptakan orde baru melalui sarana budaya seperti film dan buku-buku cerita, mereka melanggengkan stigma ‘bahaya laten komunis’ dan segala frasa anti kiri lainnya. Pada tataran kehidupan masyarakat, menjadi kiri adalah hal yang mustahil dilakukan sekalipun melalui forum ilmiah dan diskusi akademik lainnya.

Bersamaan dengan penyebaran ideologi orde baru, kekerasan demi kekerasan dilakukan utuk menyukseskan ideologisasinya. Tak cuma itu, penindasan dan penghisapan, serta operasi pembodohan dan pembungkaman melenggang tanpa penghalang.

Hari ini, setelah lebih 15 tahun orde baru runtuh, pandangan negara terhadap kiri masih belum berubah. Sebagai sebuah rezim, orde baru memang tumbang. Namun sebagai sistem berpikir kekuasaan, orde baru masih menghiasi segala lini kehidupan bangsa ini. Mereka masih ada dalam jiwa-jiwa kosong yang hidup di masa kekuasaannya.

Keyakinan dan sitgma itu dipelihara melalui lembaga-lembaga yang ada serta diwariskan dari generasi ke generasi. Bukan hanya hidup dalam jiwa mereka yang sudah tua, tapi juga merasuki mereka yang tak pernah mengenal Orde Baru melalui dongeng kejayaan Orde Baru tanpa pernah tahu hal itu dibangun di atas darah dan penindasan terhadap rakyatnya.

Untuk mengimbangi dongeng-dongeng serta kemunafikan para orbais yang mengancam generasi baru, sudah sewajarnya bila perlu dimuncul wacana-wacana alteratif yang mencoba menawarkan narasi sejarah dalam sudut pandang yang berbeda. Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa misalnya, menjadi salah satu pegangan wajib bagi mereka yang ingin melihat orde baru dalam sudut pandang yang sama sekali berbeda dengan dongeng-dongeng ciptaanya.

Sudah saatnya dongeng kejayaan Orde Baru mulai dibedah, ditilik kembali, dan dikupas dengan kesadaran yang lebih kritis. Mengadakan agenda-agenda serta diskusi-diskusi ilmiah dengan tujuan membangun kesadaran politik, sosial, sejarah, dan budaya secara utuh dan menyeluruh. Bukan sepotong-sepotong.

Dengan semangat itulah, perjuangan melawan propaganda orde baru ini diwujudkan dalam sebuah agenda bertajuk Belok Kiri Festival. Bukan bermaksud kekiri-kirian, tapi menjadi kiri-kanan depan-belakang, hanyalah persoalan atribut yang tak perlu diributkan. Menjadi adil sejak dalam pikiranlah yang menjadi kunci, agar generasi baru tidak hidup dalam hegemoni kacamata kuda a la orde baru.

Dalam festival ini, akan terselenggara berbagai acara seperti pameran ilustrasi komik, ngobrol politik, serta peluncuran buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia yang diterbitkan oleh penerbit Ultimus. Seluruh rangkaian acara akan diselenggarakan di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki pada tanggal 27 Februari – 5 Maret  2016.

Festival ini lahir sebagai perlawanan, sebagai upaya demi meluluskan sejarah dan mencerahkan generasi yang tumbuh agar adil sejak dalam pikiran. Karena bagi kami, jalan tak selalu lurus belok tak selalu kanan, maka belok kiri dapat dijadikan pilihan.


Sepanjang 6 tahun lebih hidup ngekos, baru kali ini saya merasa berat untuk meninggalkan kamar sewaan. Semenjak kuliah, sudah berulang kali saya gonta-ganti kamar sewaan. Biasanya pindah karena harga sewa naik, tidak sanggup bayar, dan tidak merasa nyaman. Entah dengan kamar atau teman sekamar.

Di tempat yang sedang saya tinggali ini, segala penunjang kenyamanan hidup dapat ditemui. Induk semang yang baik (sesekali boleh nunggak), tempat makan yang melimpah, warung yang bisa diutangi, teman sekamar yang bisa diajak mabuk bareng, serta tetangga yang tidak berisik. Itu belum ditambah lokasinya yang dekat dengan sekolah saya dulu, jadi banyak teman-teman yang bisa diajak main.

Mungkin satu-satunya yang kurang menyenangkan adalah tempat parkir kendaraan yang tidak luas, jadi tidak banyak teman yang bisa mampir meningap. Apalagi yang bawa mobil. Oh ada satu lagi yang nga menyenangkan, yakni kalimat horor dari teman sekamar ketika nga megang uang. "Bayar kosan bulan ini pakai uang lu dulu yaa," ujarnya selo.

Mulai bulan depan, saya harus meninggalkan kamar ini. Bukan karena saya nga mampu bayar ato temen minta talangin, tapi mulai Maret perkuliahan bakal dilaksanakan. Untuk mengupayakan semester yang bersahabat dengan dosen-dosen dan kajur-sekjur, saya harus tinggal lagi di dekat kampus. Mau nga mau, saya harus meninggalkan teman sejak smp yang tetap menempati kamar ini.

Berat memang, tapi kuliah harus dilanjutkan. Lagipula kosan ini terlalu nyaman buat saya, bisa jadi berbahaya kalau terus berada di zona nyaman. Akhirnya kamar ini kami benahi, dan barang-barang saya mulai dikemas. Apa saja barang-barang yang dikemas, tentu saja buku-buku dan koleksi mainan yang wajib dibawa pergi. Sisanya ditinggal, toh masih ada teman yang menempati kamar ini.

Kawan saya, si aktivis buruh cum ketua bem fakultas di kampusnya, tentu berbahagia akhirnya saya memilih pergi untuk melanjutkan kuliah. Bukan apa-apa, kalau tinggal sendiri tentu dia bakal lebih leluasa ngapa-ngapain sama pacarnya. Kalaupun sedih, paling karena kehilangan teman yang nalangin uang sewa tiap bulannya.

Agak sedih dengan keadaan ini. Kurang lebih 8 bulan menjalani aktifitas dari kamar ini, bepergian seratusan kilometer sehari menuju ibukota pulang pergi, dilanjut ngopi di kedai langganan bareng teman-teman, dan diakhiri malan lontong sayur sebelum balik ke kosan hampir setiap harinya. Menjadi keseharian yang menyenangkan bisa tertawa bersama teman-teman di kota ini.

Mungkin mulai besok saya tidak lagi tinggal di kamar ini. Tergantung semua buku kelar diangkut menuju rumah yang jarak tempuhnya hanya 15 menit dari kamar ini. Dan mulai besok saya bakal lebih sering ditemui di kampus, semoga tempat itu masih bersahabat.

Besok (Kamis 18 Februari 2016), rapat paripurna DPR bakal membahas kelanjutan revisi UU KPK. Tak banyak orang mengetahui hal ini karena pemberantasan korupsi bukanlah hal penting yang dapat merusak moral dan aqidah anak bangsa. Perkara melemahkan KPK nyatanya hanyalah tindakan sistematis yang dilakukan secara berkala tanpa perlu ribut-ribut yang menghebohkan macam diskusi yang dilakukan di televisi.

Berdasar kabar-kabar yang tidak banyak tersebar di linimasa facebook dan twitter, revisi UU KPK bakal terlaksana apabila mayoritas anggota dewan yang terhormat menyepakati rancangan revisian skripsi undang-undang tersebut. Yang sialnya, kabar-kabar tersebut mengatakan kalau mayoritas fraksi di parlemen sepakat terhadap revisian itu.

Secara konstitusional nasib KPK memang berada di tangan para anggota dewan yang terhormat. Bagaimanapun, parlemen lah yang membentuk KPK untuk mengurusi perkara remeh-temeh macam korupsi agar lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian bisa fokus mengurusi kasus pembunuhan Munir Wayan Mirna yang diracun dengan sianida. Atau agar TNI bisa fokus mengurusi ekspedisi besar-besaran ke tanah papua sana.

Sebagai pembuat segala macam aturan, anggota dewan yang terhormat berhak mengajari KPK perihal sopan santun terhadap mereka. Bayangkan, selama berdiri kerja KPK telah menangkapi lebih dari 50 anggota DPR. Hal ini jelas sebuah pembangkangan terhadap DPR. Bukannya mengabdi untuk kepentingan yang buat, KPK malah lebih sering membuat para anggota dewan yang terhormat jadi tak terhormat di mata masyarakat.

Lagipula yang diurusi KPK bukanlah kepentingan masyarakat umum, mereka hanya menangkapi para koruptor yang membawa lari uang negara. Bukan membawa lari gebetan orang yang jelas merupakan kejahatan HAM. Masyarakat tentu lebih menaruh perhatian pada perkara pembunuhan Wayan Mirna yang bisa mengancam kenyamanan kelas menengah ngehek yang ingin dijamin keselamatannya ketika kongkow-kongkow di kedai kopi favoritnya.

Tak hanya itu, membahas pelemahan KPK pastinya menjadi tidak penting ketika bangsa ini tengah dihadapkan pada persoalan LGBT yang dapat merusak moral bangsa dan menghancurkan bumi nusantara tercinta ini. Kalau tak percaya, cobalah baca-baca cerita soal kaum sodom dan gomorah yang dilaknat Tuhan karena aktivitas LGBT mereka. Ini benar-benar perkara yang sangat serius.

Karena itu, bermacam stasiun televisi lebih tertarik menayangkan secara langsung atau tak langsung acara-acara yang menampilkan debat-debat antara pihak yang membela bangsa dari ancaman LGBT dengan aktivis-aktivis HAM yang meminta hak kaum LGBT juga dilindungi.

Bagi para pemilik media itu, menayangkan acara ini bukan hanya persoalan rating yang tinggi tapi juga untuk menghibur masyarakat kelas menengah dengan perdebatan-perdebatan yang tidak hanya menghibur tapi juga mengalihkan perhatian mereka dari upaya pelemahan KPK penat sehabis bekerja dan bermacet ria di Ibukota.

Hiburan macam ini tentu diperlukan oleh mereka, mengingat tempat hiburan seperti Kalijodo bakal dihabisi demi membangun taman atau tempat hiburan macam Alexis tidak terlalu bersahabat dengan dompet. Toh salah satu fungsi media adalah untuk menghibur masyarakat. Perkara informasi soal UU KPK bisa ditampilkan setelah direvisi.

Sebenarnya saya sangat berharap bisa mendapatkan informasi berimbang terkait pelemahan KPK ini dari media-bombastis-pengejar-klik nan kritis macam Posmetro.info atau piyungan.org. Sayangnya, untuk perkara ini kedua media tersebut tampaknya lebih senang berkoalisi dengan PDIP bersama kelompok Indonesia Hebat yang biasa mereka kritisi, plus Golkar untuk merevisi UU KPK. Memang, dalam urusan korupsi tidak ada teman atau musuh yang abadi. Kalaupun ada ya musuh bersama bernama KPK itu.

Semoga saja besok terjadi keajaiban dengan dilakukannya intervensi oleh Presiden Jokowi untuk menghentikan upaya pembahasan revisi UU KPK. Karena mengharapkan keajaiban dari tangan Gerindra dan PKS yang menolak revisi UU KPK agak sulit, ada baiknya kita berharap Jokowi tidak mengeluarkan amanat presiden agar pembahasan revisi UU KPK tidak bisa dilanjutkan. Kalaupun harapan ini palsu, toh saya sudah biasa menerimanya. 

*Catatan: Rapat Paripurna kemudian ditunda pada hari selasa tanggal 23 Februari